Kamis, 30 Juli 2009

ITB dan UGM Tetap Nomor 1 di SNMPTN 2009

Oleh Cardiyan HIS


ITB dan UGM tetap memegang rekor pencapaian Nilai Rata-rata Tertinggi untuk kelompok IPA dan IPS pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009. ITB bahkan rekornya untuk kelompok IPA belum pernah tumbang sejak tahun 1989 ketika masih bernama UMPTN.


Jumlah peserta SNMPTN 2009 yang diikuti 57 PTN, naik 9,04% dibanding tahun lalu yakni 422.534 orang. “Dari jumlah tersebut, peserta yang mengembalikan formulir 412.534 orang dan peserta yang mengikuti ujian sebanyak 359.751 orang,” kata Ketua Umum Panitia SNMPTN 2009, Haris Supratno, kepada para wartawan.
Meski hasil SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) 2009 akan diumumkan serentak pada 1 Agustus 2009 jam 00.00. Namun Nilai Rata-rata Tertinggi calon mahasiswa yang diterima di kelompok IPA dan IPS telah diumumkan oleh Ketua Umum Panitia Ketua Umum Panitia SNMPTN 2009.


Inilah hasil Nilai Rata-rata Tertinggi 5 Besar PTN sbb:

Kelompok IPA

1. ITB, Bandung (92,54)
2. UGM, Yogyakarta (88,88)
3. UI, Depok (87,11)
4. ITS, Surabaya (83,55)
5. Unair, Surabaya ( 83,89)

Kelompok IPS

1. UGM, Yogyakarta (88,42)
2. UI, Depok (85,97)
3. Unair, Surabaya (83,89)
4. UNS, Solo (79,89)
5. Unbraw, Malang (78,35)


Bagi ITB ini merupakan rekor yang belum terpecahkan oleh PTN manapun untuk pencapaian nilai Kelompok IPA sejak tahun 1989 ketika masih bernama Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) kemudian berganti-ganti nama -----antara lain terakhir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sejak 2002, sebelum berganti nama SNMPTN sejak tahun 2008 hingga SNMPTN 2009 sekarang ini. Sedangkan bagi UGM, ini pencapaian tiga tahun berturut-turut Nilai Rata-rata Tertinggi untuk kelompok IPS. Biasanya UGM saling bergantian bersaing dengan UI untuk menjadi nomor 1 di kelompok IPS ini.

Selamat datang calon mahasiswa baru di kampus yang kamu cita-citakan. Selamat bergabung di “Klub Kampus yang dicita-citakan”. Tapi ingat-ingat pesan Mama; “Kalau sudah pintar, jangan sekali-kali terpikir menjadi JOKI di SNMPTN 2010 mendatang, yaahh!”.

Selamat Datang Nilai AB, BC Dosen ITB

Oleh Cardiyan HIS



Apakah Dosen ITB yang Bijak ataukah Dosen ITB yang Kejam akan coba disiasati ITB dengan sistem penilaian ini. Satu-satunya siasat mahasiswa adalah belajar lebih keras lagi. Maklum standar nilai masih ditetapkan oleh dosen ITB sendiri secara personal.



Ada yang sangat menarik dari acara “Penyegaran Dosen ITB 2008” pada 29 Agustus 2008. Apa yang disampaikan oleh Prof. Ir. Adang Surahman, Ph.D, Wakil Rektor Senior Bidang Akademik ITB pada acara tersebut adalah pengakuan fakta yang sangat ironis seperti yang ramai diungkapkan pada mailist IA ITB baru-baru ini dengan tajuk “ITB yang Bijak ataukah ITB yang Kejam”.


Statistik Seleksi Masuk Mahasiswa Baru secara Nasional sejak 1977 sampai 2008, selalu menempatkan ITB sebagai PTN di Indonesia dengan standar Nilai Masuk (passing grade) paling tinggi; Nilai Rataan tertinggi dan Nilai Maksimal tertinggi (bahkan bila ditelusuri lagi mahasiswa baru ITB adalah pemilik Nilai Rataan tertinggi Nilai Ebtanas Murni/NEM Sekolah Menengah Umum; nilai maksimal NEM SMU). Mahasiswa baru yang diterima di ITB adalah 80% berada pada ranking 1-2500 dan 20% berada pada ranking 2501-12.500, dari rata-rata 250.000 peserta seleksi masuk mahasiswa secara nasional bidang IPA.


Pokoknya mahasiswa yang masuk ITB itu hebring-lah. Namun pada kenyataannya (antara lain pengalaman dan pengamatan Betti Alisyahbana ketika masih menjadi Presiden IBM Indonesia), di dunia kerja, seringkali lulusan ITB bahkan tidak masuk hitungan dalam seleksi administratif karena tersandung permasalahan Indeks Prestasi (IP) yang kecil, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri atau swasta lainnya. Jadi hanya sedikit saja pelamar alumni ITB yang masuk short list para recruiter. Hal ini tentu sangat merugikan lulusan ITB khususnya yang mau meniti karier di dunia PNS atau juga pegawai swasta nasional.


Prof. Adang Surahman sendiri mengakui berdasar berbagai kuesioner dan penelitian yang dilakukan Wakil Rektor Bidang Akademis ITB sangatlah sulit untuk mendapatkan nilai A pada sebuah dan apalagi pada banyak matakuliah di ITB. (Saya secara acak sudah “mensurvey” pada Program Studi di ITB bahwa untuk mendapatkan Nilai Huruf A itu mahasiswa harus mendapatkan Nilai Angka ujiannya 95-100). Wakil Rektor Senior Bidang Akademik mendapatkan sebuah fakta bahwa kebanyakan nilai mahasiswa ITB kurang ditentukan oleh kualitas dosen atau proses pembelajaran mahasiswa, tetapi oleh standar yang ditetapkan oleh dosen sendiri yang sangat personal. Disinilah terkuak betapa ITB sendiri tak berdaya atas “kekuasaan” masing-masing dosen ITB. Karena itu sudah menyangkut otoritas dosen ITB masing-masing, maka Rektor ITB sekalipun sebagai “bos” dosen-dosen seluruh ITB, tak bisa “intervensi” agar dosen-dosen mengubah kebijakan penilaian terhadap berkas para mahasiswanya menjadi “lebih bijaksana”.


Maka berdasarkan “keukeuhnya” (ngotot) para personal dosen ITB yang hendaknya tetap dihargai, mulai kurikulum baru 2008 ini, pihak ITB “mensiasatinya” dengan menerapkan sebuah sistem penilaian yang baru. Yaitu selain ada nilai A (4), B (3), C (2), D (1), dan E (0, tak lulus), akan ada nilai AB, dan BC. Dengan adanya nilai antara tersebut, diharapkan dosen dapat “lebih bijak” dalam memberikan penilaian. Sehingga menurut Prof. Adang, nilai-nilai mahasiswa yang "menyerempet", dalam hal ini contohnya "B gemuk", dapat dikelompokkan menjadi AB. Bagaimana dengan perhitungan IP? Tidak ada masalah signifikan, mengingat nilai AB adalah setara dengan 3.5, dan BC setara 2.5. Sistem penilaian baru ini akan mulai diterapkan di semester ini, dan berlaku bagi seluruh mahasiswa seluruh angkatan di ITB.


Nah, karena akan mulai diterapkan segera di semester ini, maka mahasiswa ITB hendaknya menyambutnya dengan sedikit gembira. Jahkan dari prasangka dosen ITB itu “kejam” bin ”killer” dsb. Belajar itu harus penuh dengan kegembiraan. Bangga diterima di ITB itu harus diimbangi dengan belajar lebih keras tetapi dalam suasana gembira, jauh dari suasana yang terbebani.


Oleh karena itu, para mahasiswa ITB juga hendaknya juga aktif bersosialisasi dalam kehidupan kampus sebagai proses latihan meraih softskill. Karena disinilah kelemahan umumnya mahasiswa ITB. Nilai IP tinggi itu bagus untuk diraih tetapi belum cukup bila tak memiliki tambahan softskill. Dan itu telah dibuktikan oleh softskill kakak-kakak alumni ITB yang sukses dalam kariernya, baik sebagai “tukang insinyur”, ilmuwan kelas dunia, wirausaha sukses maupun alumni yang telah menjadi Presiden RI dan Perdana Menteri RI (kalau Menteri-menteri alumni ITB sejak republik ini berdiri sudah nggak kehitung lagi sampai lupa namanya kecuali 5 menteri-alumni ITB angkatan saya, angkatan 1973 he he he ....!)


Sebaliknya, kepada para dosen ITB yang telah “disegarkan” oleh Wakil Rektor Senior ITB Prof. Ir. Adang Surahman, PhD -----Seangkatan dengan saya, tetapi saya di Departemen Teknik Geodesi. Di Departemen Sipil ITB, Kang Adang ini nomor pokok mahasiswanya 8173002 artinya ranking dua dari 120 mahasiswa Sipil ITB 1973. Waktu itu belum ada jurusan Informatika, yang paling top ya Sipil disusul Elektro !!!------ kita berharap otoritas yang dimiliki tidak “disalahgunakan” sebagai “kekuasaan mutlak”.


Dosen-dosen ITB juga harus mengevaluasi diri dalam proses belajar mengajarnya. Apakah cara penyampaian kuliahnya sudah komunikatif sehingga mudah diserap oleh mahasiswanya atau sebaliknya hanya pinter untuk diri sendiri. Apakah dosen-dosen senior ITB telah konsisten mengajar secara langsung dan tidak mewakilkan kepada para asistennya? Apakah ITB juga telah menyediakan sarana dan prasarana bagi 1.025 dosen (800 di antaranya bergelar doktor), misalnya dengan ruangan dosen yang memadai lengkap dengan koleksi buku-buku mutakhir. Karena penulis menemukan banyak fakta kalau profesor doktor ITB yang berkelas dunia pun ruangannya sangat sempit. Lalu bagaimana dengan ratusan doktor-doktor muda ITB pasti ruangannya akan lebih sempit lagi atau jangan-jangan ada yang tak memiliki meja kerja ....?


Selamat ujian bagi para mahasiswa ITB dan selamat menilai bagi para dosen ITB yang bijak. And last but not least kepada para alumni (apalagi yang punya anak, mahasiswa ITB he he he ...!) seperti biasa, selamat mengkritisi jalannya penilaian oleh para dosen ITB.

Kesebelasan Indonesia vs Argentina di Piala Dunia

Oleh Cardiyan HIS



Manchester United batal dijajal Indonesia All Stars di Stadion Utama Bung Karno, Senayan, Jakarta, gara-gara bom teroris. Biar tak terlalu kecewa berikut ditampilkan pertandingan nostalgia kesebelasan nasional Indonesia melawan Argentina yang dikapteni Diego Armando MARADONA di Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo, Jepang.



PSSI dapat durian runtuh. Arab Saudi sebagai juara Piala Asia Yunior 1978 mengundurkan diri karena alasan tidak siap. Maka otomatis PSSI yang semifinalis Piala Asia Yunior 1978 terkatrol bersama tuan rumah Jepang dan Korea Selatan mewakili Asia ke Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo, Jepang. Ali Sadikin sebagai Ketua Umum PSSI langsung menunjuk Soetjipto Soentoro yang baru saja pulang setelah dikirim PSSI ke Jerman Barat (ketika itu) mengikuti kursus pelatih yang diselenggarakan oleh FIFA dan kemudian terpilih sebagai pelatih terbaik dan berhak memiliki sertifikat kelas A.


Soetjipto "Gareng" Soentoro (almarhum) yang mendapat kepercayaan, langsung memilih pemain. Pemain yang dipanggil Soetjipto adalah pemain pilihan yang masih muda penuh talenta yakni Endang Tirtana, Sudarno, Eddy Harto (Penjaga Gawang), Nasir Salassa, Mustafa Umarella, Nus Lengkoan, Subangkit, Didik Dharmadi, Tonggo Tambunan (kakaknya Patar Tambunan), Ristomoyo, Aun Harhara (adik pemain timnas senior Sutan Harhara), Catur Sudarmanto (Belakang), Arief Hidayat (kapten, adik pemain timnas senior Sofyan Hadi), Berti Tutuarima, Mundari Karya, Herry Kiswanto, Zulkarnaen Lubis, Rully Nere (Gelandang), Bambang Nurdiansyah, Wahyu Tanoto, Bambang Sunarto, Dede Sulaeman (Penyerang).


Timnas ini melakukan rangkaian banyak ujicoba dari mulai Aceh, Medan, Bandung, Surabaya, Makassar sampai ke Jayapura. Bahkan sampai kota-kota kabupaten di Jawa Barat seperti Tasikmalaya dan Ciamis pun dijadikan ajang ujicoba. Sebagian besar ujicoba dimenangi oleh tim asuhan Soetjipto ini. Sayang tak ada ujicoba ke luar negeri atau melawan tim luar negeri yang didatangkan ke Jakarta. Sehingga PSSI tak bisa mengukur kekuatan sebenarnya bila dibanding kemajuan kesebelasan sepakbola negara lain.

Soal banyak ujicoba sampai ke kota-kota kecil: "Agar menggugah anak-anak muda untuk menjadi pemain nasional kelak," ungkap Soetjipto kepada penulis dalam buku biografinya (Cardiyan HIS, "Si Gareng Menggoreng Bola", Penerbit Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta 1988). Gareng adalah julukan Soetjipto Suntoro, Kapten Timnas Indonesia tahun1966-1970 yang sangat hebat performanya. Sehingga ia dipercaya pula sebagai kapten tim Asian All Stars tahun 1967-1970. *)


Indonesia masuk di grup maut bersama Argentina, Yugoslavia dan Polandia. Karena kurang pengalaman dan tak memiliki kompetisi yang teratur dan ketat, Indonesia menjadi bulan-bulanan lawan. Penyerang Bambang Nurdiansyah praktis tak bisa mendekati gawang Argentina. Sementara lapangan tengah Indonesia yang dikoordinasikan oleh Arief Hidayat, kalah kelas dengan Diego Maradona. Maka pertunjukan lebih banyak berada di pertahanan Indonesia. Kalau saja penjaga gawang Endang Tirtana tidak bermain cemerlang dengan melakukan banyak safety gemilang, Argentina yang dikapteni Diego Armando MARADONA dipastikan akan memukul telak Indonesia lebih dari 6-0. Setelah wasit meniup peluit panjang, pemain-pemain Indonesia segera berebut berfoto bersama Maradona yang dengan senang hati melayaninya. Sementara pada pertandingan berikutnya, Yugoslavia dan Polandia mencukur Indonesia masing-masing 5-0.


Akhirnya Argentina keluar sebagai juara setelah di final mengalahkan juara bertahan Uni Soviet (Rusia sekarang) dengan skor 3-1. Uni Soviet sebenarnya memimpin dulu 1-0 sampai menit ke 60. Tetapi Argentina mendapat penalti pada menit ke 61, yang tak disia-siakan oleh Maradona. Setelah gol penalti ini, Maradona dkk mengamuk dan menambah 2 gol lagi.


Tapi ada pengalaman berharga yang berhasil diserap oleh Soetjipto dari pelatih timnas Argentina Yunior dan ArgentinaSenior berkelas dunia; Cesar Louis Menotti. "Menotti banyak memberi tips, baik segi teknik maupun non-teknik tentang bagaimana menciptakan kesebelasan tangguh. Indonesia harus memiliki kompetisi yang tertata baik sejak jenjang yunior sampai senior," ungkap Soetjipto Soentoro yang mendapat kehormatan untuk ketemu empat mata dengan Menotti, dalam kesempatan terpisah.



*) Catatan tentang Soetjipto Soentoro sebagai bintang Asia:
Sebagai pemain dan kapten timnas Indonesia, Soetjipto Soentoro, memimpin Indonesia meraih kejayaan di peta sepakbola Asia. Indonesia menjuarai turnamen-turnamen bergengsi di Asia seperti Agha Khan Gold Cup (Pakistan Timur, sekarang Bangladesh) 3 tahun berturut 1966, 1967 dan 1968; King’s Cup Thailand pertama pada tahun 1968; Merdeka Games (Malaysia) 1969.


Tak mengherankan bila Indonesia mendominasi dari segi jumlah pemain yang masuk tim Asia All Stars ini. Sebab disamping Soetjipto ada Iswadi Idris, Yacob Sihasale dan Abdul Kadir. Dari negara lain adalah Tian Aung dan Suk Bahadur (Birma, Myanmar sekarang), Kunishige Kamamoto (Jepang), Jarnel Sing (India), Kim Yung Nam dan Kim Sam Rha (Korea Selatan), Abdul Gani bin Mirhat dan Chow Che Keong (Malaysia), Niwat (Thailand) dan Spigler (Israel, dulu masuk grup Asia). Spigler ini adalah pemain Asia pertama yang bergabung dengan klub elite Cosmos, New York, dimana Pele, Franz Beckenbauer, Carlos Alberto dan Chinaglia bermain.

Untung Menolak Hadiah Seperangkat Golf

Oleh Cardiyan HIS



Seorang sobat yang konglomerat papan atas Indonesia menawarkan seperangkat golf gratis kepada saya pada tahun 1989. "Biar liputan you tambah eksklusif mesti main golf dong. Di padang golf banyak pejabat-pejabat tinggi dan konglomerat kumpul. Jadi you bisa main golf sambil korek informasi A-1", ajak sobat saya.


"Wah terima kasih. Tapi maaf saya sulit atur waktu bila harus seharian main golf," kilah saya.


Eh, semingggu kemudian ketika majalah ekonomi milik saya menurunkan “cover story” "Orang Terkaya di ASEAN. Siapa Mereka? Berapa dari Indonesia?", saya yang tengah memburu Eka Tjipta Widjaja, Bob Hasan, William Soerjadjaja, Liem Soei Liong, jadi ingat saran sobat saya itu.


Benar saja. Akhirnya setelah “hotline” dengan Oom Eka yang dihubungkan sekretaris pribadinya Wen Yu dari kantornya di kawasan jalan Thamrin, Jakarta, saya berhasil menemui Eka Tjipta jam 6 pagi keesokan harinya di Pondok Indah Golf.


Dan ketika menemuinya, sekelilingnya sudah ada Ali Wardhana, Adrianus Mooy, Soemarlin, penyanyi Bruri Marantika dan Indra Widjaja (anak Eka, Dirut Bank Internasional Indonesia). Eka dan Indra kemudian beranjak mengajak saya ke ruang ganti pakaian. Dan menyuruh Indra sendiri saja yang main golf. “Indra kamu yang main golf saja. “Bapak mau pulang untuk wawancara dengan pak Cardiyan,” kata Oom Eka sambil mengajak masuk ke mobil Jaguar warna hitamnya. Tahun 1989, yang punya Jaguar masih terbatas jumlahnya dan saya mewancarai Eka Tjipta Widjaja sambil keliling Jakarta.


Wawancara dengan Eka Tjipta berlangsung sukses. Bahkan saya berdampingan dengan Eka difoto melalui kamera saya oleh ajudan Eka yang saya tengarai seorang tentara aktif dari kesatuan komando khusus. Saya mendapatkan Bob Hasan wawancara di lapangan Atletik PASI Gelora Senayan beberapa hari kemudian. Sedangkan William Soerjadjaja saya wawancarai langsung di kantor pusat Astra. Sedangkan Oom Liem masih di Hong Kong ketika “deadline” terlewati.


Dua puluh tahun kemudian saya tetap tak memilih olahraga golf. Bukan karena takut "katuliskeun jurig" (tercatat oleh hantu) di lapangan golf seperti nasib Antasari Azhar atau Nasrudin Zulkarnaen. Atau juga bukan karena anti olahraga orang kaya, orang borjuis seperti terkesan selama ini tentang golf. Tetapi saya mah penggemar olahraga rakyat saja yakni sepakbola. Karena saya mah euy bobotoh Persib......!

Rabu, 29 Juli 2009

SBY Ditipu "Blue Energy". Ketidakberdayaan Menteri-menteri Alumni ITB?

Oleh: Cardiyan HIS


Dipastikan SBY ditipu "Blue Energy". Alih-alih mau memberi bonus kepada rakyat Indonesia pada acara "Seratus Tahun Kebangkitan Nasional", eh malah ditipu mentah-mentah oleh "inventor" Joko Suprapto. Sebuah aib yang setara dengan kasus "Harta Karun Batutulis Bogor" oleh Menteri Agama rejim Presiden Megawati.



Bangsa Indonesia memang mudah sekali untuk mengulang-ulang kesalahan serupa. Bangsa Indonesia mudah menjadi pelupa dan seolah permisif terhadap kesalahan yang seolah kecil padahal sangat prinsipil. Apakah sudah sedemikian bingung bangsa Indonesia yang tengah terpuruk ini sehingga kehilangan kepercayaan diri untuk mencari solusi yang lebih elegan dan beradab?


Tahun 2001, penulis sebagai Pemimpin Redaksi majalah "Motor Dagang" menulis tajuk tentang "Industri Sumbang Kampus untuk Riset Hidrogen bagi Industri Otomotif". Kampus Stanford University memperoleh dana riset lebih dari US$ 300 juta dari Exxon Mobil untuk melakukan riset Hidrogen bagi Industri Otomotif. Dunia tentu berharap riset Stanford University kelak dapat memberikan solusi mendasar Hidrogen sebagai sumber energi alternatif masa depan. Tentu sebuah penantian yang panjang karena tak semudah membalikkan tangan, maklum ini merupakan riset dasar yang kompleks, yang memerlukan kesabaran para penelitinya pula.


Oleh karena itu, kita agak kaget ketika ujug-ujug (tiba-tiba) "inventor" Joko Suprapto demikian hebat bisa lolos ketemu langsung presentasi di depan SBY untuk suatu produk yang diklaim sebagai "Blue Energy". Doktor Heru Lelono, dosen IPB Bogor, orang kepercayaan SBY sejak pra-pemilu 2004, rupanya yang memboyong Joko Suprapto sampai bisa presentasi di depan Presiden SBY.


Dimanakah para Menteri-menteri Alumni ITB? Dipastikan Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, Menteri Perhubungan Yusman SD (malah tertangkap kamera ada persis di belakang SBY dan Heru Lelono) dan tentu saja Menteri Sekretariat Negara Hatta Rajasa ada, pada acara launching "Blue Energy" yang diterangkan oleh Heru Lelono ini.


Dimanakah para Menteri-menteri Alumni ITB? Dimanakah peran filter Anda sebagai alumni ITB yang profesional yang tengah mengemban kepercayaan sebagai Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu, sehingga membiarkan kejadian yang berpotensi menjadi "skandal" (hoax) bagi bos Anda Presiden SBY?


Menteri Sekretariat Negara harus bertanggungjawab pada filter pertama mengapa sebuah proposal bisa lolos begitu saja ke meja Presiden RI? Apakah Mensegneg tak berdaya dilewati begitu saja oleh Heru Lelono? Sebab, paling tidak, pasti Mensegneg tahu setiap proposal yang akan dipresentasikan di depan Presiden RI. Mengapa Mensegneg tak mampu mencegah dan kemudian mengkonsultansikan ke Menristek Kusmayanto Kadiman (dan Ketua LIPI) dan Menteri Perhubungan tentang ada proposal yang "aneh", yang sebenarnya bukan hal yang aneh karena kita semua pernah belajar Kimia.


Penulis terus terang curiga; para Menteri Alumni ITB rikuh sama bos. Mereka cari aman saja dari pada repot dimarahi bos. Jangan-jangan berisiko jabatan Menteri dicopot. Padahal yang lebih repot lagi kalau membiarkan sesuatu yang akan diekspos luas padahal dengan sadar mereka tahu sebelumnya bahwa hal itu tak mungkin berhasil justru akan lebih membahayakan bos dan mereka sendiri.


Apakah para Menteri Alumni ITB sudah kehilangan karakter umumnya tipikal kampus ITB untuk senantiasa berpikir merdeka apapun situasinya? Penulis yakin kalau para Menteri Alumni ITB ngomong apa adanya kepada SBY dengan sedikit improvisasi ala Jawa SBY; Presiden kita akan sangat mendengarkan pendapat rekan-rekan kita ini.


Mudah-mudahan dugaan penulis salah besar. Oleh karena itu perlu penjelasan sejujurnya dari Anda, hai para Menteri Alumni ITB.

Pertandingan Dahsyat Kesebelasan Indonesia vs Werder

Oleh Cardiyan HIS


Meskipun kalah tipis 5-6 dari Werder Bremen, juara Bundesliga 1965, tetapi kita menang soal “gorengan bola”. Dan Soetjipto Soentoro dijuluki “Pele” karena tukang sulap yang ulung dan sulit dijaga pemain belakang Werder. Kalau Soetjipto dan Max Timisela mau, klub Werder Bremen bersedia menerimanya.



Mengenai jalannya pertandingan antara kesebelasan nasional Indonesia dan juara Bundesliga Werder Bremen, kantor berita “Antara” Koeln memberitakan bahwa pertandingan berjalan dengan sangat bermutu. Sejumlah 23.000 penonton di antaranya ratusan penonton Indonesia datang dari segala penjuru Jerman Barat (ketika itu). Timnas Indonesia bermain untuk yang ke 10 kalinya dalam rangka tour Eropa, dengan tangkas dapat melakukan teknik persepakbolaan yang pada hakekatnya tidak kalah dengan tingkat teknik Eropa.


Suasana pertandingan pada permulaan memang dirasakan oleh kita semuanya, pihak tuan rumah seperti menganggap enteng ditambah tekanan-tekanan para suporter mereka yang terkesan melecehkan. Terlebih setelah mereka berhasil membobol gawang Indonesia tak lama setelah “kick-off”. Tetapi Indonesia tak jatuh mental bahkan berbalik menekan Werder Bremen dan menciptakan dua peluang bagus pada menit ke 17 dan 20 melalui Soetjipto Soentoro (Persija) dan Max Timisela (Persib). Dan akhirnya pada menit ke 30, setelah dikeroyok 3 pemain belakang Werder, Soetjipto mengelabui kiper mereka dengan gol indah.


Boleh dikatakan permainan menjadi berimbang meski kemudian Werder kembali unggul 2-1. Namun setelah itu, Indonesia lebih menguasai permainan sampai menyamakan kedudukan 2-2, kembali lewat gol Soetjipto. Skor bertahan sampai turun minum.


Sesudah mengaso, semangat Indonesia makin tinggi. Pada jam 20.42 waktu Jerman, atas tendangan sudut, Soetjipto berhasil meneruskannya menjadi gol. Indonesia memimpin 3-2. Dan penonton Jerman mulai bungkam karena terpaku dengan serangan gencar Indonesia yang penuh kejutan. Misalnya operan-operan panjang langsung ke kiri luar atau kanan luar, sering bikin pemain-pemain Werder Bremen kebingungan. Bagi Indonesia inti serangan dipusatkan pada 3 penyerang. Tetapi ketiganya sangat bikin kacau pemain belakang Werder Bremen yang merupakan pemain-pemain timnas Jerman Barat. Malahan kadang-kadang ada di antara mereka terus meneriaki “Pele Pele”, itu mutiara hitam dari Brazil, agar terus menjaga dan menempel Soetjipto “Pele” Soentoro, yang dalam pertandingan tersebut adalah “goal getter” yang paling berhasil.


Pada suatu duel di muka gawang Indonesia, wasit Redelfs dari Hanover, menganggap salah seorang pemain Indonesia menjegal lawan. Padahal menurut pengamatan wartawan “Antara” tak ada pelanggaran keras yang mesti dihukum wasit. Pemain Indonesia protes, tapi tak digubris wasit. Werder dapat hadiah penalti. Skor menjadi 3-3.


Rupanya “kelicikan” wasit tak membuat mental jatuh. Hanya dalam beberapa menit kemudian Indonesia memimpin lagi 4-3, melalui gol taktis “solo run” Tahir Jusuf atas operan panjang yang manis dari tengah lapangan sehingga mengejutkan pemain belakang Werder.


Sayang 8 menit kemudian Werder dapat menyamakan kedudukan 4-4, melalui “canon ball” pemain tengahnya. Ditambah 1 gol lagi kedudukan malah berbalik menjadi 5-4 untuk Werder.


