Minggu, 17 Juni 2012


Regenerasi  Pemain Dihadang Godaan Pragmatisme



Oleh Cardiyan HIS



Ada semacam adagium dalam dunia manajemen bahwa selalu ada regenerasi dalam sebuah perusahaan yang sukses. Namun, boleh dikatakan, proses regenerasi pada para pengusaha besar  di Indonesia tidak berlangsung mulus dan hanya menghasilkan generasi kelas pengusaha yang biasa-biasa saja.  Begitu pula yang terjadi  pada regenerasi kepemimpinan negara  di Indonesia sejak jaman Bung Karno sampai jaman SBY sekarang ini, belum menghasilkan seorang pun negarawan berkelas dunia, yang visinya melampaui jamannya.

Dalam dunia manajemen olahraga khususnya manajemen sepakbola, regenerasi adalah sebuah keniscayaan. Keberhasilan tim nasional Indonesia di peta sepakbola Asia sampai tiga dekade yakni era 1950-an (yakni era Ramang-Aang Witarsa dan kawan-kawan yang antara lain membuat prestasi sensasional di Olimpiade Melbourne, Australia, tahun 1956), era 1960-an (yakni era Soetjipto Soentoro-Anwar Udjang dan kawan-kawan, yang menjuarai hampir semua turnamen bergengsi di Asia) dan era 1970-an (yakni era Iswadi Idris-Djunaedi Abdilah, yang masih mampu meraih gelar juara pada berbagai turnamen bergengsi di Asia) adalah keberhasilan manajemen sepakbola Indonesia dalam melakukan regenerasi pada tim nasional Indonesia. Ketika tim nasional senior Indonesia meraih kejayaan di  level Asia, pembinaan tim nasional yunior Indonesia juga secara paralel dilakukan dengan sistematis. Dan hasilnya terbukti yakni tim nasional yunior Indonesia  tiga kali meraih gelar juara yunior Asia.  Disini jelas ada kesinambungan prestasi antara tim nasional yunior Indonesia yang kemudian menjadi penyedia pemain-pemain berkualitas  untuk  tim nasional senior Indonesia.

Dalam skala klub di Indonesia, pada tahun 1981 manajemen Persib, Bandung yang dipimpin duet Solihin GP-Sukandar merekonstruksi total pembentukan tim senior Persib,  yang terdegradasi  dari Divisi Utama Perserikatan PSSI ke Divisi Satu PSSI dan terpaksa harus bertanding dari kampung ke kampung.  Duet Solihin GP-Sukandar membangun Persib secara sistematis melalui penyiapan tim yunior Persib dengan merekrut pelatih asal Polandia, Marek Janota. Hasilnya tim Persib yang sepenuhnya diperkuat para pemain yunior seperti Adjat Sudradjat, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Dede Iskandar, Wawan Karnawan, Kosasih, Robby Darwis, Sobur dan kawan-kawan meraih prestasi pertamanya dengan menjadi finalis kompetisi Divisi Utama Perserikatan tahun 1983/1984 dan 1984/1985. Persib akhirnya memetik buah hasil pembinaan jangka panjangnya dengan meraih juara pertama  pada kompetisi tahun 1985/1986, 1989/1990 dan 1993/1994. Dengan tim yang nyaris sama tanpa diperkuat satu pun pemain asing, Persib Bandung menjuarai kompetisi Liga Sepakbola Indonesia yang pertama pada tahun 1995. Namun dari sinilah awal bencana bagi Persib Bandung yang terlena tak melakukan regenerasi pemain. Akhirnya prestasi Persib melorot dan sudah 17 (tujuh belas) tahun tak pernah meraih satu pun gelar juara Liga Sepakbola Indonesia. Padahal Persib memiliki segala potensi untuk menjadi juara seperti memiliki pemain-pemain bintang yang berharga mahal; supporter paling banyak di Indonesia serta nilai jual sangat tinggi di mata calon investor.  Nasib Persib sungguh berbeda dengan Arema, Malang dan Persipura, Jayapura, yang para pengurus dan pelatihnya berani ambil kebijakan dengan memberi kepercayaan kepada para pemain muda, yang kemudian mereka membuktikan kepercayaan pelatihnya dengan masing-masing meraih gelar juara dua kali Liga Indonesia!          

