Oleh Cardiyan HIS
Untung ada Kang Maman. Si Akang yang nama lengkapnya adalah Prof.DR. Maman Abdurachman Djauhari memang sudah pensiun dari Matematika ITB tetapi pemikirannya tak terputus dari almamaternya meski sekarang sedang menjadi periset di manca negara. Sebagaimana diketahui Kang Maman ini pernah menjadi Ketua Majelis Guru Besar ITB periode 2007-2008. Kita beruntung telah membaca surat Kang Maman di mailist IA ITB (21 April 2010 jam 07:05 postingan seorang alumnus ITB Tsulusun ArRoyan) yang merupakan forward dari mailist “Tertutup Dosen ITB” berjudul “Plagiarism versus Marwah ITB”.
Selama berhari-hari dan belum berakhir hingga sekarang, para alumni ITB memang merasa sangat terpukul. Ulah plagiarisme Mochammad Zuliansyah (MZ) alumnus S-2 dan S-3 STEI ITB telah mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang sepanjang 90 tahun telah menjadi kebajikan umum di ITB. Nilai-nilai kejuangan, nilai kejujuran yang tak tersentuhkan yang “sakral” sejak seleksi masuk S-1 ITB dan selama proses menuntut ilmu di ITB yang tak bisa dipertukarkan dengan uang berapa pun nilainya, begitu mudahnya dicampakkan MZ.
“Majelis Guru Besar ITB sebagai penjaga nilai-nilai telah kecolongan,” tulis surat Kang Maman. Rektor ITB sampai dosen muda ITB hendaknya tidak defensif dan jangan membela orang. Harus rasional untuk tetap berintegritas akademik. Maknanya sungguh mendalam bahwa yang harus dibela adalah nilai-nilai BUKAN orang per orang. Kita semua sudah tahu bahwa tulisan termasuk tulisan plagiat adalah tanggungjawab semua pengarang. Penjelasan ITB sementara ini tentang siapa penulis utama dan bagaimana peran ketiga penulis lainnya sungguh sebagai alasan yang sangat sulit diterima. Oleh karena itu ungkap Kang Maman, ITB harus segera membuat NORMATIVE STATEMENT, sebelum masyarakat kampus internasional bahkan masyarakat luas memandang sebelah mata ITB karena tak memiliki lagi sikap tegas, tak memiliki integritas dalam menjunjung dan membela nilai-nilai kebenaran.
Kang Maman tak hanya mengungkapkan sikap tegasnya kepada ITB. Tetapi juga ia menyarankan dengan mengingatkan ITB agar para profesornya disuruh kembali ke laboratorium saja, tak usah urus yang macam-macam. Profesor itu harus dikelilingi para mahasiswa untuk memproduksi ilmu baru yang kemudian diterbitkan ke dalam jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan dari “international peers”. Bukankah profesor adalah sebuah “klub internasional”?
Saya sangat setuju dengan pendapat kang Maman ini karena senada dengan tulisan saya sebelumnya “Saatnya Rektor Menegur Profesor” (mailist IA-ITB, 16 Februari 2010) yang antara lain mengupas ternyata masih ada profesor di ITB yang menjelang pensiun tak memiliki tulisan yang dimuat di jurnal internasional kredibel selain disertasi doktornya saja atau juga “Menulis atau Karier di Kampus Habis?” (mailist IA-ITB, 23 Agustus 2009) yang antara lain mengupas nasib tragis para dosen peneliti di kampus Amerika Serikat yang alih profesi menjadi supir taksi, pencuci piring di restoran atau loper koran dll sementara nasib profesor di Indonesia aman-aman saja meskipun tak menulis satu pun paper di jurnal internasional bahkan “hebat” ada yang menjadi selebritas sebagai pengamat di media cetak maupun elektronik.
Arogansi Komunitas Mengancam ITB?
Tim Investigasi yang dibentuk oleh Rektor ITB memang sedang melakukan investigasi dengan waktu tugas selama satu bulan. Tetapi berbagai opini terus berkembang liar yang mengarah kepada bagaimana dengan ketiga pembimbing ITB. Karena pada banyak kasus pada hakekatnya penelitian yang dikerjakan mahasiswa adalah sebuah penelitian dosennya. Dalam kasus plagiarisme MZ pada tahun 2008 saat dia masih mahasiswa S3 atas paper DR. Siyka Zlatanova berjudul “On 3 D Topological Relationship” yang sudah dipublikasikan pada 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, IEEE 2000; ternyata para pembimbing “terpukau” dengan cara MZ berpresentasi dan lancar menjawab pertanyaan.
Menurut saya dan rekan-rekan profesi Geodesi dan Geomatika sebenarnya ada terungkap sisi lain telah terjadi “Pelanggaran Etika Akademik” pada para pembimbing yang tidak melibatkan profesi lain yang lebih berkompeten pada salah satu substansi penelitian. Coba kita lihat ketiga pembimbing MZ semua adalah dari disiplin Teknik Elektro. Mengapa tidak ada satu pun penguji atau setidaknya peer reviewer dari disiplin Ilmu Geodesi dan Geomatika kalau “tak boleh” salah satu menjadi co-promotor? Topik seperti itu merupakan makanan empuk sehari-hari para mahasiswa S-1 Geodesi dan Geomatika ITB.
Sepintas melihat judulnya saja, jelas paper DR. Siyka Zlatanova ini “sangat berbau Geodesi dan Geomatika”. Sisi demikian nama panggilan akrab dari Siyka Zlatanova ini adalah tak asing lagi di mata para alumni Geodesi ITB seperti DR.Ir. T. Lukman Azis, DR.Ir. Bobby Dipokusumo, DR. Ishak Hanafiah Ismullah, DR.Ir. Dudung Muhally Hakim, DR.Ir. Agus Suparman, DR.Ir. Elly Rasdiani, sampai ke dosen muda DR. Ir. Deni Suwardhi. Karena mereka adalah sama-sama alumni ITC at Enschede, the Netherland. Sisi kemudian memilih kariernya menjadi dosen di Department of Geodesy, TU Delft, Belanda.
Seorang teman saya, seorang dosen Geodesi dan Geomatika ITB bahkan telah mendapat kehormatan diundang oleh Sisi pada bulan April 2005 untuk berbicara di TU Delft tentang peranan Geodesi dan Geomatika dalam mitigasi bencana Tsunami Aceh Desember 2004. Bahkan DR.Ir. Deni Suwardhi (GD ITB 1988) masih intens berkomunikasi sebagai “sparring partner” dengan Sisi, sampai kemudian seluruh alumni ITC asal ITB terkaget-kaget setelah terbongkar kasus plagiarisme oleh MZ itu.
Nasi telah jadi bubur memang. Kasus plagiarisme telah merusak reputasi ITB yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Dan sangat sulit untuk memulihkannya kembali kecuali dengan perjuangan berat para civitas academica ITB untuk selalu terus berkarya pada bidangnya masing-masing; baik untuk menghasilkan riset orisinal berkualitas tinggi maupun berbagai ide dan pemikiran serta kiprah pengabdian yang berdampak besar bagi peradaban manusia. Kini saatnya Sidang Senat Akademik ITB harus mengambil sikap jernih, tegas dengan semangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang memandu peradaban, yang kemudian harus dijalankan oleh Rektor ITB dengan tegas pula.
Http: www.cardiyanhis.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar