Oleh Cardiyan HIS
Rektor UGM terus-menerus didemonstrasi mahasiswanya. Sebagai kampus yang dijuluki oleh alumninya sendiri sebagai “Kampus Ndeso”, kini UGM, Yogyakarta, dianggap para mahasiswanya sebagai “Kampus Matre”. Karena menurut mereka, UGM telah mengkhianati cita-cita luhur para pendiri kampus UGM sebagai “Kampus Kerakyatan”. Bayangkan untuk dapat diterima di Fakultas Kedokteran UGM -----nomor 1 di Indonesia, nomor 16 di Asia dan nomor 106 di dunia versi Time Higher Education QS (UK) tahun 2008 (Dunia) dan tahun 2009 (Asia)----- calon mahasiswa baru harus membayar minimal Rp. 145 juta, setelah lulus seleksi masuk jalur khusus UGM. Padahal bila lulus melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM “hanya” membayar sekitar Rp. 10 juta saja seperti mahasiswa reguler lainnya.
UGM memang termasuk PTN yang paling sedikit memberikan kuota mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN 2008 yakni hanya 240 kursi! Berarti UGM menduduki jumlah kuota nomor 53 dari 57 PTN yang bergabung pada SNMPTN 2008. Padahal jumlah yang melamar ke UGM melalui jalur SNMPTN adalah sangat banyak. Maka UGM memiliki tingkat Keketatan Persaingan tertinggi yakni untuk setiap empat kursi UGM diperebutkan oleh 100 orang.
Kemudian dengan melihat kepada kinerja kualitas dari para calon mahasiswa baru berdasarkan indikator Nilai Rataan, Standar Deviasi, Nilai Minimum dan Nilai Maksimum. Maka indikator tersebut dapat dilihat homogenitas datanya dengan menggambarkan sebaran datanya pada Distribusi Normal. Ternyata terlihat bahwa calon mahasiswa baru yang diterima di UGM melalui jalur SNMPTN adalah sangat bagus. Untuk kelompok IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Nilai Rataan mahasiswa yang diterima di UGM adalah nomor 1 yakni 835,51; jauh meninggalkan berturut-turut UI (dengan nilai 788,51); Unair (738,23), Undip (717,67), UNS (685,04) dan Unpad (683,78). Sedangkan untuk kelompok IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dengan nilai 774,09, calon mahasiswa baru UGM adalah nomor 2; kemudian di bawahnya berturut-turut Unair (742,60); UI (732,20); ITS (709,86) dan UNS (681,0). ITB ada pada posisi nomor 1 untuk kelompok IPA dengan Nilai Rataan tertinggi yakni 826,01 (Data diperoleh penulis langsung dari Wakil Rektor Senior ITB bidang Akademis, Prof.Ir. Adang Surahman, PhD).
“Fenomena UGM” menjadi sangat menarik. Mengapa? Karena saat ini daya tampung jalur SNMPTN menjadi salah satu aspek sangat penting. Ini mengingat setelah adanya Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan kemudian Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah terjadi trend dimana banyak PTN membuka jalur khusus dengan harga khusus pula. Dipastikan para peserta dan calon mahasiswa yang diterima kemudian, hanya berasal dari kalangan orang-orang kaya saja. Banyaknya jalur khusus ini, jelas secara matematis telah menggerogoti jumlah kuota mahasiswa cerdas tapi miskin orangtuanya yang terkonsentrasi memilih jalur SNMPTN karena pembiayaannya relatif jauh lebih murah.
Dan meskipun ITB, Bandung, misalnya, berkilah dengan menyebut bahwa jalur khusus Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB lebih sulit seleksinya dibanding jalur SNMPTN, karena ada Tes Psikologi dan Tes Potensi Akademis di samping Tes Tertulis Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Namun ITB tak bisa mengelak bahwa biaya masuk SBM ITB bagi calon mahasiswa yang diterima yakni sebesar Rp. 85 juta adalah salah satu bagian juga dari upaya “kejar setoran”. Mengapa? Karena untuk jalur SNMPTN, mahasiswa baru ITB “hanya” membayar Rp. 7,5 juta saja.
ITB, UGM, UI dan PTN papan atas lainnya juga telah mengingkari fakta. Bahwa selama ini “jalur gemuk” SNMPTN, yang dimulai pada tahun 1989 dengan nama Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) kemudian berganti-ganti nama -----antara lain terakhir SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sejak 2002, sebelum berganti nama SNMPTN sejak tahun 2008 hingga sekarang ini----- adalah seleksi yang sangat berkualitas, kredibel, dan efisien. Secara akademis hasilnya berkualitas tinggi karena calon mahasiswa yang diterima adalah mereka yang berhak atas kecerdasannya dan tidak ditentukan atau tidak diembel-embeli lagi oleh tebal tidaknya kantung orangtua calon mahasiswa. Kredibel karena penyelenggaraannya dilakukan sangat jujur, dimana secara nasional dari Aceh sampai Papua tidak pernah ada kasus kebocoran soal ujian; dan bahwa ada kasus joki pun telah berhasil ditindak secara pidana; sehingga tidak mempengaruhi hasil secara keseluruhan. Efisien dan hemat secara ekonomi karena setiap calon tidak perlu mendatangi masing-masing PTN yang menjadi pilihannya tetapi hanya cukup datang dan mendaptar kepada Panitia Lokal SNMPTN di PTN terdekat dengan domisili sang calon mahasiswa.
Disertasi DR. Toemin A. Maksoem yang berjudul “Hasil UMPTN Lebih Tajam dari pada Nilai Ebtanas Murni untuk Digunakan sebagai Kriteria Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri” yang dipertahankan di IPB, Bogor pada tahun 1996, telah membuktikan tentang kredibilitas seleksi UMPTN ini. Disertasi ini kemudian dibukukan dengan judul “Mana Yang lebih Dapat Diandalkan Ebtanas atau UMPTN” (Penerbit UI Press 1997) semakin membuka mata publik, bahwa Nilai Ebtanas Murni tidak dapat menggantikan UMPTN sebagai alat seleksi untuk memilih calon mahasiswa baru PTN.
Tak mengherankan bila komunitas pendidikan tinggi di dunia internasional pun sangat mengapresiasi kredibilitas penyelenggaraan UMPTN di Indonesia. Ini terbukti dalam kriteria Selektivitas Mahasiswa dalam ranking perguruan tinggi di Asia Pasifik versi majalah “AsiaWeek” (Hong Kong) , PTN-PTN Indonesia menduduki skor tertinggi yakni ITB nomor 1, UI nomor 5, UGM nomor 6, Undip nomor 19 dan Unair nomor 37 (“Time of Ferment”, Cover Story Education, Asia Week, 30 Juni 2000).
Kembalikan Kuota bagi Yang Berhak
Penyelenggaraan SNMPTN 2009 telah dilaksanakan pada tanggal 1-2 Juli 20009. Maka adalah sangat adil bila kuota atau kursi SNMPTN 2009 dikembalikan kepada yang berhak. Mumpung masih dalam proses penilaian sehngga belum diputuskan berapa jumlah yang diterima melalui jalur SNMPTN ini. Maka kita berharap, melalui jalur SNMPTN 2009 inilah PTN-PTN di Indonesia harus menyediakan kuota terbesar dari total kursi yang tersedia bagi calon mahasiswa semester baru nanti dibanding jalur seleksi mandiri dari masing-masing PTN yang telah ditetapkan penerimaannya.
Langkah Universitas Brawijaya (Unbraw), Malang dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, yang memberi kuota di atas 90% melalui jalur SNMPTN 2008 dari total kursi mahasiswa baru, perlu dihargai tinggi. Unbraw dan ITS telah memenuhi kewajiban moralnya untuk berpihak kepada calon mahasiswa cerdas tapi miskin orangtuanya. ITB -----sebagai PTN bidang Teknologi terbaik nomor 21 di Asia dan nomor 90 di dunia versi Time Higher Education QS 2008 (Dunia) dan 2009 (Asia)----- yang memberi kuota 80% pada SNMPTN 2008 hendaknya mengurungkan niatnya untuk menurunkan lagi kuotanya ke angka 70%. Bukankah ITB sebagai pemegang rekor perolehan calon mahasiswa terbaik kelompok IPA berturut-turut sejak tahun 1989 UMPTN diselenggarakan; ternyata telah memetik buahnya lebih awal antara lain terbukti para mahasiswa ITB telah memenangkan begitu banyak atribut keberhasilan pada berbagai kejuaraan karya ilmiah mahasiswa di tingkat dunia!
Bila SNMPTN telah terbukti bertahun-tahun sebagai seleksi yang secara akademis sangat berkualitas; kredibel dalam penyelenggaraannya dan sangat efisien secara ekonomis. Lalu mengapa PTN sebagai milik negara menutup mata tentang fakta ini?
Disinilah memang Pemerintah benar-benar telah cuci tangan! Pemerintah mengalihkan kewajiban mencerdaskan warga negaranya sesuai UUD 1945 menjadi beban masing-masing PTN dengan cara mereka disuruh “kejar setoran”. PTN selalu berkilah bahwa perolehan dana dari biaya masuk mahasiswa baru dan SPP mahasiswa reguler hanya bagian kecil saja dari sumber pembiayaan PTN dibanding sumber-sumber lainnya seperti perolehan Dana APBN, Jasa Riset Pesanan, Dana Kejasama, Hibah, Donasi Sponsor, dan lainnya. Sekarang kilah ini sudah tidak tepat lagi, karena nyata-nyata PTN berlomba “kejar setoran” dengan “berjualan kursi” semahal mungkin. Terlebih kepada ratusan mahasiswa asing pada Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatra Utara yang harus membayar untuk 10 semester sekitar US$40.000/mahasiswa asing.
Hal itu jelas telah menghasilkan dana yang sangat signifikan bagi PTN-PTN tersebut. Dan karena berat di ongkos itulah, ujung-ujungnya mahasiswa cerdas dari orangtua miskin juga yang jadi korban. Hak mereka untuk menikmati pendidikan yang dijamin UUD 1945 menjadi tersisihkan karena malah kursinya diberikan kepada mahasiswa asing.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar