Oleh Cardiyan HIS
Mendapatkan momentum Pemerintah ngaku dosa terlampau “import minded”. Industri strategis nasional mulai menggeliat. Tetapi hadangan tidak hanya akan datang dari para “ekonom neo-lib” yang memang dari sekolahnya dulu sudah diajarin “anti insinyur”. Eh dari insinyur sendiri ada juga rupanya. Inilah sisi kehebatan demokrasi di Indonesia. Cintailah Indonesia, makanya.
Bung Irsal Imran mengkritik habis Indonesia sebagai menghambur-hamburkan uang untuk bikin industri pesawat terbang. Kenapa “nggak mikirin yang reasonable .. misalnya bikin mobil aja dulu dari pada menghambur2kan uang nggak keruan hanya untuk menggertak Malaysia” (mailist indonesia@nextbetter.net, 13 Juli 2009. Re: Roket RX-420 & CN-235 Militer: Getarkan Australia, Singapura, Malaysia).
Insinyur yang sudah belasan tahun kerja di Amerika Serikat ini mengambil contoh; “Bagaimana Boeing ngeluarin pesawat udah kayak ayam bertelur..sekejab jadi. Itupun tidak menjadikan Boeing sebagai industri yang menguntungkan secara ekonomi (Saya pernah ngobrol masalah ini dengan Ilham Habibie waktu di Seattle. Mungkin itu yang ditakutkan oleh ekonom yang memikirkan biaya yg sebenarnya bisa disalurkan ke hal yang lain yang lebih bermanfaat dan punya return yang baik, kecuali kalau memang dianggap Indonesia sangat kaya raya).
Belum Untung Tetapi Ada Benefit
Industri pesawat terbang didirikan di Indonesia karena secara geografis dan geopolitik Indonesia sangat memerlukan jasa pesawat yang sangat banyak. Beruntung Indonesia memiliki SDM yang andal pada BJ Habibie, Oetarjo Diran dkk. Nah dalam tahapan industri pesawat terbang tidak bisa diperlakukan seperti industri kendaraan bermotor. Tahapan pencapaiannya memerlukan waktu lebih lama lagi.
Sehingga ketika PT. DI telah mampu memproduksi berbagai pesawat dan laku dijual pun; masalah return of investment masih merupakan jalan panjang. Persis seperti juga raksasa Boeing yang dijadikan contoh Bung Irsal Imran, sebagai industri belum menguntungkan secara ekonomi. Apalagi PT. DI yang masih pendatang baru.
Namun karena industri ini sangat strategis bagi kemandirian Bangsa Indonesia di bidang teknologi dirgantara di masa depan, maka Pemerintah Indonesia konsisten melanjutkan industri ini terlebih sudah banyak pesawat yang laku dijual. Lagi pula ada perkembangan sangat menarik, kemampuan SDM PT. DI telah sampai kepada tahapan mampu sepenuhnya (kecuali mesinnya) untuk membuat pesawat jet bermesin ganda yang bisa memuat 50 penumpang yang dinamai N250. Jadi banyak benefit disini, yang sangat kualitatif sifatnya tetapi sangat menguntungkan bagi perkembangan Bangsa Indonesia.
Masalahnya, tahun 1998 terjadi Krisis Moneter yang menyebabkan Indonesia menjadi pasien IMF. Point pertama yang harus ditanda-tangani oleh Presiden Soeharto di bawah kacak pinggang Michael Camdessus (Managing Director IMF) adalah Indonesia tak boleh membiayai program-program industri pesawat terbang PT. DI. Meskipun terjadi berbagai gejolak yang luar biasa, berupa demonstrasi ribuan karyawan, sidang maraton di pengadilan, dan berbagai pengorbanan baik pada ribuan karyawan maupun tenaga inti insinyur-insinyur berkualifikasi tinggi; ternyata PT. DI tidak bangkrut. PT. DI tidak jadi musium burung besi raksasa seperti yang banyak disinisi bahkan didoakan oleh para pembenci PT. DI.
Yeaaah, saya ikut senang, meskipun bukan karyawan PT. DI, karena saya mah orang merdeka. Ternyata PT. DI bisa survive. Bahkan tahun 2008 PT. DI sudah mulai dapat mencetak untung menurut penilaian BPK. Konon untungnya “cuma” Rp. 10 milyar, padahal investasinya sudah Rp. 30 triliun. Namun jangan dilihat “cuma” Rp. 10 milyarnya tetapi berapa ribu karyawan masih bisa kerja; insinyur Indonesia tambah pinter, modal sosial Indonesia semakin kuat dan mentalnya tahan banting. Sedangkan para perampok BLBI saja sudah menggarong Rp. 700 triliun tak diributin oleh para ekonom “neolib”.
