Minggu, 31 Januari 2010

Monumen Flamboyan Bung Karno di Palangkaraya pun Masih Hutan Produksi

Monumen Flamboyan Bung Karno di Palangkaraya pun Masih Hutan Produksi


Oleh Cardiyan HIS

Ada saja “ole-ole” lucu kalau berkunjung ke Kalimantan Tengah. Kalau bulan Puasa Ramadhan lalu saya dapat ole-ole “Menghindari Neraka Orang Hutan pun Ikut Puasa” dan “Kelelawar Menjerit-jerit Kesakitan karena Dipukulin oleh sang Penjual hanya agar Memperoleh Rp. 13 Ribu”. Maka ole-ole kali ini adalah tak kurang lucunya bahkan sekaligus ironis. Inilah ceriteranya.

Monumen Flamboyan diresmikan dan prasastinya ditandatangani oleh Bung Karno tahun 1957. Peresmian ini menandai awal Bung Karno mendeklarasi terbentuknya provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangkaraya sekaligus mengangkat Gubernur pertama; Tjilik Riwut. Alumnus ITB pertama ini juga memberi sinyal betapa Palangkaraya dari berbagai aspek sangat-sangat pantas menjadi ibukota Republik Indonesia menggantikan Jakarta. Melihat kota Palangkaraya sekarang adalah mirip Kebayoran Baru, Jakarta akhir tahun 1960an. Kotanya sangat asri dan tertata baik. Jalannya lebar-lebar, trotoar bagi pejalan kali lebar-lebar pula. Drainasenya tak pernah mampat, sehingga Palangkaraya tak pernah banjir karena ulah penduduknya tak pernah buang sampah sembarangan.

Nah yang lucu di balik kehebatan Palangkaraya sebagai kota sangat asri ini adalah Monumen Flamboyan ternyata masih masuk HUTAN PRODUKSI !!! Padahal monumen yang terletak di jalan Ahmad Yani, di dekat jembatan sungai Kahayan ini persis di depan kantor DPRD Kalimantan Tengah.

Mengapa hal itu bisa terjadi di kota Palangkaraya yang sangat asri dan menurut penilaian banyak orang Indonesia dan asing adalah salah satu ibukota provinsi terasri dan “bebas gempa bumi” di Indonesia?

Ternyata dari hasil “investigasi” kunjungan kerja saya ke Kalimantan Tengah kemarin ditemukan fakta betapa Pemda Kalimantan Tengah tak mampu juga mewujudkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)! Ini satu-satunya provinsi di Indonesia yang belum memiliki RTRWP! Gorontalo sebagai kelompok provinsi termuda saja telah memiliki RTRWP yang telah disahkan oleh DPR beberapa bulan lalu.

Konsekuensi inilah yang menjadi kendala utama akselerasi pembangunan provinsi Kalimantan Tengah terhambat. Yang sederhana semua permohonan legalitas kepemilikan tanah masyarakat agar mendapatkan sertifikat tanah tak berani dilakukan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat karena takut masuk penjara. Untuk skala ekonomi lebih luas dan lebih besar, investor tambang batubara terhenti pada satu tahap proses saja soal “Pinjam Pakai Hutan” padahal kegiatan eksplorasi lengkap telah dilakukan sehingga tahap produksi tertunda terus. Begitu pula sektor agro industri khususnya sawit, semua bibit sawit telah tumbuh di kamp pembibitan tanpa pernah ditanam di areal yang telah mendapat ijin lokasinya! Dan investor pun puyeng tujuh keliling.

Tak aneh bila dalam pembacaan laporan pertanggungjawaban pendapatan daerah sektor pertambangan di kabupaten Katingan misalnya, Kadistamben sempat stress karena “diolok-olok” anggota DPRD Katingan: “Yang benar saja, apakah pantas sektor pertambangan yang keren cuma mampu setor Rp 5 juta setahun ke kas Pemda?”. Kadistamben Katingan hanya berkilah kalau hanya galian C saja yang diijinkan nambang ya itu saja yang halal yang bisa disetorkan.

Kamis, 21 Januari 2010

ITB Berubah: Menghargai Entrepreneur Arifin Panigoro dengan Doktor HC

ITB Berubah: Menghargai Entrepreneur Arifin Panigoro dengan Doktor HC

Oleh Cardiyan HIS


ITB berubah. ITB yang sangat pelit dalam memberikan gelar doktor kehormatan (DR. HC) karena kriterianya sangat ketat dan baru memberikan DR. (HC) kepada 6 (enam) orang saja. Salah satu yang mendapat penghargaan pelit ITB ini adalah Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI sekaligus alumnus ITB angkatan pertama (1920). ITB akan mengubah sejarahnya dengan memberikan DR.(HC) kepada seorang entrepreneur papan atas Indonesia; Ir. Arifin Panigoro. Rencananya Arifin Panigoro, pendiri dan pemilik utama Medco Group akan diganjar DR.(HC) bidang Technopreneur pada Sidang Terbuka ITB, di Aula Barat ITB, Sabtu, 23 Januari 2010.

Penghargaan ITB untuk Arifin Panigoro, seorang Entrepreneur atau lebih spesifik lagi Technopreneur papan atas Indonesia patut disambut baik. Terlebih sebelumnya ITB telah mengundang kontroversi atas rencana pemberian DR. (HC) kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI sekarang, yang berujung dengan “pembatalan” karena SBY sendiri meminta untuk “menunda”-nya karena alasan politis yang bakal merugikan citranya dan citra ITB pula.

Keputusan ITB kali ini sangat tepat karena Arifin Panigoro adalah salah satu alumnus ITB (Teknik Elektro) yang sangat menonjol dalam proses pencapaian kewirausahaannya, sehingga meraih derajat “world class genuine entrepreneur especially in energy industry”. Kakang Pipin (begitu nama akrab dan egaliter yang dipanggil teman-temannya) memulai kewirausahaannya dari perusahaan kecil yang didirikannya sejak lulus dari ITB awal tahun 1970an. Kecerdasannya dalam mengendus peluang dan (terutama) keberaniannya dalam mengambil risiko telah membawanya meniti tangga demi tangga menjadi seorang Wirausaha Sejati kelas dunia.

ITB sebenarnya sangat terlambat dalam memberikan apresiasi DR.(HC) bagi kalangan Wirausaha Sejati. UGM telah lebih dulu memberikan DR.(HC) kepada salah seorang alumnus terkemukanya, Jakob Oetama, Founder and Chairman Kompas Gramedia Group dan bahkan kepada Ir. Ciputra, yang nota bene adalah alumnus Departemen Arsitektur ITB!. Tetapi seperti pepatah masih lebih baik terlambat dari pada tidak berbuat sama sekali, bolehlah kita menghargai keputusan ITB ini.

Dan yang lebih penting keputusan ITB ini tidak berhenti hanya kepada memberikan DR. (HC) kepada seorang Wirausaha Sejati, Arifin Panigoro, tetapi bertindak nyata dalam mengukuhkan kerjasama yang lebih intens dengan kalangan dunia usaha. ITB harus aktif jemput bola, mendatangi industri agar mau memanfaatkan invensi dan inovasi kampus ITB dalam upaya meningkatkan skala usahanya. Banyak kolega penulis yang “curhat” kepada penulis bahwa ITB terlalu sombong untuk mau “door to door” mendatangi perusahaan-perusahaan yang sebenarnya merupakan “potential clients”.

Kita sangat berharap, pemberian DR.(HC) oleh ITB kepada yang berhak dengan latar belakang Technopreneur sekelas Arifin Panigoro akan memberikan inspirasi kepada para alumni ITB, baik yang baru memulai maupun yang tengah didera banyak masalah dalam proses kewirausahaannya untuk tetap tidak menyerah dalam mengarungi samudra ganas dunia usaha. Perjuangan Anda seperti halnya Wirausaha Sejati Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Ciputra, TP Rachmat, Beny Subianto, Iman Taufik, Achmad Kalla dan masih banyak lagi, suatu ketika akan terbukti dapat memberikan solusi terhadap permasalahan bangsa Indonesia dalam membuka kesempatan kerja yang sangat luas.

Dan last but not least, ITB harus pula mengubah mindset dalam cara pandang menangani mahasiswa ITB secara keseluruhan terlebih lagi kepada para mahasiswa yang memiliki minat tinggi kepada dunia kewirausahaan. ITB hendaknya memandang mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan untuk suatu “human investment” berjangka panjang dan bukan menganggap menangani mahasiswa adalah suatu “cost centre” yang buang uang dan buang waktu. Maka ITB hendaknya memberikan lebih banyak lagi proses latihan kepada para mahasiswanya yang merupakan bibit unggul terbaik di kawasan Asia Pasifik dalam hal Selektifitas Mahasiswa. Cetak lebih banyak lagi “Business Incubator” pada unit-unit kegiatan mahasiswa. Dari sinilah awalnya sebenarnya puluhan tahun kemudian akan dijumpai banyak alumni ITB yang berkelas Arifin Panigoro bahkan akan melampaui skala ekonominya juga proses pencapaiannya yang bermartabat.

ITB akan dicap gagal total kalau tak mampu menaikkan nilai tambah kepada para mahasiswanya yang talentanya sangat hebat (high achiever) kalau hanya berkutat pintar mengawasi bahkan memata-matai kegiatan mahasiswa ITB dan hanya pintar memberikan sanksi akademis. ITB memang harus berubah menjadi lebih sabar dan lebih kreatif menuju “ITB Technopreneur University” berkelas dunia.