Dalam skala dunia khususnya dari 16 tim peserta Piala Eropa 2012, tim Jerman menjadi bukti keberhasilan regenerasi . Rata-rata usia seluruh anggota “Tim Panser” Jerman hanya 24,52 tahun. Bahkan skuad Jerman kali ini lebih muda dibanding “Tim Panser”  Jerman untuk Piala Dunia 2010 yang usianya rata-rata 25 tahun.  Pelatih Jerman, Joachim Loew, yang sejak Piala Dunia 2010 sudah banyak memberikan kepercayaan kepada para pemain muda, terus melanjutkan konsistensinya dengan memasukkan wajah-wajah baru dalam daftar 23 pemain pilihannya. Tercatat ada 12 pemain yang usianya tidak lebih dari 23 tahun bahkan gelandang Mario Goetze tercatat sebagai pemain termuda yakni berusia 20 tahun. Dan yang menggembirakan posisi para pemain muda tersebar  di pos kiper, barisan belakang, lini tengah hingga lini depan.   

Para penganut paham arti penting  regenerasi yang berkesinambungan  seperti pelatih Joachim Loew ini secara sadar dan sistematis merekonstruksi tim nasional sepakbolanya  berjenjang berdasarkan usia pemain, talenta yang dimiliki, sumber penyedianya seperti akademia sepakbola sampai kepada bagaimana para pemain muda diberi kesempatan menikmati kompetisi sepabola level tinggi. Pola pikir mereka adalah proses pembinaan sangat penting dari pada hasil akhir. Tidak pernah ada jalan pintas untuk meraih kesuksesan. Dan bahwa prestasi tim nasional sepakbola hanya akan diraih bila direncanakan sejak jauh hari melalui pembinaan yang sistematis berjenjang, fokus, penuh ujian di kompetisi level tinggi dan penuh kesabaran.   

Namun pada sisi lain, setelah keberhasilan meraih prestasi seringkali pihak manajemen terlena. Bahkan praktis mulai tergoda, untuk tidak memikirkan regenerasi pemain. Demi menjaga pencitraan sebagai sang juara, mereka terjebak pragmatisme untuk tetap mempertahankan kejuaraan dengan tetap mempertahankan skuad juara, demi kepentingan jangka pendek. Itulah yang juga dikritik oleh pelatih senior Italia, Arrigo Sacchi, terhadap kebijakan manajemen tim nasional Italia yang gagal melakukan regenerasi. Sacchi sampai berani menyebut Samuel Longo  (20 tahun) sebagai talenta muda Italia yang terbuang, yang disia-siakan bersama sedikitnya tujuh talenta muda Italia lainnya asal kompetisi Primavera.

     



Minggu, 03 Juni 2012





KALAH SEBELUM BERUNDING!


Oleh Cardiyan HIS

Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang

Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa

Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu

Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa

“Ibu Pertiwi” oleh Ismail Marzuki  



Ya ibu pertiwi memang sedang bersusah hati. Sekarang yang bisa dilakukan ibu pertiwi hanya merintih dan berdoa.  Karena anak-anaknya terus-terusan menjadi pecundang. Anak-anaknya; para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia baik di Pemerintahan maupun di Parlemen, kalah dalam berbagai perundingan khususnya dalam perjanjian pengembangan sumberdaya alam, pengembangan infrastruktur dan nyaris pada pengembangan semua sektor industri hulu dan hilir.


Padahal berbagai negara di dunia terutama negara-negara maju berusaha sungguh-sungguh mengembangkan sumberdaya manusianya dalam kemampuan berunding. Negara tetangga Singapura misalnya termasuk  negara kecil yang terus-terusan mengungguli Indonesia dalam berbagai perundingan perdagangan bilateral dan yang sangat populer kasus perjanjian ekstradisi. (Cardiyan HIS, Editor, “It’s Time for the World to Change. In the Spirit of Dignity, Equity, and Transparency”, Publisher: PT. Sulaksana Watinsa Indonesia, Jakarta, 2008).   Namun Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan berunding yang terbaik di dunia. Mereka memiliki kemampuan unik dalam berunding bahkan dalam posisi lemah sekali pun. Ada empat faktor yang mendukung kemampuan unik ini yakni Pertama, dibekali kemampuan memahami substansi. Kedua, kemampuan menjaga emosi sampai tahap-tahap akhir perundingan. Ketiga, kemampuan membuat kejutan. Keempat, bila perundingan dengan lawannya deadlock mereka punya kemampuan bagaimana mengembalikan kepada kemurahan hati lawannya (Kang, T.W., “Is Korea the Next Japan?”, The Free Press, New York, 1989).  


Sedangkan para perunding dan atau negosiator Indonesia? Kalah telak dengan Freeport McMoran.  Kalah telak dengan Exxon Mobil.  Kalah telak dengan Newmount. Kalah telak dengan PetroChina. Kalah telak dengan Toyota Corporation. Kalah telak dengan Temasek Group. Kalah telak dengan British American Tobacco. Untuk sekadar menyebut beberapa nama.


Bukan kalah karena para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia bodoh tak memiliki penguasaan materi dalam menghadapi perundingan dengan MNC dan atau organisasi Multilateral.  Tetapi saya menengarai mereka kalah karena harga dirinya sudah terjual demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Bahkan kalau ditelusuri ke hulunya, mereka secara sadar “membiarkan kekalahan” sejak dini karena Undang Undang Republik Indonesia yang semestinya menjadi payung perlindungan bagi Bangsa Indonesia sudah dimuati dan atau disusupi ayat-ayat yang membela kelompok kepentingan.  Sehingga mereka akhirnya seperti perilaku "Kerbau Dicocok Hidung" dalam setiap kali berunding menghadapi MNC dan atau organisasi Multilateral.


Terlalu banyak kekalahan ini tentu saja sangat menyedihkan dan meresahkan bagi setiap Rakyat Indonesia yang sejak lama mendambakan kekayaan Rakyat Indonesia dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesejahteraan Rakyat Indonesia. Mereka para pemangku kekuasaan seperti tak memiliki sikap kesetaraan lagi sebagai wakil Bangsa Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat. Mereka tak memiliki roh, tak memiliki jiwa dalam substansi perundingan; yang ada adalah mental rendah diri yakni  kalah sebelum berunding!


Padahal pendiri Republik Indonesia, Presiden RI Pertama Ir. Soekarno  yang visinya jauh melampaui jamannya,  yang misinya diimplementasikan melalui Perdana Menteri RI Ir. Djuanda  (keduanya alumni ITB) juga telah menginspirasi banyak negara dalam mengelola sumberdaya alam. Bahwa Indonesia-lah pemilik sumberdaya alam  bukan para perusahaan asing.  Jadi sudah sepantasnya Indonesia memiliki posisi tawar yang setara dengan mereka. Bahwa mereka benar memiliki uang dan teknologi tetapi posisi mereka dalam berbisnis di Indonesia walau bagaimana pun adalah tetap hanya sebagai KONTRAKTOR BUKAN PEMILIK.


Saya berharap, dalam skala Indonesia Incorporated, para pemangku kekuasaan di Jakarta seharusnya lebih percaya diri dalam membuat kebijakan. Hilangkanlah kepentingan pribadi dan kelompok. Yang harus di ke depankan adalah bekerja untuk kepentingan Rakyat Indonesia semata. Bila roh substansi pro Rakyat Indonesia dalam setiap perjanjian atau perundingan ini sudah menyatu dalam jiwa para pemangku kekuasaan tak akan ada satu pun MNC dan atau organisasi Multilateral yang akan melecehkan harga diri Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah sebenar-benarnya memang Bangsa Pejuang bukan Bangsa yang mudah diinjak-injak harga dirinya.


Berharap kepada Kampus?

Jadi sangatlah sulit kita berharap kepada para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia untuk mengubah mental pecundangnya begitu saja, dalam jangka pendek bahkan dalam jangka panjang sekalipun.  Kita agaknya hanya menyisakan harapan kepada kampus yang setidaknya masih memiliki karakter sebagai penjaga nilai-nilai; yang akan mampu mengubah paradigma mentalitet pecundang ke mentalitet unggulan secara mendasar dan berjangka panjang jauh ke depan. Kampus yang masih memandang bahwa proses pendidikan berkarakter adalah jauh lebih penting dari proses pengajaran karena kampus bukan lembaga ujian.


Sebagai salah seorang yang pernah digodok di kawah Candradimuka ITB sejak tahun 1973 di masa kehidupan mahasiswa ITB yang sangat dinamis.  Dan ITB sendiri masih dipandang sebagai kampus yang berkarakter kuat sebagai penjaga nilai-nilai, disamping memiliki reputasi akademik terpandang di kawasan Asia Pasifik.  Maka dalam benak saya dan banyak teman-teman sudah tertanam sejak dini bahwa anak ITB sebenarnya sama saja dengan mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT belajar Kalkulus 1 sampai Kalkulus 4 sama dengan yang dipelajari oleh mahasiswa ITB. Mahasiswa ITB belajar Fisika Dasar sampai Fisika Teoritis seperti halnya mahasiswa MIT. Begitu pula untuk banyak matakuliah lainnya; mahasiswa MIT dan ITB mempelajari ilmu yang sama.


Jadi apa sebenarnya yang membedakan mahasiswa  ITB dengan mahasiswa MIT? Menurut saya bukan soal kampus MIT yang lebih luas dan fasilitas laboratoriumnya yang jauh lebih hebat di sebuah negara adidaya Amerika Serikat; tetapi lebih kepada ekspektasi mahasiswa MIT melebihi ekspektasi mahasiswa ITB.
Mahasiswa ITB memang memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi bahkan cenderung arogan untuk ukuran mahasiswa di Indonesia. Tetapi mahasiswa ITB belum sampai kepada tahapan mimpi yang dimiliki oleh umumnya mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT memiliki ekspektasi sangat tinggi dalam menatap masa depannya. Kalau diibaratkan memiliki mimpi; mimpi mahasiswa MIT adalah: "to dream the impossible dream"!


