Minggu, 18 April 2010

Mensiasati “Public Relations” ITB agar Kinclong

Oleh Cardiyan HIS


ITB terkaget-kaget. Kasus plagiarisme seorang mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB telah merusak citra ITB. Memang lebih sering berita buruk yang muncul ke media massa tentang ITB. Mulai dari gudang joki seleksi masuk PTN, meninggalnya untuk yang kedua kali mahasiswa baru, serta pabrik narsisus nomor 1. Padahal bila ITB pintar main “Public Relations” sudah sepatutnya mengangkat sisi lain keberhasilan banyak civitas academica ITB tanpa harus menutup fakta lain yang memang tak boleh ditutup-tutupi.


Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat (AS). Indonesia adalah negara dengan kebebasan pers yang luar biasa terbuka bahkan mengalahkan dedengkotnya sendiri yakni Amerika Serikat, kecuali tentu saja dalam hal tidak boleh menerbitkan dan menyiarkan pornografi dan porno aksi. Mayoritas Rakyat Indonesia dengan demikian sudah menjadi masyarakat informasional, setidaknya secara pasif , tetapi belum tentu menjadi masyarakat yang terbuka terhadap semua ide atau pemikiran yang berkembang.

Civitas academica ITB yang merupakan bagian dari masyarakat informasional, tentu berada pada posisi yang lebih aktif dan lebih terbuka terhadap berbagai ide dan pemikiran yang berkembang pada arus globalisasi dunia ini. Namun ITB sebagai sebuah institusi sains teknologi dan seni, ternyata belum siap bahkan terkaget-kaget manakala harus menerima kenyataan gelombang besar berbagai berita pahit ada civitas academica ITB yang melakukan tindakan menyimpang yang mencederai harga diri ITB dan civitas academicanya.

Akar persoalannya menurut penulis karena ITB sebagai institusi memang tak memiliki strategi “Public Relations” (“PR”) yang sistematis bahkan terkesan kurang memandang sangat penting dan strategis soal “PR” ini dalam menaikkan nilai tambah ITB pada peta Indonesia dan dunia. Bahwa memang betul ITB selalu memiliki Wakil Rektor Bidang Komunikasi dan Alumni pada struktur organisasinya pada berbagai Rektor yang memimpin ITB. Tetapi ini lebih sebagai “tempelan” dari pada sebagai sebuah struktur yang sangat strategis dalam organisasi ITB dan secara fungsional didesain untuk mengangkat nilai tambah ITB. ITB tak cukup hanya menempatkan seorang Wakil Rektor ITB (yang nota bene masih menangani tugas sehari-hari sebagai Guru Besar yang melakukan riset, mengajar dan membimbing riset para mahasiswa Pasca Sarjana, bahkan masih mengajar mahasiswa S-1) yang menangani “PR” ini. Tetapi secara organisasi, ITB harus memiliki suatu tim “PR” tangguh yang direkrut melalui undangan terbuka iklan media massa dari kalangan profesional komunikasi massa yang diharapkan mampu memahami karakter ITB baik kekuatan dan kelemahannya; yang hari demi hari bersikap aktif mendesain ke-“PR”-an ITB untuk diinformasikan ke luar dan selalu sigap menangani suatu isyu negatif secara cepat dan menuntaskannya.

“PR”Juga Menjadi Tanggungjawab Alumni ITB

Ketika menjadi panelis Pemilihan Rektor ITB mewakili unsur alumni ITB, penulis sangat “gregeteun” dengan presentasi salah seorang calon Rektor ITB. Dia aneh lebih mengangkat keberhasilan UI menjadi ranking 201 dan UGM ranking 250 dan mengekspose ranking 351 yang diraih ITB. Dari segi “PR” ITB ini adalah suatu tindakan sangat bodoh, sangat tidak taktis karena dia berbicara tentang kelemahan ITB pada suatu forum terbuka yang banyak diliput oleh media cetak dan elektronik dan juga masyarakat luas.

Seorang ahli “PR” yang profesional (seandainya direkrut oleh ITB), dia pasti akan mengangkat ITB nomor 80 di dunia (dari tahun sebelumnya yang nomor 90) untuk “Technology Area”, sebuah bidang yang paling prestisius dan menjadi favorit mahasiswa. ITB dengan demikian menjadi satu-satunya PTN Indonesia yang masuk 100 Besar Dunia. Sedangkan UI hanya terduduk lesu di ranking 198 dan UGM terpojok di sudut 233. Seorang ahli “PR” profesional kemudian akan mengangkat lagi bahwa ITB meraih ranking 153 untuk “Natural Sciences Area” menewaskan UGM di ranking 198 dan memojokkan UI terduduk lesu di ranking 242. Bahkan untuk “Life Sciences & Biomedicine Area”, ITB yang tak memiliki Fakultas Kedokteran pun (hanya Sekolah Farmasi dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) masih mendapat ranking lumayan di urutan 264 meski tentu saja kalah sama UGM di ranking 103, UI ranking 126 dan Unair ranking 224 karena ketiganya memang memiliki Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi bahkan Fakultas Psikologi. Ini adalah sebuah ilustrasi saja dan BUKAN PROPAGANDA betapa “PR ITB” bisa menjungkir balikkan suatu citra yang kurang nyaman menjadi citra yang lebih baik, atau paling tidak masyarakat akan lebih memahaminya.

Para ahli “PR” UI dan UGM benar-benar memanfaatkan ranking UI dan UGM tahun 2009 versi The Times Higher Education Supplement-QS World University Ranking (UK) sebagai “PR” yang sangat ampuh untuk menaikkan kredibilitas kampus mereka . Kepada media massa, bahkan tim “PR” UI dan UGM TERANG-TERANGAN MENOHOK ITB sebagai satu-satunya PTN yang menurun rankingnya dari semula 315 menjadi 351. Sedangkan UI ranking 201 dari sebelumnya 287 (untuk overall score) dan UGM ranking 250 dari sebelumnya 316. Tim “PR” UI dan UGM by design tak akan pernah berbicara ranking berdasarkan apple to apple karena jelas tindakan bodoh dari segi “PR”, kontra produktif untuk pencitraan UI dan UGM. Contoh yang lain; bagaimana begitu “jeli”-nya Rektor UI memanfaatkan “fakta sejarah” seorang bule asli Belanda yang bernama Christian EIJKMAN Pemenang Hadiah Nobel tahun 1926 ke dalam jajaran alumni UI. Alasannya menurut Rektor UI, walau bagaimana pun Eijkman adalah pernah menjadi mahasiswa dan lulus dari Stovia (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda), di jaman penjajahan Belanda dulu. Inilah yang akhirnya mampu mengatrol ranking UI karena merupakan kampus ke enam di Asia setelah Jepang, India, Pakistan, Cina dan Iran yang alumninya memiliki Pemenang Hadiah Nobel.

Kok ITB adem ayem saja? Padahal dari segi “PR” ini kesempatan untuk merilis keberhasilan ITB nomor 80 di dunia untuk bidang “Technology Area” dengan dana riset hanya US$ 3,8 juta/tahun; tetapi mampu mengalahkan banyak universitas papan atas Amerika Serikat seperti University of Chicago, University of Wisconsin at Urbana Champaign, Northwestern University, University of Southern California, Noth Carolina University, University of California at Davis, University of California at Irvine, Rice University, Brown University, University of Washington, University of Pennsylvania, Pennsylvania State University, Duke University, Boston University dan banyak lagi, yang memiliki dana riset ratusan juta dollar.

Bagaimana dengan kiprah alumni ITB yang berprestasi di dunia? “PR ITB” akan semakin dimudahkan dengan fakta begitu banyak alumni ITB yang jumlahnya ribuan menjadi diaspora dan memiliki prestasi kelas dunia antara lain Herry Sutanto (Microsoft Inc.,, USA), Khoirul Anwar (JAIST, Japan), Anak Agung Julius (Renselaer Polytechnic Institute, USA), Stephen Prajna (California Institute of Technology, USA), Dina Shona Laila (Imperial College London, UK), Bayu Jayawardhana (University of Groningen, Belanda), Hendra Nurdin (ANU, Australia), Henricus Kusbiantoro (LANDOR Associates, USA), Chris Lie (USA), Bambang Parmanto (University of Pittsburg, USA), Hansye (Michigan, USA), Satria Zulkarnaen (Tohoku University, Japan) disamping tentu saja alumni ITB yang menjadi dosen ITB antara lain Sri Widiyantoro, I Gede Wenten, Benyamin Soenarko, Suwono, Djoko T. Iskandar, Wilson H. Wenas, Halim M, Noer AS, T. Gusdinar, Arismunandar, Hasanuddin ZA, Bambang Riyanto, Pekik Dahono,Trio Adiono, Adi Indrayanto. Belum alumni ITB yang berkiprah sebagai wirausaha antara lain Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Ciputra, TP Rachmat, Bambang Subianto.

Dan jangan dilupakan, karena ITB mendapatkan masukan mahasiswa-mahasiswa baru terbaik dari tahun ke tahun sepanjang sejarah seleksi masuk PTN di Indonesia, yang juga diakui oleh dunia internasional sebagai Selektivitas Mahasiswa terketat dan terbaik di Asia Pasifik versi majalah “AsiaWeek” tahun 2000 (Cesar Bacani, Time of Ferment, Hong Kong, June 30, 2000). Maka hasilnya pun sudah dipetik sebelum mereka lulus seperti terbukti mahasiswa ITB memenangi berturut-turut kompetisi kelas dunia antara lain Imagine Cup (Microsoft Inc.,) untuk tahun 2008 (Tim Antarmuka) dan tahun 2009 (Tim Big Bang); L’Oreal, Perancis tahun 2008 dan 2009; the XML Challenge Superstar IBM; LSI Design Contest 2008 dan 2009 dari Japan Society of Information and Communication.

Belajarlah “PR” kepada UI, UGM dan Unpad

ITB memang harus belajar banyak soal “PR” ini kepada UI dan UGM dan juga tetangga terdekatnya Universitas Padjadjaran (Unpad). Pada forum “Temu Calon Rektor ITB dengan Masyarakat” itu, penulis ungkapkan kekecewaan yang sangat mendalam; bagaimana ITB yang nota bene menjadi perintis peluncuran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Hotel Hilton Jakarta pada tahun 2001 ternyata di website: www.itb.ac.id tak pernah meng-update pencapaian HAKI-nya yang telah melampaui 100 buah paten, terdiri dari 5 paten telah berhasil dikomersialisasi, 30 paten siap lisensi dan ini belum termasuk puluhan hak cipta setelah 8 tahun yang lalu!!!.

Lebih kaget lagi, setelah penulis membaca data SCOPUS yang menjadi acuan tentang data jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional, jumlah web dan jumlah paten. Tanya kenapa? Data Paten ITB ternyata tertulis di Scopus sebagai 0 (diulang: nol !!!). Sedangkan UI yang terus menerus memperbarui content web-nya mencatatkan paten sebanyak 22, UGM 5 serta LIPI 2 paten. Di Scopus, ITB memang tercatat sebanyak 1.200 publikasi ilmiah di jurnal internasional, terbanyak di Indonesia, UI hanya 1.186, UGM 742, LIPI 527 dan IPB 518. Begitu pula ITB paling banyak memiliki web yakni 10 dibanding UI 3 web, UGM 2 web dan LIPI 2 web.

Sayang sekali dong, pencapaian ITB yang begitu bagus soal HAKI dan publikasi ilmiah di jurnal kelas dunia ternyata oleh pihak ITB sendiri tidak dirawat secara sepatutnya. “Cepat benahi, jangan-jangan diambil Malaysia”, kata seorang alumnus FK UI yang dokter sangat senior di jaman Menteri Kesehatan RI Soewardjono Suryaningrat, kepada penulis sambil ketawa. Bagaimana ada investor kelas dunia yang mau membeli hasil invensi ITB kalau mengakses ke website ITB saja disuguhi data yang super kadaluarsa. Apalagi kalau tim Scopus atau tim pemeringkat universitas dunia The Time HE QS (UK) mau masuk ke website ITB, mereka akan bilang “ITB is very very KACIAN BANGET”. Ya ITB, sama saja tidak menghargai pencapaian sangat susah payah para dosen penelitinya yang merupakan kekuatan utama dari ITB dalam arti sesungguhnya disamping kehebatan talenta para mahasiswanya.

Penulis ungkapkan pula bagaimana ITB tak memiliki konsep dalam mengembangkan mahasiswa-mahasiswa yang bertalenta sangat baik ini menjadi lulusan-lulusan ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi, berjiwa nasionalis, bermental tangguh dalam mengarungi perjalanannya setelah lulus dari ITB. Kenapa? Karena ITB tetap menganggap bahwa mengembangkan karakter mahasiswa adalah sebuah “cost center”, sebuah “wasting time”, buang-buang waktu saja dan tidak menganggapnya sebagai “human investment” yang memang “long term” sifatnya. Tak mengherankan bila hasilnya sekarang sudah menggejala, bagaimana mahasiswa ITB banyak yang menjadi pelaku kriminal menjadi joki seleksi masuk PTN; banyak lulusan dan dosen narsisus yang mengidap gejala penyakit yang berbau meta fisika tetapi tak mampu berbuat apa-apa bagi lingkungannya dan perilaku buruk lainnya seperti yang paling hot kasus plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB.

Tetapi kalau ITB berhasil mengubah “mind-set” untuk bersedia mengembangkan mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan, maka insya Allah pada puluhan tahun mendatang akan terlahir manusia-manusia ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi dan berhasil pada bidangnya masing-masing berkelas dunia. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Genuine Entrepreneur”, yang bukan saja hebat dalam skala usahanya tetapi yang terpenting menjalankan bisnisnya dengan cara-cara yang bermartabat. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Stateman” yang berjiwa negarawan. Akan banyak dosen peneliti ITB yang menjadi “World Class Researcher” yang akan mengubah dunia menikmati peradabannya yang damai dengan berbasis ilmu-teknologi.


Http: www.cardiyanhis.blogspot.com
Http: www.ia-itb.blogspot.com

2 komentar:

  1. Ide yg sangat bagus Pak. Sy juga sering kepikiran ttg hal ini. Melihat website universitas2 luar negeri (bahkan yg peringkatnya jauh di bawah ITB), terkesan mereka sangat maju krn data di website begitu lengkap dan bagus.
    Kenapa ya ITB sampai sekarang tidak memoles PR-nya sehingga dunia luar bisa melihat lbh dekat?

    BalasHapus
  2. "Contoh yang lain; bagaimana begitu “jeli”-nya Rektor UI memanfaatkan “fakta sejarah” seorang bule asli Belanda yang bernama Christian EIJKMAN Pemenang Hadiah Nobel tahun 1926 ke dalam jajaran alumni UI. Alasannya menurut Rektor UI, walau bagaimana pun Eijkman adalah pernah menjadi mahasiswa dan lulus dari Stovia (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda), di jaman penjajahan Belanda dulu. Inilah yang akhirnya mampu mengatrol ranking UI karena merupakan kampus ke enam di Asia setelah Jepang, India, Pakistan, Cina dan Iran yang alumninya memiliki Pemenang Hadiah Nobel."

    mengambil fakta sejarah menurut saya boleh2 saja bang, tetapi seharusnya jangan sepotong2 atau dibelokkan ya? sebagai contoh:
    1. Christiaan Eijkman (11 August 1858 – 5 November 1930)BUKAN alumni UI, melainkan Sekolah Kedokteran Militer di Universitas Amsterdam (http://en.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Eijkman) di sini terlihat bapak rektor UI 'generasi muda' sedikit terlalu bersemangat dlm membaca sejarah.
    2. Hadiah Nobel yg didapatnya pada tahun 1929, ketika Eijkman sudah TIDAK LAGI menjabat sebagai Direktur "Geneeskundig Laboratorium" (15 January 1888 - 4 March 1896) maupun Direktur Dokterdjawa School.
    3. Yang secara prinsip juga penting akhir2 ini UI menarik jauh ke belakang tahun berdirinya UI yaitu tahun 1851, padahal yang terjadi pada bulan Januari 1851 adalah pembukaan pendidikan "dokterdjawa" (sekelas mantri) dg lama pendidikan 2 tahun (saja) (Gouvermentsbesluit No. 22). Baru pada tanggal 16 Agustus 1927 (7 tahun setelah Technische Hoogeschool Bandoeng berdiri) dikeluarkan Staatbl.Ned.Indie 1927 No. 396 yg merubah STOVIA menjadi Geneeskundige Hoogeschool (GHS). Mulai saat inilah pendidikan kedokteran Indonesia berstatus SEKOLAH TINGGI (menerima lulusan HBS/AMS/setingkat SMA, sebelumnya - STOVIA tdk mensyaratkan hal tsb).

    KESIMPULAN:
    1. Sepakat dan sesuai fakta sejarah jika PENDIDIKAN TINGGI KEDOKTERAN di INDONESIA dimulai sejak tahun 1927 (berdirinya GHS)- bukan UI. Serupa dengan ITB yg memperingati PENDIDIKAN TINGGI TEKNIK di INDONESIA dg tonggak tahun 1920 (bukan ITB lho bang)
    2. Sepakat dan sesuai fakta sejarah jika PENDIDIKAN KESEHATAN di INDONESIA dimulai sejak tahun 1851 (dibukanya kursus "dokterdjawa"-mantri) - bukan PENDIDIKAN TINGGI.
    3. Christiaan Eijkman BUKAN alumni UI.
    4. Pada saat menerima hadiah Nobel 1929 Eijkman BUKAN LAGI Direktur Dokterdjawa School - APALAGI UI.

    SARAN:
    1. Perlu pelurusan sejarah dg berlandaskan Gouvermentsbesluit, Staatbl.Ned.Indie, Hooger Onderwijs Ordonantie, dan sejenisnya untuk periode masa kolonial, maupun UU Darurat RIS, dan sejenisnya, dan kemudian dirangkai menjadi suatu kronologis.
    2. Mengapa saya anggap perlu krn di kalangan generasi muda sendiri banyak salah kaprah seperti:
    a. UNAIR pecahan UI, padahal yg lebih tepat FKUI di Surabaya dan FH UGM di Surabaya membentuk UNAIR.
    b. Fakultas Ekonomi tertua di Indonesia adl Fakultas Ekonomi UI yg berada di Makasar (1947), sementara FEUI yg di Jakarta dibuka tahun 1950 sbg FEUI yg kedua.
    c. Fakultas Teknik UGM berasal dari Sekolah Tinggi Teknik Yogyakarta, padahal yg benar adalah Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta (sebagai konsekuensi hijrahnya pemerintah RI ke Jogja tahun 1946-an)

    Demikian bang sedikit tanggapan dr saya.
    Salam... in harmoniae progressio

    BalasHapus