Mengapa PT. DI bisa survive? Karena pertama, Pengadilan Indonesia menolak untuk membangkrutkan PT. DI yang sangat strategis. Kedua, setidaknya SDM PT. DI dengan kualifikasi dunia, sangat teguh mempertahan cita-cita luhur untuk mandiri di bidang teknologi dirgantara, meskipun iming-iming bekerja di luar negeri dengan gaji atraktif siap menunggu kapan saja. Ketiga, melaksanakan komitmen kepada klien harus dipenuhi apapun gejolak yang sedang terjadi, terbukti telah memberikan kepercayaan klien asing yang lebih besar lagi kepada PT. DI. Keempat, masih banyak WNI yang mendukung idealisme untuk kemandirian Bangsa Indonesia yang manifestasinya ada pada industri-industri yang mampu membuat produk teknologi buatan sendiri dan bukan membiasakan mental mengimpor.
Nah, kalau ada saran dan kritik tentang bagaimana sebaiknya industri strategis anak Bangsa Indonesia ini tidak terperosok untuk kedua kalinya, mari kita bicarakan bersama. Misalnya soal dukungan untuk pembiayaan Kredit Ekspor perlu diberikan oleh sumber-sumber pembiayaan agar calon pembeli asing dapat membeli pesawat buatan PT. DI dengan cara kredit. Manajemen PT. DI harus dikelola lebih transparan dan akuntabel. Sebab kendati pun, kita tetap harus memiliki keberpihakan terhadap industri strategis nasional, namun tetap harus diberikan secara kritis dan bertanggung jawab.
“Produk PT. DI tidak laku, yang laku pun karena dibeli TNI AU. Yang laku di luar negeri pun cuma karena Thailand membayarnya dengan beras ketan”. Ledekan, ungkapan sinis ini sudah tak laku lagi sekarang ini. Yang pasti bukan hanya bisa dianggap pro-neolib, insinyur penghianat pro ekonom neo-lib; yang jelas berdasarkan common sense saja logika mereka yang menolak produk teknologi buatan sendiri itu “ya kacian lu” alias berlogika lemah. PT. DI telah mampu memproduksi dan menjual pesawat CN 235-220 sebanyak 250 unit; NC 212-220 sebanyak 102 unit; Helikopter Super Puma NAS 332 sebanyak 19 unit; Helikopter NBELL 412 sebanyak 31 unit; Helkopter NBO 105 sebanyak 122 unit. Ini belum terhitung pesawat CN 235 MPA yang sebentar lagi diserahkan ke Korea Selatan. CN 235 MPA inilah yang bikin ngiler Malaysia untuk memesannya 6 buah. Belum lagi pesanan dari Pemerintah Indonesia (TNI) sendiri yang akan memperbarui alutsistanya.
Udah ah, nanti Cardiyan HIS disangka dapat sogokan PT. DI lagi, he he.
Mendapatkan momentum Pemerintah ngaku dosa terlampau “import minded”. Industri strategis nasional mulai menggeliat. Tetapi hadangan tidak hanya akan datang dari para “ekonom neo-lib” yang memang dari sekolahnya dulu sudah diajarin “anti insinyur”. Eh dari insinyur sendiri ada juga rupanya. Inilah sisi kehebatan demokrasi di Indonesia. Cintailah Indonesia, makanya.
Bung Irsal Imran mengkritik habis Indonesia sebagai menghambur-hamburkan uang untuk bikin industri pesawat terbang. Kenapa “nggak mikirin yang reasonable .. misalnya bikin mobil aja dulu dari pada menghambur2kan uang nggak keruan hanya untuk menggertak Malaysia” (mailist indonesia@nextbetter.net, 13 Juli 2009. Re: Roket RX-420 & CN-235 Militer: Getarkan Australia, Singapura, Malaysia).
Insinyur yang sudah belasan tahun kerja di Amerika Serikat ini mengambil contoh; “Bagaimana Boeing ngeluarin pesawat udah kayak ayam bertelur..sekejab jadi. Itupun tidak menjadikan Boeing sebagai industri yang menguntungkan secara ekonomi (Saya pernah ngobrol masalah ini dengan Ilham Habibie waktu di Seattle. Mungkin itu yang ditakutkan oleh ekonom yang memikirkan biaya yg sebenarnya bisa disalurkan ke hal yang lain yang lebih bermanfaat dan punya return yang baik, kecuali kalau memang dianggap Indonesia sangat kaya raya).
Belum Untung Tetapi Ada Benefit
Industri pesawat terbang didirikan di Indonesia karena secara geografis dan geopolitik Indonesia sangat memerlukan jasa pesawat yang sangat banyak. Beruntung Indonesia memiliki SDM yang andal pada BJ Habibie, Oetarjo Diran dkk. Nah dalam tahapan industri pesawat terbang tidak bisa diperlakukan seperti industri kendaraan bermotor. Tahapan pencapaiannya memerlukan waktu lebih lama lagi.
Sehingga ketika PT. DI telah mampu memproduksi berbagai pesawat dan laku dijual pun; masalah return of investment masih merupakan jalan panjang. Persis seperti juga raksasa Boeing yang dijadikan contoh Bung Irsal Imran, sebagai industri belum menguntungkan secara ekonomi. Apalagi PT. DI yang masih pendatang baru.
