Selasa, 16 Februari 2010

Saatnya Rektor Menegor Profesor

Saatnya Rektor Menegor Profesor

Oleh Cardiyan HIS


Menteri Pendidikan Nasional Prof.DR. M. Nuh gundah. Ternyata begitu mudah memperoleh gelar profesor di Indonesia. Ia mengeluh kemudahan itu tak diimbangi oleh karya penelitian yang berkualitas yang tercermin tulisannya dimuat di jurnal ilmiah internasional kredibel. Bahkan M.Nuh gerah ternyata ia menemukan fakta setidaknya ada dua Rektor universitas terkenal di Jawa Barat dan Jawa Timur yang tak memiliki karya penelitian yang dimuat di jurnal ilmiah internasional.

Karena kemudahan menjadi profesor di Indonesia, tak mengherankan kini ada istilah “Profesor Masturbasi”. Yakni, seseorang yang mendapatkan gelar keprofesorannya melalui karya yang dilakukan sendiri. Penelitian dilakukan sendiri (biaya sendiri, tidak berkolaborasi dengan lembaga lain), ditulis sendiri (tidak di-review oleh ahli sebidang dari negara lain, tetapi di-review oleh teman sendiri), dipublikasikan di jurnalnya (milik lembaga sendiri), lalu untuk naik pangkat/jabatan sendiri. Cerdas juga yang membuat istilah tersebut karena masturbasi memang dilakukan sendiri, bahkan cenderung sembunyi-sembunyi (http://jawapos. co.id/halaman/ index.php? act=detail&nid=116798).

Memang betul ada etika yang berlaku universal pada universitas-universitas kelas dunia bahwa karya seorang dosen peneliti “tak boleh” dinilai oleh kolega yang mantan profesor pembimbing dan atau co-promotor disertasinya; kolega yang pernah satu tim dalam penelitian, kolega yang pernah menjadi co-author penulisan di jurnal ilmiah. Peer Reviewer harus berasal dari dosen peneliti universitas di luar negaranya, yang kemampuan menelitinya telah berkelas internasional. Karya yang dinilai pun “tak boleh” hanya dimuat sebagai paper di sebuah konferensi atau seminar internasional yang kemudian ramai-ramai dijadikan “Proceedings”. Juga “tak boleh” hanya dimuat di jurnal nasional yang tak memiliki akreditasi internasional.

Sejak jaman dahulu kala memang sudah ada adagium yang sudah sangat meresap di kalangan masyarakat kampus berkualitas yakni “publish or perish” (“menulis dan mempublikasikannya di jurnal ilmiah internasional kredibel atau mati”). Bagi seorang dosen peneliti apalagi bila ia seorang profesor, bila tak ada satu pun tulisannya dimuat di jurnal kelas dunia yang memiliki Impact Factor adalah suatu aib besar. Maka tak mengherankan bila ada berita nyata seorang doktor lulusan Stanford University di Amerika Serikat (AS) mundur dari sebuah lembaga penelitian terpandang dan beralih profesi menjadi supir taksi. Entah berapa doktor lagi lulusan universitas kelas dunia di AS yang beralih profesi sebagai pelayan hotel, tukang cuci piring di restoran dan entah apa lagi. Sedangkan di Indonesia, seorang profesor doktor tak mungkin nganggur hanya gara-gara tak memiliki karya tulis di jurnal ilmiah internasional; gajinya yang diraih di era SBY yang sudah naik jauh menjadi Rp. 15 juta/bulan pun akan aman-aman saja masuk rekening banknya. Bahkan boleh jadi kalau sang profesor pintar “cakap” masih laku pula menjadi pengamat di media elektronik televisi; menjadi seorang selebritas yang genit.

Kalau pembaca tak punya akses ke Web of Science: ISI Knowledge yang harga langganannya Rp. 800 juta rupiah/tahun atau Scopus yang “lebih murah” Rp. 300 juta/tahun, sehingga untuk itu ITB misalnya, berturut-turut dikasih Dana Hibah Inggris untuk berlangganan ISI Web of Science (3 tahun sebelumnya) dan Chevron Texaco (2 tahun terakhir ini). Maka dengan kemajuan teknologi informatika yang membuat hampir segala informasi begitu transparan, kita dengan mudah bisa melihat siapa profesor doktor di Indonesia dan di dunia yang tak memiliki karya penelitian yang dimuat di jurnal kredibel dunia seperti Nature, Science, Lancet. Asal tahu namanya; “Oom GoogleScholar” akan dengan mudah searching siapa profesor doktor yang hanya memiliki 1 (satu) Citation saja yakni tak lebih dari disertasi yang ditulisnya. “Satu disertasi sampai mati”, ungkap seorang kolega saya; ahli komunikasi senior sebuah universitas terkenal di ibukota yang gagal meraih doktor di Cornell University tetapi sering “berkilah dan membanggakan diri” (di banyak kesempatan pertemuan) masih mendingan menulis banyak artikel dan beberapa buku ketimbang satu disertasi doktor.

Di Indonesia, ITB meskipun yang bertahun-tahun merupakan barometer terbaik dari jumlah Citation para dosen penelitinya dibanding UI, UGM, IPB dan LIPI versi Scopus. Namun jumlah Citation ITB belum memberikan gambaran umum bagi setiap dosen yang bergelar PhD yang jumlahnya terbanyak pula di Indonesia yakni 775 PhD dari 1.025 seluruh dosennya; mampu mempublikasikan karya penelitiannya di jurnal internasional kredibel. Ternyata tidak sedikit pula kalangan PhD dan atau profesor ITB yang masih hanya memiliki satu Citation saja yakni disertasinya itu! Pemilik dua ratusan Citation terbanyak asal ITB masih “eta keneh eta keneh” (itu saja itu saja) antara lain Widiyantoro S, Halim M, Noer AS, Soenarko B, Soemarsono H, Hidayat R, Wenas WW, Hakim EH, Wiramihardja SD, Ariando, Gusnidar T, Pancoro, Onggo D, Linaya C, Suwono, Priadi, Cahyati, Hidayat T, Akhmaloka (Rektor ITB), Wenten IG, Hadi S, Adisasanto, Wuryanto A, Herdianita NR, Rusydi A, Widjaja J, Hasanuddin ZA, Retnoningrum, Baskoro ET, Sutjahja IM, Iskandar DT, Arismunandar, Dahono P.


Kriteria Harus Diubah

Kritikan Mendiknas M. Nuh meskipun sangat terlambat tetapi lebih baik dari pada tidak sama sekali. Oleh karena itu kriteria bagi persyaratan memperoleh profesor di Indonesia harus diubah. Bobot terbesar hendaknya diletakkan pada jumlah karya penelitian dosen yang berhasil dimuat di jurnal ilmiah internasional kredibel, yang memiliki Impact Factor. Kebijakan ini akan memacu para dosen peneliti yang bergelar PhD (Doktor) untuk terus melakukan penelitian berkualitas dan mampu mempublikasikannya di jurnal ilmiah internasional. Sebaliknya Mendiknas pun harus mengubah pandangan dalam mengalokasikan dana riset bagi perguruan tinggi tidak asal untuk melakukan riset. Tetapi mengubahnya menjadi dana riset yang jumlahnya besar tetapi tetap selektif untuk riset-riset dasar maupun riset terapan yang berkualitas.

Saatnya para Rektor pun menegor para profesor yang sampai sekarang hanya memiliki satu Citation yakni dari satu disertasinya saja. Bagi para doktor yang sudah terlanjur mendapat “pangkat” profesor dengan performa ini hendaknya “tobat” yakni kembali kepada suasana kondusif untuk fokus melakukan kegiatan meneliti dalam intensitas tinggi kemdian mempublikasikan karyanya di jurnal ilmiah internasional kredibel.

Juga secara sistimatis dan berjangka panjang, kalangan perguruan tinggi hendaknya menjadi lokomotif penarik bagi tumbuh berkembangnya organisasi profesi yang disamping mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai kebenaran, juga menjadi penerbit jurnal-jurnal ilmiah profesi yang independen, yang berkualitas internasional. Sehingga jurnal-jurnal profesi ini bisa menjadi wahana bagi para peneliti Indonesia untuk menuliskan karya-karya penelitiannya. Dengan demikian secara jangka panjang, Indonesia akan keluar dari predikat negara dunia ketiga yang kehilangan generasi peneliti; generasi yang hanya bisa mengkonsumsi teknologi impor tetapi tak mampu mengkreasi teknologi sendiri.


http://cardiyanhis.blogspot.com

Jumat, 12 Februari 2010

Tim Impian Indonesia Lolos ke Piala Dunia !!!

Oleh Cardiyan HIS







Indonesia adalah “Brazil Asia”. Yang ngomong bukan sembarang orang tetapi Ketua FIFA Sepp Blater. Tapi pujian itu hanya didedikasikan untuk tim nasional sepakbola Indonesia yang dikapteni oleh Soetjipto “Gareng” Soentoro. Dan komandan PSSI-nya jelas bukan Nurdin Halid pula tetapi kakak kandung Solichin GP yakni Kosasih Purwanegara.

Pada era 1960-an sampai medio 1970-an, kesebelasan Indonesia memang menjadi kesebelasan elite Asia kalau tak boleh dijuluki “Raja Asia” , yang sangat dihormati oleh kesebelasan-kesebelasan di Asia bahkan Eropa. Padahal modal kas PSSI semata-mata dari keuntungan bersih jualan karcis di stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, manakala Indonesia melawan tim-tim kelas dunia seperti Dynamo Moscow, Dynamo Kiev (dahulu masih Uni Soviet), Santos, Cruziero, Sao Paolo (Brazil), Independiente (Argentina), Cosmos dan Washington Diplomat (USA) dan lain-lain.

Saingan berat Indonesia di Asia hanya Israel (belum masuk zona Eropa), Iran dan Burma (sekarang Myanmar). Jepang dan Korea Selatan yang menjadi langganan Piala Dunia sekarang ini, biasa dipermak habis Indonesia dengan minimal skor 3-0. Bahkan Timnas Taiwan dicukur Indonesia dengan skor telak 11-1 di Piala Merdeka Games, Malaysia, tahun 1968. Jangan tanyalah timnas Thailand, Vietnam dan Singapura karena ketiganya nggak level disandingkan dengan Indonesia. Terlebih negara-negara di jazirah Arab, bahkan mereka “belum tahu cara bermain bola”, maklumlah federasi sepakbola pun mereka belum punya.

Bayangkan saja sejak Piala Merdeka Games yang sangat prestisius di Asia pertama kali diadakan sejak 1954 dan Indonesia yang pertama kali menjuarainya, kemudian Indonesia memenanginya kembali pada tahun 1960, 1961, 1962 dan 1969 (dan tahun-tahun yang hilang di Merdeka Games karena Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia). Rute emas kejuaraan yang dimenangi Indonesia selalu dimulai dari kota Dacca (ibukota Pakistan Timur ketika itu, sekarang ibukota Bangladesh) dimana ada turnamen Agha Khan Gold Cup. Indonesia menjuarai piala Agha Khan ini sejak 1961, 1966, 1967, 1968 dan 1979 (tahun-tahun lainnya Indonesia adalah juara 2). Kemudian tim Indonesia turun ke Bangkok untuk menjuarai King’s Cup dan Queen’s Cup pada tahun 1968 dan 1971 (tahun-tahun lainnya Indonesia selalu lolos ke final). Kemudian timnas Indonesia memenangi Piala Sukan Singapura, bahkan menciptakan All Indonesian Final antara Indonesia A dan Indonesia B pada tahun 1972. Dan terakhir tentu saja main di kandang pada Jakarta Anniversary Cup, yang terakhir dijuarai pada tahun 1972 dengan menundukkan timnas Korea Selatan dengan skor 4-2.

