Oleh Cardiyan HIS
Meskipun kalah tipis 5-6 dari Werder Bremen, juara Bundesliga 1965, tetapi kita menang soal “gorengan bola”. Dan Soetjipto Soentoro dijuluki “Pele” karena tukang sulap yang ulung dan sulit dijaga pemain belakang Werder. Kalau Soetjipto dan Max Timisela mau, klub Werder Bremen bersedia menerimanya.
Mengenai jalannya pertandingan antara kesebelasan nasional Indonesia dan juara Bundesliga Werder Bremen, kantor berita “Antara” Koeln memberitakan bahwa pertandingan berjalan dengan sangat bermutu. Sejumlah 23.000 penonton di antaranya ratusan penonton Indonesia datang dari segala penjuru Jerman Barat (ketika itu). Timnas Indonesia bermain untuk yang ke 10 kalinya dalam rangka tour Eropa, dengan tangkas dapat melakukan teknik persepakbolaan yang pada hakekatnya tidak kalah dengan tingkat teknik Eropa.
Suasana pertandingan pada permulaan memang dirasakan oleh kita semuanya, pihak tuan rumah seperti menganggap enteng ditambah tekanan-tekanan para suporter mereka yang terkesan melecehkan. Terlebih setelah mereka berhasil membobol gawang Indonesia tak lama setelah “kick-off”. Tetapi Indonesia tak jatuh mental bahkan berbalik menekan Werder Bremen dan menciptakan dua peluang bagus pada menit ke 17 dan 20 melalui Soetjipto Soentoro (Persija) dan Max Timisela (Persib). Dan akhirnya pada menit ke 30, setelah dikeroyok 3 pemain belakang Werder, Soetjipto mengelabui kiper mereka dengan gol indah.
Boleh dikatakan permainan menjadi berimbang meski kemudian Werder kembali unggul 2-1. Namun setelah itu, Indonesia lebih menguasai permainan sampai menyamakan kedudukan 2-2, kembali lewat gol Soetjipto. Skor bertahan sampai turun minum.
Sesudah mengaso, semangat Indonesia makin tinggi. Pada jam 20.42 waktu Jerman, atas tendangan sudut, Soetjipto berhasil meneruskannya menjadi gol. Indonesia memimpin 3-2. Dan penonton Jerman mulai bungkam karena terpaku dengan serangan gencar Indonesia yang penuh kejutan. Misalnya operan-operan panjang langsung ke kiri luar atau kanan luar, sering bikin pemain-pemain Werder Bremen kebingungan. Bagi Indonesia inti serangan dipusatkan pada 3 penyerang. Tetapi ketiganya sangat bikin kacau pemain belakang Werder Bremen yang merupakan pemain-pemain timnas Jerman Barat. Malahan kadang-kadang ada di antara mereka terus meneriaki “Pele Pele”, itu mutiara hitam dari Brazil, agar terus menjaga dan menempel Soetjipto “Pele” Soentoro, yang dalam pertandingan tersebut adalah “goal getter” yang paling berhasil.
Pada suatu duel di muka gawang Indonesia, wasit Redelfs dari Hanover, menganggap salah seorang pemain Indonesia menjegal lawan. Padahal menurut pengamatan wartawan “Antara” tak ada pelanggaran keras yang mesti dihukum wasit. Pemain Indonesia protes, tapi tak digubris wasit. Werder dapat hadiah penalti. Skor menjadi 3-3.
Rupanya “kelicikan” wasit tak membuat mental jatuh. Hanya dalam beberapa menit kemudian Indonesia memimpin lagi 4-3, melalui gol taktis “solo run” Tahir Jusuf atas operan panjang yang manis dari tengah lapangan sehingga mengejutkan pemain belakang Werder.
Sayang 8 menit kemudian Werder dapat menyamakan kedudukan 4-4, melalui “canon ball” pemain tengahnya. Ditambah 1 gol lagi kedudukan malah berbalik menjadi 5-4 untuk Werder.
Dengan semangat “banteng ketaton” akhirnya gol kelima Indonesia tercipta melalui “sett-up” operan segitiga yang cepat dan manis sekali, Max Timisila menyelesaikannya dengan cantik pula. Skor akhir 5-6 untuk tuan rumah juara Bundesliga Werder Bremen!
Publik Jerman Kagum
Di kalangan Indonesia sendiri meskipun kalah tipis, namun dirasakan sebagai kemenangan. Mengapa? Karena mereka puas melihat mutu permainan kedua kesebelasan yang berstandar Eropa. Kalaupun ada sedikit kekecewaan adalah soal hukuman penalti. Sebab kalau tak ada hukuman penalti minimal skor yang fair adalah 5-5.
Dari pihak Jerman melalui pelatih Brocker ada rasa kagum dan heran yang ditujukan tak hanya kesebelasan Indonesia yang dianggapnya sudah memiliki tingkat permainan kelas dunia. Juga mereka melihat “handicap” yang ada soal tinggi dan lebih ringkihnya badan pemain-pemain Indonesia, ternyata dapat dikompensasikan dengan “gorengan bola” yang sangat lincah dan operan tik-tak cepat yang sangat teliti terutama pada diri Soetjipto.
Pelatih Werder, Brocker selanjutnya memuji pemain-pemain Indonesia yang dari segi teknis “perfect”, sangat pandai menguasai bola dan gesit. Selama main dalam kompetisi “seizum” 1965, Werder tak pernah kebobolan gol sebanyak lima. Padahal dalam melawan Indonesia telah mengajukan pasangan yang terkuat banyak di antaranya pemain-pemain tim nasional Jerman Barat. Oleh karena itu, Brocker memuji sistem permainan Indonesia yang sering memberikan “long passing” dari sayap ke sayap yang lain. Menurut pelatih Werder ini pertandingan berlangsung dengan mutu tinggi, berjalan cepat dan sama sekali tidak menjemukan. Semua gol yang dicetak, baik oleh Werder maupun Indonesia adalah “gol-gol ideal” yang tidak dapat dilihat tiap hari.
Wasit Redelfs yang juga diwawancarai wartawan “Antara” mengatakan bahwa pertandingan telah berlangsung dengan fair. Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan kesebelasan terkuat di Asia Timur. “Saya yakin setiap klub sepakbola Jerman Barat akan bersedia menerima pemain-pemain seperti Soetjipto dan Max, yang sangat berkualitas”. Kedua pemain Indonesia ini memang paling banyak mendapat tepuk tangan riuh setiap kali ia “menggoreng bola” dan “menipu” para pemain belakang Werder Bremen yang tinggi besar itu.
• Disarikan dari buku: Cardiyan HIS, “PSSI Tempo Doeloe Hebring”, Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Senang sekali saya membaca tulisan2 anda, khususnya yg mengenai persepakbolaan Indonesia.
BalasHapusIngin sekali saya bisa mendapatkan data yg seakurat mungkin mengenai nama2 pemain timnas sepakbola Indonesia dari masa ke masa berikut formasi dan pertandingan resmi internasional-nya, apakah barangkali bisa dibantu? terima kasih.