Disinilah peranan Perguruan Tinggi (PT) yang mampu melakukan proses pendidikan tidak hanya pada proses pengajaran saja kepada para mahasiswanya, akan menjadi pilar-pilar yang strategis. Mahasiswa-mahasiswa yang berkarakter kuat, yang memiliki kepribadian mandiri dan penuh idealisme hanya akan tumbuh berkembang di dalam kampus yang mengedepankan proses pendidikan yang berkarakter. Tentu mendidik mahasiswa yang berkarakter tidak mudah disamping memerlukan banyak dosen yang berkarakter kuat pula, yang sangat penting adalah sikap PT itu sendiri dalam cara pandang bahwa mendidik mahasiswa jangan dianggap sebagai Cost Center dan hanya buang-buang waktu saja. Tetapi mendidik mahasiswa adalah suatu misi strategis PT dalam menyiapkan mahasiswa sebagai calon pemimpin tangguh bagi Bangsa Indonesia bermasa depan cerah.


http: //id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6




Senin, 21 Mei 2012

Barcelona dan Teori Dialektika Hegel 


Oleh Cardiyan HIS 

Tidak ada yang tidak berubah di Dunia ini. Dan cara berubahnya pun sedemikian rupa. Bahwa dalam setiap timbul suatu pengertian (thesa), selalu akan menimbulkan satu atau beberapa antithesa, yang berlawanan, atau tidak serupa dari pengertian semula. Memang antithesa tersebut tidak usah bertolak belakang penuh dengan thesa semula, tapi minimum ia tidak serupa.

Thesa dan antithesa ini akan bersama-sama menimbulkan suatu pengertian yang lebih tinggi tingkatnya. Yakni pada fase ketiga yang terletak dalam suatu tingkat pengertian yang lebih tinggi dari bidang perdebatan antara thesa dan antithesa; yang biasanya disebut synthesa. Pengertian synthesa yang akhir ini pun di dalam proses perubahan berikutnya, akan menimbulkan hal-hal atau pengertian-pengertian yang berlawanan atau tidak serupa, sebagai koreksi berikut. Mengapa? Karena sudah mendapat masukan Umpan Balik (feedback), yang akan merangsang dan mengarahkan proses perubahan yang merupakan permulaan dan proses Dialektika berikutnya.

Itulah jalan pikiran “Teori Dialektika” Wilhelm Friedrich HEGEL (1770-1831), yang diyakininya bahwa fenomena dialektika adalah prinsip semua pergerakan; semua proses kehidupan dan semua aktivitas dalam kenyataan hidup sehari-hari. Cara berpikir dialektis ini adalah suatu metoda berpikir yang sering juga disebut sebagai bentuk mula atau intinya metoda berpikir ilmiah. Jan Romein, seorang ahli sejarah Belanda menerangkan yang terkait erat dengan fenomena Dialektika Hegel ini “....... bahwa suatu posisi terdepan, pada suatu waktu tertentu dan dalam kondisi yang tertentu pula, akan justru menghambat dan akan berubah menjadi keterbelakangan”. Atau dengan kata lain; yang di depan melambat dan yang di belakang mempercepat.

Dalam kaitan dengan dunia olahraga khususnya sepakbola, Teori Dialektika Hegel ini secara sederhana sangat mudah dipahami. Segera sebuah tim sekelas Barcelona yang belakangan berulang kali menjuarai La Liga Spanyol dan “Copa del Rey” kemudian dituntaskan dengan menjuarai liga “Champions” musim 2005-2006 (sebelumnya di musim 1991-1992 pada era pelatih Johan Cruyff), 2008-2009 dan 2010-2011; banyak klub maupun para pemain sepakbola di dunia akan berusaha meniru atau mempelajari keunggulan teknik Barcelona dalam memainkan tiki-taka; possesion football; bagaimana melakukan kontrol permainan sehingga membuka banyak peluang mencetak gol; bagaimana mencetak goal dari rancangan adanya peluang yang berasal dari tendangan bebas dan tendangan sudut; bagaimana mengeksekusi finishing touch secara mematikan; dan strategi-strategi bertanding lainnya. Sementara sang juara sendiri , Barcelona, dengan pelatih Guardiola, susah untuk meningkatkan kualitas permainannya, karena mereka merasa tidak ada lagi lawan yang lebih pandai yang dapat dipelajari, setidaknya sebagai bahan evaluasi.

Demikian juga dengan keadaan mental bertanding Barcelona, agak terhambat karena posisi juaranya (something to lose) jika dibandingkan dengan mental klub pesaing di belakangnya, yang ingin merebut kejuaraan (nothing to lose). Maka manakala Barcelona selalu memenangi bahkan dengan skor telak dalam duel klasik melawan Real Madrid di stadion Santiago Bernabeu, Madrid; mental Barcelona telah berubah yang cenderung arogan atau setidaknya mudah berpuas diri. Dan hukuman buat Barcelona pun tinggal menunggu waktu dan sangatlah kejam. “The Special One” Jose Mourinho, pelatih Real Madrid yang selalu berpikir keras dan cerdas, misalnya, agaknya sudah memegang semua kunci kelemahan Barcelona. Bertindak sebagai tuan rumah di laga yang semestinya bisa mempertipis jarak di klasemen La Liga Spanyol 2011-2012 menjadi tinggal satu poin saja dengan Real Madrid, Barcelona malah dipermalukan Real Madrid dengan skor 1-2.

Kelemahan Barcelona terutama terletak pada pengorganisasian lini pertahanan termasuk kelemahan penjaga gawang Victor Valdes dalam menghadapi bola-bola crossing sayap lawan; yang belum mampu meraih pencapaian penjaga gawang legendaris Barcelona, Andoni Zulbizarreta. Menghadapi lawan sekelas Chelsea yang bermain negative football dan mengandalkan serangan balik cepat; Barcelona menemukan detik naasnya. Perangkap offside yang sering diterapkan oleh Barcelona, sering berakibat fatal karena keasyikan menyerang termasuk oleh kedua back sayapnya yang memang tipikal menyerang sehingga sering terlambat kembali ke belakang. Karena tipikal kedua bek sayapnya yakni Daniel Alves di kanan dan Eric Abidal di kiri (atau secara bergantian diperankan oleh Maxwell atau Adriano tetapi sering masih labil), maka Abidal terpaksa bertransformasi menjadi bek tengah bersama Charles Puyol dan Gerrard Pique. Begitu pula Zavier Mascherano yang gelandang bertahan multi fungsi sewaktu-waktu ditarik menjadi bek tengah.

Barcelona semestinya mengevaluasi total sejak kekalahan memalukan di kandang sendiri dari Real Madrid. Mereka semestinya melupakan segera peluang di La Liga yang sudah menjadi milik Real Madrid. Mental bertanding Barcelona tak bisa pulih malah sangat menurun tajam, apalagi untuk dapat menutupnya dalam persiapan menghadapi pertandingan home melawan Chelsea di liga Champions. Chelsea yang menjadi “underdog” di pertandingan away tak memiliki beban mental sama sekali. Chelsea dengan modal keunggulan 1-0 di kandang, bermain lepas menghadapi sang juara bertahan Barcelona. Maka hanya dengan menahan Barcelona 2-2, Chelsea yang sangat diremehkan akhirnya menang agregat 3-2 dan melaju ke final melawan Bayern Muenchen, yang di pertandingan lain memenangi adu penalti melawan Real Madrid. Mental bertanding Chelsea yang sedang bagus-bagusnya bahkan akhirnya memenangi liga Champions dengan memenangi adu penalti lawan Bayern Muenchen di kandang Bayern Muenchen. Itulah buah penantian panjang sebuah investasi dan sebuah cita-cita Roman Abramovic sejak tahun 2003, yang pertama kali menghasilkan juara liga Primer Inggris pada 2005 dan kemudian piala Liga Champions 2012.


Barcelona oh Barcelona. Mudah-mudahan Teori Dialektika Hegel menjadi masukan yang sangat berharga bagi Barcelona untuk mengevaluasi diri menghadapi kompetisi ke depan dan bangkit dari kekalahan! Regenerasi adalah salah satu jawaban pasti kalau mau mengubah keadaan. Regenerasi Barcelona yang berasal dari akademi Barcelona, sangat terlambat terutama untuk pemain belakang yang hanya menghasilkan Andre Pontas pada tahun 2009 dengan prestasi biasa-biasa saja. Regenerasi lainnya di tahun yang sama untuk posisi gelandang menghasilkan Thiago Alcantara; sebelumnya pada tahun 2008 adalah Pedro Rodriguez dan Sergio Busquets. Dan regenerasi paling anyar ada pada diri penyerang Christian Tello dan Isaac Cuenca. Barcelona hendaknya juga jangan lengah menjaga pemain binaan di akademi Barcelona, seperti kasus Cesc Fabregas yang dicomot Arsenal dan Gerrard Tique oleh Manchester United.

Kamis, 05 April 2012

Hentikan Penzaliman Terhadap Masyarakat Sepakbola Indonesia!