Atas supremasi kesebelasan Indonesia itulah akhirnya Indonesia diminta AFC (Asia Football Confederation) mengirim 5 pemain nasionalnya untuk mengisi skuad “Asia All Stars”. Mereka itu adalah Soetjipto Soentoro (penyerang lubang sekaligus bertindak sebagai kapten), Yacob Sihasale (penyerang tengah), Iswadi Idris (sayap kanan), Abdul Kadir (sayap kiri) dan Yudho Hadianto (penjaga gawang). Sebenarnya AFC berniat memanggil pemain Indonesia lebih banyak lagi seperti stopper Anwar Udjang dan Mulyadi serta gelandang Basri dan Aliandu. Ttetapi AFC tentu saja harus bertindak adil dengan memanggil pemain Asia lainnya meskipun hanya masing-masing satu orang saja.

Apa keunggulan pemain-pemain Indonesia ketika itu? Indonesia memiliki penjaga gawang “sangat kebal” seperti dinobatkan oleh koran “Utusan Malaysia”, Kuala Lumpur dan “Bangkok Post”, Bangkok pada diri Yudho Hadianto. Fisik Yudho sebenarnya tidak terlalu tinggi tetapi dia mampu bermain akrobat yang sangat memukau dengan tetap tak kehilangan akurasinya. Yacob Sihasale adalah striker oportunis dengan sundulan kepala yang sangat luar biasa keras dan terarah disamping kemampuan dribbling, screening dan tendangan yang akurat. Iswadi Idris adalah seorang pemain penuh percaya diri sehingga mampu menggiring bola tak pernah putus melampaui pemain belakang lawan sebelum mengumpan tarik ke striker Yacob Sihasale. Abdul Kadir adalah pemain sayap kiri tercepat di Asia dalam membawa bola maupun tanpa membawa; umpan-umpan dari Kadir inilah menjadi santapan empuk bagi striker Yacob dan second striker Soetjipto Soentoro untuk menciptakan gol-gol spektakuler yang tidak bisa dilihat pada setiap pertandingan. Dan Soetjipto Soentoro tentu adalah pemain istimewa yang pernah dilahirkan Indonesia. Ballskill Soetjipto sangat sempurna; kemampuan menjaga bola (screening) sangat sempurna pula sehingga setiap lawan yang akan merebut bola darinya akan berbuah pelanggaran; tendangan sangat keras dan terarah dari berbagai sudut sempit sekalipun; kemampuan mengecoh dua-tiga pemain belakang sering menjadi makanan hampir pada setiap pertandingan karena memiliki kemampuan “menyulap” bola demikian cepat dan tak terduga. Namun di atas segalanya, Soetjipto memiliki jiwa kepemimpinan, kepercayaan diri dan mentalitas bertanding sangat tinggi sehingga bisa mengangkat permainan tim dalam situasi tertekan sekalipun.

Selengkapnya inilah “Tim Impian Indonesia” yang diyakini oleh penulis bakal “Lolos” ke Piala Dunia seandainya para pemain-pemainnya masih berkumpul utuh seperti di jaman kejayaan Indonesia dulu:

Penjaga gawang: Yudho Hadianto, Yus Etek, Ronny Pasla

Belakang: Yuswardi, Sunarto, Reny Salaki, Mulyadi, Anwar Udjang, Masri, Ishak Udin, Makful, Ronny Pattinasarani, Johanes Auri

Gelandang: Aliandu, Surya Lesmana, Basri, Fatah Hidayat, Bob Hippy, Djunaedi Abdillah, Nobon, Anjas Asmara, Mettu Duaramuri

Depan: Soetjipto Soentoro (Kapten), Yacob Sihasale, Komar, Andjik Alinurdin, Omo, Wowo, Iswadi Idris, Abdul Kadir

Pelatih: Tony Poganik (Pelatih Utama), EA Mangindaan, Endang Witarsa (Asisten Pelatih)