Dengan semangat “banteng ketaton” akhirnya gol kelima Indonesia tercipta melalui “sett-up” operan segitiga yang cepat dan manis sekali, Max Timisila menyelesaikannya dengan cantik pula. Skor akhir 5-6 untuk tuan rumah juara Bundesliga Werder Bremen!

Publik Jerman Kagum
Di kalangan Indonesia sendiri meskipun kalah tipis, namun dirasakan sebagai kemenangan. Mengapa? Karena mereka puas melihat mutu permainan kedua kesebelasan yang berstandar Eropa. Kalaupun ada sedikit kekecewaan adalah soal hukuman penalti. Sebab kalau tak ada hukuman penalti minimal skor yang fair adalah 5-5.


Dari pihak Jerman melalui pelatih Brocker ada rasa kagum dan heran yang ditujukan tak hanya kesebelasan Indonesia yang dianggapnya sudah memiliki tingkat permainan kelas dunia. Juga mereka melihat “handicap” yang ada soal tinggi dan lebih ringkihnya badan pemain-pemain Indonesia, ternyata dapat dikompensasikan dengan “gorengan bola” yang sangat lincah dan operan tik-tak cepat yang sangat teliti terutama pada diri Soetjipto.


Pelatih Werder, Brocker selanjutnya memuji pemain-pemain Indonesia yang dari segi teknis “perfect”, sangat pandai menguasai bola dan gesit. Selama main dalam kompetisi “seizum” 1965, Werder tak pernah kebobolan gol sebanyak lima. Padahal dalam melawan Indonesia telah mengajukan pasangan yang terkuat banyak di antaranya pemain-pemain tim nasional Jerman Barat. Oleh karena itu, Brocker memuji sistem permainan Indonesia yang sering memberikan “long passing” dari sayap ke sayap yang lain. Menurut pelatih Werder ini pertandingan berlangsung dengan mutu tinggi, berjalan cepat dan sama sekali tidak menjemukan. Semua gol yang dicetak, baik oleh Werder maupun Indonesia adalah “gol-gol ideal” yang tidak dapat dilihat tiap hari.


Wasit Redelfs yang juga diwawancarai wartawan “Antara” mengatakan bahwa pertandingan telah berlangsung dengan fair. Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan kesebelasan terkuat di Asia Timur. “Saya yakin setiap klub sepakbola Jerman Barat akan bersedia menerima pemain-pemain seperti Soetjipto dan Max, yang sangat berkualitas”. Kedua pemain Indonesia ini memang paling banyak mendapat tepuk tangan riuh setiap kali ia “menggoreng bola” dan “menipu” para pemain belakang Werder Bremen yang tinggi besar itu.


• Disarikan dari buku: Cardiyan HIS, “PSSI Tempo Doeloe Hebring”, Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.

Sepakbola Indonesia Sebagai Persoalan Manajemen

Oleh Cardiyan HIS



Ada mata rantai yang terputus untuk kebangkitan sepakbola Indonesia. Biang utama penyebabnya adalah mismanajemen. Tak mengherankan bila prestasi kesebelasan nasional Indonesia Yunior tidak berlanjut ke prestasi kesebelasan nasional Indonesia Senior.



Nah kalau pun mulai tahun 2009 ini ada kompetisi Indonesia Super League (ISL) U-21. Tetapi gregetnya belum meyakinkan. Karena ternyata tidak semua dari 18 anggota klub ISL mengikuti kompetisi. Maklum tidak semua klub anggota memiliki tim yuniornya. Padahal dalam aturan ISL, hal ini sudah menjadi keharusan.
Tetapi mengapa di tahun 1972 dan tahun-tahun sebelumnya prestasi timnas Indonesia Yunior selalu bisa berlanjut ke prestasi timnas Indonesia yang hebat? Coba perhatikan data berikut ini:


Kejuaraan Piala Asia Yunior 1960: Indonesia juara 3.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1961: Indonesia juara 1.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1962: Indonesia juara 1
Tahun 1963-1966: Indonesia tak ikut kejuaraan karena situasi Tanah Air ada perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Jaya dan Dwikora konfrontasi dengan Malaysia).
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1967: Indonesia juara 2
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1970: Indonesia juara 2
Kejuaraan Pelajar Asia 1984: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1985: Indonesia juara 1

Kejuaraan Pelajar Asia 1986: Indonesia juara 1
Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986: Indonesia juara 1
Coba bandingkan dengan prestasi timnas Indonesia Senior berikut:
Turnamen Merdeka Games 1960: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1961: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1961: Indonesia Juara 1
Sepakbola Asian Games IV 1962: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1962: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1966: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1967: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup, Bangkok 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1969: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1969: Indonesia Juara 2
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1970: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup I 1970: Indonesia Juara 3
Turnamen Queen’s Cup, Bangkok 1971: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup, Seoul 1971: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1971: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup II 1972: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup, Seoul 1972: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan Singapura 1972: All Indonesian Final (A&B)


Kalau melihat data di atas secara gamblang terlihat ada keterlanjutan antara prestasi timnas Indonesia Yunior ke prestasi timnas Indonesia Senior. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Karena pada jaman itu Indonesia cukup dengan mengandalkan talenta luar biasa yang dimiliki para pemainnya yang dilatih secara baik oleh pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik. Plus “manajemen dari hati ke hati” oleh para pengurus PSSI yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain sehingga daya juang pemain meningkat, meskipun mereka hanya menerima honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Yang ada adalah iming-iming heroik:


“Akan diterima oleh Presiden RI, Bung Karno, di Istana Merdeka jika berhasil menjadi juara”. Maklum saja, soal dana PSSI semata-mata hanya mengandalkan hasil jualan karcis manakala timnas Indonesia melawan kesebelasan asing kelas dunia main di stadion Senayan, Jakarta. Ditambah sedikit saja dari para donatur gila bola. Sementara pada sisi lain, di hampir semua negara Asia belum ada kompetisi sepakbola profesional. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat seperti sekarang ini.


Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan itu dulu dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dicukur oleh Soetjipto Soentoro dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1969. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an).
Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri, Anwar Ujang dan Yudo Hadiyanto pun sebenarnya mau ditarik oleh AFC (Asian Football Confederation) untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.


Jepang pun Belajar ke Indonesia


Bahkan untuk masalah manajemen sepakbola, Jepang benar-benar belajar dari Indonesia manakala mereka mempersiapkan J-League. Mengapa? Karena Indonesia sudah memiliki liga sepakbola utama Galatama yang dimulai tahun 1979 di era Ali Sadikin. Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) memperkuat Niac Mitra dan Jairo Matos (Brazil) memperkuat Pardedetex, Medan.


Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia karena konon mafianya berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung pernah menghancurkan tim Galatama Arema Malang di stadion Gajayana Malang, dengan skor telak 4-0 pada tahun 1984.
Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena Jepang memiliki manajemen bagus ditopang dana yang banyak . Sehingga setiap klub mampu merekrut sedikitnya tiga pemain berstandar Eropa atau dunia. Ditambah industri negaranya yang sangat maju dan mau menjadi sponsor J-League. Semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi.


Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Jepang sekarang adalah mirip bahkan melebihi Indonesia pada jaman keemasan dulu. Sekarang timnas Indonesia belum pernah menang lagi lawan kesebelasan nasional Jepang. Jepang jadi pelanggan wakil Asia bersama Korsel ke Piala Dunia. Bahkan sekarang pemain-pemain Indonesia sudah kalah sebelum bertanding bila mendengar nama besar Nakamura dkk.


Perputaran Uang Rp. 1 Triliun


Kompetisi sepakbola Indonesia sih namanya paling keren yakni ISL alias Indonesia Super League. Nama internasional tetapi mutu lokal. Manajemen sangat buruk pada PSSI, menjadi biang keladi kegagalan timnas Indonesia bangkit dari keterpurukan. Padahal potensi penonton sepakbola Indonesia sangat luar biasa. Stadion Jalak Harupat Bandung disesaki 50.000 penonton kalau Persib main. Begitu pula stadion di Gajayana dan atau stadion Kanjuruhan di Malang kalau Arema Malang main akan disesaki 40.000 penonton. Dan kalau saja pertandingan Persija lawan Persib dibolehkan dilangsungkan di stadion Senayan, maka 100.000 penonton pasti akan menonton “super big match” ini.


Jadwal kompetisi amburadul. Padahal pengurus PSSI melalui liga ISL telah menggembar-gemborka n; “hanya gempa bumi dan tsunami yang akan bisa mengubah jadwal kompetisi”. Akibatnya kondisi fisik dan mental pemain menjadi hancur sehingga rawan cedera dan mudah keluar emosi. Akibatnya mudah menyulut terjadinya tawuran sesama pemain bahkan pemain memukul wasit. Ini juga antara lain karena integritas wasit pun belum bisa dipercaya. Komplit sudah bila ditambah penonton mengamuk dan membakar dan merusak apa saja yang ada di depan mata, di stadion bahkan sampai ke luar stadion.
Kemudian konsep dibolehkannya 5 pemain asing main dalam satu pertandingan ISL, telah mengawali penghambatan potensi maju pemain lokal. Karena terlalu sering duduk di bangku cadangan, para pemain lokal bahkan yang sudah berstatus pemain nasional sekalipun menjadi tidak berkembang kemampuannya. Yang rugi ujung-ujungnya tim nasional juga. Ditambah jadwal kompetisi molor berakibat setiap persiapan pelatnas timnas selalu terkendala. Kalau tidak lengkap semua pemain terkumpul; kendala yang lain adalah kondisi fisik dan mental pemain sudah kelelahan dan jenuh karena jadwal kompetisi yang amburadul tadi.


Karena jadwal kompetisi yang amduradul ini pula. Maka belanja klub lebih hancur-hancuran lagi. Karena dengan mengembangnya waktu, maka belanja menjadi tambah tidak terkendali. Padahal sebagian besar klub hanya mengandalkan biaya APBD. Kalau rata-rata setiap klub dari 18 klub ISL yang ada membelanjakan masing-masing Rp 15 miliar per musim kompetisi saja. Maka ada sedikitnya perputaran uang Rp. 270 miliar. Padahal klub besar seperti Persib Bandung sampai menyedot dana APBD Kodya Bandung Rp. 30,57 miliar pada musim kompetisi 2008-2009 ybl. Persija Jakarta bahkan lebih besar lagi yakni Rp. 42 miliar. Tetapi hasilnya? Persib hanya urutan ketiga dan Persija lebih tragis lagi yakni hanya urutan ketujuh.


Perputaran uang di sepakbola Indonesia ini akan semakin menggila bila ditambah dana yang diserap oleh PSSI dari pabrik rokok Djarum yakni sedikitnya Rp. 50 miliar. Ditambah sumbangan tetap FIFA sebesar US$ 1 juta/tahun. Belum ditambah lagi penjualan hak siar televisi ke Anteve untuk 150 siaran langsung dan tunda liga ISL. Plus hasil jualan iklan outdoor di sekitar stadion Senayan dan stadion-stadion di seluruh Indonesia yang tak ketahuan berapa jumlahnya. Plus transfer fee yang diperoleh dari jual beli pemain. Plus hasil penjualan tiket kepada penonton. Plus perolehan bila ada pertandingan internasional resmi agenda FIFA maupun bukan resmi. Plus donasi pribadi-pribadi gila bola yang juga gelap gulita berapa jumlahnya. Plus bila belanja pada kompetisi Divisi Utama PSSI, Divisi Satu PSSI dan Divisi Dua PSSI ditambahkan ke dalam perputaran uang disini. Plus dan plus bila kejuaraan yang berbeda yakni Copa Dji Sam Soe untuk Piala Indonesia yang diikuti oleh klub ISL dan Divisi Utama juga turut dijumlahkan dalam perputaran uang ini. Maka perputaran uang sepakbola Indonesia bisa mencapai sebesar Rp. 1 triliun !!!


Karena sepakbola Indonesia adalah sudah merupakan persoalan manajemen. Maka untuk memecahkannya pun adalah melalui pendekatan manajemen. Nah para ahli manajemen tinggal melihat dan mengelolanya dari hal-hal yang tangible dan intangible pada peta profil sepakbola Indonesia ini.

Kesebelasan Indonesia lawan Uni Soviet

Oleh Cardiyan HIS



If there was an Olympic Medal awarded for courage, tenacity and refusal to admit inferiority, the INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic Park. They confounded experts, amazed the spectators and worried the Russian team a scoreless draw, even after extra time had been ordered. It was the most fantastic soccer match I have ever seen. (Bill Fleming, senior soccer writer at the AGE news paper, Australia, 30 November 1956).



Hari yang sudah lama dinanti-nantikan akhirnya telah tiba. Stadion Olimpiade ke XVI di Melbourne pada tanggal 29 Nopember 1956 telah dipenuhi penonton yang akan menjadi saksi pertandingan antara favorit juara Uni Soviet (Rusia sekarang) melawan kekuatan Asia yakni negara tetangga Australia; INDONESIA !!!!


Sebelum pertandingan berlangsung, beberapa pemain inti Indonesia didera cedera. Dipastikan mereka tidak bisa tampil yakni Ramli (asal PSMS Medan), Rukma dan Ade Dana (keduanya berasal dari Persib Bandung disamping Danu dan kapten Persib dan tim nasional Indonesia Aang Witarsa). Padahal ketiga pemain ini boleh dikatakan pemain ulung yang nyaris tak tergantikan. Padahal lawan yang akan dihadapi adalah Uni Soviet yang dua hari sebelumnya baru saja mengalahkan favorit lainnya yakni Jerman dengan skor 2-1.


Pelatih Indonesia asal Yugoslavia; Tony Pogacknik harus putar otak. Dimanakah sebenarnya letak keunggulan Uni Soviet? Yang pasti ialah secara perseorangan mereka masing-masing adalah jauh lebih ahli atau lebih mahir dari pada pemain-pemain Indonesia. Pun di dalam hubungan keseluruhannnya, mereka lebih utuh, dan kokoh. Napas mereka lebih panjang, larinya lebih cepat, tendangannya lebih keras, orangnya tentu saja lebih besar dan lebih kuat pula dari pada pemain-pemain Indonesia. Ini belum lagi terhitung kelebihan mereka dalam hal teknik dan taktik permainannya. Jadi pendek kata, Indonesia harus ekstra waspada.


Sungguh pun demikian, Tony masih dapat menemukan kekurangan mereka. Dan yang pasti ketika melawan Jerman, jarang terlihat tembakan-tembakan yang jitu dan membahayakan gawang Jerman. Kebanyakan tendangan keras mereka kalau tidak menyamping ke gawang, ya jauh melambung di atas gawang Jerman. Dua gol yang tercipta pun sepenuhnya merupakan keunggulan permainan individu pemain Uni Soviet, bukan hasil permainan kolektif melalui sett-piece yang cantik.


Taktik Indonesia: Pertahanan Diperkuat

Satu-satunya jalan ialah kita harus memperkuat barisan pertahan kita, sekokoh-kokohnya. Dan siasat tersebut ternyata berhasil diterapkan dengan bagus oleh para pemain Indonesia. Barisan kita di belakang, dibuat berlapis-lapis. Yaitu: tiga orang back sejajar, membujur dari kanan ke kiri, terdiri dari Rasyid-Kiat Sek-Chaeruddin. Benteng ini sungguh kuat dan lincah sekali dalam gerakan-gerakannya, seperti penjalin yang dapat dibengkok-bengkokka n dan dapat dipentalkan kembali. Inilah sebenarnya barisan atau lapisan terakhir yang membentang di depan gawang Saelan.


Sebelum lapisan ini, maka membentang pula suatu pagar, yang melintas di depannya, siap menerima pukulan-pukulan yang pertama dari Uni Soviet. Dan pagar yang sangat gigih ini terdiri dari pemain-pemain yang sangat ulet, yaitu Siang Liong-Him Tjiang-Liong Houw. Jadi sebelum bola dapat mendekati pada gawang Indonesia, terlebih dahulu harus dapat melewati pagar ini, kemudian sampailah kepada benteng yang kedua. Dan biasanya, di sini barisan penyerbu lawan sudah kehilangan daya kekuatannya. Karena sudah mendapatkan rintangan-rintangan dalam dua lapisan berturut-turut.

Kemudian untuk dapat menghubungkan antara depan dan belakang, maka harus ada salah seorang yang benar-benar dapat menyelenggarakan tugas yang sangat berat tersebut. Yaitu orang yang benar-benar mempunyai daya tahan dan napas yang sangat kuat karena dia harus berkeliaran ke segala tempat yang diperlukan, baik ke belakang maupun ke depan bahkan jika perlu harus ikut bertahan atau ikut menyerang pula. Orang yang dipercaya Tony Pogacknik sebagai “tukang pikul air” ini adalah Ramlan.


Dan tinggalah sekarang ketiga pemain depan terdiri dari kapten tim Aang Witarsa, Danu dan Ramang. Pemain-pemain ini adalah pemain pilihan tentu saja karena merupakan pemain yang sangat cepat, berani dan mempunyai tendangan keras dan jitu. Sebab mereka hanya bertiga harus melawan 4 atau 5 pemain belakang lawan. Sayanglah karena Danu badannya tidak fit benar, maka kekompakan yang diharapkan dari barisan penyerang ini kurang memberikan hasil optimal.


Maka taktik pertahanan yang diperkuat menjadi pilihan akhir. Taktik semata-mata hanya untuk memperoleh pertahanan yang sangat kuat; “apa boleh buat diperuntukkan untuk mempertahankan diri agar supaya lolos dari kekalahan”.


Dalam pertandingan itu Uni Soviet telah menendang bola ke luar melalui garis gawang (out keeper) sebanyak 46 kali. Menembak 20 kali yang dapat ditangkap dengan gemilang oleh penjaga gawang Saelan. Uni Soviet memaksakan tendangan penjuru sebanyak 23 kali!

Dan di perpanjangan waktu 2x15 menit, penyerang-penyerang Uni Soviet yang sudah kehilangan akal untuk membobol gawang Indonesia, maka dengan segala cara mencoba memforsir satu penalti. Yaitu ketika ada kemelut di depan benteng Indonesia, maka penyerang mereka sengaja menjatuhkan diri seolah kesakitan luar biasa. Tetapi untunglah wasit tidak dapat dipengaruhinya, seperti ditulis reporter the SUN: “ ....in sheer desperations at one stage, the Russian tried to force a penalty kick decisions in their favour, but desisted when the referee failed to impressed ....”

Dan akhirnya Indonesia pun tetap berhasil menahan raksasa Uni Soviet dengan skor 0-0.

Dalam pertandingan ulangan keesokan harinya, Uni Soviet berhasil mengalahkan Indonesia -----yang pemain-pemainnya telah cedera dalam pertandingan semalam namun tetap dipaksakan tetap bermain, karena Ramli, Rukma dan Ade Dana pemain sebelumnya juga tak dimainkan ditambah Danu yang cedera pada pertandingan semalam---- dengan skor 4-0. Uni Soviet pula akhirnya yang menjuarai Olimpiade ke XVI di Melbourne, setelah di final mengalahkan Yugoslavia dengan skor 1-0.


Bahan: Cardiyan HIS, “PSSI Tempo Doeloe Hebring”, Penerbit Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta 1988.

Memolonco Wartawan Malaysia dengan Akronim

Oleh Cardiyan HIS



Rekan W bin N wartawan dari "Utusan Malaysia", Kuala Lumpur, karena penugasan kantornya sebagai perwakilan di Indonesia ketika pertama kali datang ke Jakarta tahun 1987, bingung sekali dengan berbagai akronim.Terutama kalau sudah ada konferensi pers setingkat Menteri anggota Kabinet Pembangunan di jaman Orde Baru yang selalu dilakukan di Departemen Penerangan RI dengan didampingi Menteri Penerangan, Harmoko. Dari kalangan media nasional harus hadir para Pemimpin Redaksi dan kalau media asing harus kepala perwakilannya atau minimal senior journalist. Mengapa harus setingkat Pemimpin Redaksi? Karena banyak sekali keterangan Menteri yang harus diperlakukan sebagai off the record.


"Saya juga minta bantuan para wartawan bila mengendus ada barang-barang luar negeri masih bisa lolos dari Panitia Tender Instansi Pemerintah. Karena saya bukan Superman," Menteri Muda UP3DN Ginandjar Kartasasmita menghimbau.


Ketika konferensi pers selesai, wartawan-wartawan Indonesia mulai mengerubungi W bin N. Dan salah seorang nyeletuk tanya sama W bin N:


"Encik sudah tahukah maksud Superman?"


"Sudahlah. Manusia Super. Saya sudah nonton wayangnya di Kuala Lumpur", jawabnya (bahasa Malaysia wayang adalah film. Jadi maksudnya nonton film Superman).


"Eh salah itu, Encik", kata wartawan Indonesia.


"Benarkah?", W bin NS mulai gelagapan.


"Itu artinya Encik SUka PERempuan MANado".


TIGA bulan kemudian dia tetap bingung juga dengan akronim di Indonesia ini. Karena minggu lalu dia mendapat pengalaman jelek dengan seorang gadis muda cantik di sebuah resepsi. Dia dicemberutin habis oleh gadis muda cantik itu padahal dia sudah merasa memujinya.


"Ah, malam ini saudari manis sekali", puji saya.


Wartawan-wartawan Indonesia spontan ngakak. Wartawan Malaysia tambah bingung.


"Pantas saja Encik dimarahin karena bilang gadis itu manis".


"Memang kenapa?"


"Encik, manis itu MANtan IStri. Ya jelas dia marah, masih gadis muda cantik dibilang janda ....!!!"

Final Sepakbola Persib vs PSMS 1985

Oleh: Cardiyan HIS

Bagaimana Berusaha Menjadi Orang Sportif? Sementara sekarang Bobotoh menuntut Persib menang terus. “Kalau harus menang terus mah atuh Persib juara dunia”, kata Pak Ateng Wahyudi, mantan Ketua Umum Persib dan Walikota Bandung.


Adakah sejarah pertandingan sepakbola di Indonesia yang sangat bermutu tinggi? Pertandingan yang sekaligus menguras emosi penonton tetapi semua pihak yang terlibat tetap menjunjung tinggi sportifitas, sehingga tak terjadi kerusuhan?


Ada. Tetapi sangat langka. Dan yang langka itu adalah "Final Persib vs PSMS 1985". Saya yakin ini merupakan pertandingan sangat heroik dalam sejarah sepakbola Indonesia setelah partai berkelas dunia kesebelasan nasional Indonesia melawan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1 Desember 1956, dimana Indonesia berhasil menahan Uni Soviet dengan 0-0. Kemudian pertandingan Pra Olimpiade Montreal tahun 1976, dimana kesebelasan nasional Indonesia harus tersingkir oleh Korea Utara lewat adu penalti. Mengapa dipilih pertandingan "Final Persib vs PSMS 1985"? Karena alasan sebagai berikut:


Pertama; Bagaimana Persib yang sudah ketinggalan 0-2 dari PSMS di babak pertama, dapat menyamakan kedudukan 2-2 melalui penalti Iwan Sunarya. Dan gol kelas dunia Ajat Sudrajat melalui sundulan kepala yang sangat indah dari sedikit saja dari luar kotak penalti PSMS, menyambut tendangan sudut Iwan Sunarya. Sundulan Ajat yang cukup jauh jaraknya untuk ukuran sebuah gol dengan kepala ini menerpa mistar bagian dalam PSMS Medan. Sehingga kiper hebat Ponirin Mekka sampai bengong tak bereaksi. Soetjipto "Gareng" Soentoro, bintang PSSI di era 1960-an dan awal 1970-an yang jadi komentator melalui RRI Jakarta ketika itu, menyebutnya sebagai gol spektakuler yang berkelas dunia. Mirip golnya Paul Mariner di English League, goal getter timnas Inggris tahun 1970an......


Kedua; Dari segi penonton benar-benar rekor dunia pula. Bayangkan stadion Senayan yang dalam keadaan normal berkapasitas 110.000 orang ketika itu (belum direnovasi seperti sekarang yang kapasitasnya menjadi 88.000 kursi) dipaksakan melampaui kapasitasnya. Baru dalam sejarah Senayan penonton dibolehkan nonton sampai luber ke pinggir lapangan, tempat biasanya para anak gawang memungut bola out. Menurut buku Asian Football Confederation (AFC) terbitan 1987, pertandingan ditonton oleh 150.000 orang yang merupakan pertandingan terbesar dalam sejarah pertandingan amatir di dunia (waktu itu masih kejuaraan Perserikatan, bukan Liga Super Indonesia seperti sekarang ini).


Ketiga; Meskipun penontonnya demikian banyak, kedua suporter tak saling bentrok sepanjang pertandingan berlangsung. Dan ternyata para suporter Persib khususnya tetap sportif menerima kekalahan dari PSMS untuk kedua kalinya pada final melalui adu penalti setelah pertandingan diperpanjang 2x15 menit skor tetap 2-2. Ya Persib kalah untuk kedua kalinya karena tahun 1983 Persib kalah juga dari PSMS melalui adu penalti setelah perpanjangan waktu. Pasca pertandingan tak terjadi kerusuhan sedikit pun. Padahal kerusuhan menjadi kejadian biasa belakangan ini bahkan eksesnya merembet sampai ke luar lapangan sehingga menjadi liar dan memakan korban jiwa dan harta benda. Bobotoh Persib pulang ke Jawa Barat (Banten masih masuk Jawa Barat) dan juga bobotoh yang tinggal di Jabotabek, dengan hati sangat sedih. Tetapi mereka tetap lapang dada. Mengapa? Karena Ajat Sudrajat dan kawan-kawan kalah sangat terhormat setelah berjuang sampai keringat terakhir tak menetes lagi. Atau dalam kata-kata mantan kapten tim nasional Ronny Patinasarani "Persib menang teknik dalam pertandingan final ini tetapi kalah mental dibanding PSMS". Luar biasa.


Keempat; Pasca pertandingan Persib-PSMS ini perseteruan di lapangan berlanjut ke persahabatan di luar lapangan. Pemain-pemain Persib diundang untuk memperkuat PSMS memenuhi undangan Singapura untuk turnamen Piala Merlion. Maka Ajat Sudrajat, Kosasih, Robby Darwis, Sukowiyono dan Iwan Sunarya beberapa minggu mencicipi latihan bersama Ponirin dan kapten Sunardi A dkk di stadion Teladan, Medan. Penonton Medan mengelu-ngelukan Ajat Sudrajat sebagai "Soetjipto Soentoro Baru".


Pertandingan ini sangat sarat dengan pelajaran berharga bagaimana sebuah sportifitas sebaiknya dikembangkan secara baik dan dewasa; penuh kekeluargaan seperti ciri budaya Bangsa Indonesia ketika itu. Sekarang di Bandung; banyak bobotoh Persib sudah juga anarkis meniru “koleganya” Bonek Persebaya Surabaya dan Jakmania Persija. Kalau dulu teriakan bobotoh “Persib Butut... Persib Butut” merupakan kritik mujarab membalikkan keadaan di lapangan menjadi Persib yang hebring lagi. Maka sekarang sudah berubah; “Persib Butut, Bobotoh Juga Butut”. Bobotoh menuntut Persib menang terus. “Kalau harus menang terus mah atuh Persib juara dunia”, kata Pak Ateng Wahyudi, mantan Ketua Umum Persib dan Walikota Bandung. Dunia memang sudah berubah, sehingga perilaku suporter juga berubah? Perlu penelitian para ahli psikologi massa dari Unpad atau UI barangkali.


SEMENTARA itu. Bumbu lain setelah pertandingan Persib vs PSMS 1985 ini, Ajat "dibawa kabur" oleh seorang selebritis ke sebuah hotel berbintang. Konon katanya mau "dikasih hadiah". Entah hadiah kecupan mesra atau apa. Yang benar menurut pengakuan Ajat kepada saya ketika menulis biografinya (Muhamad Kusnaeni dan Cardiyan HIS, "Intinya Pemain Inti untuk PSSI", Penerbit Gemadinamika Mediatama, Jakarta 1987):

"Ah, Kang, saya mah cuma nonton film Kungfu di bioskop hotel Kartika Chandra bersama Hetty Kus Endang". Hetty yang masih jomlo ketika itu; malah "nyengir" ketika dicegat wartawan; "Ah enggak, saya mah ngan ngajak Ajat nonton pelem supaya melupakan kekalahan maen bola. Paling rencana kedepan saya dengan Ajat mau berduet nyanyi untuk rekaman tahun ini .....".

Hidup Persib. Hidup PSMS.


*Cardiyan HIS juga menulis artikel dan buku sepakbola antara lain: "PSSI Tempo Dulu Hebring"; "Si Gareng Menggoreng Bola, Sebuah Biografi Soetjipto Soentoro"; dan bersama Muhamad Kusnaeni; "Intinya Pemain Inti untuk PSSI, Sebuah Semi Biografi Ajat Sudrajat dan Ricky Jacobi".

Selasa, 28 Juli 2009

Pelajaran dari Korsel dan Terima Kasih BJ Habibie

Oleh Cardiyan HIS




Liputan6.com, memberitakan Moon Jae In, pengacara Roh Moo-Hyun, menyatakan mantan Presiden Korea Selatan itu meninggalkan surat wasiat singkat buat keluarganya. Seorang mantan pembantunya mengatakan, Roh meninggal setelah melompat dari batu usai meninggalkan surat bunuh diri. "Presiden Roh melompat dari batu karang di gunung di belakang Desa Bongha," kata Moon yang juga mantan kepala sekretariat presiden, Sabtu (23/5).


Tragedi ini terjadi setelah Roh mendaki gunung bersama seorang pembantu di dekat tempat tinggal di masa pensiunnya di Bongha, Gimhae, dekat pantai di bagian tenggara negeri tersebut. Roh menderita luka parah di kepala dan meninggal setelah dipindahkan dari rumah sakit kecil ke rumah sakit besar di Kota Busan.
Namun, polisi Korsel menyatakan masih menyelidiki apakah Roh, yang memangku jabatan presiden 2003-2008, benar bunuh diri. "Kami sedang menyelidiki apakah ia (Roh) jatuh karena kecelakaan atau melakukan bunuh diri," kata juru bicara Departemen Polisi Nasional Korsel.


Roh kini tengah diperiksa terkait kasus skandal suap saat menjabat presiden 2003-2008. Penyelidikan dipusatkan di seputar pembayaran bernilai US$ 1 juta kepada istri Roh dari seorang pengusaha sepatu kaya. Pembayaran oleh orang yang sama dengan jumlah US$ 5 juta juga diterima suami salah seorang kemenakan Roh, Yeon Cheol-Ho.



SEMENTARA itu dari Indonesia, BJ Habibie, Presiden RI ke tiga mengajarkan kepada kita bahwa menjadi Presiden RI itu bukan segalanya. Kita menyaksikan bagaimana dengan jiwa besar BJ Habibie yang baru beberapa hari saja ditolak pertanggung-jawabannya oleh MPR hadir pada acara pelantikan Gus Dur sebagai Presiden RI ke empat dengan wajah yang sangat ceria. “Malam ini saya sangat bahagia karena ternyata demokrasi telah menang”, kata BJ Habibie dengan tulus.
Lepas dari segala kekurangannya antara lain “terlalu baik dan lemah” terhadap sahabat-sahabat yang kemudian dipilihnya menjadi “inner cycle” yang ternyata bukan menjadi solusi tetapi malah menjadi beban.


Ya, kalau kita mau jujur dan berjiwa besar, BJ Habibie telah memberikan pelajaran tentang arti demokrasi yang santun dan ilmiah. Dia telah memberikan kebebasan pers yang sangat luar biasa. Dia telah membebaskan semua tahanan politik. Dia telah membuat rupiah berjaya dari Rp. 17.000.-/US$ menjadi Rp. 6.500.- /US$ sehingga membuat Lee Kuan Yew dengan jiwa besar minta maaf karena Lee dengan lantang dan pongah telah meramalkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap US Dollar akan mencapai Rp. 25.000.- bila BJ Habibie terus menjadi Presiden RI. Dia telah membuat inflasi 76% takluk menjadi 6% saja. Dia telah melakukan inisiasi Pemilu pertama pada jaman Reformasi diselenggarakan lebih cepat meskipun dia sebenarnya masih berhak meneruskan periode sisa jabatannya sebagai Presiden RI sampai 2003; dan ternyata Pemilu berlangsung begitu lancar, bebas rahasia dan jujur.


Dan yang tak kalah menariknya adalah kata-kata guru bangsa DR. Nurcholis Madjid kepada para peserta pengajian yayasan Paramadina: “Mungkin BJ Habibie satu-satunya atau setidaknya salah seorang dari sedikit pejabat tinggi negara yang tidak mencuri sepeser pun kekayaan negara. Malahan dia memberikan semua gaji yang diperolehnya bertahun-tahun untuk kegiatan sosial dan beasiswa”.


Sebuah pembelajaran bagi para Calon Presiden-Wakil Presiden RI sekarang!!!!

Amerika Ultah dan Kesetaraan Indonesia via Diplomasi ala Siti Fadilah Supari

Oleh Cardiyan HIS



Amerika Serikat Ulang Tahun ke 233 pada 4 Juli 2009 hari ini. Ada masanya Amerika Serikat berbulan madu dengan Indonesia. Misalnya pada akhir tahun 1930-an ketika Indonesia berjuang untuk mewujudkan kemerdekaannya, AS menekan agresitivitas Belanda. Begitu pula pasca Kemerdekaan yakni tahun 1945-1949, AS menjadi "sponsor" bagi pengukuhan kembali kedaulatan Indonesia dari intervensi curang Belanda; antara lain melalui Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Perundingan Meja Bundar di Den Haag. Pembebasan Irian Barat dari Belanda juga sedikit banyak karena tekanan Presiden AS, JF Kennedy untuk menekan pemerintah kerajaan Belanda untuk tidak menggerakkan mesin perangnya.


Dan masa-masa buram hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat juga cukup banyak. Misalnya campur tangan AS dengan mendukung pemberontakan PRRI dan Permesta meskipun berujung kegagalan. Begitu pula penjajahan dalam bentuk baru AS melalui tangan-tangan multi national corporation (MNC) telah menguras sumberdaya alam Indonesia secara tidak adil dan tidak beradab. AS melalui perpanjangan tangannya di lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti World Bank, IMF telah menjadi dokter yang menjerumuskan Indonesia ke jurang kematian.


Bagaimana Indonesia sekarang di Ulang Tahun Kemerdekaan AS ke 233 di bawah Presiden Barrack Obama? Semua tergantung kepada Indonesia sendiri. Kalau prinsip kesetaraan tetap teguh dipegang maka Indonesia tak perlu merasa rendah diri dengan AS. Dan Indonesia sebenarnya sangat bisa melakukannya. Indonesia punya pengalaman soal itu.


Yang masih sangat aktual dan tengah berlangsung adalah Diplomasi Virus Flu Burung (H5N1) oleh Menteri Kesehatan RI, Dr. Siti Fadilah Supari yang berhasil membongkar kejahatan Amerika Serikat dalam mekanisme virus sharing melalui perpanjangan tangannya GISN (Global Influenza Surveillance Network) di WHO. Keberhasilan Indonesia ini hendaknya dijadikan preseden bagus dan dijadikan salah satu model dalam diplomasi tingkat dunia yang harus terus dijaga momentumnya oleh Indonesia.


Melalui terobosan diplomasi Siti Fadilah Supari ini, kini Indonesia dipercaya oleh ratusan anggota WHO termasuk Inggris, Australia, Jerman, Perancis untuk mempreteli kepentingan jahat Amerika Serikat dalam mekanisme virus sharing ini. Sidang tertinggi para menteri-menteri kesehatan sedunia atau World Health Assembly (WHA) di Jenewa, Swiss pada 18-22 Mei 2009 telah menghasilkan resolusi yang menginstruksikan Dirjen WHO memfinalisasi "Benefit Sharing" dan "Standard Material Transfer Agreement" (SMTA). Proses finalisasi itu harus selesai dan selanjutnya dilaporkan pada sidang ke 126 Executive Board WHO pada Januari 2010 yad.


Baru dalam sejarah diplomasi dunia pasca Bung Karno lengser, Indonesia berdiri sejajar lagi dengan Amerika Serikat. Ini membuat anggota-anggota delegasi Indonesia begitu bangga bisa "head to head" di forum dunia WHO melawan kejahatan Amerika Serikat. Ini bukan hanya kemenangan bagi Indonesia tetapi juga kemenangan bagi Peradaban Manusia di Dunia agar terbebas dari konspirasi jahat Amerika Serikat dengan para multinational corporation industri farmasi.


Selamat berhari Merdeka Amerika Serikat dan selamat Bersetara Indonesia di mata Dunia!!!

Mari Kita Cari 600 Siswa Cerdas Miskin untuk ITB

Oleh Cardiyan HIS



Indonesia ini memang anomali. Ternyata sulit mencari anak cerdas miskin. Dari kewajiban ITB sebagai PTN BHP untuk menyediakan 20% atau 600 calon mahasiswa cerdas miskin dari total 3.000 calon mahasiswa baru, hanya 51 orang saja baru berhasil dijaring ITB. Perlu kampanye kreatif dan agresif jemput bola sampai ke gang-gang becek dan ke seluruh pelosok Indonesia .



Baru saja saya ditilpun Rektor ITB, Prof. Djoko Santoso. Ia ingin meluruskan tentang tulisan saya yang dikutip ratusan blog dan mailist, yang pertama kali dimuat di www.politikana.com berjudul; “Kembalikan Kursi SNMPTN 2009 kepada yang Berhak”.


Menurut Prof. Djoko Santoso, ITB justru kesulitan untuk mencari 600 siswa lulusan SMU yang cerdas miskin. Angka 600 ini adalah bukti kekonsistenan ITB sebagai PTN berstatus BHP yang mensyaratkan 20% dari total penerimaan mahasiswa baru ITB yang seluruhnya 3.000 orang, harus untuk calon mahasiswa cerdas miskin.


Jumlah mahasiswa cerdas miskin ini baru berhasil dijaring sejumlah 23 orang melalui Ujian Saringan Masuk (USM) ITB 2009. Dan 28 orang melalui seleksi “Beasiswa ITB untuk Semua” 2009. Menurut Prof. Djoko Santoso, profil mereka adalah anak-anak rakyat Indonesia cerdas tetapi orang tuanya miskin. Profil orang tua mereka adalah tukang bakso, penjual nasi pinggir jalan, pemilik kios warung kecil, pembantu rumah tangga, petani musiman, nelayan, tukang gali tanah, tukang bangunan, sopir angkot, anak calo bisnis kelas teri, pensiunan tentara dan polisi pangkat prajurit, anak Satpam, guru ngaji, pensiunan guru SD dan lain-lain.


Melihat total calon mahasiswa cerdas miskin yang berhasil dijaring ITB hanya 51 orang dari 600 orang untuk kursi yang tersedia. Maka saya sarankan agar ITB lebih agresif lagi dan lebih kreatif lagi dalam menginformasikan dan menggerakkan minat masyarakat untuk masuk ITB tanpa biaya sepeser pun selama dia kuliah di ITB dan seluruh biaya hidup ditanggung ITB sampai lulus.


Kita harus jemput bola, dari pintu ke pintu agar informasi soal undangan ITB bagi para siswa cerdas miskin ini sampai kepada sasarannya. Bila informasi ini yang disebar luaskan langsung oleh para relawan penuh idealisme, paling tidak ada keberanian anak cerdas miskin untuk menyimaknya lebih jauh. Bila keingintahuannya terpuaskan, maka pada mereka akan tumbuh harapan. Bila harapan sudah ada ini sudah merupakan 90% keberhasilan mendorong anak untuk melanjutkan kuliah. Dan ITB telah mengundangnya bagi mereka yang berhak; siswa cerdas miskin.


Mungkin selama ini masyarakat miskin sudah takut dengar nama ITB sendiri sebelum mereka mau mendaftar. Yang mereka tahu, ITB itu yang paling mahal biaya formulir pendaftarannya yakni Rp. 850 ribu. Nah, kalau ia seorang pembantu berarti dia harus menyerahkan seluruh pendapatannya dua bulan gaji untuk beli formulir seleksi masuk ITB. Belum untuk urus sana urus sini. Pokoknya berat di ongkos. Sedangkan biaya untuk hidup keluarga mana?


Pengalaman spesifik perjuangan dengan segala kendalanya dalam menyeleksi USM ITB dan “Beasiswa ITB untuk Semua” 2009, ada baiknya ditulis dan dijelaskan secara panjang lebar kepada media cetak dan elektronik lokal maupun nasional. Setidaknya ini akan menggugah para alumni ITB yang jumlahnya puluhan ribu atau siapa saja anggota masyarakat yang peduli pendidikan untuk memberikan saran dan idenya. Syukur-syukur mau jemput bola, siapa tahu anak pembantunya cerdas, siapa tahu anak Satpam di lingkungannya pinter; siapa tahu anak supirnya juga otaknya moncer. Syukur-syukur ia sendiri mau menyumbang.


Sebab menurut Betti Alisjahbana, yang mengkoordinasikan program “Beasiswa ITB untuk Semua” (Info bagi peminat beasiswa di http://www.itbuntuksemua.com/infopeminat). Sebelum pulang kampung, pak Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI berkenan membantu penggalangan dana melalui goresan pertama di dua lukisan seniman ITB pada 23 Juli 2009. Kemudian pada 24 Juli 2009, Betti Alisjahbana mendapat konfirmasi donasi “Beasiswa ITB untuk Semua” dari Pertamina sejumlah Rp. 1.000.000.000. Selain itu seorang alumni ITB (Haminanto Adinugraha) baru saja menyumbangkan Rp. 100.000.000 ke pundi-pundi “Beasiswa ITB untuk Semua”. Dengan demikian total komitmen donasi yang sudah kami dapat adalah Rp. 4.200.000.000. Dana ini cukup untuk membiayai 42 mahasiswa sampai lulus dari ITB (perkiraan biaya per mahasiswa lebih kurang Rp. 100 juta). Sementara hasil seleksi untuk calon mahasiswa cerdas miskin ternyata hanya 28 orang.