Namun karena industri ini sangat strategis bagi kemandirian Bangsa Indonesia di bidang teknologi dirgantara di masa depan, maka Pemerintah Indonesia konsisten melanjutkan industri ini terlebih sudah banyak pesawat yang laku dijual. Lagi pula ada perkembangan sangat menarik, kemampuan SDM PT. DI telah sampai kepada tahapan mampu sepenuhnya (kecuali mesinnya) untuk membuat pesawat jet bermesin ganda yang bisa memuat 50 penumpang yang dinamai N250. Jadi banyak benefit disini, yang sangat kualitatif sifatnya tetapi sangat menguntungkan bagi perkembangan Bangsa Indonesia.
Masalahnya, tahun 1998 terjadi Krisis Moneter yang menyebabkan Indonesia menjadi pasien IMF. Point pertama yang harus ditanda-tangani oleh Presiden Soeharto di bawah kacak pinggang Michael Camdessus (Managing Director IMF) adalah Indonesia tak boleh membiayai program-program industri pesawat terbang PT. DI. Meskipun terjadi berbagai gejolak yang luar biasa, berupa demonstrasi ribuan karyawan, sidang maraton di pengadilan, dan berbagai pengorbanan baik pada ribuan karyawan maupun tenaga inti insinyur-insinyur berkualifikasi tinggi; ternyata PT. DI tidak bangkrut. PT. DI tidak jadi musium burung besi raksasa seperti yang banyak disinisi bahkan didoakan oleh para pembenci PT. DI.
Yeaaah, saya ikut senang, meskipun bukan karyawan PT. DI, karena saya mah orang merdeka. Ternyata PT. DI bisa survive. Bahkan tahun 2008 PT. DI sudah mulai dapat mencetak untung menurut penilaian BPK. Konon untungnya “cuma” Rp. 10 milyar, padahal investasinya sudah Rp. 30 triliun. Namun jangan dilihat “cuma” Rp. 10 milyarnya tetapi berapa ribu karyawan masih bisa kerja; insinyur Indonesia tambah pinter, modal sosial Indonesia semakin kuat dan mentalnya tahan banting. Sedangkan para perampok BLBI saja sudah menggarong Rp. 700 triliun tak diributin oleh para ekonom “neolib”.
Mengapa PT. DI bisa survive? Karena pertama, Pengadilan Indonesia menolak untuk membangkrutkan PT. DI yang sangat strategis. Kedua, setidaknya SDM PT. DI dengan kualifikasi dunia, sangat teguh mempertahan cita-cita luhur untuk mandiri di bidang teknologi dirgantara, meskipun iming-iming bekerja di luar negeri dengan gaji atraktif siap menunggu kapan saja. Ketiga, melaksanakan komitmen kepada klien harus dipenuhi apapun gejolak yang sedang terjadi, terbukti telah memberikan kepercayaan klien asing yang lebih besar lagi kepada PT. DI. Keempat, masih banyak WNI yang mendukung idealisme untuk kemandirian Bangsa Indonesia yang manifestasinya ada pada industri-industri yang mampu membuat produk teknologi buatan sendiri dan bukan membiasakan mental mengimpor.
Nah, kalau ada saran dan kritik tentang bagaimana sebaiknya industri strategis anak Bangsa Indonesia ini tidak terperosok untuk kedua kalinya, mari kita bicarakan bersama. Misalnya soal dukungan untuk pembiayaan Kredit Ekspor perlu diberikan oleh sumber-sumber pembiayaan agar calon pembeli asing dapat membeli pesawat buatan PT. DI dengan cara kredit. Manajemen PT. DI harus dikelola lebih transparan dan akuntabel. Sebab kendati pun, kita tetap harus memiliki keberpihakan terhadap industri strategis nasional, namun tetap harus diberikan secara kritis dan bertanggung jawab.
“Produk PT. DI tidak laku, yang laku pun karena dibeli TNI AU. Yang laku di luar negeri pun cuma karena Thailand membayarnya dengan beras ketan”. Ledekan, ungkapan sinis ini sudah tak laku lagi sekarang ini. Yang pasti bukan hanya bisa dianggap pro-neolib, insinyur penghianat pro ekonom neo-lib; yang jelas berdasarkan common sense saja logika mereka yang menolak produk teknologi buatan sendiri itu “ya kacian lu” alias berlogika lemah. PT. DI telah mampu memproduksi dan menjual pesawat CN 235-220 sebanyak 250 unit; NC 212-220 sebanyak 102 unit; Helikopter Super Puma NAS 332 sebanyak 19 unit; Helikopter NBELL 412 sebanyak 31 unit; Helkopter NBO 105 sebanyak 122 unit. Ini belum terhitung pesawat CN 235 MPA yang sebentar lagi diserahkan ke Korea Selatan. CN 235 MPA inilah yang bikin ngiler Malaysia untuk memesannya 6 buah. Belum lagi pesanan dari Pemerintah Indonesia (TNI) sendiri yang akan memperbarui alutsistanya.
Udah ah, nanti Cardiyan HIS disangka dapat sogokan PT. DI lagi, he he.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar