Sabtu, 25 Juli 2009

Degradasi Mimpi Mahasiswa dan atau Alumni ITB?

Oleh Cardiyan HIS

To dream the impossible dream (Dale Wasserman dalam “Man of La Manca”)


Kapankah alumni Geodesi ITB menjadi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)? Demikian judul postingan para alumni Geodesi ITB pada mailist Ikatan Alumni Geodesi ITB. Kebetulan saya baru pulang dari tambang batubara di pedalaman Kalimantan Tengah, jadi saya membacanya terlambat seminggu kemudian. Dan ketika saya baca puluhan postingannya nyaris tak ada satu pun yang menyanggahnya. Maka saya pun langsung menulis tanggapan berjudul; “Mimpi Alumni Geodesi ITB Kok Masih Ecek-ecek?

Saya pertanyakan mengapa mimpi alumni Geodesi ITB itu hanya hinggap sampai sebagai Kepala BPN saja! Kalau dalam bahasa low politic itu “sangat ecek-ecek”. Bukan merendahkan jabatan Kepala BPN, tetapi kenapa tidak sekalian bermimpi menjadi calon Presiden RI di masa mendatang?

Lho, Presiden Pertama Amerika Serikat, George Washington adalah seorang insinyur Geodesi. Mikael Gorbachev, Presiden Uni Soviet (sekarang Rusia) pengusung Perestroika yang terkenal itu sebenarnya juga seorang insinyur Geodesi. Begitu pula salah seorang Kanselir Jerman Barat (sekarang Jerman) juga seorang doktor insinyur Geodesi. Bahkan seorang mahasiswa Sipil ITB 1920 yang daya imajinasi mendesainnya luar biasa kemudian menjadi Presiden RI Pertama; Ir. Soekarno dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi”, terus terang mengaku “takluk” dengan Ilmu Geodesi yang sulit, penuh hitung-hitungan yang rumit.

“Joki dan Bos Joki”

Dan ketika kita menemukan fakta ada 14 mahasiswa ITB ditangkap polisi Makassar (Sulawesi Selatan) karena tertangkap tangan menjadi joki Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009 spontan dari mulut saya terlontar kata-kata: “Ah cuma jadi joki doang. Kenapa nggak sekalian jadi Bos Jokinya?”.

Mahasiswa-mahasiswa baru ITB dari tahun ke tahun saya bangga-banggakan dalam setiap tulisan saya. Mereka adalah pemenang tak tergoyahkan dari tahun ke tahun dalam sejarah selektivitas mahasiswa baru secara nasional PTN di seluruh Indonesia. Bahkan Selektivitas Mahasiswa ITB diapresiasi tinggi oleh majalah “AsiaWeek” Hong Kong sebagai nomor 1 di Asia Pasifik (Cesar Bacani, “Time of Ferment”, Cover Story Education, AsiaWeek June 30, 2000).

Mengapa 14 mahasiswa ITB telah menjatuhkan harga dirinya hanya sebagai Joki. Kenapa hanya jadi Joki bukan Bos Joki? Karena mereka sebagai Joki tentu saja hanya diperalat untuk suatu kejahatan kerah putih dengan iming-iming bayaran Rp. 30 juta per orang sementara Bos Jokinya adalah seorang sarjana Kedokteran Unhas yang bakal memperoleh Rp. 135 juta dari para pengguna jasa Joki kalau akhirnya diterima di PTN. Ah, tiga puluh juta rupiah demikian murahnya! Hanya senilai sebuah NoteBook terbaru dan mobile phone BlackBerry Storm yang memabukkan itu. Demikian murahnya jasa Joki tidak sebanding dengan pertaruhan risiko dikerangkeng jeruji besi yang menunggunya; yang mencampakkan masa depan cemerlang bila para mahasiswa ITB itu punya mimpi yang selangit.

Jadi Bos Joki tentu saja bukan dimaksudkan saya sebagai pekerjaan terhormat dari pada Joki. Keduanya adalah pekerjaan kriminal. Maksud saya, anak-anak ITB itu kalau bermimpi yang baik, mimpi yang positif hendaklah menjadi Bos-nya bukan menjadi Keroco-nya. Rupanya betul juga humor mencari pekerjaan haram saja susah apalagi mencari pekerjaan halal. Itulah agaknya yang dipilih oleh anak-anak ITB angkatan 2007 dan 2008 yang Indeks Prestasi-nya rata-rata di atas 3,0 bahkan ada yang mencapai 3,8.

Anak ITB hendaknya bermimpi positif menjadi Bos pada bidang apa pun kecuali menjadi Bos mafioso kejahatan seperti Bos Joki itu. Ketika menjadi mahasiswa baru ITB pada tahun 1973 kebetulan saya sudah menjadi penulis artikel di koran-koran nasional sejak masih menjadi siswa kelas 1 SMAN II Teladan Tasikmalaya; ditanya tentang cita-cita oleh dosen senior ITB: “Saya ingin menjadi dosen ITB dan menulis di jurnal-jurnal ilmiah internasional atau pun media umum agar memperoleh credit point sebanyak-banyaknya. Dari sini saya berharap menjadi seorang dosen yang selalu dirujuk pemikirannya. Dan siapa tahu ditarik ke Jakarta untuk menjadi seorang Menteri, seperti halnya banyak dosen-dosen UI yang menjadi Menteri ....!!”.

Garis tangan ternyata membawa saya bukan menjadi seorang dosen ITB. Tetapi malah saya jatuh cinta sungguhan untuk menjadi seorang wirausaha sampai sekarang. Terus terang ini karena “kecelakaan” terprovokasi oleh seorang Insinyur Syarief Tando, salah seorang alumnus ITB terpandang, yang menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB 1972 pada peristiwa perkelahian antara mahasiswa ITB dan taruna AKABRI yang memakan korban tewas mahasiswa Elektro ITB, Rene Conrad. Syarief Tando ketika memotivasi saya untuk menjadi wirausaha adalah Sekjen HIPMI Pusat, dimana Ketua Umum HIPMI adalah Ir. Aburizal Bakrie.

Tetapi Alhamdulillah, saya ikut senang bahwa teman-teman seangkatan ITB 1973 (Fortuga) semasa saya menjadi Senator Mahasiswa ITB ternyata 5 orang telah menjadi Menteri pada kabinet era Gus Dur, kabinet era Megawati dan kabinet era SBY yakni Rizal Ramli, Alhilal Hamdi, Hatta Rajasa, Kusmayanto Kadiman dan Yusman SD.

Dan saya berharap bahkan suatu ketika seorang Fadjrul Rahman atau Pramono Anung atau masih banyak lagi generasi muda ITB lainnya akan meraih posisi Presiden RI seperti alumni ITB pendahulunya Ir. Soekarno dan Prof.DR.Ing. BJ Habibie.

Namun di atas semua itu, yang diperlukan sekarang oleh Ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati, air matanya berlinang sebenarnya adalah bagaimana alumni ITB mampu mengkonversi keahliannya menghasilkan karya dan bersinergi dengan para profesional lainnya dimana saja kapan saja; mengusung visi dan menjalankan misi membawa Indonesia menjadi lebih baik Ada baiknya untuk mengingat apa yang menjadi kata-kata BJ Habibie, alumni ITB yang kedua yang menjadi Presiden RI; “Presiden RI itu bukan segalanya!”.

1 komentar:

  1. Maaf koreksi pak. Soekarno itu lulusan Technische Hogeschool, bukan lulusan ITB.

    BalasHapus