Mari kita cari terus siswa cerdas miskin sampai ke gang-gang becek, ke seluruh pelosok Nusantara. Mereka inilah yang diprioritaskan masuk ITB gratis sampai lulus. Permintaan ITB dan para donatur hanya satu, bagi mereka yang diterima jadi mahasiswa ITB kelak diharapkan menjadi agen perubahan di lingkungan sosial tempat asalnya.

Minggu, 26 Juli 2009

Kembalikan Kursi SNMPTN 2009 kepada yang Berhak

Oleh Cardiyan HIS



Rektor UGM terus-menerus didemonstrasi mahasiswanya. Sebagai kampus yang dijuluki oleh alumninya sendiri sebagai “Kampus Ndeso”, kini UGM, Yogyakarta, dianggap para mahasiswanya sebagai “Kampus Matre”. Karena menurut mereka, UGM telah mengkhianati cita-cita luhur para pendiri kampus UGM sebagai “Kampus Kerakyatan”. Bayangkan untuk dapat diterima di Fakultas Kedokteran UGM -----nomor 1 di Indonesia, nomor 16 di Asia dan nomor 106 di dunia versi Time Higher Education QS (UK) tahun 2008 (Dunia) dan tahun 2009 (Asia)----- calon mahasiswa baru harus membayar minimal Rp. 145 juta, setelah lulus seleksi masuk jalur khusus UGM. Padahal bila lulus melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM “hanya” membayar sekitar Rp. 10 juta saja seperti mahasiswa reguler lainnya.


UGM memang termasuk PTN yang paling sedikit memberikan kuota mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN 2008 yakni hanya 240 kursi! Berarti UGM menduduki jumlah kuota nomor 53 dari 57 PTN yang bergabung pada SNMPTN 2008. Padahal jumlah yang melamar ke UGM melalui jalur SNMPTN adalah sangat banyak. Maka UGM memiliki tingkat Keketatan Persaingan tertinggi yakni untuk setiap empat kursi UGM diperebutkan oleh 100 orang.


Kemudian dengan melihat kepada kinerja kualitas dari para calon mahasiswa baru berdasarkan indikator Nilai Rataan, Standar Deviasi, Nilai Minimum dan Nilai Maksimum. Maka indikator tersebut dapat dilihat homogenitas datanya dengan menggambarkan sebaran datanya pada Distribusi Normal. Ternyata terlihat bahwa calon mahasiswa baru yang diterima di UGM melalui jalur SNMPTN adalah sangat bagus. Untuk kelompok IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Nilai Rataan mahasiswa yang diterima di UGM adalah nomor 1 yakni 835,51; jauh meninggalkan berturut-turut UI (dengan nilai 788,51); Unair (738,23), Undip (717,67), UNS (685,04) dan Unpad (683,78). Sedangkan untuk kelompok IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dengan nilai 774,09, calon mahasiswa baru UGM adalah nomor 2; kemudian di bawahnya berturut-turut Unair (742,60); UI (732,20); ITS (709,86) dan UNS (681,0). ITB ada pada posisi nomor 1 untuk kelompok IPA dengan Nilai Rataan tertinggi yakni 826,01 (Data diperoleh penulis langsung dari Wakil Rektor Senior ITB bidang Akademis, Prof.Ir. Adang Surahman, PhD).


“Fenomena UGM” menjadi sangat menarik. Mengapa? Karena saat ini daya tampung jalur SNMPTN menjadi salah satu aspek sangat penting. Ini mengingat setelah adanya Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan kemudian Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah terjadi trend dimana banyak PTN membuka jalur khusus dengan harga khusus pula. Dipastikan para peserta dan calon mahasiswa yang diterima kemudian, hanya berasal dari kalangan orang-orang kaya saja. Banyaknya jalur khusus ini, jelas secara matematis telah menggerogoti jumlah kuota mahasiswa cerdas tapi miskin orangtuanya yang terkonsentrasi memilih jalur SNMPTN karena pembiayaannya relatif jauh lebih murah.
Dan meskipun ITB, Bandung, misalnya, berkilah dengan menyebut bahwa jalur khusus Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB lebih sulit seleksinya dibanding jalur SNMPTN, karena ada Tes Psikologi dan Tes Potensi Akademis di samping Tes Tertulis Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Namun ITB tak bisa mengelak bahwa biaya masuk SBM ITB bagi calon mahasiswa yang diterima yakni sebesar Rp. 85 juta adalah salah satu bagian juga dari upaya “kejar setoran”. Mengapa? Karena untuk jalur SNMPTN, mahasiswa baru ITB “hanya” membayar Rp. 7,5 juta saja.


ITB, UGM, UI dan PTN papan atas lainnya juga telah mengingkari fakta. Bahwa selama ini “jalur gemuk” SNMPTN, yang dimulai pada tahun 1989 dengan nama Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) kemudian berganti-ganti nama -----antara lain terakhir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sejak 2002, sebelum berganti nama SNMPTN sejak tahun 2008 hingga sekarang ini----- adalah seleksi yang sangat berkualitas, kredibel, dan efisien. Secara akademis hasilnya berkualitas tinggi karena calon mahasiswa yang diterima adalah mereka yang berhak atas kecerdasannya dan tidak ditentukan atau tidak diembel-embeli lagi oleh tebal tidaknya kantung orangtua calon mahasiswa. Kredibel karena penyelenggaraannya dilakukan sangat jujur, dimana secara nasional dari Aceh sampai Papua tidak pernah ada kasus kebocoran soal ujian; dan bahwa ada kasus joki pun telah berhasil ditindak secara pidana; sehingga tidak mempengaruhi hasil secara keseluruhan. Efisien dan hemat secara ekonomi karena setiap calon tidak perlu mendatangi masing-masing PTN yang menjadi pilihannya tetapi hanya cukup datang dan mendaptar kepada Panitia Lokal SNMPTN di PTN terdekat dengan domisili sang calon mahasiswa.


Disertasi DR. Toemin A. Maksoem yang berjudul “Hasil UMPTN Lebih Tajam dari pada Nilai Ebtanas Murni untuk Digunakan sebagai Kriteria Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri” yang dipertahankan di IPB, Bogor pada tahun 1996, telah membuktikan tentang kredibilitas seleksi UMPTN ini. Disertasi ini kemudian dibukukan dengan judul “Mana Yang lebih Dapat Diandalkan Ebtanas atau UMPTN” (Penerbit UI Press 1997) semakin membuka mata publik, bahwa Nilai Ebtanas Murni tidak dapat menggantikan UMPTN sebagai alat seleksi untuk memilih calon mahasiswa baru PTN.


Tak mengherankan bila komunitas pendidikan tinggi di dunia internasional pun sangat mengapresiasi kredibilitas penyelenggaraan UMPTN di Indonesia. Ini terbukti dalam kriteria Selektivitas Mahasiswa dalam ranking perguruan tinggi di Asia Pasifik versi majalah “AsiaWeek” (Hong Kong) , PTN-PTN Indonesia menduduki skor tertinggi yakni ITB nomor 1, UI nomor 5, UGM nomor 6, Undip nomor 19 dan Unair nomor 37 (“Time of Ferment”, Cover Story Education, Asia Week, 30 Juni 2000).


Kembalikan Kuota bagi Yang Berhak


Penyelenggaraan SNMPTN 2009 telah dilaksanakan pada tanggal 1-2 Juli 20009. Maka adalah sangat adil bila kuota atau kursi SNMPTN 2009 dikembalikan kepada yang berhak. Mumpung masih dalam proses penilaian sehngga belum diputuskan berapa jumlah yang diterima melalui jalur SNMPTN ini. Maka kita berharap, melalui jalur SNMPTN 2009 inilah PTN-PTN di Indonesia harus menyediakan kuota terbesar dari total kursi yang tersedia bagi calon mahasiswa semester baru nanti dibanding jalur seleksi mandiri dari masing-masing PTN yang telah ditetapkan penerimaannya.


Langkah Universitas Brawijaya (Unbraw), Malang dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, yang memberi kuota di atas 90% melalui jalur SNMPTN 2008 dari total kursi mahasiswa baru, perlu dihargai tinggi. Unbraw dan ITS telah memenuhi kewajiban moralnya untuk berpihak kepada calon mahasiswa cerdas tapi miskin orangtuanya. ITB -----sebagai PTN bidang Teknologi terbaik nomor 21 di Asia dan nomor 90 di dunia versi Time Higher Education QS 2008 (Dunia) dan 2009 (Asia)----- yang memberi kuota 80% pada SNMPTN 2008 hendaknya mengurungkan niatnya untuk menurunkan lagi kuotanya ke angka 70%. Bukankah ITB sebagai pemegang rekor perolehan calon mahasiswa terbaik kelompok IPA berturut-turut sejak tahun 1989 UMPTN diselenggarakan; ternyata telah memetik buahnya lebih awal antara lain terbukti para mahasiswa ITB telah memenangkan begitu banyak atribut keberhasilan pada berbagai kejuaraan karya ilmiah mahasiswa di tingkat dunia!


Bila SNMPTN telah terbukti bertahun-tahun sebagai seleksi yang secara akademis sangat berkualitas; kredibel dalam penyelenggaraannya dan sangat efisien secara ekonomis. Lalu mengapa PTN sebagai milik negara menutup mata tentang fakta ini?
Disinilah memang Pemerintah benar-benar telah cuci tangan! Pemerintah mengalihkan kewajiban mencerdaskan warga negaranya sesuai UUD 1945 menjadi beban masing-masing PTN dengan cara mereka disuruh “kejar setoran”. PTN selalu berkilah bahwa perolehan dana dari biaya masuk mahasiswa baru dan SPP mahasiswa reguler hanya bagian kecil saja dari sumber pembiayaan PTN dibanding sumber-sumber lainnya seperti perolehan Dana APBN, Jasa Riset Pesanan, Dana Kejasama, Hibah, Donasi Sponsor, dan lainnya. Sekarang kilah ini sudah tidak tepat lagi, karena nyata-nyata PTN berlomba “kejar setoran” dengan “berjualan kursi” semahal mungkin. Terlebih kepada ratusan mahasiswa asing pada Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatra Utara yang harus membayar untuk 10 semester sekitar US$40.000/mahasiswa asing.


Hal itu jelas telah menghasilkan dana yang sangat signifikan bagi PTN-PTN tersebut. Dan karena berat di ongkos itulah, ujung-ujungnya mahasiswa cerdas dari orangtua miskin juga yang jadi korban. Hak mereka untuk menikmati pendidikan yang dijamin UUD 1945 menjadi tersisihkan karena malah kursinya diberikan kepada mahasiswa asing.

Anggun Menginspirasi. Siapa Lagi Mau Menaklukkan Dunia?

Oleh Cardiyan HIS

Kabar mengejutkan datang dari penyanyi asli Indonesia Anggun C. Sasmi. Anggun dinobatkan AOL (American Online Survey) sebagai peringkat 4 Diva Dunia!!!!


Ia berhasil mengalahkan Beyonce Knowles yang duduk di peringkat lima. Bisa melampaui Beyonce, Anggun mengaku heran. “Cukup kaget. Nggak nyangka. Saya juga baru tahu,” ujar Anggun. Di mata Anggun, bisa mengalahkan Beyonce bukanlah sebuah patokan. Pelantun “Crazy” itu menilai cap diva sangatlah objektif.


“Nggak terlalu surprise. Kenapa? Karena buat aku kualitas tidak diukur dari itu. Tapi siapa yang berani bilang aku lebih baik dari Beyonce, karena itu subjektif,” katanya. Dalam survei yang diambil pada 13 Maret 2009 lalu itu posisi pertama diraih oleh Kylie Minoque, kedua Vanessa Paradis, ketiga Rihanna, keempat Anggun, sementara posisi kelima diduduki Beyonce Knowles.


Meski senang, Anggun menganggapnya biasa-biasa saja agar tak membuatnya besar kepala. “Jujur aku senang, tapi nggak terlalu serius,” ungkap pelantun “Savior”, soundtrack film “Transporter 2” itu.
Bagus kalau begitu. Karena inilah sikap seorang profesional sejati yang bernama Anggun. Ia rupanya telah semakin dewasa karena sudah puluhan tahun merintis kariernya di Paris dan membuktikan kerja kerasnya berbuah manis.


Dan yang kita tunggu sekarang adalah siapa diva Indonesia yang mau meneruskan karier seperti Anggun. Dulu Kris Dayanti berniat “goes international” juga. Begitu pula Agnes Monica. Tetapi entah mengapa keduanya tak kedengaran lagi beritanya. Mungkin Kris Dayanti sudah merasa cukup dengan “comfort zone”-nya di Indonesia saja karena barangkali apa yang diinginkannya sejak kecil semua sudah diraihnya. Lagi pula sudah berkeluarga dengan dua anak masih kecil-kecil. Namun Agnes masih muda.


Barangkali ada lagi yang lebih muda yang masih berani menerima tantangan? Atau grup band lelaki yang terus terang bakatnya berserakan di Indonesia tetapi entah bisa berkembang bila terjun ke neraka kompetisi dunia. Coba. Cobalah kuasai dunia. Anggun saja bisa!!!!

Belajar Kebaikan Negara kepada Norwegia

Oleh Cardiyan HIS



Norwegia melepas seluruh saham bernilai US$ 850 juta dari Rio Tinto Group. karena Norwegia tak mau ikut berperan terhadap kerusakan lingkungan di Papua, Indonesia.


Kita selama ini lebih sering mendengar bagaimana kejahatan suatu negara
menghancurkan negara lain. Sehingga mereka merugikan rakyat tak berdosa. Tingkah negara
adidaya Amerika Serikat terhadap rakyat Irak misalnya, menjadi contoh kejahatan negarayang sangat kasat mata. Begitu pula perilaku Israel terhadap Palestina sama sajayakni tidak beradab. Kejahatan negara Israel telah dipertontonkan terhadap rakyat Palestina demikian biadab, seperti tanpa perasaan berdosa.


Yang terjadi sebaliknya adalah dengan Pemerintah Norwegia terhadap Rio Tinto Group. Negara makmur dari Skandinavia ini, telah melepas seluruh sahamnya senilai US$ 850 juta yang berasal dari Dana Pensiun negerinya pada perusahaan tambang Rio Tinto Group. Pemerintah Norwegia yang memperoleh penghasilan negaranya dari pendapatan minyak dan gas serta pajak; dalam berinvestasi menggunakan lembaga Dana Pensiun Pemerintah yang selalu memperhatikan saran dari Komite Etik. Keputusan Pemerintah Norwegia ini diambil setelah menengarai dan mengamati bahwa Rio Tinto Group sangat turut berperan aktif atas kerusakan lingkungan yang fatal di Indonesia, khususnya Papua akibat kegiatan penambangan Rio Tinto yang sangat eksploitatif.
Wah rasanya bagai menerima angin segar betapa masih ada Kebaikan Negara. Kebaikan Negara Norwegia yang mengedepankan hati nurani ketimbang nafsu mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari investasi bisnis.


Sungguh tindakan nyata Norwegia ini mencerminkan betapa nilai persahabatan antar negara yang berdaulat Norwegia dengan Indonesia; lebih penting dari pada hubungan bisnis jangka pendek. Pantas negara Norwegia ini telah lama menjadi negara yang makmur dan sejahtera bersama saudaranya di Swedia, Finlandia dan Denmark.
Apakah negara Indonesia sendiri sudah berbaik hati untuk melindungi rakyatnya? Belajarlah kepada pemerintah Norwegia yang ternyata diam-diam membuktikan sangat bersahabat dengan rakyat Indonesia.


Salam persahabatan untuk Rakyat Norwegia,

Polisi Hutan Nganggur, Aktivis LSM Alih Profesi

Oleh Cardiyan HIS




Polisi Hutan nganggur. Begitu juga banyak aktivis LSM alih profesi. Itulah kekhawatiran Polisi Hutan (Polhut) dan aktivis LSM yang kini menjadi pembicaraan hangat di Kalimantan khususnya Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.


Polhut nganggur karena penyebabnya jelas. Yakni hutan habis karena dibabat terus untuk perkebunan kelapa sawit. Hilangnya hutan berarti hilangnya profesi mereka. Untuk apa ada Polhut kalau sudah tidak ada hutan lagi?


Salah seorang aktivis LSM untuk perlindungan Orang Hutan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah memberikan solusi agar memindahkan mereka ke PT. Kereta Api di pulau Jawa dan Sumatra saja; yakni menjadi Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska). Diharapkan, kebijakan ini dapat menggairahkan transportasi massal KA yang murah dan ramah lingkungan. Sehingga tidak ada lagi penumpang gelap KA karena cukup banyak Polsuska yang berjaga-jaga di KA. Tidak ada lagi pencurian rel dan kawat/kabel karena siang malam Polsuska berjaga-jaga di sepanjang rel kalau perlu setiap 1 km. Malah ada yang menyarankan bekerja di Jasa Marga saja khususnya untuk menjaga jembatan Suramadu, Surabaya-Madura agar tak dipreteli lagi sekrup-sekrup dan lampunya.


Populasi Polhut apakah memang sudah melampaui kebutuhan dengan semakin kurangnya areal hutan lindung? Ataukah rasionya menjadi pas karena hutan lindungnya tinggal sedikit. Kalau jumlah Polhut pas tentu semakin efektif untuk menjaga hutan dari para penjarah hutan.


Namun masalah utamanya kembali bukan soal Polhut agar tidak nganggur dan aktivis LSM tidak alih profesi menjadi pekerja perkebunan sawit. Tetapi bagaimana mengubah pola pikir para pengambil kebijakan di daerah (Bupati) dan di Jakarta (Departemen Kehutanan RI) untuk tidak mengobral ijin perkebunan sawit dengan cara menggusur hutan lindung.


Mereka mestinya meniru apa yang dilakukan oleh Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi yang telah menyetop investasi asing (baca: Malaysia) untuk sektor perkebunan sawit karena lahan cadangan tinggal 40.000 ha lagi saja. Itu pun harus dibagi untuk berbagai keperluan seperti untuk lahan pertanian dan pertambangan. Sebelumnya Gubernur Sumbar telah memberikan izin investasi seluas 54.166 ha bagi investor asing.


Apalagi kebun sawit yang menguasai Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur itu dimiliki mayoritas sahamnya oleh orang Malaysia juga. Wah, tambah gawat. Mereka inilah yang sebenarnya paling senang main bakar hutan agar penyiapan lahannya lebih cepat selesai dan dengan demikian jauh lebih murah biayanya. Sementara pemerintah Malaysia protes keras Indonesia karena mengekspor asap yang membuat ibu kota Kuala Lumpur dan semua negara bagian Malaysia berkabut tebal.


Para aktivis LSM akhirnya menghimbau, agar bila kelak Presiden RI telah terpilih. Maka ia harus cepat bertindak agar mereka tidak kehilangan pekerjaan. Salah satunya adalah merombak Departemen Kehutanan RI menjadi Departemen Perkebunan RI. Dengan demikian, ke depannya profesi Polhut berubah menjadi Polbun (Polisi Perkebunan) dan para aktivis LSM benar-benar alih profesi menjadi pekerja perkebunan sawit.- *****

ITB Berjaya, ITB Prihatin

Oleh Cardiyan HIS



ITB berusia tepat 50 tahun pada 2 Maret 2009. Maka peringatan kali ini bertajuk “Dies Emas ITB”. Pada saat meresmikan nama Institut Teknologi Bandung pada 2 Maret 1959, Presiden RI Ir. Soekarno, menegaskan bahwa kita tidak perlu mendirikan institut ini kecuali untuk membangun Bangsa yang Bermartabat dan Berdaulat.



“ITB” yang secara fisik sebenarnya berdiri sejak tahun 1920 dengan nama Technische Hoogeschool Bandung dan mengkhususkan diri di bidang sains, teknologi dan seni, sudah dengan sendirinya kontras di antara ratusan perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Usia ITB yang demikian panjang sudah lebih dari cukup memberinya pengalaman dan harga diri yang tinggi bagi alumni dan civitas academica yang telah mencapai lebih dari 70.000 orang. Dua orang alumninya bahkan telah menjadi Presiden Republik Indonesia Pertama yakni Ir. Soekarno dan Presiden Republik Indonesia Ketiga yakni Prof.DR (Ing)., BJ Habibie. Dan Ir. Djuanda Kartawidjaja telah menjadi Perdana Menteri RI pula dengan begitu banyak terobosan salah satu di antaranya yang paling menonjol adalah tentang konsep Zona Ekonomi Eksklusif yang kemudian membawa Wawasan Nusantara diakui dunia dalam peta hukum laut internasional. Bahkan dari “sisi jelek” sejarah kenegaraan RI, dua presiden separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Negara Pasundan juga adalah alumni ITB!


Tak terhitung sudah berapa alumni ITB yang menduduki jabatan Menteri atau setingkat Menteri dalam sejarah Kabinet Republik Indonesia sejak Indonesia merdeka. “Kalau dari universitas lain itu dosennya jadi Menteri, kalau dari ITB cukup diwakili oleh ‘mahasiswanya’ saja! Sayang kalau dosennya harus meninggalkan kampus tercinta”, canda Prof.Ir. Saswinadi Sasmojo, PhD. Dalam lembaga legislatif ternyata banyak juga politikus alumni ITB yang cukup menonjol dalam membawakan aspirasi rakyat konstituennya.


Sementara di kalangan dunia usaha, para alumni ITB begitu impresif mendominasi pimpinan puncak perusahaan raksasa nasional maupun internasional, baik sebagai entrepreneur (pemilik), maupun sebagai top eksekutif profesional. Nama-nama Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, Ciputra, TP Rachmat, Benny Subianto, Iman Taufik untuk sekedar menyebut beberapa di antaranya adalah para entrepreneur sukses kelas dunia.


ITB sebagai PT sangat diakui di dunia internasional pada berbagai fora pemeringkatan PT dunia. Ini karena ITB memiliki tradisi akademik tinggi, yang relatif terukur baik, secara terus menerus dari tahun ke tahun. Dimulai sejak sangat kompetitifnya Selektivitas Mahasiswa ITB, yang dalam sejarah seleksi nasional UMPTN (Ujian Masuk PerguruanTinggi Negeri) atau USM (Ujian Saringan Masuk) PTN dari tahun ke tahun, para calon mahasiswa yang memilih ITB adalah 80% berada pada peringkat 1-2.500 dan 20% berada pada peringkat 2.501-12.500 dari rata-rata 450.000 peserta seleksi masuk mahasiswa. Tak mengherankan bila majalah ”AsiaWeek”, Hong Kong, pada edisi 30 Juni 2000 menempatkan ITB pada posisi nomor 1 (satu) di Asia Pasifik untuk kriteria Selektivitas Mahasiswa. Dan buahnya memang sudah mulai terpetik dengan berhasilnya para mahasiswa ITB memenangkan berbagai lomba karya ilmiah pada kejuaraan tingkat dunia yang diselenggarakan dan atau dibiayai oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti Microsoft Incorporation, ‘L‘Oreal, Toyota, Sony Ericsson, Fuji Xerox, Philips, Bayer, Samsung, Hitachi, Toray.


Para dosen ITB dengan segala keterbatasan gaji yang diterima dan dana riset ITB yang sangat terbatas yakni cuma Rp. 41,9 miliar (lebih kurang US$ 4 juta) per tahun 2008, -----bandingkan dengan National University of Singapore belanja riset tahun fiskal 2007 adalah US$470,8 juta----- harus diacungi jempol pula. Karena hasil penelitian mereka berbasis paten telah mampu mencetak lebih dari 100 paten nasional dan internasional dimana 40 paten telah siap lisensi dan 15 paten telah laku dikomersialisasi. Tulisan-tulisan hasil riset para dosen ITB banyak dimuat di jurnal ilmiah bergengsi kelas dunia seperti “Nature”, “Science”, “Lancet”, “Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America”, “Earth and Planetary Science Letters”, “Physical Review”, “Advanced Materials”, “Modern Physics Letter” “Japanese Journal of Applied Physics”, “American Journal of Cardiology”, “British Journal of Haematology”, “Human Genetics”, “Molecular Biology”, “Chemical Physics”, “Planta”, “World Development”, “Habitat”, “Urban Studies”. Karena berhasil dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia itu, maka tulisan-tulisan dosen ITB dijadikan artikel rujukan (Cited Article) oleh para peneliti kelas dunia dengan frekwensi ribuan kali (Times Cited).


Reputasi Akademik Dosen ITB itulah yang dinilai oleh 6.354 Academic Peer Reviewer di berbagai belahan dunia, telah membawa ITB ke tangga terhormat pemeringkatan PT dunia versi “The Time Higher Education QS” (Inggris) 2008 (www.topuniversities.com). ITB satu-satunya PT dari Indonesia yang masuk ”100 Terbaik Dunia” yakni pada posisi 90 pada area Teknologi (Engineering and Information Technology). Dan peringkat 143 untuk area Natural Sciences dan 210 untuk area Life Sciences and Biomedicine. Padahal seperti kata-kata mantan Rektor Imperial College London (UK), Sir Richard Sykes: “Peer Review is an effective way to evaluate universities. It takes smart people to recognize smart people” (Ibid). Academic Peer Review memang memiliki bobot kriteria penilaian tertinggi yakni 40% dibanding kriteria Employer Review (10%), Faculty Student Ratio (20%), Citation per Faculty(20%), International Faculty (5%), International Students (5%).


Sebenarnya peringkat ITB ini akan jauh lebih baik lagi kalau kriteria Citation Index diterapkan secara konsisten oleh “The Time” yakni jumlah artikel dosen yang dipublikasikan (Cited Article) dan jumlah frekwensi artikel dosen dirujuk (Times Cited) dibagi dengan jumlah populasi dosen masing-masing PT. Karena ketidak-konsistenan “The Time” ini sangat menguntungkan bagi PT-PT besar yang memiliki dosen jauh lebih banyak bahkan bisa 5 kali lebih banyak dari jumlah dosen ITB yang hanya 1.035 orang (dimana di antaranya 775 orang bergelar PhD). PT-PT besar sangat diuntungkan peringkatnya karena jumlah artikel dosen dan jumlah frekwensi artikel dirujuk dijumlahkan begitu saja. Kesalahan sistemik kriteria “The Time” ini akan selalu menghadang terus skor prestasi ITB relatif dibanding PT-PT besar.


Sejauh Mata Memandang, Sedalam Batin Mengendap


Dengan reputasi ITB sedemikian gemerlap; ibarat sejauh mata memandang. Namun ternyata peranan ITB bagi sejarah Republik Indonesia hanya “biasa-biasa saja”. Ah, ibarat sedalam batin mengendap. Bahkan diduga kuat, ITB ikut pula berperan besar dalam keterpurukan negara Indonesia tercinta ini menjadi negara penuh skandal memalukan. Sehingga Krisis Moneter yang mengawalinya telah meningkat menjadi Krisis Multi Dimensi hingga sekarang ini? (Cukuplah Kampus Mencetak Garong, HU “Pikiran Rakyat”, 5 Maret 2006).


Barangkali penilaian itu memang terlalu ekstrim. Sehingga akibat berita yang “diplintir” wartawan “Pikiran Rakyat” -----atas makalah saya di acara seminar yang diselenggarakan oleh Kabinet Mahasiswa ITB di Aula Timur ITB pada 4 Maret 2006 itu------ saya sempat “dikeroyok” oleh dosen-dosen ITB sebagai penilaian yang sangat kejam. Mungkin yang lebih “halus” atau “fair” adalah guyonan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla ketika memberikan sambutan pada Dies Emas ITB, 2 Maret 2009 ybl; “Mengapa sejarah semua menteri pertambangan dan energi selalu dipegang oleh alumni ITB tetapi produksi migas terus menurun hingga sekarang ini? Mengapa menteri-menteri perhubungan alumni ITB tak mampu mencegah kemacetan lalu-lintas luar biasa di kota-kota besar dan kecelakaan terus meningkat? Mengapa direksi PLN yang selalu didominasi alumni ITB tak berdaya mencegah pemadaman listrik?”.


Tentu, hal ini harus dijadikan bahan renungan oleh ITB dan Manusia ITB dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Apalagi karena sudah semakin banyak suara-suara sumbang yang bernada antipati yang ditujukan kepada ITB. Baik terhadap ITB sebagai lembaga Pendidikan Tinggi maupun Manusia ITB. Terhadap ITB sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi dikeluhkan seolah-olah di Indonesia hanya ITB-lah yang paling baik.


Dan tidak kurang pimpinan PT (lain) yang menjadi tambah sulit tugasnya dalam mengatur mahasiswa di kampusnya masing-masing karena “intervensi” perilaku mahasiswa ITB. Memang, sikap para mahasiswa ITB adalah kompak dan solid sekali. Kalau dalam bahasa sosiologi istilahnya: memiliki ”ingroup feeling” kuat sekali. Kekompakan dan ”ingroup feeling” yang kuat tentu saja positip. Tetapi kalau hal itu membuat suatu kelompok terisolasi dari kelompok lain dalam masyarakat, apalagi kalau menimbulkan fanatisme dan chauvinisme sempit. Maka hal ini justru akan membahayakan kelompok itu sendiri.


Terhadap Manusia ITB (baca: alumni ITB), keluhan umum yang acap terdengar adalah sikap yang mau mendominasi orang lain. Manusia ITB memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Bahkan cenderung “narsis”. Sehingga seringkali ”under estimate” terhadap lulusan kampus lain. Itulah “kehebatan” alumni ITB yang sungguh sangat memalukan. “Bisa merasa lebih hebat dari seorang Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, hanya karena lulus dari ITB”, tulis Irsal Imran, PhD (alumnus Teknik Sipil ITB yang kini bekerja di Amerika Serikat) di mailist Ikatan Alumni ITB. Sehingga orang yang sebetulnya punya kemampuan lebih banyak “tidak dibolehkan” oleh para alumni ITB menerima gelar Doktor Honoris Causa dari ITB. Padahal Senat Guru Besar ITB yang memiliki kompetensi dan wewenang untuk itu, melalui voting telah memberikan rekomendasi kepada Rektor ITB untuk menindak-lanjuti pemberian gelar DHC tersebut dengan segala risikonya.


Menurut guru besar psikologi UI, Sarlito Wirawan Sarwono (yang sering kali mewawancarai psikologi dalam rangka rekrutmen calon-calon staf perusahaan-perusahaan kliennya) bahkan dibandingkan dengan lulusan kampus luar negeri pun ----yang seperti Manusia ITB juga memiliki kepercayaan diri sangat tinggi. Tetapi yang lulusan PT luar negeri sering masih menunjukkan sikap ragu-ragu, yang hampir-hampir tidak terdapat pada Manusia ITB (Cardiyan HIS, ITB dan Manusia ITB untuk Indonesia Inc., Penerbit PT. Sulaksana Watinsa Indonesia, Jakarta, 1991).


Tak sedikit yang menyarankan agar ITB dan Manusia ITB dapat menjadi pendengar yang lebih baik. Apalagi ada menggejala timbulnya anakronisme pribadi mahasiswa dan atau alumni ITB yang berbau metafisika. Banyak di antara mereka yang menemukan diri terlempar ke medan kekaguman serta penghargaan masyarakat. Tetapi ternyata mereka tak mampu berbuat sesuatu sesuai dengan harapan masyarakat. Nah lho!


Mencetak Entrepreneur Berbasis Kampus


Salah satu jawaban atas pertanyaan; mengapa perkembangan PT di Singapura demikian pesat padahal pada awal tahun 1970-an NUS, Singapura dan NTU, Singapura boleh dikatakan masih sejajar dengan ITB -----karena ITB yang memiliki jumlah dosen bergelar PhD terbanyak di Asia Tenggara ketika itu juga mendidik sedikitnya 600 mahasiswa asing asal Malaysia dan puluhan asal Thailand dan Papua New Guinea? Karena pemerintah Singapura kredibel dan sangat peduli pendidikan. Mereka mampu dan berani membelanjakan biaya pendidikan dengan melimpah ketika negaranya mulai memiliki dana cukup. Dan terbukti mereka menikmati buahnya sekarang. Sementara pemerintah rezim Soeharto dan presiden-presiden berikutnya berpikir sebaliknya.


NUS misalnya, untuk pertama kalinya pada tahun fiskal 2007 memecahkan rekor belanja riset yakni sebesar US$ 470,8 juta dibanding US$ 181,0 juta pada tahun 2001. Belanja riset NUS ini menempatkan NUS pada posisi nomor 6 di dunia setelah California Institute of Technology (US$ 1.780,6 juta)), MIT (US$ 598,3 juta), Harvard University (US$ 569,9 juta), Oxford University (527,7 juta) dan Kyoto University (US$ 527,5 juta). Dengan demikian NUS mampu membayar dosen-dosen peneliti terbaik dari berbagai penjuru dunia untuk mau mengajar dan meneliti di NUS. Secara otomatis kualitas pengajaran, kualitas riset dan Citation Index dosen-dosen NUS terangkat dengan sendirinya. Sehingga tak mengherankan berbagai mahasiswa asing mengincar Singapura sebagai salah satu tujuan pendidikan tinggi terbaik di dunia. Disinilah, Singapura memiliki kemampuan manajemen yang unggul sebagai ”Entrepreneur Pendidikan”. Sehingga mampu menjual kualitas institusi pendidikannya karena mereka didukung dosen-dosen terbaik di dunia yang direkrut Singapura dengan imbalan remunerasi yang sangat menggiurkan.


Inkubator bisnis mahasiswa yang dikembangkan NUS sebagai cikal bakal pencetakan entrepreneur berbasis kampus bahkan sudah punya ”outlet” di Silicon Valley, USA. Dana pertamanya US$ 100.000 merupakan sumbangan para alumni NUS. Mereka merancang dunia pendidikan selalu berkaitan dengan dunia industri. Singapura dengan dana yang melimpah mendidik dan memotivasi agar para mahasiswanya kelak menjadi pemimpin dunia usaha. Mereka menjadi “bos” bagi para ”tukang insinyur” atau ”kuli-kuli tingkat tinggi” -----kebanyakan berasal dari Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja dsb yang memang memiliki talenta bagus tetapi negaranya miskin----- yang berasal dari para penerima beasiswa NUS dan NTU yang terijon untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan Singapura bila lulus kelak.


Oleh karena itu, bagi ITB yang telah mendapatkan bibit-bibit unggul mahasiswa memiliki kewajiban untuk memberikan nilai tambah tinggi terhadap para mahasiswanya, baik yang sifatnya kurikuler maupun dalam hal pengembangan soft skills. Tak cukup itu, ITB hendaknya bekerja sama intensif dengan para alumni ITB untuk mengarahkan lebih banyak mahasiswanya memahami dunia industri dengan menyuntikkan virus-virus entrepreneurship sedini mungkin, sejak mereka masuk ITB. Mereka hendaknya diberikan sebanyak mungkin proses latihan, untuk berani mencoba melakukan dan merealisasikan ide menjadi sesuatu karya semasa mereka di kampus.


ITB jangan traumatis dengan kejadian “Orientasi Studi Mahasiswa” yang telah memakan dua korban dalam sejarah ITB. Ini masalah perlunya keseriusan manajemen ITB dalam menghadapi dinamika kemahasiswaan saja. Kasus ini tak adil bila dibandingkan dengan kejadian di sebuah kampus yang secara brutal memang telah melakukan kegiatan tidak beradab berupa penyiksaan secara fisik. Tak boleh terjadi pula “pengadilan” terhadap para aktivis kampus ITB dengan “cara pendekatan kekuasaan”. “Penegakan keadilan” atas mahasiswa di kampus hanya bisa didekati dengan pendekatan pendidikan. Biarkan proses ”trial and error” mahasiswa ITB pada berbagai unit aktivitas kampus ini berjalan sebagai tradisi menuju filosofi kerja sebuah perusahaan modern atau filosofi masyarakat modern. Bahwa ”usaha keras adalah bagian sangat penting dari proses penghargaan suatu penampilan dan kegagalan dari usaha keras yang telah dilakukan akan tetap dapat simpati dari organisasi”. Kampus dijadikan basis bagi pencetakan “Entrepreneur Baru” dan juga bagi sebagian alumni yang bercita-cita menjadi “Birokrat Entrepreneur”.


Di kemudian hari, penulis sangat yakin bahwa filosofi ini akan membawa Manusia ITB sebagai lulusan yang di samping memiliki kecerdasan di atas rata-rata juga memiliki karakter kuat, bersikap berani mengambil risiko dalam mengambil keputusan yang inovatif atau keputusan terobosan bukan keputusan yang biasa-biasa saja. Dengan demikian pada akhirnya Ibu Pertiwi akan memiliki putra-putri terbaik yang menyemai pada taman sari yang sangat indah membentuk suatu Bangsa Pemberani bukan Bangsa Pengecut. Semangat inilah yang sebenarnya yang diinginkan oleh Bung Karno, ketika meresmikan nama ITB, agar ITB menjadi kampus pencetak manusia berkarakter.


Sejarah telah membuktikan tentang kemampuan mengembangkan diri negara-negara Skandinavia (seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia) sejak tahun 1870 dan begitu pula Jepang dan Korea Selatan. Keberhasilan mereka, secara garis besar dapat dijelaskan oleh kemajuan pendidikan dan kualitas institusi-institusinya; oleh kebijakan yang berorientasi ke depan dan semangat mengangkat kompetisi. Orientasi ke depan akan mendorong pertumbuhan dan produktivitas. Sebab perbedaan produktivitas pada suatu investasi dapat membuat perbedaan 1 sampai 2 persen terhadap tingkat pertumbuhan GNP per kapita. Hal ini dapat membantu mengubah stagnasi ekonomi ke dalam semangat untuk meningkatkan kemampuan entrepreneur domestik. Tak mengherankan mengapa Nokia yang dibuat oleh negara kecil Finlandia telah menjadi merek dengan nilai jual nomor 2 tertinggi di dunia setelah General Electric, AS. Begitu pula Volvo dan Ericsson yang buatan Swedia merupakan merek dagang yang telah sangat akrab di telinga kita karena memang telah lama mendunia. Dan tentu saja berbagai produk buatan Jepang dan Korea Selatan yang telah lama membanjiri pasar dan merasuki otak konsumen Indonesia.


Saya yakin Manusia ITB akan mampu melakukan hal serupa yang telah dilakukan manusia-manusia Jepang, Korea Selatan dan negara-negara Skandinavia, kalau melihat kepada potensi bakat unggul yang dimilikinya. Asalkan dalam proses pendidikan di ITB mereka telah diisi kompetensi keilmuannya dengan baik dari dosen-dosen yang baik pula. Kemudian diperkaya oleh proses latihan di kampus, pada berbagai bentuk aktivitas sosial pada lingkungan masyarakat yang telah melahirkannya dan pada proses magang di berbagai industri yang peduli dalam membentuk dan memperkuat jaringan Indonesia Incorporated.


Saya berangan-angan ITB dapat menjadi lokomotif penarik di masa-masa mendatang untuk memperkuat jaringan canggih ”Kampus-Industri-Pemerintah”. Bagaimana mensinergikan segitiga emas ini secara efektif akan meningkatkan kemampuan daya saing Indonesia Incorporated di peta negara-negara di dunia. Bukan tidak mungkin ITB akan mampu menjadi kampus pencetak banyak “Entrepreneur Masa Depan” dan juga sebagian “Birokrat Entrepreneur”. Dalam perjalanan panjangnya kemudian, mereka akan semakin menyadari. Bahwa untuk membentuk Indonesia Incorporated yang tangguh ternyata harus didukung oleh 3 pilar utama; yakni Pemanfaatan Sains dan Teknologi; Penegakan Hukum yang Adil Berwibawa dan, Membangun Entrepreneur Tangguh.


Bahkan bukan tidak mungkin pula ITB bisa meniru keberhasilan MIT, yang pada tahun 1994 saja menurut penelitian Boston Bank yang bertajuk “MIT: The Impact of Innovation”, para alumni MIT telah mampu membangun 4.000 perusahaan dengan ”sales turnover” US$232 milyar. Sehingga mereka mampu membuka kesempatan kerja bagi 1.100.000 orang di berbagai dunia. Pencapaian ini telah menempatkan MIT sama dengan kekuatan ekonomi dunia pada urutan ke 24 karena sales turnover-nya setara 2 kali GDP Afrika Selatan yang besarnya US$ 116 milyar (MIT Graduates Have Started 4,000 Companies With 1,100,000 Jobs, $232 Billion in Sales in ’94, http://web.mit.edu/newsoffice/1997/jobs.html).


Kalau MIT yang sudah demikian hebat performanya saja masih dikucuri dana investasi Pemerintah AS yakni 70% perolehan dana risetnya berasal dari Pemerintah Federal yang memberikan proyek-proyek riset dasar skala besar, sedangkan proyek riset lainnya berasal dari perusahaan-perusahaan industri multinasional dan organisasi nirlaba milik para filantropis kaya raya. Begitu pula Seoul National University (SNU), Korea Selatan, kendatipun telah menghasilkan riset-riset kelas dunia dan berhasil dikomersialisasi, ternyata secara reguler masih tetap menerima kucuran dana sebesar US$ 50 juta per tahun untuk keperluan risetnya dari Pemerintah Korea Selatan.


Maka sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia juga harus memberikan perhatian yang lebih besar tentang masalah dana riset ini kepada ITB dan PT lainnya agar kita mampu berkiprah lebih jauh bagi kemajuan Bangsa Indonesia. Jangan dengan diberlakukannya Badan Hukum Pendidikan (BHP) bagi PT-PT di Indonesia sebagai cara pemerintah cuci tangan dari kewajiban mencerdaskan bangsa dan mengalihkan bebannya kepada masyarakat! Sebab, ujung-ujungnya yang jadi korban adalah anak-anak berbakat tetapi orang-tuanya miskin. Jangankan bisa diterima di PTN sedangkan untuk mencoba ikut seleksinya pun mereka sudah ketakutan lebih dulu karena berat di ongkos!