Kubur Kepentingan Bisnis Pribadi

HENTIKAN PENZALIMAN TERHADAP MASYARAKAT SEPAKBOLA INDONESIA!

Oleh Cardiyan HIS



Revolusi sepakbola Indonesia yang semula diharapkan segera terwujud pasca tumbangnya rezim Nurdi Halid terhambat karena masih ada dua “kompetisi” sepakbola IPL dan ISL. Secara formal IPL adalah kompetisi legal versi FIFA terlebih rakyat Indonesia diuntungkan karena kran APBD untuk kepentingan klub-klub sepakbola resmi ditutup. Tetapi turnamen ISL ternyata banyak dihuni klub yang berprestasi, yang entah bagaimana terus digiring untuk tetap dipertahankan, dibiayai dan dicitrakan dengan harga mati demi kepentingan bisnis pihak tertentu. Damai, damai dan damailah!



Untung FIFA masih melihat masyarakat sepakbola Indonesia sebagai potensi pasar raksasa di Asia. Kalau tak melihat aspek ini, bagi FIFA sebenarnya enteng saja untuk menjatuhkan sanksi bagi PSSI, yang ranking FIFAnya terus melorot. Oleh karena itu FIFA masih memberikan tenggat waktu bagi PSSI untuk menyatukan dan atau mengontrol tidak adanya dualisme kompetisi di Indonesia sampai tanggal 15 Juni 2012. Tanpa mampu menyelesaikan masalah itu, PSSI dipastikan akan dikenai sanksi FIFA.


Kita sebagai bagian dari masyarakat sepakbola baik sebagai penonton, pemain, wasit, pembina, pemodal, abdi negara, atau pun pengamat/penulis/wartawan media cetak maupun elektronik dan sebagainya tentu tak menginginkan Indonesia mendapatkan sanksi FIFA. Mereka hanya menginginkan Indonesia memiliki kesebelasan nasional Indonesia yang kuat dan berprestasi bagus seperti kejayaan kesebelasan Indonesia tahun 1950an (era Ramang-Aang Witarsa cs), 1960an (era Soetjipto Soentoro-Anwar Udjang cs) dan 1970an (era Iswadi Idris-Djunaedi Abdilah cs) yang merajai peta sepakbola Asia, jauh di atas prestasi kesebelasan Jepang, Korea Selatan dan jazirah Arab. Tak mengherankan bila kesebelasan Indonesia disebut sebagai “Brazil Asia” seperti sering diucapkan oleh para dedengkot FIFA dari berbagai era baik jauh sebelum era Joao Havelange yang sangat panjang itu sampai era Sepp Blatter sekarang ini.


Dualisme Kompetisi

Kesebelasan Indonesia yang kuat tidak mungkin terbentuk dari kompetisi sepakbola yang amburadul. Oleh karena itu akar pemecahan kisruh sepakbola Indonesia harus datang dari konsep pemikiran yang jernih, jujur, adil, penuh idealisme dan tak memiliki kepentingan apa pun selain ingin mewujudkan kompetisi sepakbola Indonesia yang kredibel dan berkualitas tinggi. Jadi bila kita menemukan dimana akar pemecahan masalah sebenarnya dan sejujurnya; maka akan membawa kepada kita bagaimana tindakan yang tepat, pas dan akurat harus dilakukan.


Sebelum rezim Nurdin Halid tumbang, konglomerat pemilik Medco Group, Arifin Panigoro dan keluarga, menurut sumber yang layak dipercaya sudah berinvestasi sedikitnya USD 35 juta untuk membuat “breakaway league” bernama Indonesian Premier League (IPL). Sementara Indonesian Super League (ISL) sudah dan sedang berkibar di rezim Nurdin Halid, tetapi dengan sangat menggantungkan diri masalah pembiyaan kompetisi ISL dan operasional PSSI ke Bakrie Group (Aburizal Bakrie dan keluarga) disamping menggantungkan kepada APBD untuk membiayai klub peserta ISL yang jelas-jelas sangat menggerogoti dan merugikan keuangan negara.


Nah ketika rezim Nurdin Halid tumbang, PSSI rupanya terlalu semangat berevolusi. Padahal membangun Roma tidak mungkin dalam satu hari, kata sebuah adagium. Semua produk rezim Nurdin Halid digusur meskipun sebenarnya ada juga yang tersisa sedikit yang cukup baik yang hanya memerlukan sedikit modifikasi saja untuk terus dilanjutkan. Kompetisi ISL (tanpa membubarkannya) misalnya sebenarnya bisa digabungkan dengan kompetisi IPL dengan mengubah menjadi nama baru sama sekali. PSSI misalnya bisa saja mengintegrasikan semua kepemilikan saham para stake holder kedua kubu besar ke dalam satu perusahaan baru, sehingga kapitalisasinya pun menjadi sangat besar. Disini rupanya yang sulit dilakukan karena masing-masing “God Father” dari Medco Group dan Bakrie Group dari awal sudah sulit untuk dirujukkan karena membawa “cacat bawaan konflik” kasus lumpur Lapindo pada PT. Lapindo Brantas pada kedua grup perusahaan tersebut.


Yang juga dibatalkan oleh PSSI adalah masalah perjanjian hak siar eksklusif kompetisi Djarum ISL yang sebelumnya dipegang oleh ANTEVE milik Bakrie Group melalui anak perusahaan PT. Cakrawala Andalan Televisi, yang menjadi kontributor terbesar PT. Visi Media Asia Tbk (VIVA, induk PT. Cakrawala Andalan Televisi, yang tentunya masih masuk Bakrie Group). Pembatalan hak siar eksklusif Djarum ISL kepada ANTEVE oleh PSSI, bila dicermati lebih mendalam ternyata bisa berakibat hukum jauh bagi ANTEVE. Karena VIVA dalam IPO (Initial Public Offering) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menjanjikan perolehan terbesar pendapatannya berasal dari ANTEVE yang memegang hak siar eksklusif kompetisi Djarum ISL selama 10 (sepuluh) tahun. Dengan fakta ini ribuan pemegang saham VIVA bisa menuntut ke pihak VIVA atas fakta sangat akurat ini karena bisa dianggap sebagai suatu kebohongan publik dengan menyatakan sesuatu yang bukan miliknya. Setidaknya otoritas Bursa Efek Jakarta (BEJ) bisa men-suspend saham VIVA bahkan lebih jauh menutup keberadaanVIVA di BEJ.


Nah melihat situasi inilah, mudah dibaui dan ditengarai bila pihak VIVA berusaha mati-matian untuk mempertahankan ISL sebagai kompetisi yang legal dan bahkan lebih jauh berharap banyak FIFA mengakui “PSSI Tandingan” yang diprakarsai oleh KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) dan tidak mengakui PSSI kepengurusan Djohar Arifin dan kawan-kawan. Sebab dengan demikian legitimasi ISL sebagai kompetisi yang diakui FIFA otomatis akan menyelamatkan VIVA dari banyak gugatan publik dan terhindarkan dari kerugian bisnis yang lebih besar. Mudah-mudahan motif dan gerakan seperti itu tidak benar dan ini harus dibuktikan dengan tindakan nyata dari kubu ISL untuk melakukan rekonsialisasi sebagai solusi terbaik.


Sementara PSSI begitu kepengurusannya terbentuk, yang merasa punya wewenang sebagai satu-satunya organisasi sepakbola yang diakui FIFA, dengan serta merta hanya mengakui kompetisi legal adalah kompetisi IPL, memberikan hak siar eksklusif IPL kepada MNC Group melalui statsiun televisi RCTI dan Global TV.
Dengan melihat pemetaan permasalahan yang terang benderang tadi, masyarakat sepakbola Indonesia sangat berhak memaksa para kepentingan bisnis sesaat untuk menghentikan segera segala permainan mereka yang lebih mengedepankan kepentingan bisnis mereka sendiri yang selama ini sangat merugikan sepakbola Indonesia. Damai, damailah. Semua bisa duduk satu meja dengan mengabaikan ego masing-masing untuk mencari solusi terbaik agar kita lolos dari tenggat waktu yang telah ditetapkan oleh FIFA tanggal 15 Juni 2012.


Kita hargai berbagai upaya rekonsialisasi oleh PSSI untuk mengundang klub-klub anggota ISL sampai tiga kali sampai 5 April 2012. Namun dari 18 klub anggota ISL hanya klub terbesar Persib Bandung yang datang memenuhi undangan. Kita masih berharap agar upaya rekonsialisasi ini tetap dilakukan oleh PSSI dengan penuh kesabaran sampai sebelum deadline FIFA datang. Karena kalau pun FIFA tak memberikan sanksi kepada Indonesia karena misalnya hanya mengakui PSSI kepengurusan Djohar Arifin, tetap saja terutama para pemain dan pendukung klub ISL akan sangat dirugikan. Mengapa? Karena klub-klub kesayangan mereka akan langsung didegradasi ke Divisi Utama oleh PSSI meneruskan keputusan FIFA. Bahkan bukan tidak mungkin banyak klub ISL gulung tikar.


Sayang bukan. Padahal sebagai Bangsa Indonesia kita masih memiliki ruang untuk menyelesaikan masalah. Karena berbagai suku bangsa Indonesia memiliki begitu banyak kearifan lokal seperti kearifan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah. Maka sebenarnya, semua hal bisa diselesaikan secara musyawarah, secara damai, dari hati ke hati yang dalam, yang tulus dengan mengubur segala kedengkian dan kebencian. Terlebih mereka; kedua bos besar yang terlibat adalah berasal dari almamater yang sama Institut Teknologi Bandung (ITB), bahkan pada program studi yang sama pula yakni Teknik Elektro ITB. Sebagai penggila bola yang alumnus ITB juga, saya menghimbau kedua senior saya ini untuk menguatkan tekad yang kuat pada masing-masing pihak untuk sama-sama menyelamatkan sepakbola Indonesia ketimbang ambisi pribadi.

Jumat, 06 Januari 2012

Supaya “Pintar” Anjing pun Rajin ke Sekolah



Oleh Cardiyan HIS


“Takut Masuk Neraka Orang Hutan pun Terpaksa Berpuasa dan Kelelawar Menjerit-jerit Kesakitan”. Itu judul artikel “Ole-ole Kalimantan” dari penulis 2 tahun lalu. Ole-ole Kalimantan kali ini soal nasib binatang juga. Tapi yang ini soal Anjing bernama Blacky, yang rajin pergi ke sekolah, ke ruang kelas 3, Sekolah Dasar Negeri 8 Tewah, kecamatan Tewah, kabupaten Gunung Mas, provinsi Kalimantan Tengah. Apakah si Blacky ingin belajar Matematika agar “pintar” seperti kepintaran si Blacky berburu Kijang dan Babi Hutan? Entahlah.

Pada mulanya si Blacky sebagai bukti kesetiaan terhadap bos tersayang, ingin mengantar bosnya, Yudisia, yang masih siswa kelas 2 ke sekolah. Waktu masih kelas 1 Yudisia masih diantar ibunya dan Si Blacky juga masih kecil “belum percaya diri” untuk antar bosnya. Dan setelah merasa “besar dan PD” si Blacky berinisiatip mengantar bosnya, setelah mandi pagi disabunin bosnya dan sarapan pagi.
Tetapi ternyata si Blacky keblablasan ingin sekaligus masuk ke ruang kelas 2. Meskipun dipaksa-paksa diusir dari ruang kelas, si Blacky tetap bersikukuh ingin masuk kelas; ingin ikut “belajar” bersama-sama bosnya; Yudisia, murid kelas 2 di sekolah itu. Meski sudah dirayu oleh bos Yudisia agar menunggu di luar kelas saja, Si Blacky terus memaksa masuk dengan perangai “bersahabat”. Dan hebatnya setelah gagal diusir, si Blacky malah langsung minta tempat “meja belajar” di atas meja baris belakang; persis di belakang bos, Yudisia.

Sang ibu guru Ny. Suryaningsih SPd, (isteri Dodi Jamal, manajer perusahaan batubara SWI Group) pada mulanya ketakutan juga dan merasa tak pantas anjing ikut-ikutan belajar bersama murid-muridnya. Namun akhirnya bu guru “mengalah” setelah Yudisia muridnya “menjamin” si Blacky tak akan mengganggu suasana belajar siswa. Dan memang betul, selama bu guru mengajar dengan “disiplin” si Blacky mendengarkan segala penjelasan. Entah mengerti atau tidak penjelasan bu guru, yang jelas si Blacky tak bikin gaduh dengan menggonggong layaknya seekor anjing, misalnya. Ini malah berbeda dengan para siswa yang kadang bikin gaduh kalau pelajaran sudah dirasakan “bete”.

Dan manakala bel berbunyi tanda istirahat, si Blacky pun meloncat dari “meja belajar” dan berjalan mengikuti bos Yudisia dan siswa-siswa lainnya untuk makan-minum siang. Kadangkala kalau istirahat panjang, para siswa main sepakbola. Si Blacky pun ikut-ikutan main sepakbola; ke mana Yudisia lari mengejar bola si Blacky selalu mengikuti di belakangnya. Sekali Yudisia bertindak menjadi penjaga gawang, si Blacky pun ikut menjadi “penjaga gawang kedua” dengan berdiri gagah di belakang Yudisia.

Setelah bel berbunyi tanda siswa harus masuk kelas kembali, si Blacky dengan “disiplin” selalu masuk menguntit bos Yudisia. Dan setelah bosnya duduk, si Blacky langsung meloncat ke “meja belajar”. Suasana belajar pun berlangsung dengan tenang dengan si Blacky tetap setia duduk di “meja belajar”. Begitulah suasana di salah satu ruang kelas SDN 8 Tewah dengan kehadiran seekor anjing “pintar” Blacky yang telah “naik kelas” ke kelas 3, berlangsung dengan tenang hampir dua tahun lamanya.


www.cardiyanhis.blogspot.com
http: //id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6