Monumen Flamboyan Bung Karno di Palangkaraya pun Masih Hutan Produksi
Oleh Cardiyan HIS
Ada saja “ole-ole” lucu kalau berkunjung ke Kalimantan Tengah. Kalau bulan Puasa Ramadhan lalu saya dapat ole-ole “Menghindari Neraka Orang Hutan pun Ikut Puasa” dan “Kelelawar Menjerit-jerit Kesakitan karena Dipukulin oleh sang Penjual hanya agar Memperoleh Rp. 13 Ribu”. Maka ole-ole kali ini adalah tak kurang lucunya bahkan sekaligus ironis. Inilah ceriteranya.
Monumen Flamboyan diresmikan dan prasastinya ditandatangani oleh Bung Karno tahun 1957. Peresmian ini menandai awal Bung Karno mendeklarasi terbentuknya provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangkaraya sekaligus mengangkat Gubernur pertama; Tjilik Riwut. Alumnus ITB pertama ini juga memberi sinyal betapa Palangkaraya dari berbagai aspek sangat-sangat pantas menjadi ibukota Republik Indonesia menggantikan Jakarta. Melihat kota Palangkaraya sekarang adalah mirip Kebayoran Baru, Jakarta akhir tahun 1960an. Kotanya sangat asri dan tertata baik. Jalannya lebar-lebar, trotoar bagi pejalan kali lebar-lebar pula. Drainasenya tak pernah mampat, sehingga Palangkaraya tak pernah banjir karena ulah penduduknya tak pernah buang sampah sembarangan.
Nah yang lucu di balik kehebatan Palangkaraya sebagai kota sangat asri ini adalah Monumen Flamboyan ternyata masih masuk HUTAN PRODUKSI !!! Padahal monumen yang terletak di jalan Ahmad Yani, di dekat jembatan sungai Kahayan ini persis di depan kantor DPRD Kalimantan Tengah.
Mengapa hal itu bisa terjadi di kota Palangkaraya yang sangat asri dan menurut penilaian banyak orang Indonesia dan asing adalah salah satu ibukota provinsi terasri dan “bebas gempa bumi” di Indonesia?
Ternyata dari hasil “investigasi” kunjungan kerja saya ke Kalimantan Tengah kemarin ditemukan fakta betapa Pemda Kalimantan Tengah tak mampu juga mewujudkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)! Ini satu-satunya provinsi di Indonesia yang belum memiliki RTRWP! Gorontalo sebagai kelompok provinsi termuda saja telah memiliki RTRWP yang telah disahkan oleh DPR beberapa bulan lalu.
Konsekuensi inilah yang menjadi kendala utama akselerasi pembangunan provinsi Kalimantan Tengah terhambat. Yang sederhana semua permohonan legalitas kepemilikan tanah masyarakat agar mendapatkan sertifikat tanah tak berani dilakukan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat karena takut masuk penjara. Untuk skala ekonomi lebih luas dan lebih besar, investor tambang batubara terhenti pada satu tahap proses saja soal “Pinjam Pakai Hutan” padahal kegiatan eksplorasi lengkap telah dilakukan sehingga tahap produksi tertunda terus. Begitu pula sektor agro industri khususnya sawit, semua bibit sawit telah tumbuh di kamp pembibitan tanpa pernah ditanam di areal yang telah mendapat ijin lokasinya! Dan investor pun puyeng tujuh keliling.
Tak aneh bila dalam pembacaan laporan pertanggungjawaban pendapatan daerah sektor pertambangan di kabupaten Katingan misalnya, Kadistamben sempat stress karena “diolok-olok” anggota DPRD Katingan: “Yang benar saja, apakah pantas sektor pertambangan yang keren cuma mampu setor Rp 5 juta setahun ke kas Pemda?”. Kadistamben Katingan hanya berkilah kalau hanya galian C saja yang diijinkan nambang ya itu saja yang halal yang bisa disetorkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar