Oleh Cardiyan HIS
Apakah Dosen ITB yang Bijak ataukah Dosen ITB yang Kejam akan coba disiasati ITB dengan sistem penilaian ini. Satu-satunya siasat mahasiswa adalah belajar lebih keras lagi. Maklum standar nilai masih ditetapkan oleh dosen ITB sendiri secara personal.
Ada yang sangat menarik dari acara “Penyegaran Dosen ITB 2008” pada 29 Agustus 2008. Apa yang disampaikan oleh Prof. Ir. Adang Surahman, Ph.D, Wakil Rektor Senior Bidang Akademik ITB pada acara tersebut adalah pengakuan fakta yang sangat ironis seperti yang ramai diungkapkan pada mailist IA ITB baru-baru ini dengan tajuk “ITB yang Bijak ataukah ITB yang Kejam”.
Statistik Seleksi Masuk Mahasiswa Baru secara Nasional sejak 1977 sampai 2008, selalu menempatkan ITB sebagai PTN di Indonesia dengan standar Nilai Masuk (passing grade) paling tinggi; Nilai Rataan tertinggi dan Nilai Maksimal tertinggi (bahkan bila ditelusuri lagi mahasiswa baru ITB adalah pemilik Nilai Rataan tertinggi Nilai Ebtanas Murni/NEM Sekolah Menengah Umum; nilai maksimal NEM SMU). Mahasiswa baru yang diterima di ITB adalah 80% berada pada ranking 1-2500 dan 20% berada pada ranking 2501-12.500, dari rata-rata 250.000 peserta seleksi masuk mahasiswa secara nasional bidang IPA.
Pokoknya mahasiswa yang masuk ITB itu hebring-lah. Namun pada kenyataannya (antara lain pengalaman dan pengamatan Betti Alisyahbana ketika masih menjadi Presiden IBM Indonesia), di dunia kerja, seringkali lulusan ITB bahkan tidak masuk hitungan dalam seleksi administratif karena tersandung permasalahan Indeks Prestasi (IP) yang kecil, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri atau swasta lainnya. Jadi hanya sedikit saja pelamar alumni ITB yang masuk short list para recruiter. Hal ini tentu sangat merugikan lulusan ITB khususnya yang mau meniti karier di dunia PNS atau juga pegawai swasta nasional.
Prof. Adang Surahman sendiri mengakui berdasar berbagai kuesioner dan penelitian yang dilakukan Wakil Rektor Bidang Akademis ITB sangatlah sulit untuk mendapatkan nilai A pada sebuah dan apalagi pada banyak matakuliah di ITB. (Saya secara acak sudah “mensurvey” pada Program Studi di ITB bahwa untuk mendapatkan Nilai Huruf A itu mahasiswa harus mendapatkan Nilai Angka ujiannya 95-100). Wakil Rektor Senior Bidang Akademik mendapatkan sebuah fakta bahwa kebanyakan nilai mahasiswa ITB kurang ditentukan oleh kualitas dosen atau proses pembelajaran mahasiswa, tetapi oleh standar yang ditetapkan oleh dosen sendiri yang sangat personal. Disinilah terkuak betapa ITB sendiri tak berdaya atas “kekuasaan” masing-masing dosen ITB. Karena itu sudah menyangkut otoritas dosen ITB masing-masing, maka Rektor ITB sekalipun sebagai “bos” dosen-dosen seluruh ITB, tak bisa “intervensi” agar dosen-dosen mengubah kebijakan penilaian terhadap berkas para mahasiswanya menjadi “lebih bijaksana”.
Maka berdasarkan “keukeuhnya” (ngotot) para personal dosen ITB yang hendaknya tetap dihargai, mulai kurikulum baru 2008 ini, pihak ITB “mensiasatinya” dengan menerapkan sebuah sistem penilaian yang baru. Yaitu selain ada nilai A (4), B (3), C (2), D (1), dan E (0, tak lulus), akan ada nilai AB, dan BC. Dengan adanya nilai antara tersebut, diharapkan dosen dapat “lebih bijak” dalam memberikan penilaian. Sehingga menurut Prof. Adang, nilai-nilai mahasiswa yang "menyerempet", dalam hal ini contohnya "B gemuk", dapat dikelompokkan menjadi AB. Bagaimana dengan perhitungan IP? Tidak ada masalah signifikan, mengingat nilai AB adalah setara dengan 3.5, dan BC setara 2.5. Sistem penilaian baru ini akan mulai diterapkan di semester ini, dan berlaku bagi seluruh mahasiswa seluruh angkatan di ITB.
Nah, karena akan mulai diterapkan segera di semester ini, maka mahasiswa ITB hendaknya menyambutnya dengan sedikit gembira. Jahkan dari prasangka dosen ITB itu “kejam” bin ”killer” dsb. Belajar itu harus penuh dengan kegembiraan. Bangga diterima di ITB itu harus diimbangi dengan belajar lebih keras tetapi dalam suasana gembira, jauh dari suasana yang terbebani.
Oleh karena itu, para mahasiswa ITB juga hendaknya juga aktif bersosialisasi dalam kehidupan kampus sebagai proses latihan meraih softskill. Karena disinilah kelemahan umumnya mahasiswa ITB. Nilai IP tinggi itu bagus untuk diraih tetapi belum cukup bila tak memiliki tambahan softskill. Dan itu telah dibuktikan oleh softskill kakak-kakak alumni ITB yang sukses dalam kariernya, baik sebagai “tukang insinyur”, ilmuwan kelas dunia, wirausaha sukses maupun alumni yang telah menjadi Presiden RI dan Perdana Menteri RI (kalau Menteri-menteri alumni ITB sejak republik ini berdiri sudah nggak kehitung lagi sampai lupa namanya kecuali 5 menteri-alumni ITB angkatan saya, angkatan 1973 he he he ....!)
Sebaliknya, kepada para dosen ITB yang telah “disegarkan” oleh Wakil Rektor Senior ITB Prof. Ir. Adang Surahman, PhD -----Seangkatan dengan saya, tetapi saya di Departemen Teknik Geodesi. Di Departemen Sipil ITB, Kang Adang ini nomor pokok mahasiswanya 8173002 artinya ranking dua dari 120 mahasiswa Sipil ITB 1973. Waktu itu belum ada jurusan Informatika, yang paling top ya Sipil disusul Elektro !!!------ kita berharap otoritas yang dimiliki tidak “disalahgunakan” sebagai “kekuasaan mutlak”.
Dosen-dosen ITB juga harus mengevaluasi diri dalam proses belajar mengajarnya. Apakah cara penyampaian kuliahnya sudah komunikatif sehingga mudah diserap oleh mahasiswanya atau sebaliknya hanya pinter untuk diri sendiri. Apakah dosen-dosen senior ITB telah konsisten mengajar secara langsung dan tidak mewakilkan kepada para asistennya? Apakah ITB juga telah menyediakan sarana dan prasarana bagi 1.025 dosen (800 di antaranya bergelar doktor), misalnya dengan ruangan dosen yang memadai lengkap dengan koleksi buku-buku mutakhir. Karena penulis menemukan banyak fakta kalau profesor doktor ITB yang berkelas dunia pun ruangannya sangat sempit. Lalu bagaimana dengan ratusan doktor-doktor muda ITB pasti ruangannya akan lebih sempit lagi atau jangan-jangan ada yang tak memiliki meja kerja ....?
Selamat ujian bagi para mahasiswa ITB dan selamat menilai bagi para dosen ITB yang bijak. And last but not least kepada para alumni (apalagi yang punya anak, mahasiswa ITB he he he ...!) seperti biasa, selamat mengkritisi jalannya penilaian oleh para dosen ITB.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tulisan yang menarik pak, salam . Alfinsyah Suhendra . Mahasiswa baru di GD ITB .
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus