Oleh Cardiyan HIS
Tim perahu Naga Indonesia membuat hatrick merebut 3 emas Asian Games ke 16, Guangzhou, Cina, dengan menundukkan olahraga kebanggaan rakyat Cina langsung di kandangnya! Kehebatan tim perahu Naga Indonesia memadukan antara kekuatan otot, otak dan ketulusan hati putra-putra terbaik Indonesia dari berbagai suku bangsa Indonesia ini sudah sepatutnya menginspirasi SBY bahwa “Indonesia Bisa” (slogan kesenangan SBY sendiri lho!) untuk meniru rekannya Presiden Cina dalam memerangi korupsi, memiskin para koruptor bahkan menghabisi koruptor-koruptor di tiang gantungan dan atau regu tembak mati karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang telah memiskinkan rakyat.
“Katakan Tidak pada Korupsi. Lanjutkan!”. Jargon inilah yang telah berperan sangat besar dalam memenangi SBY pada Pilpres 2009-2014. Minimal telah memperdaya penulis sendiri untuk memilihnya sampai yang kedua kalinya.
Jargon memang selalu mudah untuk diteriakkan sekeras-kerasnya. Tetapi sangat sulit dilaksanakan dalam praktek. Bagaimana janji Presiden SBY yang mau memimpin terdepan dalam pemberantasan korupsi, tetapi ketidakadilan hukum dibiarkan berseliweran di depan mata. Mega kasus Bank Century berlalu begitu saja, keadilan tercampakkan. Kasus rekayasa pelemahan KPK melalui “Kasus Bibit-Chandra” sungguh sangat memalukan. Kasus “Rekening Gendut” oknum-oknum Jenderal Polisi dibiarkan dan bunga depositonya dengan leluasa terus dipetik mereka dari kebun bunga bank. Dan manakala kasus terpidana Gayus Tambunan yang sedang mendekam di tahanan Brimob Kelapa Dua, bisa piknik ke Bali dan menginap di hotel bertarif Rp. 10 juta/malam dengan dikawal seregu polisi juga dibiarkan, habis sudah kesabaran kita.
Ketidakadilan hukum di negeri tercinta Indonesia secara sadar dibiarkan oleh SBY dengan dalih; “Presiden RI tak boleh mengintervensi kasus hukum”. Dalih yang sangat naif sekali. Apa guna SBY menyatakan dengan lantang mau memimpin terdepan dalam pemberantasan korupsi kalau cara berpikir SBY tak boleh mengintervensi kasus hukum terus dijadikan pegangannya.
SBY sebagai komandan bagi Kapolri dan Jaksa Agung sangat jelas bisa mengintervensi kinerja kedua anak buahnya, karena SBY adalah Presiden RI atasan langsung Kapolri dan Jaksa Agung. Bila kinerja keduanya memble SBY bisa menjewernya, bahkan kalau perlu langsung memecatnya. Tapi yang terjadi sang komandan yang nota bene jenderal TNI ini diam tak berdaya. Anak SD pun telah tahu dan sangat paham dari buku pelajarannya, bahwa hanya PENGADILAN dan KPK yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun termasuk oleh Presiden SBY. Eh, malah SBY mengomentari vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus Misbakhun, mantan anggota DPR yang memalsukan jaminan atas kredit di Bank Century. Nah ini baru namanya intervensi atas pengadilan, jenderal!
Sebagai salah seorang rakyat Indonesia yang sangat meyakini bahwa Indonesia ke depan akan maju kalau pemerintah SBY menguatkan tiga pilar utama pembangunan bangsa yakni Pendidikan, Kewirausahaan dan Penegakan Hukum. Maka dengan merujuk fakta-fakta di atas, saya sangat sedih dalam memandang Tanah Air Indonesia ke depan begitu sangat suramnya. Indonesia dipastikan akan menjadi negara paling korup nomor satu di dunia! Dan akibatnya sangat berkemungkinan menyimpan bom waktu; Indonesia menjadi salah satu negara gagal di dunia!
Nasib Indonesia akan sangat suram karena salah satu pilar tadi yakni Penegakan Hukum akan mandul. Investasi pendidikan yang sesungguhnya mulai ada trend positif yakni naik menuju ke angka ideal 20% dari total APBN berdasarkan amanat UUD 1945, akan menjadi sia-sia kalau koruptor dibiarkan merajalela. Begitu pula para Wirausaha Sejati (Genuine Entrepreneur) yang merupakan pembayar pajak terbaik, akan jungkir balik berakrobat untuk memutar roda ekonomi karena sehari-hari mereka harus mengeluarkan ekonomi biaya sangat tinggi akibat ulah penguasa yang sangat korup, tetapi dibiarkan merajalela tanpa ditindak.
Pengadilan hanya akan menjadi forum dagelan belaka. Koruptor sebagian besar dibebaskan karena sejak awal memang direkayasa oleh jaksa dengan tuntutan hukum yang sangat lemah dan kemudian batal demi hukum untuk divonis bebas oleh hakim yang telah terbeli pula. Dan kalau pun ada yang dihukum, hanya vonis basa-basi saja, vonis hukuman dibuat sangat-sangat ringan. Nasib maling ayam yang digebukin sampai mati bahkan ada yang dibakar oleh rakyat sungguh tragis dibanding nasib koruptor yang dipenjara di ruang yang lapang dan memiliki AC, TV Flat, kasur empuk, kamar mandi pakai shower, bebas menggunakan HP dari ruang nyaman penjara bahkan kalau perlu memimpin rapat bisnis termasuk jualan narkoba, disini pula. Dan presedennya sudah banyak. Seperti sudah terbukti sekarang pun banyak koruptor dihukum sangat ringan dengan masa percobaan bahkan tanpa penahanan. Ini sama saja dengan bohong. Dan kalau pun jaksa melakukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung, ya tetap dagelan juga.
Jadi Indonesia sekarang persis Jepang 160 tahun yang lalu! Ketika upaya-upaya Restorasi Meiji di Jepang mendapat banyak tantangan terutama dari para koruptor dan pendukungnya. Indonesia tentu ingin maju menjelma seperti Jepang yang modern sekarang ini, sebagai buah dari Restorasi Meiji yang diajarkan oleh Guru Bangsa Jepang, Fukuzawa Yukichi, sekaligus sebagai peletak dasar utama Jepang menuju Jepang yang modern sekarang ini melalui perjuangan membangun Pendidikan, Kewirausahaan dan Penegakan Hukum.
Jadi apa lagi pengharapan yang ada? Ya paling tidak, kita harus menunggu dulu untuk sabar sampai sifat peragu SBY berubah menjadi seorang jenderal TNI yang tegas siap berperang melawan korupsi, sesuai dengan janjinya sendiri pada kampanye pemenangan Pemilu 2009-2014 sebagai Pembina Partai Demokrat, partainya SBY: “Katakan Tidak pada Korupsi. Lanjutkan!”. Tapi apakah kita yakin mau menunggunya seperti keputus-asaan seorang SBY sendiri dengan kata-katanya sendiri; menunggu prestasi PSSI sampai Lebaran Kuda?
Kita berharap SBY mengikuti langkah Presiden Cina yang memimpin di depan dalam pemberantasan korupsi, sehingga banyak koruptor yang dihukum gantung atau ditembak sampai mati. Dan lihat saja hasilnya; Cina menjelma menjadi negara raksasa ekonomi nomor 1 di dunia dengan cadangan devisa lebih dari US$ 2.500 miliar!
Kita, rakyat Indonesia tentu menginginkan Indonesia maju, dan sesungguhnya Indonesia berpotensi juga untuk menjadi negara adidaya. Buktinya? Kehebatan tim perahu Naga Indonesia yang membuat hatrick merebut 3 emas Asian Games ke 16, Guangzhou, Cina, dengan menundukkan olahraga kebanggaan rakyat Cina langsung di kandangnya! Kehebatan tim perahu Naga memadukan antara kekuatan otot dan otak dan (keramahan dan kehalusan hati) putra-putra terbaik Indonesia dari berbagai suku bangsa Indonesia ini sudah sepatutnya menginspirasi SBY bahwa “Indonesia Bisa” (slogan kesenangan SBY sendiri lho!) untuk meniru rekannya Presiden Cina dalam memerangi korupsi, memiskin para koruptor bahkan menghabisi koruptor-koruptor di tiang gantungan dan atau regu tembak mati karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang telah memiskinkan rakyat.
Rakyat Indonesia akan protes sangat keras. Rakyat Indonesia akan sangat marah luar biasa; bila pemberantasan korupsi oleh SBY bukannya maju malah mundur ke belakang, ke jaman korupsi di era Soeharto bahkan lebih mundur lagi seperti ke jaman Pra Restorasi Meiji di Jepang 150 tahun yang lalu!
Sabtu, 20 November 2010
Jumat, 24 September 2010
Indonesia Merajai "Merdeka Games" Malaysia
Oleh Cardiyan HIS
Tim nasional sepakbola Indonesia kembali juara pertama Merdeka Games 1962. Ini adalah pencapaian luar biasa. Karena Indonesia selama tiga tahun berturut-turut sejak 1960, 1961 dan 1962 menjadi kampiun kejohanan bola sepak “Sukan Merdeka”, Kuala Lumpur, Malaysia.
Dan yang menarik, selama 3 tahun belakangan ini Persib Bandung menjadi tulung punggung keberhasilan Indonesia di kejohanan tertua dan paling bergengsi di Asia Pasifik ini. Bayangkan saja. Nama-nama Yus Etek (Penjaga Gawang), Ishak Udin, Masri, Sunarto (Belakang), Fatah Hidayat, Emen (Gelandang), Wowo, Rukman, Omo dan Komar (Penyerang) dipilih pelatih timnas Tony Pogacknik.
Sebenarnya tak terlalu mengherankan karena Persib ketika itu adalah juara kompetisi Perserikatan 1961 dan juara 2 pada tahun-tahun 1960 (kalah di final dari PSM Makassar) dan 1962 (kalah di final dari PSMS Medan).
Pemain-pemain lain di luar Persib yang dipanggil Tony Pogacknik adalah Yudo Hadianto, Bertje Matulapelwa, Thio Tjong Fa, Fam Tet Fong (Persija), Sahruna, John Simon, Manan (PSM Makassar), Sahala Siregar (PSMS Medan) dan Misbach (Persebaya Surabaya).
Nama-nama Soetjipto Soentoro (Persija), Aliandu, Basri, Jacob Sihasale, Anjik Alinurdin (Persebaya), Max Timisela (Persib), Dominggus (Persipura) masih berada di PSSI Yunior yang berhasil menjuarai berturut Piala
Asia Yunior tahun 1961 dan 1962 yang keduanya diselenggarakan oleh AFC/FIFA di Bangkok, Thailand.
Yus Etek sebenarnya bukan orang Sunda tetapi “urang awak” alias Sumatra Barat yang sekolah di Sekolah Tinggi Olahraga (STO), Bandung (pecahan dari Fakultas Ilmu Jasmani Universitas Padjadjaran, Bandung). Yus Etek yang tinggi besar kekar -----dibanding Yudo Hadianto yang kecil tetapi lincah dan penuh akrobatik----- dijuluki “Lev Yashin Indonesia”. Dengan tubuhnya yang tinggi besar kekar sepertinya tak ada ruang bagi penyerang lawan untuk menerobos gawang Persib maupun Indonesia. Hanya dengan sedikit gerakan saja Yus Etek dengan mudah menangkap bola-bola tendangan keras dan sundulan sulit para penyerang lawan.
Trio Ishak Udin, Masri dan Sunarto adalah tembok Persib dan Timnas Indonesia yang sulit ditembus lawan. Sehingga semakin memperkokoh benteng pertahanan Persib dan Timnas Indonesia yang dijaga oleh Yus Etek maupun Yudo. Sunarto -----kakak kandung Risnandar, mantan stopper Persib dan timnas Indonesia dan Giantoro, mantan pemain belakang Persib----- yang paling lama bertahan di timnas Indonesia karena masih bermain cemerlang di era Soetjipto Soentoro 1964-1970, bergantian dengan bek kanan Yuswardi.
Akan hal Max Timisela adalah pemain Persib yang dalam sejarah Persib adalah pemain yang memiliki kecerdasan tinggi dan penguasaan bola yang aduhai “anjas” alias “yahud” alias “hebring”. Bagi komunitas sepakbola provinsi Jawa Barat (termasuk provinsi Banten sekarang) istilah “balik Bandung” alias tendangan “salto” adalah “penemuan”-nya (meskipun tentu saja pemain-pemain Pele atau Brazil yang lebih dulu menemukannya). Tapi setidaknya di khasanah sepakbola Jawa Barat dan Banten bahkan di Tim Nasional, Max Timisela dan Soetjipto Soentoro sering menghasilkan gol-gol indahnya dengan cara “balik Bandung” ini.
Tak mengherankan bila pada tahun 1965 pelatih klub Werder Bremen, juara kompetisi Bundesliga, Jerman Barat, Herr Brocker, -----setelah pertandingan Werder Bremen vs Timnas Indonesia berakhir 6-5---- kemudian menawari Soetjipto Soentoro dan Max Timisela untuk bergabung.
Bung Karno melalui Menteri Olahraga Maladi melarang keduanya bergabung Werder Bremen karena tenaganya sangat diperlukan oleh Indonesia untuk level kejuaraan level dunia multi cabang Ganefo Games di Jakarta. Tetapi teman-teman di Timnas Indonesia “membongkar rahasia” keduanya seperti diungkapkan Yudo Hadiyanto kepada penulis: “Mana tahan Soetjipto dan Max makan steak, salad dan roti terus sepanjang musim di Eropa. Keduanya hanya baru bagus main bola kalau makan nasi sepiring gede (dan pasti suka nambah lagi), ikan asin dan sambal terasi.....!”
Omo adalah master dalam sundulan. Umpan-umpan lambung dan umpan tarik Rukman dan Komar dari kedua sayap selalu diselesaikan dengan sundulan kepala yang mematikan penjaga gawang lawan.
Wowo orang Malangbong, Garut, sangat terkenal kekerasan tendangannya tetapi terarah ke gawang lawan. Gol-gol “canon ball” sering dihasilkan oleh Wowo jauh dari luar kotak penalti lawan.
Fatah Hidayat adalah gelandang Persib yang sering “memelonco” Soetjipto
“Gareng” Soentoro ketika si Gareng ini baru memulai “naik pangkat” kariernya ke Timnas Senior Indonesia mulai tahun 1964. Si Gareng ini sering disuruh membersihkan dan menyemir sepatu Fatah Hidayat sebelum bertanding. Gelandang serang berbadan kekar ini adalah kapten Persib dan Timnas Indonesia yang berwibawa.
Djadjang Haris baru muncul belakangan yakni pada akhir 1960-an. Ia asal
Persitas Tasikmalaya yang seperti halnya Komar (asal Persigal Galuh, Ciamis) menduduki posisi kanan luar, baik di Persib maupun di Timnas Indonesia. Komar inilah yang menghasilkan gol penentu kemenangan Indonesia 1-0 atas Mesir pada final Ganefo di Jakarta pada tahun 1964.
Tim nasional sepakbola Indonesia kembali juara pertama Merdeka Games 1962. Ini adalah pencapaian luar biasa. Karena Indonesia selama tiga tahun berturut-turut sejak 1960, 1961 dan 1962 menjadi kampiun kejohanan bola sepak “Sukan Merdeka”, Kuala Lumpur, Malaysia.
Dan yang menarik, selama 3 tahun belakangan ini Persib Bandung menjadi tulung punggung keberhasilan Indonesia di kejohanan tertua dan paling bergengsi di Asia Pasifik ini. Bayangkan saja. Nama-nama Yus Etek (Penjaga Gawang), Ishak Udin, Masri, Sunarto (Belakang), Fatah Hidayat, Emen (Gelandang), Wowo, Rukman, Omo dan Komar (Penyerang) dipilih pelatih timnas Tony Pogacknik.
Sebenarnya tak terlalu mengherankan karena Persib ketika itu adalah juara kompetisi Perserikatan 1961 dan juara 2 pada tahun-tahun 1960 (kalah di final dari PSM Makassar) dan 1962 (kalah di final dari PSMS Medan).
Pemain-pemain lain di luar Persib yang dipanggil Tony Pogacknik adalah Yudo Hadianto, Bertje Matulapelwa, Thio Tjong Fa, Fam Tet Fong (Persija), Sahruna, John Simon, Manan (PSM Makassar), Sahala Siregar (PSMS Medan) dan Misbach (Persebaya Surabaya).
Nama-nama Soetjipto Soentoro (Persija), Aliandu, Basri, Jacob Sihasale, Anjik Alinurdin (Persebaya), Max Timisela (Persib), Dominggus (Persipura) masih berada di PSSI Yunior yang berhasil menjuarai berturut Piala
Asia Yunior tahun 1961 dan 1962 yang keduanya diselenggarakan oleh AFC/FIFA di Bangkok, Thailand.
Yus Etek sebenarnya bukan orang Sunda tetapi “urang awak” alias Sumatra Barat yang sekolah di Sekolah Tinggi Olahraga (STO), Bandung (pecahan dari Fakultas Ilmu Jasmani Universitas Padjadjaran, Bandung). Yus Etek yang tinggi besar kekar -----dibanding Yudo Hadianto yang kecil tetapi lincah dan penuh akrobatik----- dijuluki “Lev Yashin Indonesia”. Dengan tubuhnya yang tinggi besar kekar sepertinya tak ada ruang bagi penyerang lawan untuk menerobos gawang Persib maupun Indonesia. Hanya dengan sedikit gerakan saja Yus Etek dengan mudah menangkap bola-bola tendangan keras dan sundulan sulit para penyerang lawan.
Trio Ishak Udin, Masri dan Sunarto adalah tembok Persib dan Timnas Indonesia yang sulit ditembus lawan. Sehingga semakin memperkokoh benteng pertahanan Persib dan Timnas Indonesia yang dijaga oleh Yus Etek maupun Yudo. Sunarto -----kakak kandung Risnandar, mantan stopper Persib dan timnas Indonesia dan Giantoro, mantan pemain belakang Persib----- yang paling lama bertahan di timnas Indonesia karena masih bermain cemerlang di era Soetjipto Soentoro 1964-1970, bergantian dengan bek kanan Yuswardi.
Akan hal Max Timisela adalah pemain Persib yang dalam sejarah Persib adalah pemain yang memiliki kecerdasan tinggi dan penguasaan bola yang aduhai “anjas” alias “yahud” alias “hebring”. Bagi komunitas sepakbola provinsi Jawa Barat (termasuk provinsi Banten sekarang) istilah “balik Bandung” alias tendangan “salto” adalah “penemuan”-nya (meskipun tentu saja pemain-pemain Pele atau Brazil yang lebih dulu menemukannya). Tapi setidaknya di khasanah sepakbola Jawa Barat dan Banten bahkan di Tim Nasional, Max Timisela dan Soetjipto Soentoro sering menghasilkan gol-gol indahnya dengan cara “balik Bandung” ini.
Tak mengherankan bila pada tahun 1965 pelatih klub Werder Bremen, juara kompetisi Bundesliga, Jerman Barat, Herr Brocker, -----setelah pertandingan Werder Bremen vs Timnas Indonesia berakhir 6-5---- kemudian menawari Soetjipto Soentoro dan Max Timisela untuk bergabung.
Bung Karno melalui Menteri Olahraga Maladi melarang keduanya bergabung Werder Bremen karena tenaganya sangat diperlukan oleh Indonesia untuk level kejuaraan level dunia multi cabang Ganefo Games di Jakarta. Tetapi teman-teman di Timnas Indonesia “membongkar rahasia” keduanya seperti diungkapkan Yudo Hadiyanto kepada penulis: “Mana tahan Soetjipto dan Max makan steak, salad dan roti terus sepanjang musim di Eropa. Keduanya hanya baru bagus main bola kalau makan nasi sepiring gede (dan pasti suka nambah lagi), ikan asin dan sambal terasi.....!”
Omo adalah master dalam sundulan. Umpan-umpan lambung dan umpan tarik Rukman dan Komar dari kedua sayap selalu diselesaikan dengan sundulan kepala yang mematikan penjaga gawang lawan.
Wowo orang Malangbong, Garut, sangat terkenal kekerasan tendangannya tetapi terarah ke gawang lawan. Gol-gol “canon ball” sering dihasilkan oleh Wowo jauh dari luar kotak penalti lawan.
Fatah Hidayat adalah gelandang Persib yang sering “memelonco” Soetjipto
“Gareng” Soentoro ketika si Gareng ini baru memulai “naik pangkat” kariernya ke Timnas Senior Indonesia mulai tahun 1964. Si Gareng ini sering disuruh membersihkan dan menyemir sepatu Fatah Hidayat sebelum bertanding. Gelandang serang berbadan kekar ini adalah kapten Persib dan Timnas Indonesia yang berwibawa.
Djadjang Haris baru muncul belakangan yakni pada akhir 1960-an. Ia asal
Persitas Tasikmalaya yang seperti halnya Komar (asal Persigal Galuh, Ciamis) menduduki posisi kanan luar, baik di Persib maupun di Timnas Indonesia. Komar inilah yang menghasilkan gol penentu kemenangan Indonesia 1-0 atas Mesir pada final Ganefo di Jakarta pada tahun 1964.
Nama-nama Sunda Batur Salembur
Oleh Cardiyan HIS
Liburan panjang Lebaran Idul Fitri 1431 H terbukti menjadi penyambung silaturahmi. Kita bahkan ketemu teman-teman lama sejak SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi. Nama-nama sobat kembali muncul dalam ingatan. Nama-nama khas Sunda sering kali berulang dari nama panggilan singkat yang diambil dari nama lengkapnya. Misalnya Ajat SudrAJAT (itu nama pemain sepakbola beken Persib Bandung dan timnas era pertengahan 1980an).
Berikut adalah nama yang sangat khas Sunda yang penulis inventarisir di sela-sela Lebaran di lembur tanah Priangan. Ini misalnya nama laki-laki: Tata Sunyata, Eman Sulaeman, Maman Rusmana, Wawan Kusmawan, Aen Warnaen, Uwen Kuswendi, Enal Jaenal, Entis Sutisna, Ili Romli, Ii Rustamli, Iyus Rustandi, Ayi Rayi, Didi Rusdi, Yayat Ruhiyat, Dayat Hidayat, Uus Rusmana, Engkus Kusnandar, Engkos Koswara, Engkos Kosasih, Utay Muhtar, Unay Sunarya, Nana Sukarna, Ara Suhara, Amar Sumarna, Oyib Toyibi, Encu Syamsudin, Yadi Karyadi, Tatang Rumentang, Ujang Jajang, Sonson Sonjaya. Sedangkan nama-nama perempuannya seperti: Apong Tehapong, Ai Aisah, Isah Rukasah, Yati Sopyati, Eti Herneti, Wati Tresnawati, Iyos Yosmawar, Emay Resmaya, Empat Patimah.Dan ini orisinal temuan Prof.DR.Ir. Kusmajanto Kadiman, mantan Rektor ITB dan Menristek RI; Ice Juice .....!.Aya-aya wae, Kang Engkus.
Di kalangan orang Sunda ada juga istilah "JAWA BOBOKO" yakni penamaan mirip orang Jawa padahal asli orang Sunda seperti Dodo Suhodo, Wowo Sungkowo, Toto Daryoto, Oto Marwoto, Jono Sarjono, Omo Suratmo, Nono Suwarno. Dan karena orang Sunda sulit menyebut lafal Bambang (seperti halnya juga sulit melafalkan huruf F karena lebih kental dengan huruf P) maka tak aneh bila menemukan nama BANGBANG Suwarto.
Liburan panjang Lebaran Idul Fitri 1431 H terbukti menjadi penyambung silaturahmi. Kita bahkan ketemu teman-teman lama sejak SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi. Nama-nama sobat kembali muncul dalam ingatan. Nama-nama khas Sunda sering kali berulang dari nama panggilan singkat yang diambil dari nama lengkapnya. Misalnya Ajat SudrAJAT (itu nama pemain sepakbola beken Persib Bandung dan timnas era pertengahan 1980an).
Berikut adalah nama yang sangat khas Sunda yang penulis inventarisir di sela-sela Lebaran di lembur tanah Priangan. Ini misalnya nama laki-laki: Tata Sunyata, Eman Sulaeman, Maman Rusmana, Wawan Kusmawan, Aen Warnaen, Uwen Kuswendi, Enal Jaenal, Entis Sutisna, Ili Romli, Ii Rustamli, Iyus Rustandi, Ayi Rayi, Didi Rusdi, Yayat Ruhiyat, Dayat Hidayat, Uus Rusmana, Engkus Kusnandar, Engkos Koswara, Engkos Kosasih, Utay Muhtar, Unay Sunarya, Nana Sukarna, Ara Suhara, Amar Sumarna, Oyib Toyibi, Encu Syamsudin, Yadi Karyadi, Tatang Rumentang, Ujang Jajang, Sonson Sonjaya. Sedangkan nama-nama perempuannya seperti: Apong Tehapong, Ai Aisah, Isah Rukasah, Yati Sopyati, Eti Herneti, Wati Tresnawati, Iyos Yosmawar, Emay Resmaya, Empat Patimah.Dan ini orisinal temuan Prof.DR.Ir. Kusmajanto Kadiman, mantan Rektor ITB dan Menristek RI; Ice Juice .....!.Aya-aya wae, Kang Engkus.
Di kalangan orang Sunda ada juga istilah "JAWA BOBOKO" yakni penamaan mirip orang Jawa padahal asli orang Sunda seperti Dodo Suhodo, Wowo Sungkowo, Toto Daryoto, Oto Marwoto, Jono Sarjono, Omo Suratmo, Nono Suwarno. Dan karena orang Sunda sulit menyebut lafal Bambang (seperti halnya juga sulit melafalkan huruf F karena lebih kental dengan huruf P) maka tak aneh bila menemukan nama BANGBANG Suwarto.
Sabtu, 10 Juli 2010
Indonesia Mendarahi Sukses Belanda ke Final Piala Dunia 2010
Oleh Cardiyan HIS
Semakin terbukti bahwa talenta anak Indonesia bermain sepakbola sebenarnya berkelas dunia. Anak-anak keturunan Indonesia turut mengantar kesebelasan nasional Belanda menembus final Piala Dunia 2010. Manajemen PSSI harus direformasi total dalam kompetisi sepakbola berbagai level sejak usia dini sampai senior. Kalau tidak, ambisi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid membawa Indonesia ke pentas dunia sampai “Lebaran Kuda” pun tak akan pernah kesampaian.
Cannon ball berjarak 40 meter itu menembus telak pojok atas kiri gawang Uruguay. Sang penendang gol emas ini adalah kapten tim nasional Belanda, Giovanni van Bronckhorst. Mantan bek kiri klub Barcelona dan kini akan segera mundur dari klub Feyenoord pasca Piala Dunia 2010 ini, ternyata memiliki darah Indonesia. Ibu kandungnya adalah wanita berdarah Maluku dari fam Sapulete. Tak mengherankan sosok “hanya” bertinggi badan 178 cm pada aura wajahnya masih sangat kuat terpancar Ambon manise.
Gol sang kapten pada menit ke 18 ini (merupakan salah satu nominasi gol terbaik Piala Dunia 2010) tentu membangkitkan moral timnas Belanda di pertandingan semifinal yang sangat krusial melawan satu-satunya tim tersisa asal Amerika Latin; Uruguay. Terlebih-lebih gol ini membangkitkan semangat dan kebanggaan bagi 3 orang lagi sesama keturunan Indonesia yang bermain di semifinal; Johny Heitinga (bek tengah, pemain klub Everton, UK), Deny de Zeeuw (gelandang bertahan, Ajax, the Netherlands) dan Robin van Persie (penyerang, Arsenal, UK ini neneknya berdarah Jawa 100%). Sedangkan satu lagi keturunan Indonesia adalah gelandang bertahan; Nigel de Jong (Manchester City, UK) karena mendapat hukuman akumulasi kartu kuning tak bisa tampil di semifinal. Dengan semua 5 (lima) pemain keturunan Indonesia bebas dari hukuman akumulasi kartu sampai semifinal, maka kelimanya yang merupakan pemain inti kemungkinan besar akan dimainkan sepenuhnya oleh pelatih timnas Belanda, Bert van Marwijk melawan Spanyol di final 12 Juli 2010 jam 1.30 dini hari.
Cerita manis kiprah pemain nasional Belanda berdarah Indonesia sebenarnya bukan ceritera baru lagi. Malahan terjadi sejak jauh hari ketika timnas Indonesia asuhan pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik , melakukan Tour Eropa pertama pada awal 1965. Seorang pemain timnas Indonesia bernama Domingus asal Persipura, Jayapura, Irian Barat (kini Papua) membelot dari timnas Indonesia ke Belanda! Peristiwa yang sangat berbau politis ini, terjadi segera setelah pertandingan timnas Indonesia yang dikapteni Soetjipto “Gareng” Soentoro melawan Guus Hiddink, yang mengkapteni timnas Belanda. Bung Karno, Presiden RI marah besar dan semakin menguatkan tekadnya untuk membangun kesebelasan Indonesia yang kuat untuk event dunia Ganefo di Jakarta. Di event sebagai tandingan Olimpiade karena Indonesia memboikot Olimpiade Tokyo 1960, di final kesebelasan Indonesia mengalahkan Mesir 1-0 melalui gol tunggal striker Komar, asal Persib Bandung. Ketika itu Indonesia memang sedang mengalami masa-masa panas hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pasca Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) oleh PBB yang akhirnya pada tahun 1962 membawa kembali Irian Barat dari cengkeraman penjajah Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia.
Setelah kejadian itu, baru muncul Simon Tahamata berdarah Indonesia Maluku sebagai pemain inti tim nasional Belanda awal tahun 1980an. Bermain sebagai kiri luar yang sangat cemerlang di klub Ajax, membawa Simon Tahamata ke timnas Belanda. Simon mengakhiri karier internasionalnya di sebuah klub papan atas Belgia, Anderlecht. Nah yang menjadi menarik belakangan ini fenomena jumlah populasi pemain timnas Belanda ternyata semakin banyak dihuni oleh para pemain berdarah Indonesia. Timnas Belanda yang akan tampil di final melawan Spanyol tanggal 12 Juli 2010 jam 1.30, dipastikan akan melibatkan 5 (lima) orang keturunan Indonesia!
Dan masa depan para pemain keturunan Indonesia untuk bisa menembus pemain elite timnas Belanda pasca Piala Dunia 2010 ini pun masih sangat terbuka lebar. Karena masih sangat banyak pemain-pemain keturunan Indonesia yang terlibat dalam kompetisi divisi utama Belanda Eradivisie. Setelah salah seorang pemain timnas Belanda keturunan Indonesia bernama Hedwiges Maduro (juga mantan kapten timnas Belanda yang menjuarai Piala Eropa U-20 tahun 2005) menurun dan tak dipanggil oleh pelatih timnas Belanda 2010, kini ada barisan panjang nama-nama keturunan Indonesia yang kualitasnya sangat menjanjikan antara lain Christian Sapusepa, Michael Timisela, Robert Timisela dan Sven Taberima (Ajax, Amsterdam); Djilmal Lawansuka (Feyenoord, Rotterdam); Raphael Tuanakotta dan Ignacio Tuhuteru (FC Groningen); Gaston Salasiwa (AZ Alkmaar); Marciano Kastirejo, Stefano Lilipaly dan Max Lohy (FC Utrech); Nelljoe Latumahina, Juan Hatumena, Petg Toisuta dan Domingus Lim-Duan (FC Zwolle).
Melihat deretan nama tersebut, tak mengherankan bila Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI sangat tergiur untuk secara instant merekrut pemain-pemain keturunan Indonesia ini menjadi pemain timnas PSSI, melalui proses naturalisasi terlebih dulu. Maka segera dia menyuruh Nugraha Besoes, Sekjen PSSI yang menjabat Sekjen terlama di dunia untuk menjajaginya. Tapi sebagian terbesar dari mereka ternyata tidak mau bermain untuk tim PSSI karena mereka menilai peluang untuk lolos ke Piala Dunia sangat tipis bagi timnas Indonesia dibandingkan kalau mereka membela timnas Belanda. Alasan lain penolakan mereka tentunya adalah masalah jaminan hidup pemain yang sangat diragukan karena kompetisi PSSI masih sangat ecek-ecek.
Memang ada beberapa keturunan Indonesia yang mencoba peruntungan di kompetisi Indonesia Super League (ISL) seperti Irvan Bachdim, (ayahnya keturunan Minangkabau). Namun pemain yunior FC Groningen ini ditolak oleh Persib Bandung karena dinilai masih belum siap untuk mengarungi kompetisi ISL yang sangat keras. Ada lagi Sergio van Dijk, salah seorang top scorer liga Australia (A-League), tetapi beritanya tak kedengaran lagi, mungkin dia tahu Indonesia ditolak FIFA pada bidding keikutsertaannya untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
PSSI kepengurusan Nurdin Halid kalau mau maju ke pentas dunia janganlah berpikir serba instant dong. Jangan agar bisa lolos ke Piala Dunia lalu mencoba merekayasa menjadi Tuan Rumah Piala Dunia. Ini namanya ingin tampil di Piala Dunia dengan tiket gratis! Jangan karena ingin lolos ke Piala Dunia lalu berpikir segera menaturalisasi para pemain bola internasional keturunan Indonesia. Benahi dulu dong, semua level kompetisi sejak usia dini, berjenjang beberapa tingkatan sampai ke kompetisi senior. Kompetisi yang berjalan bagus, kompetitip dan dijalankan secara fair itulah yang akan membawa pemain-pemain Indonesia berada pada level tinggi sebagai pemain sepakbola yang nantinya direkrut memperkuat timnas Indonesia.
Datangkan ke Indonesia pelatih berkelas dunia sekelas Tony Pogacknik, yang didukung penuh oleh pemerintah di bawah Presiden RI, Ir. Soekarno; yang berhasil membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Melbourne, Australia 1956 setelah di final Pra Olimpiade mengalahkan timnas Cina 5-3 dan kemudian di perempat final Olimpiade Melbourne membuat kejutan dengan menahan 0-0 calon juara Olimpiade yang akhirnya memang juga menjuarai Olimpiade Melbourne; Uni Soviet (sekarang Rusia), melalui pertandingan sangat dramatik. Atau datangkan pelatih asal Belanda sekelas, Wiel Coerver, yang membawa Feyenoord memenangi piala Champions dan nyaris membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal, Kanada 1976, hanya karena kalah adu penalti 5-6 melawan Korea Utara. Suruh pelatih timnas Indonesia ini keliling Indonesia memantau pemain-pemain muda berbakat tanpa diintervensi pengurus PSSI. Suruh dia memantau pemain-pemain di kompetisi ISL dan terus berdiskusi dengan para pelatih klub anggota ISL. Suruh dia memberi kursus kepelatihan bagi calon pelatih Indonesia terutama yang berasal dari mantan pemain nasional.
Ayo sebenar-benarnya Indonesia itu bisa ke Piala Dunia!!!!!
Kepustakaan:
www.fifa.com
www.cardiyanhis.blogspot.com
Cardiyan HIS, “PSSI Tempo Doeloe Hebring”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, “Intinya Pemain Inti untuk PSSI”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS, “Soetjipto ‘GARENG’ Soentoro Menggoreng Bola”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Semakin terbukti bahwa talenta anak Indonesia bermain sepakbola sebenarnya berkelas dunia. Anak-anak keturunan Indonesia turut mengantar kesebelasan nasional Belanda menembus final Piala Dunia 2010. Manajemen PSSI harus direformasi total dalam kompetisi sepakbola berbagai level sejak usia dini sampai senior. Kalau tidak, ambisi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid membawa Indonesia ke pentas dunia sampai “Lebaran Kuda” pun tak akan pernah kesampaian.
Cannon ball berjarak 40 meter itu menembus telak pojok atas kiri gawang Uruguay. Sang penendang gol emas ini adalah kapten tim nasional Belanda, Giovanni van Bronckhorst. Mantan bek kiri klub Barcelona dan kini akan segera mundur dari klub Feyenoord pasca Piala Dunia 2010 ini, ternyata memiliki darah Indonesia. Ibu kandungnya adalah wanita berdarah Maluku dari fam Sapulete. Tak mengherankan sosok “hanya” bertinggi badan 178 cm pada aura wajahnya masih sangat kuat terpancar Ambon manise.
Gol sang kapten pada menit ke 18 ini (merupakan salah satu nominasi gol terbaik Piala Dunia 2010) tentu membangkitkan moral timnas Belanda di pertandingan semifinal yang sangat krusial melawan satu-satunya tim tersisa asal Amerika Latin; Uruguay. Terlebih-lebih gol ini membangkitkan semangat dan kebanggaan bagi 3 orang lagi sesama keturunan Indonesia yang bermain di semifinal; Johny Heitinga (bek tengah, pemain klub Everton, UK), Deny de Zeeuw (gelandang bertahan, Ajax, the Netherlands) dan Robin van Persie (penyerang, Arsenal, UK ini neneknya berdarah Jawa 100%). Sedangkan satu lagi keturunan Indonesia adalah gelandang bertahan; Nigel de Jong (Manchester City, UK) karena mendapat hukuman akumulasi kartu kuning tak bisa tampil di semifinal. Dengan semua 5 (lima) pemain keturunan Indonesia bebas dari hukuman akumulasi kartu sampai semifinal, maka kelimanya yang merupakan pemain inti kemungkinan besar akan dimainkan sepenuhnya oleh pelatih timnas Belanda, Bert van Marwijk melawan Spanyol di final 12 Juli 2010 jam 1.30 dini hari.
Cerita manis kiprah pemain nasional Belanda berdarah Indonesia sebenarnya bukan ceritera baru lagi. Malahan terjadi sejak jauh hari ketika timnas Indonesia asuhan pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik , melakukan Tour Eropa pertama pada awal 1965. Seorang pemain timnas Indonesia bernama Domingus asal Persipura, Jayapura, Irian Barat (kini Papua) membelot dari timnas Indonesia ke Belanda! Peristiwa yang sangat berbau politis ini, terjadi segera setelah pertandingan timnas Indonesia yang dikapteni Soetjipto “Gareng” Soentoro melawan Guus Hiddink, yang mengkapteni timnas Belanda. Bung Karno, Presiden RI marah besar dan semakin menguatkan tekadnya untuk membangun kesebelasan Indonesia yang kuat untuk event dunia Ganefo di Jakarta. Di event sebagai tandingan Olimpiade karena Indonesia memboikot Olimpiade Tokyo 1960, di final kesebelasan Indonesia mengalahkan Mesir 1-0 melalui gol tunggal striker Komar, asal Persib Bandung. Ketika itu Indonesia memang sedang mengalami masa-masa panas hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pasca Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) oleh PBB yang akhirnya pada tahun 1962 membawa kembali Irian Barat dari cengkeraman penjajah Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia.
Setelah kejadian itu, baru muncul Simon Tahamata berdarah Indonesia Maluku sebagai pemain inti tim nasional Belanda awal tahun 1980an. Bermain sebagai kiri luar yang sangat cemerlang di klub Ajax, membawa Simon Tahamata ke timnas Belanda. Simon mengakhiri karier internasionalnya di sebuah klub papan atas Belgia, Anderlecht. Nah yang menjadi menarik belakangan ini fenomena jumlah populasi pemain timnas Belanda ternyata semakin banyak dihuni oleh para pemain berdarah Indonesia. Timnas Belanda yang akan tampil di final melawan Spanyol tanggal 12 Juli 2010 jam 1.30, dipastikan akan melibatkan 5 (lima) orang keturunan Indonesia!
Dan masa depan para pemain keturunan Indonesia untuk bisa menembus pemain elite timnas Belanda pasca Piala Dunia 2010 ini pun masih sangat terbuka lebar. Karena masih sangat banyak pemain-pemain keturunan Indonesia yang terlibat dalam kompetisi divisi utama Belanda Eradivisie. Setelah salah seorang pemain timnas Belanda keturunan Indonesia bernama Hedwiges Maduro (juga mantan kapten timnas Belanda yang menjuarai Piala Eropa U-20 tahun 2005) menurun dan tak dipanggil oleh pelatih timnas Belanda 2010, kini ada barisan panjang nama-nama keturunan Indonesia yang kualitasnya sangat menjanjikan antara lain Christian Sapusepa, Michael Timisela, Robert Timisela dan Sven Taberima (Ajax, Amsterdam); Djilmal Lawansuka (Feyenoord, Rotterdam); Raphael Tuanakotta dan Ignacio Tuhuteru (FC Groningen); Gaston Salasiwa (AZ Alkmaar); Marciano Kastirejo, Stefano Lilipaly dan Max Lohy (FC Utrech); Nelljoe Latumahina, Juan Hatumena, Petg Toisuta dan Domingus Lim-Duan (FC Zwolle).
Melihat deretan nama tersebut, tak mengherankan bila Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI sangat tergiur untuk secara instant merekrut pemain-pemain keturunan Indonesia ini menjadi pemain timnas PSSI, melalui proses naturalisasi terlebih dulu. Maka segera dia menyuruh Nugraha Besoes, Sekjen PSSI yang menjabat Sekjen terlama di dunia untuk menjajaginya. Tapi sebagian terbesar dari mereka ternyata tidak mau bermain untuk tim PSSI karena mereka menilai peluang untuk lolos ke Piala Dunia sangat tipis bagi timnas Indonesia dibandingkan kalau mereka membela timnas Belanda. Alasan lain penolakan mereka tentunya adalah masalah jaminan hidup pemain yang sangat diragukan karena kompetisi PSSI masih sangat ecek-ecek.
Memang ada beberapa keturunan Indonesia yang mencoba peruntungan di kompetisi Indonesia Super League (ISL) seperti Irvan Bachdim, (ayahnya keturunan Minangkabau). Namun pemain yunior FC Groningen ini ditolak oleh Persib Bandung karena dinilai masih belum siap untuk mengarungi kompetisi ISL yang sangat keras. Ada lagi Sergio van Dijk, salah seorang top scorer liga Australia (A-League), tetapi beritanya tak kedengaran lagi, mungkin dia tahu Indonesia ditolak FIFA pada bidding keikutsertaannya untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
PSSI kepengurusan Nurdin Halid kalau mau maju ke pentas dunia janganlah berpikir serba instant dong. Jangan agar bisa lolos ke Piala Dunia lalu mencoba merekayasa menjadi Tuan Rumah Piala Dunia. Ini namanya ingin tampil di Piala Dunia dengan tiket gratis! Jangan karena ingin lolos ke Piala Dunia lalu berpikir segera menaturalisasi para pemain bola internasional keturunan Indonesia. Benahi dulu dong, semua level kompetisi sejak usia dini, berjenjang beberapa tingkatan sampai ke kompetisi senior. Kompetisi yang berjalan bagus, kompetitip dan dijalankan secara fair itulah yang akan membawa pemain-pemain Indonesia berada pada level tinggi sebagai pemain sepakbola yang nantinya direkrut memperkuat timnas Indonesia.
Datangkan ke Indonesia pelatih berkelas dunia sekelas Tony Pogacknik, yang didukung penuh oleh pemerintah di bawah Presiden RI, Ir. Soekarno; yang berhasil membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Melbourne, Australia 1956 setelah di final Pra Olimpiade mengalahkan timnas Cina 5-3 dan kemudian di perempat final Olimpiade Melbourne membuat kejutan dengan menahan 0-0 calon juara Olimpiade yang akhirnya memang juga menjuarai Olimpiade Melbourne; Uni Soviet (sekarang Rusia), melalui pertandingan sangat dramatik. Atau datangkan pelatih asal Belanda sekelas, Wiel Coerver, yang membawa Feyenoord memenangi piala Champions dan nyaris membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal, Kanada 1976, hanya karena kalah adu penalti 5-6 melawan Korea Utara. Suruh pelatih timnas Indonesia ini keliling Indonesia memantau pemain-pemain muda berbakat tanpa diintervensi pengurus PSSI. Suruh dia memantau pemain-pemain di kompetisi ISL dan terus berdiskusi dengan para pelatih klub anggota ISL. Suruh dia memberi kursus kepelatihan bagi calon pelatih Indonesia terutama yang berasal dari mantan pemain nasional.
Ayo sebenar-benarnya Indonesia itu bisa ke Piala Dunia!!!!!
Kepustakaan:
www.fifa.com
www.cardiyanhis.blogspot.com
Cardiyan HIS, “PSSI Tempo Doeloe Hebring”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, “Intinya Pemain Inti untuk PSSI”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS, “Soetjipto ‘GARENG’ Soentoro Menggoreng Bola”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Kamis, 01 Juli 2010
PSSI Tempo Doeloe Hebring, PSSI Nurdin Halid Terbanting
Oleh Cardiyan HIS
Sejarah kejayaan PSSI tempo doeloe gagal diulang PSSI Nurdin Halid. Kejayaan sepakbola Indonesia ini diraih karena pengorganisasian PSSI berlangsung dengan penuh idealisme, penuh patriotik. Bila sepakbola di jaman penjajahan Belanda adalah sebagai alat perjuangan menyatukan rakyat Indonesia melawan Belanda. Maka pada pasca kemerdekaan dijadikan alat perjuangan pembentukan karakter bangsa (National Character Building). Dan hal ini sangat didukung oleh visi dan misi Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Presiden RI pertama ini meminta sahabatnya di KTT Non Blok, Presiden Yugoslavia, Broz Tito untuk mengirim ke Indonesia salah seorang pelatih sepakbola terbaik di Eropa yakni Tony Pogacknik. Sedangkan manajemen sepakbola PSSI Nurdin Halid adalah mismanajemen.
Indonesia adalah negara yang memiliki suku bangsa atau etnis terbanyak di dunia. Dan berdasarkan tesis para akhli psikologi dunia Barbe dan Renzulli (1975) dan Gallagher (1975), Tuhan YME memberikan talenta terbaik kepada sebagian manusia pada berbagai etnis di mana pun mereka berada di belahan tempat di dunia. Maka tak mengherankan bila talenta terbaik sepakbola pun berada di mana-mana di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemudian pada masa itu belum ada kompetisi sepakbola profesional berkelas dunia di Asia dan Afrika, kompetisi profesional baru ada di belahan benua Eropa. Kompetisi sepakbola amatir atau di Indonesia dikenal sebagai kompetisi sepakbola Perserikatan-lah yang baru ada, begitu pula di negara-negara Asia dan Afrika lainnya, kecuali di Hong Kong yang berafiliasi ke Inggris. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat ketika kompetisi profesional seperti sekarang ini. Namun meskipun demikian, ketika itu kompetisi amatir Perserikatan dilakukan dengan teratur, terjadwal dengan baik. Sehingga para juara kompetisi Perserikatan peraih Piala Presiden RI ini mencerminkan kualitas pencapaian kesebelasannya adalah nyata-nyata bagus.
Sebagai pelatih sepakbola Tony Pogacknik memang sangat jeli. Ia menemukan kehebatan para pemain Indonesia ada pada kemampuan sprint pendek, sehingga dia mengembangkannya sebagai sebuah taktik penyerangan merayap sejak dari belakang mendekati kotak penalti lawan. Maka menghadapi pemain-pemain Eropa bertubuh tinggi besar pun bukan menjadi halangan bagi para pemain Indonesia, karena bisa bermain tik-tak untuk menerobos benteng pertahanan lawan. Sebagai orang Eropa, Tony sudah sangat hapal tentunya kelemahan para pemain belakang yang berfisik tinggi besar ada pada kekakuan tubuh, tak lentur dalam membalikkan badan manakala penyerang lawan berhasil menembus tembok pemain belakang. Nah sebaliknya para pemain belakang Indonesia memiliki kemampuan fisik yang lentur, sehingga mereka akan mudah membalikkan badan untuk mengejar pemain depan lawan yang mencoba lolos. Sedangkan fisik dan kebugaran para pemain Indonesia tempo dulu juga terbilang bagus, karena pada jamannya mereka memakan dan meminum makanan tradisional kampung yang bebas dari polutan, tidak merokok dan jelas tidak pernah makanan junk food seperti pemain sepakbola Indonesia jaman sekarang.
Maka dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan Indonesia menjadi salah satu Negara di Asia yang sangat maju dalam persepakbolaannya. Dalam “Tour Asia” pertama pada 16 April 1953 sampai dengan 15 Mei 1953, kesebelasan Indonesia telah membuat gempar Asia. Hong Kong sebagai satu-satunya negara di Asia yang telah memiliki kompetisi profesional dan memiliki tradisi unggul yakni kesebelasan mereka sangat sulit dikalahkan di “kandang macan” Happy Valley stadium yang terkenal itu. Melalui suara mantan bintang kompetisi Hong Kong dari klub Hong Kong Interporters, Lee Wai Tong sangat underestimate terhadap timnas Indonesia. “Indonesia akan putus!”, ejeknya. Hanya Mr. Chen Wing Pak (manajer klub Nan Hua) satu-satunya yang ketahuan terbebas dari perasaan memandang remeh Indonesia, karena tahun 1952 dia pernah membawa klub Nan Hua beruji coba ke Jakarta, sehinggga setidaknya dia sudah mengetahui level permainan tim-tim sepakbola di Indonesia. Pada pertandingan pertama, Hong Kong Interpoters dilibas timnas Indonesia dengan 1-4. Kemudian Indonesia menekuk Hong Kong Selection 2-3 dan terakhir Chinese Combination dicukur 5-1. Maka dalam acara “Farewell Dinner”, pimpinan Hong Kong Football Association, dengan jiwa besar mengatakan: “Belum pernah ada kesebelasan asing yang dalam pertandingan di Happy Valley stadium mengalahkan tiga kesebelasan terkuat di Hong Kong sekaligus! Kalau sebelumnya pada Welcome Party manajer Indonesia mengatakan ingin belajar kepada Hong Kong. Maka sekarang sebaliknya, Hong Kong yang harus belajar kepada Indonesia!”. Bukan main. Dalam lanjutan tour lanjutan PSSI ke Filipina, PSSI lebih menggila lagi. Manila Selections dicukur habis 0-8. All Students dilibas 0-7 dan Interpoters digasak 0-5. Sementara uji coba di Bangkok, Thailand, PSSI menggulung klub Chaisote 0-6 dan menghancurkan Thai Royal Airforce 0-7. Bahwa timnas Indonesia benar-benar digjaya di Asia terbukti Indonesia lolos ke Olimpiade XVI tahun 1956 di Melbourne, Australia, setelah pada final Pra Olimpiade menundukkan Cina 5-3. Sebelum berangkat ke Melbourne dalam uji coba sesama timnas sepakbola ke olimpiade Melbourne, Indonesia mengalahkan timnas sepakbola Amerika Serikat dengan skor 7-5.
Pada arena Olimpiade Melbourne ini pula kesebelasan Indonesia yang dikapteni Aang Witarsa (asal Persib Bandung) menjadi perhatian dunia. Indonesia berhasil menahan favorit juara timnas Uni Soviet (Rusia sekarang) dengan skor 0-0. Penjaga gawang ditempati Saelan, sedangkan pemain belakang Indonesia terdiri dari Rasyid, Kiat Sek dan Chaeruddin. Sedangkan barisan gelandang ditempati Siang Liong, Him Tjiang dan Liong Houw bagai benteng yang sungguh kuat. Namun mereka tetap lincah sekali dalam gerakan-gerakannya; seperti penjalin yang dapat dibengkok-bengkokkan dan dapat dipentalkan kembali. Ditambah si “Tukang Pikul Air” Ramlan, yang bekerja keras bagai Genaro Gatusso (AC Milan) menahan pada tahap awal setiap serangan pemain-pemain depan Uni Soviet, sebelum memasuki barisan gelandang dan akhirnya barisan pemain belakang Indonesia. Pada barisan depan Aang Witarsa memimpin rekannya; Ramang dan Danu.
Karena skor normal 2x45 menit tetap 0-0, maka pertandingan harus diperpanjang 2x15 menit. Padahal dalam waktu normal itu Uni Soviet telah menendang bola ke luar melalui garis gawang (out keeper) sebanyak 46 kali. Menembak 20 kali yang dapat ditangkap dengan gemilang oleh penjaga gawang Saelan. Bahkan Uni Soviet memaksakan tendangan penjuru sebanyak 23 kali! Rupanya, penyerang-penyerang Uni Soviet sudah kehilangan akal untuk membobol gawang Indonesia. Maka mereka dengan segala cara mencoba memforsir satu penalti. Yaitu ketika ada kemelut di depan benteng Indonesia, penyerang mereka sengaja menjatuhkan diri berguling-guling seolah kesakitan luar biasa (diving). Tetapi untunglah wasit tidak dapat dipengaruhinya. Ini digambarkan dengan jeli oleh reporter the SUN: “ ....in sheer desperations at one stage, the Russian tried to force a penalty kick decisions in their favour, but desisted when the referee failed to impressed ....” Padahal dalam pertandingan sebelumnya favorit lainnya Jerman Barat, dikalahkan Uni Soviet 2-1. Barulah pada pertandingan play-off keesokan harinya, dimana empat pemain Indonesia mengalami cedera berat, Uni Soviet mampu mengalahkan Indonesia 4-0. Akhirnya Uni Soviet memenangi Medali Emas Olimpiade Melbourne setelah di babak final mengalahkan Yugoslavia 1-0.
Bagaimana hebat dan gagah beraninya para pemain kesebelasan Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: If there was an Olympic Medal awarded for courage, tenacity and refusal to admit inferiority, the INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic Park. They confounded experts, amazed the spectators and worried the Russian team a scoreless draw, even after extra time had been ordered. It was the most fantastic soccer match I have ever seen. (Bill Fleming, senior soccer writer at the Argus newspaper, Australia, 30 November 1956. Menutup periode 1950an Indonesia memenangi medali perunggu Asian Games 1958, di Tokyo, Jepang.
Pemain-pemain Berkarakter Kuat
Pembangunan karakter bangsa yang menjadi komitmen Presiden RI Bung Karno semakin menampakkan hasilnya. Masih dengan pelatih Tony Pogacknik, Indonesia semakin merajalela di peta sepakbola Asia. Tony Pogacknik bukan saja mampu meramu kesebelasan Indonesia menjadi kesebelasan yang kuat. Tony juga mampu mengembangkan para pemain Indonesia menjadi pemain yang memiliki karakter kuat seperti pada diri Aang Witarsa (Persib), Fatah Hidayat (Persib), Soetjipto Soentoro (Persija), Anwar Ujang (PSMS), Iswadi Idris (Persija) yang berturut-turut kesemuanya adalah para kapten tim nasional Indonesia yang sangat berwibawa. Dengan kualitas timnas Indonesia yang cemerlang, maka berdatanganlah ke Jakarta kesebelasan-kesebelasan kelas dunia seperti Dynamo Kiev dengan kapten penjaga gawang legendaris Lev Yashin dan Dynamo Tiblisi (Uni Soviet), Csepel (Hongaria), Hajduk Split dan Red Star Belgrade (Yugoslavia), Spartac (Cekoslowakia), Santos, Cruzeiro, Corinthians dan Flamengo (Brazil), Independentie (Argentina). Sebaliknya, negara-negara kuat sepakbola di Eropa seperti timnas-timnas Belanda, Yugoslavia, Cekoslowakia, Bulgaria, Hongaria dan klub juara Bundesliga Jerman Barat Werder Bremen, dengan senang hati menerima timnas Indonesia yang melakukan “Tour Eropa” pada awal tahun 1965.
Dari beberapa pertandingan “Tour Eropa”, pertandingan paling dahsyat adalah ketika timnas Indonesia melawan Werder Bremen. Indonesia memang kalah 5-6, dua di antara enam gol Werder Bremen diperoleh melalui tendangan penalti. Tetapi pelatih Werder Bremen, Herr Brocker memiliki kesan sangat mendalam terhadap timnas Indonesia. Ia sangat kagum dan heran apa yang ditunjukkan kesebelasan Indonesia yang dianggapnya sudah memiliki tingkat permainan kelas dunia. Juga mereka melihat “handicap” yang ada soal tinggi dan lebih ringkihnya badan pemain-pemain Indonesia, ternyata dapat dikompensasikan dengan “gorengan bola” (dribble) yang sangat lincah dan operan tik-tak cepat yang sangat teliti terutama pada diri Soetjipto Soentoro dan Max Timisela.
Pelatih Brocker selanjutnya memuji pemain-pemain Indonesia yang dari segi teknis “perfect”, sangat pandai menguasai bola dan gesit. Selama main dalam kompetisi “seizum” 1965, Werder Bremen tak pernah kebobolan gol sebanyak lima. Padahal dalam melawan Indonesia, pelatih Brocker telah mengajukan pasangan yang terkuat, banyak di antaranya adalah pemain-pemain tim nasional Jerman Barat. Oleh karena itu, Brocker memuji sistem permainan Indonesia yang sering memberikan “long passing” dari sayap ke sayap yang lain. Menurut pelatih Werder ini pertandingan berlangsung dengan mutu tinggi, berjalan cepat dan sama sekali tidak menjemukan. Semua gol yang dicetak, baik oleh Werder Bremen maupun timnas Indonesia adalah “gol-gol ideal” yang tidak dapat dilihat setiap hari. Wasit Herr Redelfs yang juga diwawancarai para wartawan mengatakan, bahwa pertandingan telah berlangsung dengan fair. Ia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan kesebelasan terkuat di Asia. “Saya yakin setiap klub sepakbola Jerman Barat akan bersedia menerima pemain-pemain seperti Soetjipto Soentoro dan Max Timisela, yang sangat berkualitas”. Kedua pemain Indonesia ini memang paling banyak mendapat tepuk tangan riuh setiap kali ia “menggoreng bola” dan “menipu” dua atau bahkan tiga pemain belakang Werder Bremen yang tinggi besar itu. Beberapa pemain belakang Werder Bremen bahkan saling meneriaki ke sesama temannya “Pele”, “Pele”, “Pele” yang dimaksudkannya mengingatkan temannya agar menjaga ekstra keras Soetjipto Soentoro, yang mencetak tiga gol dalam pertandingan tersebut.
Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan yang sekarang menjadi pelanggan Piala Dunia, ketika itu biasa dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dihancurkan oleh Soetjipto Soentoro dkk dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1968. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka memang belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an). Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau AFC (Asian Football Confederation) yang berkantor di Kuala Lumpur nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri (gelandang elegan), Anwar Ujang (stopper paling sulit dilewati lawan) dan Yudo Hadiyanto (penjaga gawang “paling kebal” di Asia versi koran “Utusan Malaysia” dan “Bangkok Post”) pun sebenarnya mau ditarik juga untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.
Berikut adalah statistik keberhasilan kesebelasan Indonesia tempo doeloe, baik PSSI Yunior maupun PSSI Senior pada berbagai level turnamen sepakbola bergengsi di Asia:
Prestasi PSSI Yunior:
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1960: Indonesia juara 3.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1961: Indonesia juara 1.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1962: Indonesia juara 1
Tahun 1963-1966: Indonesia tak ikut kejuaraan karena situasi Tanah Air ada perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Jaya dan Dwikora konfrontasi dengan Malaysia).
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1967: Indonesia juara 2
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1970: Indonesia juara 2
Kejuaraan Pelajar Asia 1984: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1985: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1986: Indonesia juara 1
Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986: Indonesia juara 1
Prestasi PSSI Senior:
Turnamen Merdeka Games 1960, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1961, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1961, Dhaka: Indonesia Juara 1
Sepakbola Asian Games IV 1962, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1962, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1966, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1967, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup, Bangkok 1968, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1969, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1969, Bangkok: Indonesia Juara 2
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1970, Dhaka: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup I 1970, Jakarta: Indonesia Juara 3
Turnamen Queen’s Cup 1971, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1971, Seoul: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1971, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1972, Jakarta: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1972, Seoul: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan 1972, Singapura: All Indonesian Final (PSSI A & PSSI B)
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1973, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1973, Saigon: Indonesia/Persija Juara 1
Turnamen President’s Cup 1974, Seoul: Indonesia/PSMS Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1974, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1974, Saigon: Indonesia/Persipura Juara 2
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1979, Dhaka: Indonesia/Niac Mitra Juara 1
Sepakbola SEA Games 1981, Manila: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1984, Bangkok: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan Brunei Darussalam 1986, Indonesia/Persib Juara 1
Turnamen Piala Kemerdekaan 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1
Sepakbola SEA Games 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1
Berbasis Kompetisi Profesional
Dengan tradisi kuat memenangi berbagai turnamen di Asia dan dengan memiliki pemain berbakat luar biasa banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka Ali Sadikin ingin menguatkan pilar-pilar itu ke dalam sebuah kompetisi yang profesional yang disebut kompetisi Liga Sepakbola Utama atau yang lebih dikenal sebagai Galatama pada tahun 1979. Nama Galatama dengan demikian membedakan dengan kompetisi amatir yang berbasis nama kota atau yang lebih dikenal sebagai Perserikatan. Ali Sadikin yakin sepakbola Indonesia hanya bisa maju menuju ke level dunia bila sepakbola dikembangkan berbasis kompetisi profesional. Tak akan terdengar lagi mantan pemain nasional Indonesia menjadi pengangguran karena kompetisi akan memberikan hajat hidup bukan hanya kepada para pemain, pelatih dan wasit tetapi lebih banyak lagi orang terlibat di dalamnya karena kompetisi sepakbola adalah suatu industri besar.
Klub sepakbola pun didirikan oleh para pengusaha gila bola seperti Benny Mulyono, pengusaha cat bermerek “Warna Agung” dengan membuat klub berwarna Warna Agung pula; pengusaha Ciputra memprofesionalkan klub Jayakarta yang semula anggota Persija; Sjarnubi Said memprofesionalkan klub yang sebelumnya disponsori Pertamina, Indonesia Muda; TD Pardede meneruskan klub profesional pertama di Indonesia yang dirintisnya, Pardedetex di Medan; Probosutedjo membentuk klub Mercu Buana FC, Medan yang diambil dari nama grup perusahaannya; Sigit Haryoyudanto mendirikan klub Arseto di Solo; seorang pengusaha Surabaya pemilik dunia entertainment mendirikan klub Niac Mitra; pengusaha mantan Pangdam Cendrawasih dan Gubernur Irian Barat, Acub Zainal membentuk Arema di Malang; pengusaha koran Cahaya Kita membentuk klub Cahaya Kita di Jakarta; perusahaan perkebunan di Lampung mendirikan klub Yanita Utama dsb.
Kompetisi profesional Galatama adalah kompetisi sepakbola kedua di Asia setelah Hong Kong, memiliki daya tarik tersendiri bagi pemain asing sekelas Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) yang memperkuat Niac Mitra, Surabaya dan Jairo Matos (Brazil) yang memperkuat Pardedetex, Medan. Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Klub Warna Agung yang dikapteni Ronny Pattinasarani menjadi klub pertama yang menjuarai Galatama musim pertama. Tak mengherankan, jauh sebelum didirikan J-League pada tahun 1992, tim persiapan kompetisi liga sepakbola Jepang pun belajar dari Galatama Indonesia. Begitu pula tim nasional Jepang selalu mengadakan sasaran uji coba ke Indonesia, yang di mata mereka sudah lebih maju kualitas tim sepakbolanya.
Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola mulai dari judi buntut, toto resmi SDSB Departemen Sosial RI dan tentunya judi liar beromzet miliaran rupiah menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia. Konon mafia judi sepakbola ini berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama pun hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung yang sedang berjaya dengan pemain-pemain top seperti Ajat Sudrajat, Robby Darwis, Yusuf Bachtiar, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Wawan Karnawan, Kosasih dkk sering menghancurkan tim-tim Galatama dengan skor telak.
Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena organisasi sepakbola Jepang memiliki pengorganisasian yang bagus; manajemen kompetisi yang terjadwal dengan baik yang ujungnya mengacu kepada kompetisi tingkat klub Asia dan dunia dan tentunya persiapan tim nasional di kompetisi resmi FIFA; dunia industri sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga para pemain dan pelatih kelas dunia mau berkarier di sini; para suporter mereka sudah sangat dewasa dan sportif, tidak bertindak anarkis dan rasis. Pokoknya semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi yang berlevel tinggi. Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Timnas Jepang sekarang sudah sangat jauh melebihi timnas Indonesia. Kemenangan terakhir timnas Indonesia atas Jepang adalah pada tahun 1981 ketika dalam ujicoba di stadion Senayan, Jakarta, tim Olimpiade Jepang kalah 0-4 dari timnas Indonesia yang dikapteni Ronny Pattinasarani. Setelah itu sampai sekarang Indonesia tak pernah menang lagi kalau lawan kesebelasan nasional Jepang. Bahkan melawan anak bawang Laos pun, di SEA Games 2009 lalu timnas Indonesia kalah 0-2, sekaligus menjadi juru kunci grup. Banyak pemain Indonesia yang kalah sebelum bertanding kalau mendengar nama-nama pemain timnas Jepang seperti Hasebe, Endo, Honda, Nakamura, Nakazawa, Tulio, Matsui dkk. Jepang jadi pelanggan tiket wakil Asia bersama Korea Selatan dari tiga tiket wakil Asia ke Piala Dunia, sedangkan timnas Indonesia menjadi pecundang paling awal; masuk kotak.
Super Big Business
Kompetisi sepakbola Indonesia sih namanya paling keren yakni ISL alias Indonesia Super League. Nama internasional tetapi mutu lokal. Manajemen sangat buruk pada PSSI, menjadi biang keladi kegagalan timnas Indonesia bangkit dari keterpurukan yang demikian panjang. Bertahun-tahun dalam dua periode kepengurusannya, Nurdin Halid lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dari pada mengurus manajemen organisasi PSSI.
Dia lebih banyak menggalang kekuatan para pendukungnya agar tak diadakan Kongres Luar Biasa PSSI yang bisa membawa kepada pemakzulan dirinya dan dipecat FIFA. Padahal potensi penonton sepakbola Indonesia adalah sangat luar biasa, terbanyak di Asia setelah Cina. Stadion Jalak Harupat Bandung sudah biasa disesaki 50.000 penonton kalau Persib main. Begitu pula stadion di Gajayana dan atau stadion Kanjuruhan di Malang kalau Arema Malang main akan disesaki 40.000 penonton. Dan kalau saja pertandingan Persija lawan Persib dibolehkan dilangsungkan di stadion Senayan seperti pertandingan kandang Persija vs Persib pada ISL musim lalu, maka 90.000 penonton pendukung Persija (karena bobotoh Persib dilarang nonton untuk menghindari bentrok antar penonton) pasti akan menonton “super big match” ini.
Jadwal kompetisi amburadul. Padahal pengurus PSSI melalui liga ISL telah menggembar-gemborkan; “hanya gempa bumi dan tsunami yang akan bisa mengubah jadwal kompetisi”. Akibatnya kondisi fisik dan mental pemain menjadi hancur sehingga rawan cedera dan mudah keluar emosi. Akibatnya mudah menyulut terjadinya tawuran sesama pemain bahkan pemain memukul wasit. Ini juga antara lain karena integritas wasit pun belum bisa dipercaya. Komplit sudah bila ditambah penonton mengamuk dan membakar dan merusak apa saja yang ada di depan mata, di stadion bahkan sampai ke luar stadion.
Kemudian konsep dibolehkannya 5 pemain asing main dalam satu pertandingan ISL, telah mengawali penghambatan potensi maju pemain lokal. Karena terlalu sering duduk di bangku cadangan, para pemain lokal bahkan yang sudah berstatus pemain nasional sekalipun menjadi tidak berkembang kemampuannya. Yang rugi ujung-ujungnya tim nasional juga. Ditambah jadwal kompetisi molor berakibat setiap persiapan pelatnas timnas selalu terkendala. Kalau tidak lengkap semua pemain terkumpul; kendala yang lain adalah kondisi fisik dan mental pemain sudah kelelahan dan jenuh karena jadwal kompetisi yang amburadul tadi. Tak mengherankan bila hal ini sudah menjadi kebiasaan ketika kompetisi berakhir, pemain-pemain tidak siap mengikuti kompetisi level Asia. Juara kompetisi Indonesia sudah langganan menjadi bulan-bulanan gol lawan yang telah memiliki kompetisi teratur untuk persiapan ke Liga Champions Asia. Jatah 2 tim Indonesia ke Liga Champions Asia menjadi berkurang tinggal 1 saja. Dan bila tak ada kesungguhan untuk memperbaiki manajemen kompetisi ISL, jangan-jangan jatah Indonesia untuk Champions Asia pun tak ada lagi.
Karena jadwal kompetisi yang amduradul ini pula. Maka belanja klub lebih hancur-hancuran lagi. Karena dengan mengembangnya waktu, maka belanja menjadi tambah tidak terkendali. Padahal sebagian besar klub hanya mengandalkan biaya APBD. Kalau rata-rata setiap klub dari 18 klub ISL yang ada membelanjakan masing-masing Rp 15 miliar per musim kompetisi saja. Maka ada sedikitnya perputaran uang Rp. 270 miliar. Padahal klub besar seperti Persib Bandung melalui PT. Persib Bandung Bermartabat telah disuntik dana oleh konsorsium para pengusaha Indonesia lebih dari Rp. 30 miliar pada musim kompetisi 2009-2010 ybl. Persija Jakarta yang masih mengandalkan sepenuhny dana APBD bahkan lebih besar lagi yakni Rp. 42 miliar. Tetapi hasilnya? Persib hanya urutan ke empat dan Persija lebih tragis lagi yakni hanya urutan ke lima.
Perputaran uang di sepakbola Indonesia ini akan semakin menggila bila pihak Kementrian Dalam Negeri RI tidak segera menyetop penggunaan dana APBD untuk kepentingan klub sepakbola peserta ISL dan Divisi Utama dan Divisi Dua PSSI. Penggunaan dana APBD itu jelas telah melanggar aturan hibah, yang tak boleh terus-terusan, dari tahun ke tahun diberikan kepada klub sepakbola. Kalangan anti korupsi menengarai dana tersebut hanya menjadi amunisi para Bupati incumbent dalam mempertahankan kekuasaan dengan aktif menjadi pengurus klub sepakbola. Sepakbola hanya dijadikan “Public Relations” mereka.
Hanya Persib Bandung dan Arema Malang yang sudah menjadi klub profesional, yang sama sekali tidak dibiayai lagi oleh dana APBD. Malah sekarang PSSI semakin mundur agar Pemerintah Pusat melegalisasi dana APBN dengan dalih untuk pembinaan sepakbola nasional. Tahun 2010 ini PSSI berharap dana Rp. 30 miliar bisa dicairkan dari dana APBN. Ini belum ditambah dana yang diserap oleh PSSI dari pabrik rokok Djarum sponsor utama ISL yakni sedikitnya Rp. 50 miliar. Ditambah lagi sumbangan tetap FIFA untuk PSSI sebesar US$ 1 juta/tahun. Belum ditambah lagi penjualan hak siar televisi ke Anteve untuk 150 siaran langsung dan tunda liga ISL sebesar Rp. 30 miliar yang sekaligus dibayar di muka. Plus dana denda pemain dan panitia setempat yang melakukan pelanggaran pada pertandingan. Plus hasil jualan iklan outdoor di sekitar stadion Senayan dan stadion-stadion di seluruh Indonesia yang tak ketahuan berapa jumlahnya. Plus transfer fee yang diperoleh dari jual beli pemain terutama pemain asing. Plus hasil penjualan tiket kepada penonton. Plus perolehan bila ada pertandingan internasional resmi agenda FIFA maupun bukan resmi. Plus donasi pribadi-pribadi gila bola yang juga gelap gulita berapa jumlahnya. Plus bila belanja pada kompetisi Divisi Utama PSSI, Divisi Satu PSSI dan Divisi Dua PSSI ditambahkan ke dalam perputaran uang disini. Plus dan plus bila kejuaraan yang berbeda yakni Piala Indonesia yang diikuti oleh klub ISL dan Divisi Utama juga turut dijumlahkan dalam perputaran uang ini. Maka perputaran uang sepakbola Indonesia bisa melampaui angka Rp. 1 triliun !!!
Karena sepakbola Indonesia adalah sudah merupakan persoalan manajemen. Maka untuk memecahkannya pun adalah melalui pendekatan manajemen. Nah para ahli manajemen tinggal melihat dan mengelolanya dari hal-hal yang tangible dan intangible pada peta profil sepakbola Indonesia ini. Terutama faktor Nurdin Halid.
Kepustakaan:
Cardiyan HIS, PSSI Tempo Doeloe Hebring, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS, Si Gareng Menggoreng Bola: Sebuah Biografi Soetjipto Soentoro, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, Intinya Pemain Inti untuk PSSI: Sebuah Biografi Ajat Sudrajat dan Ricky Jacobi, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Conny Semiawan et al., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Mengengah, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1984.
www.cardiyanhis.blogspot.com
Sejarah kejayaan PSSI tempo doeloe gagal diulang PSSI Nurdin Halid. Kejayaan sepakbola Indonesia ini diraih karena pengorganisasian PSSI berlangsung dengan penuh idealisme, penuh patriotik. Bila sepakbola di jaman penjajahan Belanda adalah sebagai alat perjuangan menyatukan rakyat Indonesia melawan Belanda. Maka pada pasca kemerdekaan dijadikan alat perjuangan pembentukan karakter bangsa (National Character Building). Dan hal ini sangat didukung oleh visi dan misi Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Presiden RI pertama ini meminta sahabatnya di KTT Non Blok, Presiden Yugoslavia, Broz Tito untuk mengirim ke Indonesia salah seorang pelatih sepakbola terbaik di Eropa yakni Tony Pogacknik. Sedangkan manajemen sepakbola PSSI Nurdin Halid adalah mismanajemen.
Indonesia adalah negara yang memiliki suku bangsa atau etnis terbanyak di dunia. Dan berdasarkan tesis para akhli psikologi dunia Barbe dan Renzulli (1975) dan Gallagher (1975), Tuhan YME memberikan talenta terbaik kepada sebagian manusia pada berbagai etnis di mana pun mereka berada di belahan tempat di dunia. Maka tak mengherankan bila talenta terbaik sepakbola pun berada di mana-mana di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemudian pada masa itu belum ada kompetisi sepakbola profesional berkelas dunia di Asia dan Afrika, kompetisi profesional baru ada di belahan benua Eropa. Kompetisi sepakbola amatir atau di Indonesia dikenal sebagai kompetisi sepakbola Perserikatan-lah yang baru ada, begitu pula di negara-negara Asia dan Afrika lainnya, kecuali di Hong Kong yang berafiliasi ke Inggris. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat ketika kompetisi profesional seperti sekarang ini. Namun meskipun demikian, ketika itu kompetisi amatir Perserikatan dilakukan dengan teratur, terjadwal dengan baik. Sehingga para juara kompetisi Perserikatan peraih Piala Presiden RI ini mencerminkan kualitas pencapaian kesebelasannya adalah nyata-nyata bagus.
Sebagai pelatih sepakbola Tony Pogacknik memang sangat jeli. Ia menemukan kehebatan para pemain Indonesia ada pada kemampuan sprint pendek, sehingga dia mengembangkannya sebagai sebuah taktik penyerangan merayap sejak dari belakang mendekati kotak penalti lawan. Maka menghadapi pemain-pemain Eropa bertubuh tinggi besar pun bukan menjadi halangan bagi para pemain Indonesia, karena bisa bermain tik-tak untuk menerobos benteng pertahanan lawan. Sebagai orang Eropa, Tony sudah sangat hapal tentunya kelemahan para pemain belakang yang berfisik tinggi besar ada pada kekakuan tubuh, tak lentur dalam membalikkan badan manakala penyerang lawan berhasil menembus tembok pemain belakang. Nah sebaliknya para pemain belakang Indonesia memiliki kemampuan fisik yang lentur, sehingga mereka akan mudah membalikkan badan untuk mengejar pemain depan lawan yang mencoba lolos. Sedangkan fisik dan kebugaran para pemain Indonesia tempo dulu juga terbilang bagus, karena pada jamannya mereka memakan dan meminum makanan tradisional kampung yang bebas dari polutan, tidak merokok dan jelas tidak pernah makanan junk food seperti pemain sepakbola Indonesia jaman sekarang.
Maka dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan Indonesia menjadi salah satu Negara di Asia yang sangat maju dalam persepakbolaannya. Dalam “Tour Asia” pertama pada 16 April 1953 sampai dengan 15 Mei 1953, kesebelasan Indonesia telah membuat gempar Asia. Hong Kong sebagai satu-satunya negara di Asia yang telah memiliki kompetisi profesional dan memiliki tradisi unggul yakni kesebelasan mereka sangat sulit dikalahkan di “kandang macan” Happy Valley stadium yang terkenal itu. Melalui suara mantan bintang kompetisi Hong Kong dari klub Hong Kong Interporters, Lee Wai Tong sangat underestimate terhadap timnas Indonesia. “Indonesia akan putus!”, ejeknya. Hanya Mr. Chen Wing Pak (manajer klub Nan Hua) satu-satunya yang ketahuan terbebas dari perasaan memandang remeh Indonesia, karena tahun 1952 dia pernah membawa klub Nan Hua beruji coba ke Jakarta, sehinggga setidaknya dia sudah mengetahui level permainan tim-tim sepakbola di Indonesia. Pada pertandingan pertama, Hong Kong Interpoters dilibas timnas Indonesia dengan 1-4. Kemudian Indonesia menekuk Hong Kong Selection 2-3 dan terakhir Chinese Combination dicukur 5-1. Maka dalam acara “Farewell Dinner”, pimpinan Hong Kong Football Association, dengan jiwa besar mengatakan: “Belum pernah ada kesebelasan asing yang dalam pertandingan di Happy Valley stadium mengalahkan tiga kesebelasan terkuat di Hong Kong sekaligus! Kalau sebelumnya pada Welcome Party manajer Indonesia mengatakan ingin belajar kepada Hong Kong. Maka sekarang sebaliknya, Hong Kong yang harus belajar kepada Indonesia!”. Bukan main. Dalam lanjutan tour lanjutan PSSI ke Filipina, PSSI lebih menggila lagi. Manila Selections dicukur habis 0-8. All Students dilibas 0-7 dan Interpoters digasak 0-5. Sementara uji coba di Bangkok, Thailand, PSSI menggulung klub Chaisote 0-6 dan menghancurkan Thai Royal Airforce 0-7. Bahwa timnas Indonesia benar-benar digjaya di Asia terbukti Indonesia lolos ke Olimpiade XVI tahun 1956 di Melbourne, Australia, setelah pada final Pra Olimpiade menundukkan Cina 5-3. Sebelum berangkat ke Melbourne dalam uji coba sesama timnas sepakbola ke olimpiade Melbourne, Indonesia mengalahkan timnas sepakbola Amerika Serikat dengan skor 7-5.
Pada arena Olimpiade Melbourne ini pula kesebelasan Indonesia yang dikapteni Aang Witarsa (asal Persib Bandung) menjadi perhatian dunia. Indonesia berhasil menahan favorit juara timnas Uni Soviet (Rusia sekarang) dengan skor 0-0. Penjaga gawang ditempati Saelan, sedangkan pemain belakang Indonesia terdiri dari Rasyid, Kiat Sek dan Chaeruddin. Sedangkan barisan gelandang ditempati Siang Liong, Him Tjiang dan Liong Houw bagai benteng yang sungguh kuat. Namun mereka tetap lincah sekali dalam gerakan-gerakannya; seperti penjalin yang dapat dibengkok-bengkokkan dan dapat dipentalkan kembali. Ditambah si “Tukang Pikul Air” Ramlan, yang bekerja keras bagai Genaro Gatusso (AC Milan) menahan pada tahap awal setiap serangan pemain-pemain depan Uni Soviet, sebelum memasuki barisan gelandang dan akhirnya barisan pemain belakang Indonesia. Pada barisan depan Aang Witarsa memimpin rekannya; Ramang dan Danu.
Karena skor normal 2x45 menit tetap 0-0, maka pertandingan harus diperpanjang 2x15 menit. Padahal dalam waktu normal itu Uni Soviet telah menendang bola ke luar melalui garis gawang (out keeper) sebanyak 46 kali. Menembak 20 kali yang dapat ditangkap dengan gemilang oleh penjaga gawang Saelan. Bahkan Uni Soviet memaksakan tendangan penjuru sebanyak 23 kali! Rupanya, penyerang-penyerang Uni Soviet sudah kehilangan akal untuk membobol gawang Indonesia. Maka mereka dengan segala cara mencoba memforsir satu penalti. Yaitu ketika ada kemelut di depan benteng Indonesia, penyerang mereka sengaja menjatuhkan diri berguling-guling seolah kesakitan luar biasa (diving). Tetapi untunglah wasit tidak dapat dipengaruhinya. Ini digambarkan dengan jeli oleh reporter the SUN: “ ....in sheer desperations at one stage, the Russian tried to force a penalty kick decisions in their favour, but desisted when the referee failed to impressed ....” Padahal dalam pertandingan sebelumnya favorit lainnya Jerman Barat, dikalahkan Uni Soviet 2-1. Barulah pada pertandingan play-off keesokan harinya, dimana empat pemain Indonesia mengalami cedera berat, Uni Soviet mampu mengalahkan Indonesia 4-0. Akhirnya Uni Soviet memenangi Medali Emas Olimpiade Melbourne setelah di babak final mengalahkan Yugoslavia 1-0.
Bagaimana hebat dan gagah beraninya para pemain kesebelasan Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: If there was an Olympic Medal awarded for courage, tenacity and refusal to admit inferiority, the INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic Park. They confounded experts, amazed the spectators and worried the Russian team a scoreless draw, even after extra time had been ordered. It was the most fantastic soccer match I have ever seen. (Bill Fleming, senior soccer writer at the Argus newspaper, Australia, 30 November 1956. Menutup periode 1950an Indonesia memenangi medali perunggu Asian Games 1958, di Tokyo, Jepang.
Pemain-pemain Berkarakter Kuat
Pembangunan karakter bangsa yang menjadi komitmen Presiden RI Bung Karno semakin menampakkan hasilnya. Masih dengan pelatih Tony Pogacknik, Indonesia semakin merajalela di peta sepakbola Asia. Tony Pogacknik bukan saja mampu meramu kesebelasan Indonesia menjadi kesebelasan yang kuat. Tony juga mampu mengembangkan para pemain Indonesia menjadi pemain yang memiliki karakter kuat seperti pada diri Aang Witarsa (Persib), Fatah Hidayat (Persib), Soetjipto Soentoro (Persija), Anwar Ujang (PSMS), Iswadi Idris (Persija) yang berturut-turut kesemuanya adalah para kapten tim nasional Indonesia yang sangat berwibawa. Dengan kualitas timnas Indonesia yang cemerlang, maka berdatanganlah ke Jakarta kesebelasan-kesebelasan kelas dunia seperti Dynamo Kiev dengan kapten penjaga gawang legendaris Lev Yashin dan Dynamo Tiblisi (Uni Soviet), Csepel (Hongaria), Hajduk Split dan Red Star Belgrade (Yugoslavia), Spartac (Cekoslowakia), Santos, Cruzeiro, Corinthians dan Flamengo (Brazil), Independentie (Argentina). Sebaliknya, negara-negara kuat sepakbola di Eropa seperti timnas-timnas Belanda, Yugoslavia, Cekoslowakia, Bulgaria, Hongaria dan klub juara Bundesliga Jerman Barat Werder Bremen, dengan senang hati menerima timnas Indonesia yang melakukan “Tour Eropa” pada awal tahun 1965.
Dari beberapa pertandingan “Tour Eropa”, pertandingan paling dahsyat adalah ketika timnas Indonesia melawan Werder Bremen. Indonesia memang kalah 5-6, dua di antara enam gol Werder Bremen diperoleh melalui tendangan penalti. Tetapi pelatih Werder Bremen, Herr Brocker memiliki kesan sangat mendalam terhadap timnas Indonesia. Ia sangat kagum dan heran apa yang ditunjukkan kesebelasan Indonesia yang dianggapnya sudah memiliki tingkat permainan kelas dunia. Juga mereka melihat “handicap” yang ada soal tinggi dan lebih ringkihnya badan pemain-pemain Indonesia, ternyata dapat dikompensasikan dengan “gorengan bola” (dribble) yang sangat lincah dan operan tik-tak cepat yang sangat teliti terutama pada diri Soetjipto Soentoro dan Max Timisela.
Pelatih Brocker selanjutnya memuji pemain-pemain Indonesia yang dari segi teknis “perfect”, sangat pandai menguasai bola dan gesit. Selama main dalam kompetisi “seizum” 1965, Werder Bremen tak pernah kebobolan gol sebanyak lima. Padahal dalam melawan Indonesia, pelatih Brocker telah mengajukan pasangan yang terkuat, banyak di antaranya adalah pemain-pemain tim nasional Jerman Barat. Oleh karena itu, Brocker memuji sistem permainan Indonesia yang sering memberikan “long passing” dari sayap ke sayap yang lain. Menurut pelatih Werder ini pertandingan berlangsung dengan mutu tinggi, berjalan cepat dan sama sekali tidak menjemukan. Semua gol yang dicetak, baik oleh Werder Bremen maupun timnas Indonesia adalah “gol-gol ideal” yang tidak dapat dilihat setiap hari. Wasit Herr Redelfs yang juga diwawancarai para wartawan mengatakan, bahwa pertandingan telah berlangsung dengan fair. Ia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan kesebelasan terkuat di Asia. “Saya yakin setiap klub sepakbola Jerman Barat akan bersedia menerima pemain-pemain seperti Soetjipto Soentoro dan Max Timisela, yang sangat berkualitas”. Kedua pemain Indonesia ini memang paling banyak mendapat tepuk tangan riuh setiap kali ia “menggoreng bola” dan “menipu” dua atau bahkan tiga pemain belakang Werder Bremen yang tinggi besar itu. Beberapa pemain belakang Werder Bremen bahkan saling meneriaki ke sesama temannya “Pele”, “Pele”, “Pele” yang dimaksudkannya mengingatkan temannya agar menjaga ekstra keras Soetjipto Soentoro, yang mencetak tiga gol dalam pertandingan tersebut.
Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan yang sekarang menjadi pelanggan Piala Dunia, ketika itu biasa dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dihancurkan oleh Soetjipto Soentoro dkk dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1968. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka memang belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an). Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau AFC (Asian Football Confederation) yang berkantor di Kuala Lumpur nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri (gelandang elegan), Anwar Ujang (stopper paling sulit dilewati lawan) dan Yudo Hadiyanto (penjaga gawang “paling kebal” di Asia versi koran “Utusan Malaysia” dan “Bangkok Post”) pun sebenarnya mau ditarik juga untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.
Berikut adalah statistik keberhasilan kesebelasan Indonesia tempo doeloe, baik PSSI Yunior maupun PSSI Senior pada berbagai level turnamen sepakbola bergengsi di Asia:
Prestasi PSSI Yunior:
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1960: Indonesia juara 3.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1961: Indonesia juara 1.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1962: Indonesia juara 1
Tahun 1963-1966: Indonesia tak ikut kejuaraan karena situasi Tanah Air ada perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Jaya dan Dwikora konfrontasi dengan Malaysia).
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1967: Indonesia juara 2
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1970: Indonesia juara 2
Kejuaraan Pelajar Asia 1984: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1985: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1986: Indonesia juara 1
Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986: Indonesia juara 1
Prestasi PSSI Senior:
Turnamen Merdeka Games 1960, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1961, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1961, Dhaka: Indonesia Juara 1
Sepakbola Asian Games IV 1962, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1962, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1966, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1967, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup, Bangkok 1968, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1969, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1969, Bangkok: Indonesia Juara 2
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1970, Dhaka: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup I 1970, Jakarta: Indonesia Juara 3
Turnamen Queen’s Cup 1971, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1971, Seoul: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1971, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1972, Jakarta: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1972, Seoul: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan 1972, Singapura: All Indonesian Final (PSSI A & PSSI B)
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1973, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1973, Saigon: Indonesia/Persija Juara 1
Turnamen President’s Cup 1974, Seoul: Indonesia/PSMS Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1974, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1974, Saigon: Indonesia/Persipura Juara 2
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1979, Dhaka: Indonesia/Niac Mitra Juara 1
Sepakbola SEA Games 1981, Manila: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1984, Bangkok: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan Brunei Darussalam 1986, Indonesia/Persib Juara 1
Turnamen Piala Kemerdekaan 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1
Sepakbola SEA Games 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1
Berbasis Kompetisi Profesional
Dengan tradisi kuat memenangi berbagai turnamen di Asia dan dengan memiliki pemain berbakat luar biasa banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka Ali Sadikin ingin menguatkan pilar-pilar itu ke dalam sebuah kompetisi yang profesional yang disebut kompetisi Liga Sepakbola Utama atau yang lebih dikenal sebagai Galatama pada tahun 1979. Nama Galatama dengan demikian membedakan dengan kompetisi amatir yang berbasis nama kota atau yang lebih dikenal sebagai Perserikatan. Ali Sadikin yakin sepakbola Indonesia hanya bisa maju menuju ke level dunia bila sepakbola dikembangkan berbasis kompetisi profesional. Tak akan terdengar lagi mantan pemain nasional Indonesia menjadi pengangguran karena kompetisi akan memberikan hajat hidup bukan hanya kepada para pemain, pelatih dan wasit tetapi lebih banyak lagi orang terlibat di dalamnya karena kompetisi sepakbola adalah suatu industri besar.
Klub sepakbola pun didirikan oleh para pengusaha gila bola seperti Benny Mulyono, pengusaha cat bermerek “Warna Agung” dengan membuat klub berwarna Warna Agung pula; pengusaha Ciputra memprofesionalkan klub Jayakarta yang semula anggota Persija; Sjarnubi Said memprofesionalkan klub yang sebelumnya disponsori Pertamina, Indonesia Muda; TD Pardede meneruskan klub profesional pertama di Indonesia yang dirintisnya, Pardedetex di Medan; Probosutedjo membentuk klub Mercu Buana FC, Medan yang diambil dari nama grup perusahaannya; Sigit Haryoyudanto mendirikan klub Arseto di Solo; seorang pengusaha Surabaya pemilik dunia entertainment mendirikan klub Niac Mitra; pengusaha mantan Pangdam Cendrawasih dan Gubernur Irian Barat, Acub Zainal membentuk Arema di Malang; pengusaha koran Cahaya Kita membentuk klub Cahaya Kita di Jakarta; perusahaan perkebunan di Lampung mendirikan klub Yanita Utama dsb.
Kompetisi profesional Galatama adalah kompetisi sepakbola kedua di Asia setelah Hong Kong, memiliki daya tarik tersendiri bagi pemain asing sekelas Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) yang memperkuat Niac Mitra, Surabaya dan Jairo Matos (Brazil) yang memperkuat Pardedetex, Medan. Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Klub Warna Agung yang dikapteni Ronny Pattinasarani menjadi klub pertama yang menjuarai Galatama musim pertama. Tak mengherankan, jauh sebelum didirikan J-League pada tahun 1992, tim persiapan kompetisi liga sepakbola Jepang pun belajar dari Galatama Indonesia. Begitu pula tim nasional Jepang selalu mengadakan sasaran uji coba ke Indonesia, yang di mata mereka sudah lebih maju kualitas tim sepakbolanya.
Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola mulai dari judi buntut, toto resmi SDSB Departemen Sosial RI dan tentunya judi liar beromzet miliaran rupiah menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia. Konon mafia judi sepakbola ini berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama pun hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung yang sedang berjaya dengan pemain-pemain top seperti Ajat Sudrajat, Robby Darwis, Yusuf Bachtiar, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Wawan Karnawan, Kosasih dkk sering menghancurkan tim-tim Galatama dengan skor telak.
Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena organisasi sepakbola Jepang memiliki pengorganisasian yang bagus; manajemen kompetisi yang terjadwal dengan baik yang ujungnya mengacu kepada kompetisi tingkat klub Asia dan dunia dan tentunya persiapan tim nasional di kompetisi resmi FIFA; dunia industri sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga para pemain dan pelatih kelas dunia mau berkarier di sini; para suporter mereka sudah sangat dewasa dan sportif, tidak bertindak anarkis dan rasis. Pokoknya semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi yang berlevel tinggi. Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Timnas Jepang sekarang sudah sangat jauh melebihi timnas Indonesia. Kemenangan terakhir timnas Indonesia atas Jepang adalah pada tahun 1981 ketika dalam ujicoba di stadion Senayan, Jakarta, tim Olimpiade Jepang kalah 0-4 dari timnas Indonesia yang dikapteni Ronny Pattinasarani. Setelah itu sampai sekarang Indonesia tak pernah menang lagi kalau lawan kesebelasan nasional Jepang. Bahkan melawan anak bawang Laos pun, di SEA Games 2009 lalu timnas Indonesia kalah 0-2, sekaligus menjadi juru kunci grup. Banyak pemain Indonesia yang kalah sebelum bertanding kalau mendengar nama-nama pemain timnas Jepang seperti Hasebe, Endo, Honda, Nakamura, Nakazawa, Tulio, Matsui dkk. Jepang jadi pelanggan tiket wakil Asia bersama Korea Selatan dari tiga tiket wakil Asia ke Piala Dunia, sedangkan timnas Indonesia menjadi pecundang paling awal; masuk kotak.
Super Big Business
Kompetisi sepakbola Indonesia sih namanya paling keren yakni ISL alias Indonesia Super League. Nama internasional tetapi mutu lokal. Manajemen sangat buruk pada PSSI, menjadi biang keladi kegagalan timnas Indonesia bangkit dari keterpurukan yang demikian panjang. Bertahun-tahun dalam dua periode kepengurusannya, Nurdin Halid lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dari pada mengurus manajemen organisasi PSSI.
Dia lebih banyak menggalang kekuatan para pendukungnya agar tak diadakan Kongres Luar Biasa PSSI yang bisa membawa kepada pemakzulan dirinya dan dipecat FIFA. Padahal potensi penonton sepakbola Indonesia adalah sangat luar biasa, terbanyak di Asia setelah Cina. Stadion Jalak Harupat Bandung sudah biasa disesaki 50.000 penonton kalau Persib main. Begitu pula stadion di Gajayana dan atau stadion Kanjuruhan di Malang kalau Arema Malang main akan disesaki 40.000 penonton. Dan kalau saja pertandingan Persija lawan Persib dibolehkan dilangsungkan di stadion Senayan seperti pertandingan kandang Persija vs Persib pada ISL musim lalu, maka 90.000 penonton pendukung Persija (karena bobotoh Persib dilarang nonton untuk menghindari bentrok antar penonton) pasti akan menonton “super big match” ini.
Jadwal kompetisi amburadul. Padahal pengurus PSSI melalui liga ISL telah menggembar-gemborkan; “hanya gempa bumi dan tsunami yang akan bisa mengubah jadwal kompetisi”. Akibatnya kondisi fisik dan mental pemain menjadi hancur sehingga rawan cedera dan mudah keluar emosi. Akibatnya mudah menyulut terjadinya tawuran sesama pemain bahkan pemain memukul wasit. Ini juga antara lain karena integritas wasit pun belum bisa dipercaya. Komplit sudah bila ditambah penonton mengamuk dan membakar dan merusak apa saja yang ada di depan mata, di stadion bahkan sampai ke luar stadion.
Kemudian konsep dibolehkannya 5 pemain asing main dalam satu pertandingan ISL, telah mengawali penghambatan potensi maju pemain lokal. Karena terlalu sering duduk di bangku cadangan, para pemain lokal bahkan yang sudah berstatus pemain nasional sekalipun menjadi tidak berkembang kemampuannya. Yang rugi ujung-ujungnya tim nasional juga. Ditambah jadwal kompetisi molor berakibat setiap persiapan pelatnas timnas selalu terkendala. Kalau tidak lengkap semua pemain terkumpul; kendala yang lain adalah kondisi fisik dan mental pemain sudah kelelahan dan jenuh karena jadwal kompetisi yang amburadul tadi. Tak mengherankan bila hal ini sudah menjadi kebiasaan ketika kompetisi berakhir, pemain-pemain tidak siap mengikuti kompetisi level Asia. Juara kompetisi Indonesia sudah langganan menjadi bulan-bulanan gol lawan yang telah memiliki kompetisi teratur untuk persiapan ke Liga Champions Asia. Jatah 2 tim Indonesia ke Liga Champions Asia menjadi berkurang tinggal 1 saja. Dan bila tak ada kesungguhan untuk memperbaiki manajemen kompetisi ISL, jangan-jangan jatah Indonesia untuk Champions Asia pun tak ada lagi.
Karena jadwal kompetisi yang amduradul ini pula. Maka belanja klub lebih hancur-hancuran lagi. Karena dengan mengembangnya waktu, maka belanja menjadi tambah tidak terkendali. Padahal sebagian besar klub hanya mengandalkan biaya APBD. Kalau rata-rata setiap klub dari 18 klub ISL yang ada membelanjakan masing-masing Rp 15 miliar per musim kompetisi saja. Maka ada sedikitnya perputaran uang Rp. 270 miliar. Padahal klub besar seperti Persib Bandung melalui PT. Persib Bandung Bermartabat telah disuntik dana oleh konsorsium para pengusaha Indonesia lebih dari Rp. 30 miliar pada musim kompetisi 2009-2010 ybl. Persija Jakarta yang masih mengandalkan sepenuhny dana APBD bahkan lebih besar lagi yakni Rp. 42 miliar. Tetapi hasilnya? Persib hanya urutan ke empat dan Persija lebih tragis lagi yakni hanya urutan ke lima.
Perputaran uang di sepakbola Indonesia ini akan semakin menggila bila pihak Kementrian Dalam Negeri RI tidak segera menyetop penggunaan dana APBD untuk kepentingan klub sepakbola peserta ISL dan Divisi Utama dan Divisi Dua PSSI. Penggunaan dana APBD itu jelas telah melanggar aturan hibah, yang tak boleh terus-terusan, dari tahun ke tahun diberikan kepada klub sepakbola. Kalangan anti korupsi menengarai dana tersebut hanya menjadi amunisi para Bupati incumbent dalam mempertahankan kekuasaan dengan aktif menjadi pengurus klub sepakbola. Sepakbola hanya dijadikan “Public Relations” mereka.
Hanya Persib Bandung dan Arema Malang yang sudah menjadi klub profesional, yang sama sekali tidak dibiayai lagi oleh dana APBD. Malah sekarang PSSI semakin mundur agar Pemerintah Pusat melegalisasi dana APBN dengan dalih untuk pembinaan sepakbola nasional. Tahun 2010 ini PSSI berharap dana Rp. 30 miliar bisa dicairkan dari dana APBN. Ini belum ditambah dana yang diserap oleh PSSI dari pabrik rokok Djarum sponsor utama ISL yakni sedikitnya Rp. 50 miliar. Ditambah lagi sumbangan tetap FIFA untuk PSSI sebesar US$ 1 juta/tahun. Belum ditambah lagi penjualan hak siar televisi ke Anteve untuk 150 siaran langsung dan tunda liga ISL sebesar Rp. 30 miliar yang sekaligus dibayar di muka. Plus dana denda pemain dan panitia setempat yang melakukan pelanggaran pada pertandingan. Plus hasil jualan iklan outdoor di sekitar stadion Senayan dan stadion-stadion di seluruh Indonesia yang tak ketahuan berapa jumlahnya. Plus transfer fee yang diperoleh dari jual beli pemain terutama pemain asing. Plus hasil penjualan tiket kepada penonton. Plus perolehan bila ada pertandingan internasional resmi agenda FIFA maupun bukan resmi. Plus donasi pribadi-pribadi gila bola yang juga gelap gulita berapa jumlahnya. Plus bila belanja pada kompetisi Divisi Utama PSSI, Divisi Satu PSSI dan Divisi Dua PSSI ditambahkan ke dalam perputaran uang disini. Plus dan plus bila kejuaraan yang berbeda yakni Piala Indonesia yang diikuti oleh klub ISL dan Divisi Utama juga turut dijumlahkan dalam perputaran uang ini. Maka perputaran uang sepakbola Indonesia bisa melampaui angka Rp. 1 triliun !!!
Karena sepakbola Indonesia adalah sudah merupakan persoalan manajemen. Maka untuk memecahkannya pun adalah melalui pendekatan manajemen. Nah para ahli manajemen tinggal melihat dan mengelolanya dari hal-hal yang tangible dan intangible pada peta profil sepakbola Indonesia ini. Terutama faktor Nurdin Halid.
Kepustakaan:
Cardiyan HIS, PSSI Tempo Doeloe Hebring, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS, Si Gareng Menggoreng Bola: Sebuah Biografi Soetjipto Soentoro, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, Intinya Pemain Inti untuk PSSI: Sebuah Biografi Ajat Sudrajat dan Ricky Jacobi, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Conny Semiawan et al., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Mengengah, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1984.
www.cardiyanhis.blogspot.com
Jumat, 25 Juni 2010
Indonesia Taklukkan Korea Selatan 3-0
Oleh Cardiyan HIS
Arogansi Huh Jung Moo kena batunya dihadapan Ronny Pattinasarany. Pemain terbaik turnamen Marah Halim Cup 1981 di Medan (Sumatra Utara) ini tak berkutik dan gagal mengulang sukses tim Korea Selatan yang menjuarai Marah Halim Cup karena kalah telak 0-3 dari Ronny Patti dkk di stadion Senayan, Jakarta. Sebuah “Pelajaran Sepakbola Indonesia” lagi yang berhasil dipetik hikmahnya oleh Negara lain yang kemudian jauh meninggalkan Indonesia sekarang ini.
Huh Jung Moo adalah pahlawan Korea Selatan. Pelatih tim nasional Korea Selatan ini telah membawa timnas Korea Selatan ke babak dua Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dengan status runner-up grup B, di bawah Argentina. Huh Jung Moo akan memutar lebih keras lagi otaknya karena hari Sabtu, 26 Juni 2010 jam 21.00 WIB ini, Korea Selatan akan berhadapan melawan tim kuat Amerika Latin yakni timnas Uruguay, yang berhasil menjuarai grup A secara meyakinkan.
Bagi Huh Jung Moo hal ini menjadi lebih bermakna, karena ini yang pertama bagi Korea Selatan lolos ke babak kedua di luar kandangnya dalam sejarah keikutsertaannya sebagai pelanggan wakil Asia ke Piala Dunia. Pencapaiannya sebagai asisten pelatih Guus Hiddink yang meloloskan Korea Selatan ke semifinal Piala Dunia 2002 sering “disinisi” karena berlangsung di kandangnya sendiri, Seoul.
Huh Jung Moo, termasuk salah seorang dari sedikit orang di dunia yang meraih sukses cemerlang sebagai mantan pemain tim nasional maupun sebagai pelatih tim nasional. Siapa sangka Huh Jung Moo adalah pemain yang pernah meraih sukses sebagai “The Most Valuable Player” pada turnamen bergengsi di Asia yang masuk dalam kalender FIFA, Marah Halim Cup, Medan, 1981. Timnas Korea Selatan berhasil menjuarai turnamen Marah Halim Cup setelah mengalahkan tim nasional Jepang 3-2 dan sekaligus menobatkan Huh Jung Moo sebagai pemain terbaik.
Pencapaian Huh Jung Moo ini mengalahkan seniornya, Cha Bum Keun. Cha adalahpemain tim nasional Korea Selatan pertama yang merumput di luar negeri yakni di Bundesliga Jerman Barat pada klub Bayer Leverkusen. Kehebatan Cha Bum Keun diturunkan kepada Cha Doori, anak kandungnya sendiri yang bermain sebagai bek kanan Korea Selatan di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan ini. Mengapa? Karena meskipun Cha Bum Keun terpilih sebagai pemain terbaik turnamen Marah Halim Cup 1975, tetapi ia gagal membawa tim nasional Korea Selatan juara; kalah 0-2 dari kesebelasan Australia. Nah, kemudian selepas turnamen Marah Halim Cup ini, Huh Jung Moo mengikuti jejak seniornya Cha Bum Keun yang sudah pensiun, dan diterima sebagai pemain pada klub yang sama, Bayer Leverkusen.
Sebagai tim yang menjuarai Marah Halim Cup, sebelum pulang ke negerinya tim nasional Korea Selatan ini diundang oleh PSSI untuk bertanding di stadion utama Senayan. PSSI secara resmi menunjuk klub juara Galatama Indonesia pertama 1979; Warna Agung, untuk mengusung nama baik Indonesia. Disinilah pertaruhan nama baik Huh Jung Moo ternoda. Ini gara-gara ulahnya sendiri yang terlalu arogan. Yang memandang sebelah mata kesebelasan Warna Agung juara kompetisi Galatama Indonesia ini meskipun di Korea Selatan sendiri K-League belum ada seperti sekarang ini.
Dan arogansi Huh Jung Moo kena batunya. Karena tim Korea Selatan ini menemui lawan yak tak bisa dibilang enteng. Huh Jung Moo yang bertindak sebagai kapten ternyata bermain sangat emosional. Sedikit saja ada pelanggaran terhadap pemain-pemain Korea Selatan, ia memprotes sangat keras kepada wasit. Malah dilakukan dengan sangat tidak sopan yakni sambil berkacak pinggang dan bahkan dengan sedikit meludah.
Maka pertandingan menjadi benar-benar milik Indonesia. Ronny Patti sebagai libero terbaik Indonesia memimpin orchestra sepakbola Indonesia dengan indahnya. Di bawah mistar kiper Endang Tirtana tampil sangat prima dan berhasil melakukan beberapa kali safety gemilang. Warta Kusumah, stopper, yang dikader Ronny Patti sebagai cikal bakal penerusnya, bersama seniornya bek kanan Simson Rumahpasal dan bek kiri Marcelly Tambayong, sangat taktis dalam merebut bola dan kemudian mengalirkannya ke barisan gelandang. Ada Budi Riva disini, seorang gelandang genius menurut penilaian pelatih tim nasional Indonesia ke Piala Kaisar Jepang 1977 dan juga pelatih Persija Jakarta; Marek Janota. Di barisan gelandang Budi Riva bahu membahu dengan Gusnul Yakin dan gelandang muda cemerlang Rully Nere plus gelandang sayap gantung; Robby Binur. Seperti mutiara-mutiara hitam asal Persipura, Robby Binur ini sangat luar biasa dalam melakukan dribble bola melewati satu-dua pemain lawan. Sedangkan duo penyerang Warna Agung adalah sang senior striker Risdianto yang sangat tajam menjadi semakin tajam lagi dengan kehadiran yunior striker asal Persipura pula; Stevanus Sirey.
Stevanus Sirey inilah yang memporak-porandakan barisan belakang lawan karena kecepatan sprint pendeknya dalam menembus tembok Korea Selatan. Ini tak bisa dilepaskan atas kejelian Risdianto dalam mengelabui bek Korea Selatan untuk melakukan tik-tak dengan Sirey. Dua gol yang dicetak Sirey berasal dari pola serangan seperti itu, karena pelatih Drg. Endang Witarsa sudah sangat hapal tipikal Korea Selatan. Endang Witarsa memang menjadi pelatih timnas Indonesia sejak jaman melatih Soetjipto Soentoro dkk dalam menggunduli Korea Selatan dan Jepang di turnamen-turnamen bergengsi di Asia seperti Merdeka Games, Kuala Lumpur (Malaysia); King’s Cup, Bangkok (Thailand); Aga Khan Gold Cup, Dhaka (Pakistan Timur ketika itu); Piala Sukan (Singapura). Kelemahan para pemain belakang Korea Selatan yang tinggi besar adalah kekakuan dalam membalikkan badan. Dan bermain tik-tak cepat adalah keunggulan para pemain Indonesia seperti Risdianto dan Sirey yang dimanfaatkan betul kemampuan keduanya oleh pelatih Endang Witarsa, untuk menjebol tembok Korea Selatan.
Namun Indonesia tak hanya bermain tik-tak di kotak penalti lawan. Satu gol yang mengukuhkan kemenangan Indonesia 3-0 atas Korea Selatan disarangkan begitu cantik dan telak. Bermula dari serangan melalui sayap gantung Robby Binur begitu cantiknya. Setelah melewati dua pemain Korea Selatan, Robby memberikan umpan tarik sangat cantik ke Risdianto. Si “Gayeng” (julukan khas untuk Risdianto) ini tak menendang ke gawang Korea Selatan tetapi meloloskan di sela kedua kakinya. Karena Risdianto melihat Stevanus Sirey coming from behind lebih pas untuk mengeksekusinya sebagai gol. Gol luar biasa, bersarang begitu telak di gawang Korea Selatan; Stevanus Sirey membuat hattrick!!!
Dan Huh Jung Moo sebagai kapten Korea Selatan semakin frustasi memimpin rekan-rekannya. Puncaknya adalah ketika seorang pemain belakang Korea Selatan melakukan pelanggaran di kotak penalti dan wasit memberikan hadiah penalti untuk Indonesia. Huh Jung Moo protes sangat keras sambil meludah dan wasit mengganjar kartu kuning untuknya.
Ronny Patti mengambil tendangan penalti. Penonton di Senayan bersorak gembira dan berharap Indonesia mencukur Korea Selatan dengan 4-0. Maklum kemenangan terakhir Indonesia atas Korea Selatan terjadi pada tahun 1972 ketika Iswadi Idris dkk mengalahkan timnas Korea Selatan 4-2 di final turnamen Jakarta Anniversary Cup. Ronny Patti dengan tenang dan percaya diri ancang-ancang untuk menendang. Dan ternyata …….. Ronny Patti dengan sengaja melakukan tendangan jauh melebar ke samping kanan!
Rupanya Ronny Patti tak ingin Korea Selatan, juara Marah Halim Cup 1981 dipermalukan demikian dalam. Ronny masih punya cara menundukkan arogansi Huh Jung Moo, dengan cara Ronny Patti sendiri yakni bermain elegan dan sportif. Ronny Patti pemain paling cerdas yang pernah dimiliki oleh Indonesia versi kapten timnas Soetjipto Soentoro telah memberikan “pelajaran sepakbola Indonesia” kepada Huh Jung Moo. Ronny Patti telah meninggalkan kita selamanya yang bersama senior-seniornya almarhum Soetjipto Soentoro, Iswadi Idris dkk telah berhasil menempatkan Indonesia secara terhormat di Peta Sepakbola Asia, meskipun mereka tak berhasil meloloskan Indonesia ke Piala Dunia karena jatah Asia di jamannya hanya 1 (satu) Negara saja. Sementara Huh Jung Moo yang merasakan “Pelajaran Sepakbola Indonesia” telah menikmati ajang Piala Dunia dua kali sebagai pemain nasional maupun kemudian sebagai asisten pelatih kepala Guus Hiddink dan sekarang sebagai pelatih kepala tim nasional Korea Selatan ke Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Semoga kiprah Huh Jung Moo berlanjut dengan meloloskan Korea Selatan ke tahap lebih terhormat lagi, mewakili kehormatan benua Asia bersama timnas Jepang.
Arogansi Huh Jung Moo kena batunya dihadapan Ronny Pattinasarany. Pemain terbaik turnamen Marah Halim Cup 1981 di Medan (Sumatra Utara) ini tak berkutik dan gagal mengulang sukses tim Korea Selatan yang menjuarai Marah Halim Cup karena kalah telak 0-3 dari Ronny Patti dkk di stadion Senayan, Jakarta. Sebuah “Pelajaran Sepakbola Indonesia” lagi yang berhasil dipetik hikmahnya oleh Negara lain yang kemudian jauh meninggalkan Indonesia sekarang ini.
Huh Jung Moo adalah pahlawan Korea Selatan. Pelatih tim nasional Korea Selatan ini telah membawa timnas Korea Selatan ke babak dua Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dengan status runner-up grup B, di bawah Argentina. Huh Jung Moo akan memutar lebih keras lagi otaknya karena hari Sabtu, 26 Juni 2010 jam 21.00 WIB ini, Korea Selatan akan berhadapan melawan tim kuat Amerika Latin yakni timnas Uruguay, yang berhasil menjuarai grup A secara meyakinkan.
Bagi Huh Jung Moo hal ini menjadi lebih bermakna, karena ini yang pertama bagi Korea Selatan lolos ke babak kedua di luar kandangnya dalam sejarah keikutsertaannya sebagai pelanggan wakil Asia ke Piala Dunia. Pencapaiannya sebagai asisten pelatih Guus Hiddink yang meloloskan Korea Selatan ke semifinal Piala Dunia 2002 sering “disinisi” karena berlangsung di kandangnya sendiri, Seoul.
Huh Jung Moo, termasuk salah seorang dari sedikit orang di dunia yang meraih sukses cemerlang sebagai mantan pemain tim nasional maupun sebagai pelatih tim nasional. Siapa sangka Huh Jung Moo adalah pemain yang pernah meraih sukses sebagai “The Most Valuable Player” pada turnamen bergengsi di Asia yang masuk dalam kalender FIFA, Marah Halim Cup, Medan, 1981. Timnas Korea Selatan berhasil menjuarai turnamen Marah Halim Cup setelah mengalahkan tim nasional Jepang 3-2 dan sekaligus menobatkan Huh Jung Moo sebagai pemain terbaik.
Pencapaian Huh Jung Moo ini mengalahkan seniornya, Cha Bum Keun. Cha adalahpemain tim nasional Korea Selatan pertama yang merumput di luar negeri yakni di Bundesliga Jerman Barat pada klub Bayer Leverkusen. Kehebatan Cha Bum Keun diturunkan kepada Cha Doori, anak kandungnya sendiri yang bermain sebagai bek kanan Korea Selatan di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan ini. Mengapa? Karena meskipun Cha Bum Keun terpilih sebagai pemain terbaik turnamen Marah Halim Cup 1975, tetapi ia gagal membawa tim nasional Korea Selatan juara; kalah 0-2 dari kesebelasan Australia. Nah, kemudian selepas turnamen Marah Halim Cup ini, Huh Jung Moo mengikuti jejak seniornya Cha Bum Keun yang sudah pensiun, dan diterima sebagai pemain pada klub yang sama, Bayer Leverkusen.
Sebagai tim yang menjuarai Marah Halim Cup, sebelum pulang ke negerinya tim nasional Korea Selatan ini diundang oleh PSSI untuk bertanding di stadion utama Senayan. PSSI secara resmi menunjuk klub juara Galatama Indonesia pertama 1979; Warna Agung, untuk mengusung nama baik Indonesia. Disinilah pertaruhan nama baik Huh Jung Moo ternoda. Ini gara-gara ulahnya sendiri yang terlalu arogan. Yang memandang sebelah mata kesebelasan Warna Agung juara kompetisi Galatama Indonesia ini meskipun di Korea Selatan sendiri K-League belum ada seperti sekarang ini.
Dan arogansi Huh Jung Moo kena batunya. Karena tim Korea Selatan ini menemui lawan yak tak bisa dibilang enteng. Huh Jung Moo yang bertindak sebagai kapten ternyata bermain sangat emosional. Sedikit saja ada pelanggaran terhadap pemain-pemain Korea Selatan, ia memprotes sangat keras kepada wasit. Malah dilakukan dengan sangat tidak sopan yakni sambil berkacak pinggang dan bahkan dengan sedikit meludah.
Maka pertandingan menjadi benar-benar milik Indonesia. Ronny Patti sebagai libero terbaik Indonesia memimpin orchestra sepakbola Indonesia dengan indahnya. Di bawah mistar kiper Endang Tirtana tampil sangat prima dan berhasil melakukan beberapa kali safety gemilang. Warta Kusumah, stopper, yang dikader Ronny Patti sebagai cikal bakal penerusnya, bersama seniornya bek kanan Simson Rumahpasal dan bek kiri Marcelly Tambayong, sangat taktis dalam merebut bola dan kemudian mengalirkannya ke barisan gelandang. Ada Budi Riva disini, seorang gelandang genius menurut penilaian pelatih tim nasional Indonesia ke Piala Kaisar Jepang 1977 dan juga pelatih Persija Jakarta; Marek Janota. Di barisan gelandang Budi Riva bahu membahu dengan Gusnul Yakin dan gelandang muda cemerlang Rully Nere plus gelandang sayap gantung; Robby Binur. Seperti mutiara-mutiara hitam asal Persipura, Robby Binur ini sangat luar biasa dalam melakukan dribble bola melewati satu-dua pemain lawan. Sedangkan duo penyerang Warna Agung adalah sang senior striker Risdianto yang sangat tajam menjadi semakin tajam lagi dengan kehadiran yunior striker asal Persipura pula; Stevanus Sirey.
Stevanus Sirey inilah yang memporak-porandakan barisan belakang lawan karena kecepatan sprint pendeknya dalam menembus tembok Korea Selatan. Ini tak bisa dilepaskan atas kejelian Risdianto dalam mengelabui bek Korea Selatan untuk melakukan tik-tak dengan Sirey. Dua gol yang dicetak Sirey berasal dari pola serangan seperti itu, karena pelatih Drg. Endang Witarsa sudah sangat hapal tipikal Korea Selatan. Endang Witarsa memang menjadi pelatih timnas Indonesia sejak jaman melatih Soetjipto Soentoro dkk dalam menggunduli Korea Selatan dan Jepang di turnamen-turnamen bergengsi di Asia seperti Merdeka Games, Kuala Lumpur (Malaysia); King’s Cup, Bangkok (Thailand); Aga Khan Gold Cup, Dhaka (Pakistan Timur ketika itu); Piala Sukan (Singapura). Kelemahan para pemain belakang Korea Selatan yang tinggi besar adalah kekakuan dalam membalikkan badan. Dan bermain tik-tak cepat adalah keunggulan para pemain Indonesia seperti Risdianto dan Sirey yang dimanfaatkan betul kemampuan keduanya oleh pelatih Endang Witarsa, untuk menjebol tembok Korea Selatan.
Namun Indonesia tak hanya bermain tik-tak di kotak penalti lawan. Satu gol yang mengukuhkan kemenangan Indonesia 3-0 atas Korea Selatan disarangkan begitu cantik dan telak. Bermula dari serangan melalui sayap gantung Robby Binur begitu cantiknya. Setelah melewati dua pemain Korea Selatan, Robby memberikan umpan tarik sangat cantik ke Risdianto. Si “Gayeng” (julukan khas untuk Risdianto) ini tak menendang ke gawang Korea Selatan tetapi meloloskan di sela kedua kakinya. Karena Risdianto melihat Stevanus Sirey coming from behind lebih pas untuk mengeksekusinya sebagai gol. Gol luar biasa, bersarang begitu telak di gawang Korea Selatan; Stevanus Sirey membuat hattrick!!!
Dan Huh Jung Moo sebagai kapten Korea Selatan semakin frustasi memimpin rekan-rekannya. Puncaknya adalah ketika seorang pemain belakang Korea Selatan melakukan pelanggaran di kotak penalti dan wasit memberikan hadiah penalti untuk Indonesia. Huh Jung Moo protes sangat keras sambil meludah dan wasit mengganjar kartu kuning untuknya.
Ronny Patti mengambil tendangan penalti. Penonton di Senayan bersorak gembira dan berharap Indonesia mencukur Korea Selatan dengan 4-0. Maklum kemenangan terakhir Indonesia atas Korea Selatan terjadi pada tahun 1972 ketika Iswadi Idris dkk mengalahkan timnas Korea Selatan 4-2 di final turnamen Jakarta Anniversary Cup. Ronny Patti dengan tenang dan percaya diri ancang-ancang untuk menendang. Dan ternyata …….. Ronny Patti dengan sengaja melakukan tendangan jauh melebar ke samping kanan!
Rupanya Ronny Patti tak ingin Korea Selatan, juara Marah Halim Cup 1981 dipermalukan demikian dalam. Ronny masih punya cara menundukkan arogansi Huh Jung Moo, dengan cara Ronny Patti sendiri yakni bermain elegan dan sportif. Ronny Patti pemain paling cerdas yang pernah dimiliki oleh Indonesia versi kapten timnas Soetjipto Soentoro telah memberikan “pelajaran sepakbola Indonesia” kepada Huh Jung Moo. Ronny Patti telah meninggalkan kita selamanya yang bersama senior-seniornya almarhum Soetjipto Soentoro, Iswadi Idris dkk telah berhasil menempatkan Indonesia secara terhormat di Peta Sepakbola Asia, meskipun mereka tak berhasil meloloskan Indonesia ke Piala Dunia karena jatah Asia di jamannya hanya 1 (satu) Negara saja. Sementara Huh Jung Moo yang merasakan “Pelajaran Sepakbola Indonesia” telah menikmati ajang Piala Dunia dua kali sebagai pemain nasional maupun kemudian sebagai asisten pelatih kepala Guus Hiddink dan sekarang sebagai pelatih kepala tim nasional Korea Selatan ke Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Semoga kiprah Huh Jung Moo berlanjut dengan meloloskan Korea Selatan ke tahap lebih terhormat lagi, mewakili kehormatan benua Asia bersama timnas Jepang.
Kamis, 24 Juni 2010
Indonesia Hancurkan Jepang 4-0
Oleh Cardiyan HIS
Kesebelasan nasional Jepang sejak awal memang diniatkan untuk belajar kepada Indonesia sebagai “Brazil Asia”. Dan Ronny Patti dengan telak memberikan pelajaran kepada Jepang; bagaimana cara bermain bola yang baik.
Sejarah itu penting untuk menginspirasi. Termasuk sejarah kejayaan kesebelasan Indonesia atas Jepang. Sayang Indonesia tidak berhasil memanfaatkan sejarah kejayaan sepakbola Indonesia masa lalu kepada kemajuan sepakbola di masa sekarang. Malah Jepang yang berhasil memanfaatkan “pelajaran sepakbola Indonesia” sampai kepada level dunia dengan menjadi pelanggan Piala Dunia bersama Korea Selatan. Dan terakhir bahkan lolos ke babak kedua dengan menghancurkan juara Eropa 1992, Denmark, dengan skor telak 3-1.
Indonesia selalu diundang sebagai satu-satunya tim Asia selain Jepang sebagai tuan rumah “Piala Kirin” atau Piala Kaisar bersama klub yang mewakili satu benua Eropa dan satu Amerika (Amerika Latin). Meskipun tak pernah menjuarai Piala Kaisar, Indonesia tetap menjadi prioritas tujuan uji coba timnas Jepang. Jepang pun belajar kepada kompetisi sepakbola Galatama Indonesia (dimulai tahun 1979 di era Ketua Umum PSSI, Ali Sadikin) ketika mempersiapkan J-League yang diluncurkan lebih belakangan yakni pada tahun 1992.
Inilah yang terjadi dengan timnas Jepang yang dipersiapkan untuk olimpiade ini melakukan ujicoba pertama ke Indonesia tahun 1981. Tim nasional Indonesia dikapteni Ronny Patti bersama rekan pemain senior seperti Risdianto (striker), Simson Rumahpasal (belakang kanan) membimbing pemain-pemain muda penuh bakat seperti Purwono (kiper), Warta Kusumah, Nasir Salasa, Didik Dharmadi, Berti Tutuarima (belakang), Herry Kiswanto, Rully Nere, Budi Johanis, Metu Duaramuri (gelandang), Hadi Ismanto (striker). Intinya pemain inti timnas Indonesia berada pada poros Ronny Patti-Herry Kiswanto-Risdianto.
Memiliki wing back keren pada diri Simson Rumahpasal (di kanan) dan Didik Dharmadi (di kiri), serangan Indonesia berlangsung sangat indahnya. Dribble maut keduanya kerap mengundang decak kagum karena melewati beberapa pemain belakang Jepang dan mengiris sampai ke garis gawang mereka. Maka umpan tarik Simson maupun Didik diselesaikan dengan indah pula oleh Risdianto dan Hadi Ismanto. Sementara pasca serangan gagal timnas Jepang diselesaikan dengan cerdas dan cepat oleh Ronny Patti mengumpan ke Herry Kiswanto (gelandang bertahan) dan meneruskannya kepada Rully Nere atau Metu Duaramuri atau juga Budi Johanis untuk main tik-tak yang menawan dengan Risdianto/Hadi Ismanto di kotak penalti Jepang.
Ronny Patti yang “ditemukan” oleh Wiel Coerver sebagai “libero baru Indonesia” bagai seorang dirigen sebuah orchestra indah sepakbola Indonesia. Dan ini bisa dimainkannya dengan sempurna karena Ronny memiliki visi permainan yang hebat, sangat cerdas dalam merancang settpiece bola mati bagi Indonesia, pandai mengantisipasi umpan terobosan lawan, pengumpan dengan akurasi di atas 90% meskipun tanpa melihat rekannya berada jauh di depan. Ronny beruntung didukung pula oleh pemain-pemain bertalenta luar biasa. Simson dan Didik memiliki kemampuan dribble yang luar biasa cepat tetapi bola tetap lengket melewati satu-dua bahkan tiga pemain Jepang. Warta dan Nasir Salasa memiliki kemampuan bertahan dan merebut bola sangat baik. Gelandang Indonesia pada diri Herry Kiswanto, Budi Johanis, Mettu Duaramuri dan Rully Nere ibarat kuartet gelandang timnas Perancis era Michael Platini-Jean Tigana-Alain Giresse-Luiz Fernandez, yang menjuarai Piala Eropa pada tahun 1984. Rully Nere bahkan dijuluki “Jean Tigana Asia”. Bagaimana Rully dapat merebut bola dengan tackling sangat bersih dari belakang berkat bimbingan pelatih Wiel Coerver. Mettu adalah “Mutiara Hitam” Persipura yang kalau berada di kompetisi Eropa adalah persis pemain timnas Perancis dan klub Juventus, Lilian Thuram. “Si Akang” Herry Kiswanto, pemain asal Persib Bandung ini adalah seorang breaker pasca Nobon yang berkelas Asia bahkan Eropa seperti diakui Wiel Coerver atau sedikitlah di bawah Gatusso dari AC Milan. Dan Risdianto adalah pemain Indonesia pertama yang dipuji habis oleh Pele(klub Santos) sebagai striker terbaik di Asia. Risdianto membuat hattrick ketika Indonesia kalah 3-5 lawan klub Santos. Pele kemudian ketemu lagi Risdianto ketika klub terakhirnya Cosmos, New York melawan timnas Indonesia di Senayan.
Dengan komposisi pemain seperti itu, Jepang kalah telak 0-4 dari timnas Indonesia. Ada settpiece sangat indah dari satu gol Indonesia ini. Ronny mengatur Risdianto agar berdiri pada pagar pemain-pemain Jepang dan menyuruh Hadi Ismanto, pemain dengan kecepatan lari 10,5 detik/100 meter di pinggir kanan pagar pemain Jepang. Ronny dengan hebat mencungkil bola melewati pagar pemain Jepang dan Hadi Ismanto berlari sangat cepat lolos dari perangkap offside untuk berhadapan langsung dengan kiper Jepang, Taguchi. Itulah kemenangan terakhir yang diraih Indonesia atas Jepang.
“Pelajaran Sepakbola Indonesia” benar-benar sangat dimanfaatkan Jepang. Keunggulan pemain Indonesia dalam sprint pendek dipelajari oleh mereka. Kelenturan tubuh dalam membalikkan badan pada para pemain belakang Indonesia dipelajari secara ilmiah. Karakter permainan Indonesia yang lebih mirip atau lebih condong ke Brazil -----dan arena itu Indonesia dijuluki oleh President FIFA, Sepp Blatter sebagai “Brazil Asia”----- benar-benar dipraktekkan Jepang dengan mengundang para pemain Brazil dan pelatih Brazil ke J-League pada tahun 1992. Sebelum itu pada tahun 1989, pemain Indonesia Ricky Jacob diundang untuk bermain di klub Matshushita Electric, Japan.
Jepang berhasil mengelola kompetisi dengan baik karena para stake holder bekerja secara professional; kemajuan dunia industrinya sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga baik pelatih maupun pemain berkelas dunia mau merintis karier disini; pengurus “PSSI Jepang” bekerja total untuk kemajuan organisasi dan bukan bekerja untuk mencari keuntungan di organisasi; para “bobotoh” pun sangat sportif, tidak berperilaku anarkis dan tak terus menuntut klub harus terus-terusan menang berbeda dengan para bobotoh di Indonesia. Tak heran, bila timnas Jepang performanya sangat kece; jauh dengan timnas PSSI yang dipimpin dua periode kepengurusn Nurdin Halid ini terus-terusan prestasinya memble.
Kesebelasan nasional Jepang sejak awal memang diniatkan untuk belajar kepada Indonesia sebagai “Brazil Asia”. Dan Ronny Patti dengan telak memberikan pelajaran kepada Jepang; bagaimana cara bermain bola yang baik.
Sejarah itu penting untuk menginspirasi. Termasuk sejarah kejayaan kesebelasan Indonesia atas Jepang. Sayang Indonesia tidak berhasil memanfaatkan sejarah kejayaan sepakbola Indonesia masa lalu kepada kemajuan sepakbola di masa sekarang. Malah Jepang yang berhasil memanfaatkan “pelajaran sepakbola Indonesia” sampai kepada level dunia dengan menjadi pelanggan Piala Dunia bersama Korea Selatan. Dan terakhir bahkan lolos ke babak kedua dengan menghancurkan juara Eropa 1992, Denmark, dengan skor telak 3-1.
Indonesia selalu diundang sebagai satu-satunya tim Asia selain Jepang sebagai tuan rumah “Piala Kirin” atau Piala Kaisar bersama klub yang mewakili satu benua Eropa dan satu Amerika (Amerika Latin). Meskipun tak pernah menjuarai Piala Kaisar, Indonesia tetap menjadi prioritas tujuan uji coba timnas Jepang. Jepang pun belajar kepada kompetisi sepakbola Galatama Indonesia (dimulai tahun 1979 di era Ketua Umum PSSI, Ali Sadikin) ketika mempersiapkan J-League yang diluncurkan lebih belakangan yakni pada tahun 1992.
Inilah yang terjadi dengan timnas Jepang yang dipersiapkan untuk olimpiade ini melakukan ujicoba pertama ke Indonesia tahun 1981. Tim nasional Indonesia dikapteni Ronny Patti bersama rekan pemain senior seperti Risdianto (striker), Simson Rumahpasal (belakang kanan) membimbing pemain-pemain muda penuh bakat seperti Purwono (kiper), Warta Kusumah, Nasir Salasa, Didik Dharmadi, Berti Tutuarima (belakang), Herry Kiswanto, Rully Nere, Budi Johanis, Metu Duaramuri (gelandang), Hadi Ismanto (striker). Intinya pemain inti timnas Indonesia berada pada poros Ronny Patti-Herry Kiswanto-Risdianto.
Memiliki wing back keren pada diri Simson Rumahpasal (di kanan) dan Didik Dharmadi (di kiri), serangan Indonesia berlangsung sangat indahnya. Dribble maut keduanya kerap mengundang decak kagum karena melewati beberapa pemain belakang Jepang dan mengiris sampai ke garis gawang mereka. Maka umpan tarik Simson maupun Didik diselesaikan dengan indah pula oleh Risdianto dan Hadi Ismanto. Sementara pasca serangan gagal timnas Jepang diselesaikan dengan cerdas dan cepat oleh Ronny Patti mengumpan ke Herry Kiswanto (gelandang bertahan) dan meneruskannya kepada Rully Nere atau Metu Duaramuri atau juga Budi Johanis untuk main tik-tak yang menawan dengan Risdianto/Hadi Ismanto di kotak penalti Jepang.
Ronny Patti yang “ditemukan” oleh Wiel Coerver sebagai “libero baru Indonesia” bagai seorang dirigen sebuah orchestra indah sepakbola Indonesia. Dan ini bisa dimainkannya dengan sempurna karena Ronny memiliki visi permainan yang hebat, sangat cerdas dalam merancang settpiece bola mati bagi Indonesia, pandai mengantisipasi umpan terobosan lawan, pengumpan dengan akurasi di atas 90% meskipun tanpa melihat rekannya berada jauh di depan. Ronny beruntung didukung pula oleh pemain-pemain bertalenta luar biasa. Simson dan Didik memiliki kemampuan dribble yang luar biasa cepat tetapi bola tetap lengket melewati satu-dua bahkan tiga pemain Jepang. Warta dan Nasir Salasa memiliki kemampuan bertahan dan merebut bola sangat baik. Gelandang Indonesia pada diri Herry Kiswanto, Budi Johanis, Mettu Duaramuri dan Rully Nere ibarat kuartet gelandang timnas Perancis era Michael Platini-Jean Tigana-Alain Giresse-Luiz Fernandez, yang menjuarai Piala Eropa pada tahun 1984. Rully Nere bahkan dijuluki “Jean Tigana Asia”. Bagaimana Rully dapat merebut bola dengan tackling sangat bersih dari belakang berkat bimbingan pelatih Wiel Coerver. Mettu adalah “Mutiara Hitam” Persipura yang kalau berada di kompetisi Eropa adalah persis pemain timnas Perancis dan klub Juventus, Lilian Thuram. “Si Akang” Herry Kiswanto, pemain asal Persib Bandung ini adalah seorang breaker pasca Nobon yang berkelas Asia bahkan Eropa seperti diakui Wiel Coerver atau sedikitlah di bawah Gatusso dari AC Milan. Dan Risdianto adalah pemain Indonesia pertama yang dipuji habis oleh Pele(klub Santos) sebagai striker terbaik di Asia. Risdianto membuat hattrick ketika Indonesia kalah 3-5 lawan klub Santos. Pele kemudian ketemu lagi Risdianto ketika klub terakhirnya Cosmos, New York melawan timnas Indonesia di Senayan.
Dengan komposisi pemain seperti itu, Jepang kalah telak 0-4 dari timnas Indonesia. Ada settpiece sangat indah dari satu gol Indonesia ini. Ronny mengatur Risdianto agar berdiri pada pagar pemain-pemain Jepang dan menyuruh Hadi Ismanto, pemain dengan kecepatan lari 10,5 detik/100 meter di pinggir kanan pagar pemain Jepang. Ronny dengan hebat mencungkil bola melewati pagar pemain Jepang dan Hadi Ismanto berlari sangat cepat lolos dari perangkap offside untuk berhadapan langsung dengan kiper Jepang, Taguchi. Itulah kemenangan terakhir yang diraih Indonesia atas Jepang.
“Pelajaran Sepakbola Indonesia” benar-benar sangat dimanfaatkan Jepang. Keunggulan pemain Indonesia dalam sprint pendek dipelajari oleh mereka. Kelenturan tubuh dalam membalikkan badan pada para pemain belakang Indonesia dipelajari secara ilmiah. Karakter permainan Indonesia yang lebih mirip atau lebih condong ke Brazil -----dan arena itu Indonesia dijuluki oleh President FIFA, Sepp Blatter sebagai “Brazil Asia”----- benar-benar dipraktekkan Jepang dengan mengundang para pemain Brazil dan pelatih Brazil ke J-League pada tahun 1992. Sebelum itu pada tahun 1989, pemain Indonesia Ricky Jacob diundang untuk bermain di klub Matshushita Electric, Japan.
Jepang berhasil mengelola kompetisi dengan baik karena para stake holder bekerja secara professional; kemajuan dunia industrinya sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga baik pelatih maupun pemain berkelas dunia mau merintis karier disini; pengurus “PSSI Jepang” bekerja total untuk kemajuan organisasi dan bukan bekerja untuk mencari keuntungan di organisasi; para “bobotoh” pun sangat sportif, tidak berperilaku anarkis dan tak terus menuntut klub harus terus-terusan menang berbeda dengan para bobotoh di Indonesia. Tak heran, bila timnas Jepang performanya sangat kece; jauh dengan timnas PSSI yang dipimpin dua periode kepengurusn Nurdin Halid ini terus-terusan prestasinya memble.
Label:
Cardiyan HIS,
Jepang,
Timnas Sepakbola Indonesia
Rabu, 05 Mei 2010
Sri Mulyani Ngambek, Bola Liar Panas Menggelinding ke SBY
Oleh Cardiyan HIS
Sri Mulyani dilamar World Bank. SM menerima lamaran World Bank itu dan siap masuk kerja per tanggal 1 Juni 2010. Apakah sesederhana itu prosesnya seperti seorang “head hunter” merekrut seorang eksekutif berprestasi untuk bergabung dengan kliennya; sebuah perusahaan raksasa. Sementara SM yang sadar hukum tentu sangat faham bahwa ia sewaktu-waktu masih harus bolak-balik diperiksa KPK, yang tak mungkin dilakukan bila ia sudah berkantor di World Bank, at New York, USA.
Jabatan Menteri Keuangan RI di dua periode kabinet SBY, sebenarnya merupakan perjalanan panjang obsesi SM setelah terakhir menempuh kariernya sebagai Managing Director IMF. Saya menengarai alasan SM menerima lamaran World Bank sebenarnya adalah puncak dari kekecewaan SM terhadap SBY yang tidak total dalam membela dirinya pada kasus Bank Century. Bahwa SBY selalu membela SM dan B dalam kasus Century dalam beberapa kesempatan adalah sangat situasional substansi dan sifatnya dan bukan merupakan sikap konsisten seorang pemimpin layaknya dalam membela anak buah. Manakala sang anak buah sudah tak bisa diselamatkan lagi, SBY berubah haluan hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri yang nota bene sebagai pemegang kebijakan puncak.
SM sangat letih dan memancarkan aura kekecewaan yang mendalam setelah penyelidikan kedua oleh KPK (4 Mei 2010). Inilah sebenarnya awal dari SM ngambek kepada SBY dengan jurus mundur karena alasan menerima lamaran menjadi Managing Director World Bank (5 Mei 2010). Secara politis SM telah dijatuhkan vonis oleh DPR. Dan sekarang ada indikasi sangat kuat KPK agaknya telah mampu membuktikan kesalahan SM yang fatal, antara lain yang utama adalah lalai begitu saja menerima input data dari B, Gubernur BI ketika itu. Sehingga kelalaian SM itu telah mengakibatkan terjadinya kebijakan yang menguntungkan pihak lain dan merugikan negara.
SM sebagai orang Jawa telah memberikan sinyal simbolik dengan ambekannya. Sebagai pribadi yang pinter, jujur dan tak memperkaya diri, berasal dari kedua orang tua berpendidikan sangat baik (keduanya adalah profesor doktor ternama) dan semua saudaranya berpendidikan tinggi 5 (lima) di antaranya lulusan ITB; sangat disayangkan SM tersandung karena kelalaian membuat kebijakan fatal tadi. Apa latar belakang orang sekelas SM tersandung, bisa saja karena ada latar belakang kepentingan politik di dalamnya. Sebuah poster demonstrasi minggu lalu bergambar SM dicloseup oleh media elektronik berbunyi “Menyesal Membela Partai Demokrat”, terlalu sayang dilewatkan begitu saja untuk sebuah analisis lebih mendalam.
Seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya berjudul “Apa Kabar Jargon Katakan Tidak pada Korupsi. Lanjutkan?” (mailist IA-ITB, 6 September 2009) dan “Percumalah Program 100 Hari SBY Kalau KPK Diloyokan” (mailist IA-ITB, 31 Oktober 2009) yang dikutip banyak website dan grup mailist (silakan Google Search); runtutan kisruh di republik tercinta ini sebenarnya bermuara kepada adanya indikasi kuat terjadinya ketidak-jujuran para pelaku politik pada Pemilu 2009. Bahwa Kabareskrim Polri SD ketika itu “tak serius” memproses banyak kasus pelanggaran Pemilu karena dalih lemahnya data menjadi tanda tanya besar. Dan bahwa akhirnya KPU secara formal telah menetapkan rekapitulasi resmi hasil Pemilu, dengan menutup terutama banyak kasus pengkloningan data pemilih, tidak otomatis berhasil menutupnya. Ini terbukti mencuatnya kasus Bank Century beberapa bulan kemudian, yang dicurigai menjadi amunisi bagi pemenangan partai tertentu.
Apakah SM punya kartu truf terakhir, begitu pula SD pada kasus Bank Century dalam keterkaitan dengan pemenangan Pemilu oleh partai tertentu? Inilah yang ditunggu perkembangannya. Karena kalau kedua “whistle blower” ini bernyanyi, bola panas liar ini justru akan mengarah ke Presiden SBY, bukan hanya kepada Wakil Presiden B. Sebab para anggota DPR dan banyak LSM telah mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang qorum DPR untuk Hak Menyatakan Pendapat agar cukup 50% plus 1 dan bukan 75% dari anggota DPR.
Apakah SBY dan B akan dimakzulkan pasca ngambeknya SM dan bernyanyinya SD? Hanya waktu yang akan membuktikan. Kita sebagai rakyat hanyalah berkeinginan agar kebenaran ditegakkan. Kejahatan betapapun dikemas dengan begitu rapih, Tuhan YME telah menguatkan kejahatan itu untuk sementara saja dan pada akhirnya pasti akan mengazab mereka dengan penegakan hukum keadilan, yang tak terkirakan hina bagi para pelakunya. Insya Allah, Indonesia akan kembali menjadi Bangsa yang besar karena kita punya tradisi sebagai Bangsa Pejuang; pejuang untuk menegakkan kebenaran dan kemerdekaan yang hakiki bagi keadilan Rakyat Indonesia.
www.cardiyanhis.blogspot.com
Sri Mulyani dilamar World Bank. SM menerima lamaran World Bank itu dan siap masuk kerja per tanggal 1 Juni 2010. Apakah sesederhana itu prosesnya seperti seorang “head hunter” merekrut seorang eksekutif berprestasi untuk bergabung dengan kliennya; sebuah perusahaan raksasa. Sementara SM yang sadar hukum tentu sangat faham bahwa ia sewaktu-waktu masih harus bolak-balik diperiksa KPK, yang tak mungkin dilakukan bila ia sudah berkantor di World Bank, at New York, USA.
Jabatan Menteri Keuangan RI di dua periode kabinet SBY, sebenarnya merupakan perjalanan panjang obsesi SM setelah terakhir menempuh kariernya sebagai Managing Director IMF. Saya menengarai alasan SM menerima lamaran World Bank sebenarnya adalah puncak dari kekecewaan SM terhadap SBY yang tidak total dalam membela dirinya pada kasus Bank Century. Bahwa SBY selalu membela SM dan B dalam kasus Century dalam beberapa kesempatan adalah sangat situasional substansi dan sifatnya dan bukan merupakan sikap konsisten seorang pemimpin layaknya dalam membela anak buah. Manakala sang anak buah sudah tak bisa diselamatkan lagi, SBY berubah haluan hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri yang nota bene sebagai pemegang kebijakan puncak.
SM sangat letih dan memancarkan aura kekecewaan yang mendalam setelah penyelidikan kedua oleh KPK (4 Mei 2010). Inilah sebenarnya awal dari SM ngambek kepada SBY dengan jurus mundur karena alasan menerima lamaran menjadi Managing Director World Bank (5 Mei 2010). Secara politis SM telah dijatuhkan vonis oleh DPR. Dan sekarang ada indikasi sangat kuat KPK agaknya telah mampu membuktikan kesalahan SM yang fatal, antara lain yang utama adalah lalai begitu saja menerima input data dari B, Gubernur BI ketika itu. Sehingga kelalaian SM itu telah mengakibatkan terjadinya kebijakan yang menguntungkan pihak lain dan merugikan negara.
SM sebagai orang Jawa telah memberikan sinyal simbolik dengan ambekannya. Sebagai pribadi yang pinter, jujur dan tak memperkaya diri, berasal dari kedua orang tua berpendidikan sangat baik (keduanya adalah profesor doktor ternama) dan semua saudaranya berpendidikan tinggi 5 (lima) di antaranya lulusan ITB; sangat disayangkan SM tersandung karena kelalaian membuat kebijakan fatal tadi. Apa latar belakang orang sekelas SM tersandung, bisa saja karena ada latar belakang kepentingan politik di dalamnya. Sebuah poster demonstrasi minggu lalu bergambar SM dicloseup oleh media elektronik berbunyi “Menyesal Membela Partai Demokrat”, terlalu sayang dilewatkan begitu saja untuk sebuah analisis lebih mendalam.
Seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya berjudul “Apa Kabar Jargon Katakan Tidak pada Korupsi. Lanjutkan?” (mailist IA-ITB, 6 September 2009) dan “Percumalah Program 100 Hari SBY Kalau KPK Diloyokan” (mailist IA-ITB, 31 Oktober 2009) yang dikutip banyak website dan grup mailist (silakan Google Search); runtutan kisruh di republik tercinta ini sebenarnya bermuara kepada adanya indikasi kuat terjadinya ketidak-jujuran para pelaku politik pada Pemilu 2009. Bahwa Kabareskrim Polri SD ketika itu “tak serius” memproses banyak kasus pelanggaran Pemilu karena dalih lemahnya data menjadi tanda tanya besar. Dan bahwa akhirnya KPU secara formal telah menetapkan rekapitulasi resmi hasil Pemilu, dengan menutup terutama banyak kasus pengkloningan data pemilih, tidak otomatis berhasil menutupnya. Ini terbukti mencuatnya kasus Bank Century beberapa bulan kemudian, yang dicurigai menjadi amunisi bagi pemenangan partai tertentu.
Apakah SM punya kartu truf terakhir, begitu pula SD pada kasus Bank Century dalam keterkaitan dengan pemenangan Pemilu oleh partai tertentu? Inilah yang ditunggu perkembangannya. Karena kalau kedua “whistle blower” ini bernyanyi, bola panas liar ini justru akan mengarah ke Presiden SBY, bukan hanya kepada Wakil Presiden B. Sebab para anggota DPR dan banyak LSM telah mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang qorum DPR untuk Hak Menyatakan Pendapat agar cukup 50% plus 1 dan bukan 75% dari anggota DPR.
Apakah SBY dan B akan dimakzulkan pasca ngambeknya SM dan bernyanyinya SD? Hanya waktu yang akan membuktikan. Kita sebagai rakyat hanyalah berkeinginan agar kebenaran ditegakkan. Kejahatan betapapun dikemas dengan begitu rapih, Tuhan YME telah menguatkan kejahatan itu untuk sementara saja dan pada akhirnya pasti akan mengazab mereka dengan penegakan hukum keadilan, yang tak terkirakan hina bagi para pelakunya. Insya Allah, Indonesia akan kembali menjadi Bangsa yang besar karena kita punya tradisi sebagai Bangsa Pejuang; pejuang untuk menegakkan kebenaran dan kemerdekaan yang hakiki bagi keadilan Rakyat Indonesia.
www.cardiyanhis.blogspot.com
Rabu, 21 April 2010
Pendapat Kang Maman dan Bagaimana ITB soal Plagiarisme?
Oleh Cardiyan HIS
Untung ada Kang Maman. Si Akang yang nama lengkapnya adalah Prof.DR. Maman Abdurachman Djauhari memang sudah pensiun dari Matematika ITB tetapi pemikirannya tak terputus dari almamaternya meski sekarang sedang menjadi periset di manca negara. Sebagaimana diketahui Kang Maman ini pernah menjadi Ketua Majelis Guru Besar ITB periode 2007-2008. Kita beruntung telah membaca surat Kang Maman di mailist IA ITB (21 April 2010 jam 07:05 postingan seorang alumnus ITB Tsulusun ArRoyan) yang merupakan forward dari mailist “Tertutup Dosen ITB” berjudul “Plagiarism versus Marwah ITB”.
Selama berhari-hari dan belum berakhir hingga sekarang, para alumni ITB memang merasa sangat terpukul. Ulah plagiarisme Mochammad Zuliansyah (MZ) alumnus S-2 dan S-3 STEI ITB telah mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang sepanjang 90 tahun telah menjadi kebajikan umum di ITB. Nilai-nilai kejuangan, nilai kejujuran yang tak tersentuhkan yang “sakral” sejak seleksi masuk S-1 ITB dan selama proses menuntut ilmu di ITB yang tak bisa dipertukarkan dengan uang berapa pun nilainya, begitu mudahnya dicampakkan MZ.
“Majelis Guru Besar ITB sebagai penjaga nilai-nilai telah kecolongan,” tulis surat Kang Maman. Rektor ITB sampai dosen muda ITB hendaknya tidak defensif dan jangan membela orang. Harus rasional untuk tetap berintegritas akademik. Maknanya sungguh mendalam bahwa yang harus dibela adalah nilai-nilai BUKAN orang per orang. Kita semua sudah tahu bahwa tulisan termasuk tulisan plagiat adalah tanggungjawab semua pengarang. Penjelasan ITB sementara ini tentang siapa penulis utama dan bagaimana peran ketiga penulis lainnya sungguh sebagai alasan yang sangat sulit diterima. Oleh karena itu ungkap Kang Maman, ITB harus segera membuat NORMATIVE STATEMENT, sebelum masyarakat kampus internasional bahkan masyarakat luas memandang sebelah mata ITB karena tak memiliki lagi sikap tegas, tak memiliki integritas dalam menjunjung dan membela nilai-nilai kebenaran.
Kang Maman tak hanya mengungkapkan sikap tegasnya kepada ITB. Tetapi juga ia menyarankan dengan mengingatkan ITB agar para profesornya disuruh kembali ke laboratorium saja, tak usah urus yang macam-macam. Profesor itu harus dikelilingi para mahasiswa untuk memproduksi ilmu baru yang kemudian diterbitkan ke dalam jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan dari “international peers”. Bukankah profesor adalah sebuah “klub internasional”?
Saya sangat setuju dengan pendapat kang Maman ini karena senada dengan tulisan saya sebelumnya “Saatnya Rektor Menegur Profesor” (mailist IA-ITB, 16 Februari 2010) yang antara lain mengupas ternyata masih ada profesor di ITB yang menjelang pensiun tak memiliki tulisan yang dimuat di jurnal internasional kredibel selain disertasi doktornya saja atau juga “Menulis atau Karier di Kampus Habis?” (mailist IA-ITB, 23 Agustus 2009) yang antara lain mengupas nasib tragis para dosen peneliti di kampus Amerika Serikat yang alih profesi menjadi supir taksi, pencuci piring di restoran atau loper koran dll sementara nasib profesor di Indonesia aman-aman saja meskipun tak menulis satu pun paper di jurnal internasional bahkan “hebat” ada yang menjadi selebritas sebagai pengamat di media cetak maupun elektronik.
Arogansi Komunitas Mengancam ITB?
Tim Investigasi yang dibentuk oleh Rektor ITB memang sedang melakukan investigasi dengan waktu tugas selama satu bulan. Tetapi berbagai opini terus berkembang liar yang mengarah kepada bagaimana dengan ketiga pembimbing ITB. Karena pada banyak kasus pada hakekatnya penelitian yang dikerjakan mahasiswa adalah sebuah penelitian dosennya. Dalam kasus plagiarisme MZ pada tahun 2008 saat dia masih mahasiswa S3 atas paper DR. Siyka Zlatanova berjudul “On 3 D Topological Relationship” yang sudah dipublikasikan pada 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, IEEE 2000; ternyata para pembimbing “terpukau” dengan cara MZ berpresentasi dan lancar menjawab pertanyaan.
Menurut saya dan rekan-rekan profesi Geodesi dan Geomatika sebenarnya ada terungkap sisi lain telah terjadi “Pelanggaran Etika Akademik” pada para pembimbing yang tidak melibatkan profesi lain yang lebih berkompeten pada salah satu substansi penelitian. Coba kita lihat ketiga pembimbing MZ semua adalah dari disiplin Teknik Elektro. Mengapa tidak ada satu pun penguji atau setidaknya peer reviewer dari disiplin Ilmu Geodesi dan Geomatika kalau “tak boleh” salah satu menjadi co-promotor? Topik seperti itu merupakan makanan empuk sehari-hari para mahasiswa S-1 Geodesi dan Geomatika ITB.
Sepintas melihat judulnya saja, jelas paper DR. Siyka Zlatanova ini “sangat berbau Geodesi dan Geomatika”. Sisi demikian nama panggilan akrab dari Siyka Zlatanova ini adalah tak asing lagi di mata para alumni Geodesi ITB seperti DR.Ir. T. Lukman Azis, DR.Ir. Bobby Dipokusumo, DR. Ishak Hanafiah Ismullah, DR.Ir. Dudung Muhally Hakim, DR.Ir. Agus Suparman, DR.Ir. Elly Rasdiani, sampai ke dosen muda DR. Ir. Deni Suwardhi. Karena mereka adalah sama-sama alumni ITC at Enschede, the Netherland. Sisi kemudian memilih kariernya menjadi dosen di Department of Geodesy, TU Delft, Belanda.
Seorang teman saya, seorang dosen Geodesi dan Geomatika ITB bahkan telah mendapat kehormatan diundang oleh Sisi pada bulan April 2005 untuk berbicara di TU Delft tentang peranan Geodesi dan Geomatika dalam mitigasi bencana Tsunami Aceh Desember 2004. Bahkan DR.Ir. Deni Suwardhi (GD ITB 1988) masih intens berkomunikasi sebagai “sparring partner” dengan Sisi, sampai kemudian seluruh alumni ITC asal ITB terkaget-kaget setelah terbongkar kasus plagiarisme oleh MZ itu.
Nasi telah jadi bubur memang. Kasus plagiarisme telah merusak reputasi ITB yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Dan sangat sulit untuk memulihkannya kembali kecuali dengan perjuangan berat para civitas academica ITB untuk selalu terus berkarya pada bidangnya masing-masing; baik untuk menghasilkan riset orisinal berkualitas tinggi maupun berbagai ide dan pemikiran serta kiprah pengabdian yang berdampak besar bagi peradaban manusia. Kini saatnya Sidang Senat Akademik ITB harus mengambil sikap jernih, tegas dengan semangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang memandu peradaban, yang kemudian harus dijalankan oleh Rektor ITB dengan tegas pula.
Http: www.cardiyanhis.blogspot.com
Untung ada Kang Maman. Si Akang yang nama lengkapnya adalah Prof.DR. Maman Abdurachman Djauhari memang sudah pensiun dari Matematika ITB tetapi pemikirannya tak terputus dari almamaternya meski sekarang sedang menjadi periset di manca negara. Sebagaimana diketahui Kang Maman ini pernah menjadi Ketua Majelis Guru Besar ITB periode 2007-2008. Kita beruntung telah membaca surat Kang Maman di mailist IA ITB (21 April 2010 jam 07:05 postingan seorang alumnus ITB Tsulusun ArRoyan) yang merupakan forward dari mailist “Tertutup Dosen ITB” berjudul “Plagiarism versus Marwah ITB”.
Selama berhari-hari dan belum berakhir hingga sekarang, para alumni ITB memang merasa sangat terpukul. Ulah plagiarisme Mochammad Zuliansyah (MZ) alumnus S-2 dan S-3 STEI ITB telah mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang sepanjang 90 tahun telah menjadi kebajikan umum di ITB. Nilai-nilai kejuangan, nilai kejujuran yang tak tersentuhkan yang “sakral” sejak seleksi masuk S-1 ITB dan selama proses menuntut ilmu di ITB yang tak bisa dipertukarkan dengan uang berapa pun nilainya, begitu mudahnya dicampakkan MZ.
“Majelis Guru Besar ITB sebagai penjaga nilai-nilai telah kecolongan,” tulis surat Kang Maman. Rektor ITB sampai dosen muda ITB hendaknya tidak defensif dan jangan membela orang. Harus rasional untuk tetap berintegritas akademik. Maknanya sungguh mendalam bahwa yang harus dibela adalah nilai-nilai BUKAN orang per orang. Kita semua sudah tahu bahwa tulisan termasuk tulisan plagiat adalah tanggungjawab semua pengarang. Penjelasan ITB sementara ini tentang siapa penulis utama dan bagaimana peran ketiga penulis lainnya sungguh sebagai alasan yang sangat sulit diterima. Oleh karena itu ungkap Kang Maman, ITB harus segera membuat NORMATIVE STATEMENT, sebelum masyarakat kampus internasional bahkan masyarakat luas memandang sebelah mata ITB karena tak memiliki lagi sikap tegas, tak memiliki integritas dalam menjunjung dan membela nilai-nilai kebenaran.
Kang Maman tak hanya mengungkapkan sikap tegasnya kepada ITB. Tetapi juga ia menyarankan dengan mengingatkan ITB agar para profesornya disuruh kembali ke laboratorium saja, tak usah urus yang macam-macam. Profesor itu harus dikelilingi para mahasiswa untuk memproduksi ilmu baru yang kemudian diterbitkan ke dalam jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan dari “international peers”. Bukankah profesor adalah sebuah “klub internasional”?
Saya sangat setuju dengan pendapat kang Maman ini karena senada dengan tulisan saya sebelumnya “Saatnya Rektor Menegur Profesor” (mailist IA-ITB, 16 Februari 2010) yang antara lain mengupas ternyata masih ada profesor di ITB yang menjelang pensiun tak memiliki tulisan yang dimuat di jurnal internasional kredibel selain disertasi doktornya saja atau juga “Menulis atau Karier di Kampus Habis?” (mailist IA-ITB, 23 Agustus 2009) yang antara lain mengupas nasib tragis para dosen peneliti di kampus Amerika Serikat yang alih profesi menjadi supir taksi, pencuci piring di restoran atau loper koran dll sementara nasib profesor di Indonesia aman-aman saja meskipun tak menulis satu pun paper di jurnal internasional bahkan “hebat” ada yang menjadi selebritas sebagai pengamat di media cetak maupun elektronik.
Arogansi Komunitas Mengancam ITB?
Tim Investigasi yang dibentuk oleh Rektor ITB memang sedang melakukan investigasi dengan waktu tugas selama satu bulan. Tetapi berbagai opini terus berkembang liar yang mengarah kepada bagaimana dengan ketiga pembimbing ITB. Karena pada banyak kasus pada hakekatnya penelitian yang dikerjakan mahasiswa adalah sebuah penelitian dosennya. Dalam kasus plagiarisme MZ pada tahun 2008 saat dia masih mahasiswa S3 atas paper DR. Siyka Zlatanova berjudul “On 3 D Topological Relationship” yang sudah dipublikasikan pada 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, IEEE 2000; ternyata para pembimbing “terpukau” dengan cara MZ berpresentasi dan lancar menjawab pertanyaan.
Menurut saya dan rekan-rekan profesi Geodesi dan Geomatika sebenarnya ada terungkap sisi lain telah terjadi “Pelanggaran Etika Akademik” pada para pembimbing yang tidak melibatkan profesi lain yang lebih berkompeten pada salah satu substansi penelitian. Coba kita lihat ketiga pembimbing MZ semua adalah dari disiplin Teknik Elektro. Mengapa tidak ada satu pun penguji atau setidaknya peer reviewer dari disiplin Ilmu Geodesi dan Geomatika kalau “tak boleh” salah satu menjadi co-promotor? Topik seperti itu merupakan makanan empuk sehari-hari para mahasiswa S-1 Geodesi dan Geomatika ITB.
Sepintas melihat judulnya saja, jelas paper DR. Siyka Zlatanova ini “sangat berbau Geodesi dan Geomatika”. Sisi demikian nama panggilan akrab dari Siyka Zlatanova ini adalah tak asing lagi di mata para alumni Geodesi ITB seperti DR.Ir. T. Lukman Azis, DR.Ir. Bobby Dipokusumo, DR. Ishak Hanafiah Ismullah, DR.Ir. Dudung Muhally Hakim, DR.Ir. Agus Suparman, DR.Ir. Elly Rasdiani, sampai ke dosen muda DR. Ir. Deni Suwardhi. Karena mereka adalah sama-sama alumni ITC at Enschede, the Netherland. Sisi kemudian memilih kariernya menjadi dosen di Department of Geodesy, TU Delft, Belanda.
Seorang teman saya, seorang dosen Geodesi dan Geomatika ITB bahkan telah mendapat kehormatan diundang oleh Sisi pada bulan April 2005 untuk berbicara di TU Delft tentang peranan Geodesi dan Geomatika dalam mitigasi bencana Tsunami Aceh Desember 2004. Bahkan DR.Ir. Deni Suwardhi (GD ITB 1988) masih intens berkomunikasi sebagai “sparring partner” dengan Sisi, sampai kemudian seluruh alumni ITC asal ITB terkaget-kaget setelah terbongkar kasus plagiarisme oleh MZ itu.
Nasi telah jadi bubur memang. Kasus plagiarisme telah merusak reputasi ITB yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Dan sangat sulit untuk memulihkannya kembali kecuali dengan perjuangan berat para civitas academica ITB untuk selalu terus berkarya pada bidangnya masing-masing; baik untuk menghasilkan riset orisinal berkualitas tinggi maupun berbagai ide dan pemikiran serta kiprah pengabdian yang berdampak besar bagi peradaban manusia. Kini saatnya Sidang Senat Akademik ITB harus mengambil sikap jernih, tegas dengan semangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang memandu peradaban, yang kemudian harus dijalankan oleh Rektor ITB dengan tegas pula.
Http: www.cardiyanhis.blogspot.com
Label:
Cardiyan HIS,
ITB,
Kang Maman,
Plagiarisme
Minggu, 18 April 2010
Mensiasati “Public Relations” ITB agar Kinclong
Oleh Cardiyan HIS
ITB terkaget-kaget. Kasus plagiarisme seorang mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB telah merusak citra ITB. Memang lebih sering berita buruk yang muncul ke media massa tentang ITB. Mulai dari gudang joki seleksi masuk PTN, meninggalnya untuk yang kedua kali mahasiswa baru, serta pabrik narsisus nomor 1. Padahal bila ITB pintar main “Public Relations” sudah sepatutnya mengangkat sisi lain keberhasilan banyak civitas academica ITB tanpa harus menutup fakta lain yang memang tak boleh ditutup-tutupi.
Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat (AS). Indonesia adalah negara dengan kebebasan pers yang luar biasa terbuka bahkan mengalahkan dedengkotnya sendiri yakni Amerika Serikat, kecuali tentu saja dalam hal tidak boleh menerbitkan dan menyiarkan pornografi dan porno aksi. Mayoritas Rakyat Indonesia dengan demikian sudah menjadi masyarakat informasional, setidaknya secara pasif , tetapi belum tentu menjadi masyarakat yang terbuka terhadap semua ide atau pemikiran yang berkembang.
Civitas academica ITB yang merupakan bagian dari masyarakat informasional, tentu berada pada posisi yang lebih aktif dan lebih terbuka terhadap berbagai ide dan pemikiran yang berkembang pada arus globalisasi dunia ini. Namun ITB sebagai sebuah institusi sains teknologi dan seni, ternyata belum siap bahkan terkaget-kaget manakala harus menerima kenyataan gelombang besar berbagai berita pahit ada civitas academica ITB yang melakukan tindakan menyimpang yang mencederai harga diri ITB dan civitas academicanya.
Akar persoalannya menurut penulis karena ITB sebagai institusi memang tak memiliki strategi “Public Relations” (“PR”) yang sistematis bahkan terkesan kurang memandang sangat penting dan strategis soal “PR” ini dalam menaikkan nilai tambah ITB pada peta Indonesia dan dunia. Bahwa memang betul ITB selalu memiliki Wakil Rektor Bidang Komunikasi dan Alumni pada struktur organisasinya pada berbagai Rektor yang memimpin ITB. Tetapi ini lebih sebagai “tempelan” dari pada sebagai sebuah struktur yang sangat strategis dalam organisasi ITB dan secara fungsional didesain untuk mengangkat nilai tambah ITB. ITB tak cukup hanya menempatkan seorang Wakil Rektor ITB (yang nota bene masih menangani tugas sehari-hari sebagai Guru Besar yang melakukan riset, mengajar dan membimbing riset para mahasiswa Pasca Sarjana, bahkan masih mengajar mahasiswa S-1) yang menangani “PR” ini. Tetapi secara organisasi, ITB harus memiliki suatu tim “PR” tangguh yang direkrut melalui undangan terbuka iklan media massa dari kalangan profesional komunikasi massa yang diharapkan mampu memahami karakter ITB baik kekuatan dan kelemahannya; yang hari demi hari bersikap aktif mendesain ke-“PR”-an ITB untuk diinformasikan ke luar dan selalu sigap menangani suatu isyu negatif secara cepat dan menuntaskannya.
“PR”Juga Menjadi Tanggungjawab Alumni ITB
Ketika menjadi panelis Pemilihan Rektor ITB mewakili unsur alumni ITB, penulis sangat “gregeteun” dengan presentasi salah seorang calon Rektor ITB. Dia aneh lebih mengangkat keberhasilan UI menjadi ranking 201 dan UGM ranking 250 dan mengekspose ranking 351 yang diraih ITB. Dari segi “PR” ITB ini adalah suatu tindakan sangat bodoh, sangat tidak taktis karena dia berbicara tentang kelemahan ITB pada suatu forum terbuka yang banyak diliput oleh media cetak dan elektronik dan juga masyarakat luas.
Seorang ahli “PR” yang profesional (seandainya direkrut oleh ITB), dia pasti akan mengangkat ITB nomor 80 di dunia (dari tahun sebelumnya yang nomor 90) untuk “Technology Area”, sebuah bidang yang paling prestisius dan menjadi favorit mahasiswa. ITB dengan demikian menjadi satu-satunya PTN Indonesia yang masuk 100 Besar Dunia. Sedangkan UI hanya terduduk lesu di ranking 198 dan UGM terpojok di sudut 233. Seorang ahli “PR” profesional kemudian akan mengangkat lagi bahwa ITB meraih ranking 153 untuk “Natural Sciences Area” menewaskan UGM di ranking 198 dan memojokkan UI terduduk lesu di ranking 242. Bahkan untuk “Life Sciences & Biomedicine Area”, ITB yang tak memiliki Fakultas Kedokteran pun (hanya Sekolah Farmasi dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) masih mendapat ranking lumayan di urutan 264 meski tentu saja kalah sama UGM di ranking 103, UI ranking 126 dan Unair ranking 224 karena ketiganya memang memiliki Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi bahkan Fakultas Psikologi. Ini adalah sebuah ilustrasi saja dan BUKAN PROPAGANDA betapa “PR ITB” bisa menjungkir balikkan suatu citra yang kurang nyaman menjadi citra yang lebih baik, atau paling tidak masyarakat akan lebih memahaminya.
Para ahli “PR” UI dan UGM benar-benar memanfaatkan ranking UI dan UGM tahun 2009 versi The Times Higher Education Supplement-QS World University Ranking (UK) sebagai “PR” yang sangat ampuh untuk menaikkan kredibilitas kampus mereka . Kepada media massa, bahkan tim “PR” UI dan UGM TERANG-TERANGAN MENOHOK ITB sebagai satu-satunya PTN yang menurun rankingnya dari semula 315 menjadi 351. Sedangkan UI ranking 201 dari sebelumnya 287 (untuk overall score) dan UGM ranking 250 dari sebelumnya 316. Tim “PR” UI dan UGM by design tak akan pernah berbicara ranking berdasarkan apple to apple karena jelas tindakan bodoh dari segi “PR”, kontra produktif untuk pencitraan UI dan UGM. Contoh yang lain; bagaimana begitu “jeli”-nya Rektor UI memanfaatkan “fakta sejarah” seorang bule asli Belanda yang bernama Christian EIJKMAN Pemenang Hadiah Nobel tahun 1926 ke dalam jajaran alumni UI. Alasannya menurut Rektor UI, walau bagaimana pun Eijkman adalah pernah menjadi mahasiswa dan lulus dari Stovia (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda), di jaman penjajahan Belanda dulu. Inilah yang akhirnya mampu mengatrol ranking UI karena merupakan kampus ke enam di Asia setelah Jepang, India, Pakistan, Cina dan Iran yang alumninya memiliki Pemenang Hadiah Nobel.
Kok ITB adem ayem saja? Padahal dari segi “PR” ini kesempatan untuk merilis keberhasilan ITB nomor 80 di dunia untuk bidang “Technology Area” dengan dana riset hanya US$ 3,8 juta/tahun; tetapi mampu mengalahkan banyak universitas papan atas Amerika Serikat seperti University of Chicago, University of Wisconsin at Urbana Champaign, Northwestern University, University of Southern California, Noth Carolina University, University of California at Davis, University of California at Irvine, Rice University, Brown University, University of Washington, University of Pennsylvania, Pennsylvania State University, Duke University, Boston University dan banyak lagi, yang memiliki dana riset ratusan juta dollar.
Bagaimana dengan kiprah alumni ITB yang berprestasi di dunia? “PR ITB” akan semakin dimudahkan dengan fakta begitu banyak alumni ITB yang jumlahnya ribuan menjadi diaspora dan memiliki prestasi kelas dunia antara lain Herry Sutanto (Microsoft Inc.,, USA), Khoirul Anwar (JAIST, Japan), Anak Agung Julius (Renselaer Polytechnic Institute, USA), Stephen Prajna (California Institute of Technology, USA), Dina Shona Laila (Imperial College London, UK), Bayu Jayawardhana (University of Groningen, Belanda), Hendra Nurdin (ANU, Australia), Henricus Kusbiantoro (LANDOR Associates, USA), Chris Lie (USA), Bambang Parmanto (University of Pittsburg, USA), Hansye (Michigan, USA), Satria Zulkarnaen (Tohoku University, Japan) disamping tentu saja alumni ITB yang menjadi dosen ITB antara lain Sri Widiyantoro, I Gede Wenten, Benyamin Soenarko, Suwono, Djoko T. Iskandar, Wilson H. Wenas, Halim M, Noer AS, T. Gusdinar, Arismunandar, Hasanuddin ZA, Bambang Riyanto, Pekik Dahono,Trio Adiono, Adi Indrayanto. Belum alumni ITB yang berkiprah sebagai wirausaha antara lain Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Ciputra, TP Rachmat, Bambang Subianto.
Dan jangan dilupakan, karena ITB mendapatkan masukan mahasiswa-mahasiswa baru terbaik dari tahun ke tahun sepanjang sejarah seleksi masuk PTN di Indonesia, yang juga diakui oleh dunia internasional sebagai Selektivitas Mahasiswa terketat dan terbaik di Asia Pasifik versi majalah “AsiaWeek” tahun 2000 (Cesar Bacani, Time of Ferment, Hong Kong, June 30, 2000). Maka hasilnya pun sudah dipetik sebelum mereka lulus seperti terbukti mahasiswa ITB memenangi berturut-turut kompetisi kelas dunia antara lain Imagine Cup (Microsoft Inc.,) untuk tahun 2008 (Tim Antarmuka) dan tahun 2009 (Tim Big Bang); L’Oreal, Perancis tahun 2008 dan 2009; the XML Challenge Superstar IBM; LSI Design Contest 2008 dan 2009 dari Japan Society of Information and Communication.
Belajarlah “PR” kepada UI, UGM dan Unpad
ITB memang harus belajar banyak soal “PR” ini kepada UI dan UGM dan juga tetangga terdekatnya Universitas Padjadjaran (Unpad). Pada forum “Temu Calon Rektor ITB dengan Masyarakat” itu, penulis ungkapkan kekecewaan yang sangat mendalam; bagaimana ITB yang nota bene menjadi perintis peluncuran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Hotel Hilton Jakarta pada tahun 2001 ternyata di website: www.itb.ac.id tak pernah meng-update pencapaian HAKI-nya yang telah melampaui 100 buah paten, terdiri dari 5 paten telah berhasil dikomersialisasi, 30 paten siap lisensi dan ini belum termasuk puluhan hak cipta setelah 8 tahun yang lalu!!!.
Lebih kaget lagi, setelah penulis membaca data SCOPUS yang menjadi acuan tentang data jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional, jumlah web dan jumlah paten. Tanya kenapa? Data Paten ITB ternyata tertulis di Scopus sebagai 0 (diulang: nol !!!). Sedangkan UI yang terus menerus memperbarui content web-nya mencatatkan paten sebanyak 22, UGM 5 serta LIPI 2 paten. Di Scopus, ITB memang tercatat sebanyak 1.200 publikasi ilmiah di jurnal internasional, terbanyak di Indonesia, UI hanya 1.186, UGM 742, LIPI 527 dan IPB 518. Begitu pula ITB paling banyak memiliki web yakni 10 dibanding UI 3 web, UGM 2 web dan LIPI 2 web.
Sayang sekali dong, pencapaian ITB yang begitu bagus soal HAKI dan publikasi ilmiah di jurnal kelas dunia ternyata oleh pihak ITB sendiri tidak dirawat secara sepatutnya. “Cepat benahi, jangan-jangan diambil Malaysia”, kata seorang alumnus FK UI yang dokter sangat senior di jaman Menteri Kesehatan RI Soewardjono Suryaningrat, kepada penulis sambil ketawa. Bagaimana ada investor kelas dunia yang mau membeli hasil invensi ITB kalau mengakses ke website ITB saja disuguhi data yang super kadaluarsa. Apalagi kalau tim Scopus atau tim pemeringkat universitas dunia The Time HE QS (UK) mau masuk ke website ITB, mereka akan bilang “ITB is very very KACIAN BANGET”. Ya ITB, sama saja tidak menghargai pencapaian sangat susah payah para dosen penelitinya yang merupakan kekuatan utama dari ITB dalam arti sesungguhnya disamping kehebatan talenta para mahasiswanya.
Penulis ungkapkan pula bagaimana ITB tak memiliki konsep dalam mengembangkan mahasiswa-mahasiswa yang bertalenta sangat baik ini menjadi lulusan-lulusan ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi, berjiwa nasionalis, bermental tangguh dalam mengarungi perjalanannya setelah lulus dari ITB. Kenapa? Karena ITB tetap menganggap bahwa mengembangkan karakter mahasiswa adalah sebuah “cost center”, sebuah “wasting time”, buang-buang waktu saja dan tidak menganggapnya sebagai “human investment” yang memang “long term” sifatnya. Tak mengherankan bila hasilnya sekarang sudah menggejala, bagaimana mahasiswa ITB banyak yang menjadi pelaku kriminal menjadi joki seleksi masuk PTN; banyak lulusan dan dosen narsisus yang mengidap gejala penyakit yang berbau meta fisika tetapi tak mampu berbuat apa-apa bagi lingkungannya dan perilaku buruk lainnya seperti yang paling hot kasus plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB.
Tetapi kalau ITB berhasil mengubah “mind-set” untuk bersedia mengembangkan mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan, maka insya Allah pada puluhan tahun mendatang akan terlahir manusia-manusia ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi dan berhasil pada bidangnya masing-masing berkelas dunia. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Genuine Entrepreneur”, yang bukan saja hebat dalam skala usahanya tetapi yang terpenting menjalankan bisnisnya dengan cara-cara yang bermartabat. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Stateman” yang berjiwa negarawan. Akan banyak dosen peneliti ITB yang menjadi “World Class Researcher” yang akan mengubah dunia menikmati peradabannya yang damai dengan berbasis ilmu-teknologi.
Http: www.cardiyanhis.blogspot.com
Http: www.ia-itb.blogspot.com
ITB terkaget-kaget. Kasus plagiarisme seorang mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB telah merusak citra ITB. Memang lebih sering berita buruk yang muncul ke media massa tentang ITB. Mulai dari gudang joki seleksi masuk PTN, meninggalnya untuk yang kedua kali mahasiswa baru, serta pabrik narsisus nomor 1. Padahal bila ITB pintar main “Public Relations” sudah sepatutnya mengangkat sisi lain keberhasilan banyak civitas academica ITB tanpa harus menutup fakta lain yang memang tak boleh ditutup-tutupi.
Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat (AS). Indonesia adalah negara dengan kebebasan pers yang luar biasa terbuka bahkan mengalahkan dedengkotnya sendiri yakni Amerika Serikat, kecuali tentu saja dalam hal tidak boleh menerbitkan dan menyiarkan pornografi dan porno aksi. Mayoritas Rakyat Indonesia dengan demikian sudah menjadi masyarakat informasional, setidaknya secara pasif , tetapi belum tentu menjadi masyarakat yang terbuka terhadap semua ide atau pemikiran yang berkembang.
Civitas academica ITB yang merupakan bagian dari masyarakat informasional, tentu berada pada posisi yang lebih aktif dan lebih terbuka terhadap berbagai ide dan pemikiran yang berkembang pada arus globalisasi dunia ini. Namun ITB sebagai sebuah institusi sains teknologi dan seni, ternyata belum siap bahkan terkaget-kaget manakala harus menerima kenyataan gelombang besar berbagai berita pahit ada civitas academica ITB yang melakukan tindakan menyimpang yang mencederai harga diri ITB dan civitas academicanya.
Akar persoalannya menurut penulis karena ITB sebagai institusi memang tak memiliki strategi “Public Relations” (“PR”) yang sistematis bahkan terkesan kurang memandang sangat penting dan strategis soal “PR” ini dalam menaikkan nilai tambah ITB pada peta Indonesia dan dunia. Bahwa memang betul ITB selalu memiliki Wakil Rektor Bidang Komunikasi dan Alumni pada struktur organisasinya pada berbagai Rektor yang memimpin ITB. Tetapi ini lebih sebagai “tempelan” dari pada sebagai sebuah struktur yang sangat strategis dalam organisasi ITB dan secara fungsional didesain untuk mengangkat nilai tambah ITB. ITB tak cukup hanya menempatkan seorang Wakil Rektor ITB (yang nota bene masih menangani tugas sehari-hari sebagai Guru Besar yang melakukan riset, mengajar dan membimbing riset para mahasiswa Pasca Sarjana, bahkan masih mengajar mahasiswa S-1) yang menangani “PR” ini. Tetapi secara organisasi, ITB harus memiliki suatu tim “PR” tangguh yang direkrut melalui undangan terbuka iklan media massa dari kalangan profesional komunikasi massa yang diharapkan mampu memahami karakter ITB baik kekuatan dan kelemahannya; yang hari demi hari bersikap aktif mendesain ke-“PR”-an ITB untuk diinformasikan ke luar dan selalu sigap menangani suatu isyu negatif secara cepat dan menuntaskannya.
“PR”Juga Menjadi Tanggungjawab Alumni ITB
Ketika menjadi panelis Pemilihan Rektor ITB mewakili unsur alumni ITB, penulis sangat “gregeteun” dengan presentasi salah seorang calon Rektor ITB. Dia aneh lebih mengangkat keberhasilan UI menjadi ranking 201 dan UGM ranking 250 dan mengekspose ranking 351 yang diraih ITB. Dari segi “PR” ITB ini adalah suatu tindakan sangat bodoh, sangat tidak taktis karena dia berbicara tentang kelemahan ITB pada suatu forum terbuka yang banyak diliput oleh media cetak dan elektronik dan juga masyarakat luas.
Seorang ahli “PR” yang profesional (seandainya direkrut oleh ITB), dia pasti akan mengangkat ITB nomor 80 di dunia (dari tahun sebelumnya yang nomor 90) untuk “Technology Area”, sebuah bidang yang paling prestisius dan menjadi favorit mahasiswa. ITB dengan demikian menjadi satu-satunya PTN Indonesia yang masuk 100 Besar Dunia. Sedangkan UI hanya terduduk lesu di ranking 198 dan UGM terpojok di sudut 233. Seorang ahli “PR” profesional kemudian akan mengangkat lagi bahwa ITB meraih ranking 153 untuk “Natural Sciences Area” menewaskan UGM di ranking 198 dan memojokkan UI terduduk lesu di ranking 242. Bahkan untuk “Life Sciences & Biomedicine Area”, ITB yang tak memiliki Fakultas Kedokteran pun (hanya Sekolah Farmasi dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) masih mendapat ranking lumayan di urutan 264 meski tentu saja kalah sama UGM di ranking 103, UI ranking 126 dan Unair ranking 224 karena ketiganya memang memiliki Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi bahkan Fakultas Psikologi. Ini adalah sebuah ilustrasi saja dan BUKAN PROPAGANDA betapa “PR ITB” bisa menjungkir balikkan suatu citra yang kurang nyaman menjadi citra yang lebih baik, atau paling tidak masyarakat akan lebih memahaminya.
Para ahli “PR” UI dan UGM benar-benar memanfaatkan ranking UI dan UGM tahun 2009 versi The Times Higher Education Supplement-QS World University Ranking (UK) sebagai “PR” yang sangat ampuh untuk menaikkan kredibilitas kampus mereka . Kepada media massa, bahkan tim “PR” UI dan UGM TERANG-TERANGAN MENOHOK ITB sebagai satu-satunya PTN yang menurun rankingnya dari semula 315 menjadi 351. Sedangkan UI ranking 201 dari sebelumnya 287 (untuk overall score) dan UGM ranking 250 dari sebelumnya 316. Tim “PR” UI dan UGM by design tak akan pernah berbicara ranking berdasarkan apple to apple karena jelas tindakan bodoh dari segi “PR”, kontra produktif untuk pencitraan UI dan UGM. Contoh yang lain; bagaimana begitu “jeli”-nya Rektor UI memanfaatkan “fakta sejarah” seorang bule asli Belanda yang bernama Christian EIJKMAN Pemenang Hadiah Nobel tahun 1926 ke dalam jajaran alumni UI. Alasannya menurut Rektor UI, walau bagaimana pun Eijkman adalah pernah menjadi mahasiswa dan lulus dari Stovia (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda), di jaman penjajahan Belanda dulu. Inilah yang akhirnya mampu mengatrol ranking UI karena merupakan kampus ke enam di Asia setelah Jepang, India, Pakistan, Cina dan Iran yang alumninya memiliki Pemenang Hadiah Nobel.
Kok ITB adem ayem saja? Padahal dari segi “PR” ini kesempatan untuk merilis keberhasilan ITB nomor 80 di dunia untuk bidang “Technology Area” dengan dana riset hanya US$ 3,8 juta/tahun; tetapi mampu mengalahkan banyak universitas papan atas Amerika Serikat seperti University of Chicago, University of Wisconsin at Urbana Champaign, Northwestern University, University of Southern California, Noth Carolina University, University of California at Davis, University of California at Irvine, Rice University, Brown University, University of Washington, University of Pennsylvania, Pennsylvania State University, Duke University, Boston University dan banyak lagi, yang memiliki dana riset ratusan juta dollar.
Bagaimana dengan kiprah alumni ITB yang berprestasi di dunia? “PR ITB” akan semakin dimudahkan dengan fakta begitu banyak alumni ITB yang jumlahnya ribuan menjadi diaspora dan memiliki prestasi kelas dunia antara lain Herry Sutanto (Microsoft Inc.,, USA), Khoirul Anwar (JAIST, Japan), Anak Agung Julius (Renselaer Polytechnic Institute, USA), Stephen Prajna (California Institute of Technology, USA), Dina Shona Laila (Imperial College London, UK), Bayu Jayawardhana (University of Groningen, Belanda), Hendra Nurdin (ANU, Australia), Henricus Kusbiantoro (LANDOR Associates, USA), Chris Lie (USA), Bambang Parmanto (University of Pittsburg, USA), Hansye (Michigan, USA), Satria Zulkarnaen (Tohoku University, Japan) disamping tentu saja alumni ITB yang menjadi dosen ITB antara lain Sri Widiyantoro, I Gede Wenten, Benyamin Soenarko, Suwono, Djoko T. Iskandar, Wilson H. Wenas, Halim M, Noer AS, T. Gusdinar, Arismunandar, Hasanuddin ZA, Bambang Riyanto, Pekik Dahono,Trio Adiono, Adi Indrayanto. Belum alumni ITB yang berkiprah sebagai wirausaha antara lain Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Ciputra, TP Rachmat, Bambang Subianto.
Dan jangan dilupakan, karena ITB mendapatkan masukan mahasiswa-mahasiswa baru terbaik dari tahun ke tahun sepanjang sejarah seleksi masuk PTN di Indonesia, yang juga diakui oleh dunia internasional sebagai Selektivitas Mahasiswa terketat dan terbaik di Asia Pasifik versi majalah “AsiaWeek” tahun 2000 (Cesar Bacani, Time of Ferment, Hong Kong, June 30, 2000). Maka hasilnya pun sudah dipetik sebelum mereka lulus seperti terbukti mahasiswa ITB memenangi berturut-turut kompetisi kelas dunia antara lain Imagine Cup (Microsoft Inc.,) untuk tahun 2008 (Tim Antarmuka) dan tahun 2009 (Tim Big Bang); L’Oreal, Perancis tahun 2008 dan 2009; the XML Challenge Superstar IBM; LSI Design Contest 2008 dan 2009 dari Japan Society of Information and Communication.
Belajarlah “PR” kepada UI, UGM dan Unpad
ITB memang harus belajar banyak soal “PR” ini kepada UI dan UGM dan juga tetangga terdekatnya Universitas Padjadjaran (Unpad). Pada forum “Temu Calon Rektor ITB dengan Masyarakat” itu, penulis ungkapkan kekecewaan yang sangat mendalam; bagaimana ITB yang nota bene menjadi perintis peluncuran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Hotel Hilton Jakarta pada tahun 2001 ternyata di website: www.itb.ac.id tak pernah meng-update pencapaian HAKI-nya yang telah melampaui 100 buah paten, terdiri dari 5 paten telah berhasil dikomersialisasi, 30 paten siap lisensi dan ini belum termasuk puluhan hak cipta setelah 8 tahun yang lalu!!!.
Lebih kaget lagi, setelah penulis membaca data SCOPUS yang menjadi acuan tentang data jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional, jumlah web dan jumlah paten. Tanya kenapa? Data Paten ITB ternyata tertulis di Scopus sebagai 0 (diulang: nol !!!). Sedangkan UI yang terus menerus memperbarui content web-nya mencatatkan paten sebanyak 22, UGM 5 serta LIPI 2 paten. Di Scopus, ITB memang tercatat sebanyak 1.200 publikasi ilmiah di jurnal internasional, terbanyak di Indonesia, UI hanya 1.186, UGM 742, LIPI 527 dan IPB 518. Begitu pula ITB paling banyak memiliki web yakni 10 dibanding UI 3 web, UGM 2 web dan LIPI 2 web.
Sayang sekali dong, pencapaian ITB yang begitu bagus soal HAKI dan publikasi ilmiah di jurnal kelas dunia ternyata oleh pihak ITB sendiri tidak dirawat secara sepatutnya. “Cepat benahi, jangan-jangan diambil Malaysia”, kata seorang alumnus FK UI yang dokter sangat senior di jaman Menteri Kesehatan RI Soewardjono Suryaningrat, kepada penulis sambil ketawa. Bagaimana ada investor kelas dunia yang mau membeli hasil invensi ITB kalau mengakses ke website ITB saja disuguhi data yang super kadaluarsa. Apalagi kalau tim Scopus atau tim pemeringkat universitas dunia The Time HE QS (UK) mau masuk ke website ITB, mereka akan bilang “ITB is very very KACIAN BANGET”. Ya ITB, sama saja tidak menghargai pencapaian sangat susah payah para dosen penelitinya yang merupakan kekuatan utama dari ITB dalam arti sesungguhnya disamping kehebatan talenta para mahasiswanya.
Penulis ungkapkan pula bagaimana ITB tak memiliki konsep dalam mengembangkan mahasiswa-mahasiswa yang bertalenta sangat baik ini menjadi lulusan-lulusan ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi, berjiwa nasionalis, bermental tangguh dalam mengarungi perjalanannya setelah lulus dari ITB. Kenapa? Karena ITB tetap menganggap bahwa mengembangkan karakter mahasiswa adalah sebuah “cost center”, sebuah “wasting time”, buang-buang waktu saja dan tidak menganggapnya sebagai “human investment” yang memang “long term” sifatnya. Tak mengherankan bila hasilnya sekarang sudah menggejala, bagaimana mahasiswa ITB banyak yang menjadi pelaku kriminal menjadi joki seleksi masuk PTN; banyak lulusan dan dosen narsisus yang mengidap gejala penyakit yang berbau meta fisika tetapi tak mampu berbuat apa-apa bagi lingkungannya dan perilaku buruk lainnya seperti yang paling hot kasus plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB.
Tetapi kalau ITB berhasil mengubah “mind-set” untuk bersedia mengembangkan mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan, maka insya Allah pada puluhan tahun mendatang akan terlahir manusia-manusia ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi dan berhasil pada bidangnya masing-masing berkelas dunia. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Genuine Entrepreneur”, yang bukan saja hebat dalam skala usahanya tetapi yang terpenting menjalankan bisnisnya dengan cara-cara yang bermartabat. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Stateman” yang berjiwa negarawan. Akan banyak dosen peneliti ITB yang menjadi “World Class Researcher” yang akan mengubah dunia menikmati peradabannya yang damai dengan berbasis ilmu-teknologi.
Http: www.cardiyanhis.blogspot.com
Http: www.ia-itb.blogspot.com
Kamis, 15 April 2010
ITB Berkabung, Mawas Diri dan Bangkitlah!!!
Oleh Cardiyan HIS
ITB sedang berkabung berat. Almamater sedang menangis sedih, bahkan tersedu-sedu. Sudah sepantasnya bendera setengah tiang dikerek di pintu gerbang kampus Ganesha. Mengapa? Karena hanya ulah plagiarisme salah seorang alumnus S-2 dan S-3 Teknik Elektro ITB, Mochamad Zuliansyah, telah mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang sepanjang 90 tahun telah menjadi kebajikan umum di ITB.
Bagaimana tidak terpukul harga diri civitas academica ITB, karena untuk bisa bergabung menjadi “ITB Club” harus lolos seleksi masuk ITB yang sangat-sangat ketat sepanjang sejarah seleksi masuk PTN di Indonesia, bahkan menjadi Selektivitas Mahasiswa yang terketat dan terbaik se Asia Pasifik versi AsiaWeek (Cesar Bacani, “Time of Ferment”, Hong Kong, June 30, 2000). Ujian seleksi masuk ITB yang jujur menjadi suatu lembaga yang tak tersentuhkan, yang “sakral”. Plus ratusan ujian otak dan mental yang mengiringinya kemudian sepanjang kuliah di ITB merupakan kebanggaan yang tak bisa dipertukarkan dengan uang berapa pun nilainya.
Para alumni S-1 Teknik Elektro ITB yang paling terpukul harga dirinya mungkin masih sedikit “terhibur” bahwa MZ, BUKAN alumnus S-1 Teknik Elektro ITB karena dia lulusan S-1 sebuah sekolah tinggi di daerah Bandung Selatan. Tetapi adalah fakta dia telah lulus S-2 bahkan S-3 Teknik Elektro ITB yang kini bernama Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB. Jadi para dosen S-2 dan S-3 ITB tidak bisa cuci tangan begitu saja terhadap siapa pun dan dari perguruan tinggi mana pun mahasiswa S-2 dan S-3 itu berasal.
Bahwa MZ melakukan plagiarismenya semasa masih menjadi mahasiswa S-3 STEI ITB tetap adalah fakta civitas academica ITB telah dicemari. Penulis “beruntung” yang pertama kali menerima email pribadi MZ yakni Kamis, 15 April 2010 jam 19.54 dan belakangan pada jam 20.41 ia juga mengirim ke mailist Ikatan Alumni ITB serta terakhir ke detik.com jam 21.54. MZ telah mengakui sepenuhnya atas tindakan plagiarisme atas karya orang lain yakni Siyka Zlatanova berjudul “On 3D Topological Relationships”, yang sudah dipublikasikan dalam 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, IEEE terbitan tahun 2000.
Ya, MZ telah mengakui dosanya. Yang terpenting kasus ini hendaknya menjadi yang pertama dan terakhir dalam perjalanan ITB. Seperti adagium terkenal Perancis; “Noblesse Oblige”, civitas academica ITB jangan hanya menikmati semua kebaikan saja, keuntungan saja, bahkan “teraihnya kekuasaan saja” atas nama besar ITB; tetapi juga harus siap dan berjiwa besar dalam memikul tanggungjawab sesulit apa pun terhadap rakyat Indonesia yang telah melahirkannya. Kita harus siap menerima cobaan seberat apa pun.
Civitas academica ITB harus melakukan mawas diri. Kita boleh bersedih atas musibah ini tetapi jangan terus-terusan larut pula dalam kesedihan. Dalam forum IEEE yang memang sangat prestisius masih banyak alumni muda (asli) S-1Teknik Elektro ITB yang menerbitkan karya-karya “Advanced Research” antara lain Khoirul Anwar (JAIST, Japan), Anak Agung Julius (Rensselaer Politechnic Institute, USA), Stephen Prajna (California Institute of Technology at Pasadena, CA, USA), Hendra Nurdin (ANU at Canberra, Australia), Dina Shona Laila (Imperial College London) dan tentu saja dari kalangan dosen muda Teknik Elektro ITB seperti Pekik Dahono.
Para dosen ITB yang sedikitnya 800 bergelar PhD dari berbagai “World Class Universities” dari seluruh populasi 1.025 dosen, sejak dini harus memiliki mindset dalam menangani mahasiswa adalah sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan hanya proses pengajaran saja. Memang ada Biaya Uang disini, begitu pula Biaya Waktu yang harus dikeluarkan oleh ITB dan para dosennya. Namun bila mindset ini diterapkan, saya yakin ITB secara mendasar, berjangka panjang dan strategis akan berhasil menaikkan nilai tambah atas masukan mahasiswa S-1 ITB yang telah sangat baik ini, menjadi lulusan yang secara akademis cemerlang juga memiliki jiwa dan karakter kuat dalam mengusung panji-panji kebenaran; memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi terhadap Bangsa Indonesia; memiliki kepekaan tinggi terhadap problema yang dirasakan Rakyat Indonesia yang telah melahirkannya.
Tetapi apakah ITB telah memiliki banyak dosen yang demikian? Profesor Djoko Soeharto yang khusus mengundang saya ke kantornya di Majelis Wali Amanah ITB ketika lagi ramai-ramainya proses pemilihan Rektor ITB, terus terang mengakui bahwa untuk menerapkan itu: “Kan harus tersedia dosen yang memiliki mindset itu”. Jadi kesimpulannya; ITB masih harus secara terus menerus mengupayakannya. Rektor ITB, Prof.DR. Akhmaloka sendiri kepada detik.com mengakui para dosen ITB hendaknya lebih care dalam membimbing para mahasiswanya; sehingga tidak akan pernah kejadian mahasiswa S-3 ITB melakukan plagiarisme.
Ya komitmen ini harus terus diupayakan dengan kesabaran tinggi, sehingga misalnya tidak akan pernah ada lagi dosen ITB yang tengah berkuasa petantang-petenteng dengan jabatannya “sangat keras” terhadap kegiatan mahasiswa telah ditinju oleh seorang “dosen gaul” yang membela mahasiswa. Saya sangat yakin upaya yang lain-lain meskipun penting tetapi hanya bersifat teknis.
Link yang bisa diakses:
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/215436/1339334/10/zuliansyah-akui-berbuat-curang
http://www.detiknews.com/read/2010/04/16/001841/1339353/10/itb-bentuk-tim-untuk-telusuri-disertasi-zuliansya
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/221028/1339340/10/zuliansyah-diblacklist-ieee-tiga-pembimbingnya-tidak
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/204042/1339319/10/plagiarisme-dilakukan-zuliansyah-saat-berstatus-mahasiswa-s3
http://ia-itb.blogspot.com
http://cardiyanhis.blogspot.com
ITB sedang berkabung berat. Almamater sedang menangis sedih, bahkan tersedu-sedu. Sudah sepantasnya bendera setengah tiang dikerek di pintu gerbang kampus Ganesha. Mengapa? Karena hanya ulah plagiarisme salah seorang alumnus S-2 dan S-3 Teknik Elektro ITB, Mochamad Zuliansyah, telah mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang sepanjang 90 tahun telah menjadi kebajikan umum di ITB.
Bagaimana tidak terpukul harga diri civitas academica ITB, karena untuk bisa bergabung menjadi “ITB Club” harus lolos seleksi masuk ITB yang sangat-sangat ketat sepanjang sejarah seleksi masuk PTN di Indonesia, bahkan menjadi Selektivitas Mahasiswa yang terketat dan terbaik se Asia Pasifik versi AsiaWeek (Cesar Bacani, “Time of Ferment”, Hong Kong, June 30, 2000). Ujian seleksi masuk ITB yang jujur menjadi suatu lembaga yang tak tersentuhkan, yang “sakral”. Plus ratusan ujian otak dan mental yang mengiringinya kemudian sepanjang kuliah di ITB merupakan kebanggaan yang tak bisa dipertukarkan dengan uang berapa pun nilainya.
Para alumni S-1 Teknik Elektro ITB yang paling terpukul harga dirinya mungkin masih sedikit “terhibur” bahwa MZ, BUKAN alumnus S-1 Teknik Elektro ITB karena dia lulusan S-1 sebuah sekolah tinggi di daerah Bandung Selatan. Tetapi adalah fakta dia telah lulus S-2 bahkan S-3 Teknik Elektro ITB yang kini bernama Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB. Jadi para dosen S-2 dan S-3 ITB tidak bisa cuci tangan begitu saja terhadap siapa pun dan dari perguruan tinggi mana pun mahasiswa S-2 dan S-3 itu berasal.
Bahwa MZ melakukan plagiarismenya semasa masih menjadi mahasiswa S-3 STEI ITB tetap adalah fakta civitas academica ITB telah dicemari. Penulis “beruntung” yang pertama kali menerima email pribadi MZ yakni Kamis, 15 April 2010 jam 19.54 dan belakangan pada jam 20.41 ia juga mengirim ke mailist Ikatan Alumni ITB serta terakhir ke detik.com jam 21.54. MZ telah mengakui sepenuhnya atas tindakan plagiarisme atas karya orang lain yakni Siyka Zlatanova berjudul “On 3D Topological Relationships”, yang sudah dipublikasikan dalam 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, IEEE terbitan tahun 2000.
Ya, MZ telah mengakui dosanya. Yang terpenting kasus ini hendaknya menjadi yang pertama dan terakhir dalam perjalanan ITB. Seperti adagium terkenal Perancis; “Noblesse Oblige”, civitas academica ITB jangan hanya menikmati semua kebaikan saja, keuntungan saja, bahkan “teraihnya kekuasaan saja” atas nama besar ITB; tetapi juga harus siap dan berjiwa besar dalam memikul tanggungjawab sesulit apa pun terhadap rakyat Indonesia yang telah melahirkannya. Kita harus siap menerima cobaan seberat apa pun.
Civitas academica ITB harus melakukan mawas diri. Kita boleh bersedih atas musibah ini tetapi jangan terus-terusan larut pula dalam kesedihan. Dalam forum IEEE yang memang sangat prestisius masih banyak alumni muda (asli) S-1Teknik Elektro ITB yang menerbitkan karya-karya “Advanced Research” antara lain Khoirul Anwar (JAIST, Japan), Anak Agung Julius (Rensselaer Politechnic Institute, USA), Stephen Prajna (California Institute of Technology at Pasadena, CA, USA), Hendra Nurdin (ANU at Canberra, Australia), Dina Shona Laila (Imperial College London) dan tentu saja dari kalangan dosen muda Teknik Elektro ITB seperti Pekik Dahono.
Para dosen ITB yang sedikitnya 800 bergelar PhD dari berbagai “World Class Universities” dari seluruh populasi 1.025 dosen, sejak dini harus memiliki mindset dalam menangani mahasiswa adalah sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan hanya proses pengajaran saja. Memang ada Biaya Uang disini, begitu pula Biaya Waktu yang harus dikeluarkan oleh ITB dan para dosennya. Namun bila mindset ini diterapkan, saya yakin ITB secara mendasar, berjangka panjang dan strategis akan berhasil menaikkan nilai tambah atas masukan mahasiswa S-1 ITB yang telah sangat baik ini, menjadi lulusan yang secara akademis cemerlang juga memiliki jiwa dan karakter kuat dalam mengusung panji-panji kebenaran; memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi terhadap Bangsa Indonesia; memiliki kepekaan tinggi terhadap problema yang dirasakan Rakyat Indonesia yang telah melahirkannya.
Tetapi apakah ITB telah memiliki banyak dosen yang demikian? Profesor Djoko Soeharto yang khusus mengundang saya ke kantornya di Majelis Wali Amanah ITB ketika lagi ramai-ramainya proses pemilihan Rektor ITB, terus terang mengakui bahwa untuk menerapkan itu: “Kan harus tersedia dosen yang memiliki mindset itu”. Jadi kesimpulannya; ITB masih harus secara terus menerus mengupayakannya. Rektor ITB, Prof.DR. Akhmaloka sendiri kepada detik.com mengakui para dosen ITB hendaknya lebih care dalam membimbing para mahasiswanya; sehingga tidak akan pernah kejadian mahasiswa S-3 ITB melakukan plagiarisme.
Ya komitmen ini harus terus diupayakan dengan kesabaran tinggi, sehingga misalnya tidak akan pernah ada lagi dosen ITB yang tengah berkuasa petantang-petenteng dengan jabatannya “sangat keras” terhadap kegiatan mahasiswa telah ditinju oleh seorang “dosen gaul” yang membela mahasiswa. Saya sangat yakin upaya yang lain-lain meskipun penting tetapi hanya bersifat teknis.
Link yang bisa diakses:
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/215436/1339334/10/zuliansyah-akui-berbuat-curang
http://www.detiknews.com/read/2010/04/16/001841/1339353/10/itb-bentuk-tim-untuk-telusuri-disertasi-zuliansya
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/221028/1339340/10/zuliansyah-diblacklist-ieee-tiga-pembimbingnya-tidak
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/204042/1339319/10/plagiarisme-dilakukan-zuliansyah-saat-berstatus-mahasiswa-s3
http://ia-itb.blogspot.com
http://cardiyanhis.blogspot.com
Jumat, 02 April 2010
Rakyat (Sepakbola) Keok: “Duet” SBY-Nurdin Halid Menang!
Rakyat (Sepakbola) Keok: “Duet” SBY-Nurdin Halid Menang!
Oleh Cardiyan HIS
Namun ini baru pertempuran kecil, perang sesungguhnya belum berakhir. DPR masih bisa melakukan Yudisial Review kepada Mahkamah Konstitusi tentang qorum sidang DPR untuk Hak Menyatakan Pendapat. Dan KONI bisa membekukan PSSI kalau satu bulan ke depan Nurdin Halid tetap bandel dengan Rekomendasi KSN.
Citra SBY melorot tajam gara-gara Hak Angket DPR atas kasus Bank Century. Skor akhir 5-3 dimenangi oleh kubu penentang SBY. Sementara di luar sidang DPR, foto-foto SBY diinjak-injak dan dibakar mahasiswa di banyak kota di Indonesia. Belum lagi ada seekor kerbau tambun di perutnya ditulisi “SBY” dibawa begitu lambannya oleh serombongan demonstran mengelilingi beberapa kali bundaran Hotel Indonesia.
SBY yang terkenal sangat peragu sehingga terkesan sangat sabar, kali ini marah besar terutama soal kerbau itu. Kerbau yang tambun dirasakan oleh SBY sebagai dilambangkan terhadap dirinya yang oleh sebagian masyarakat dikesankan sebagai berbadan besar gemuk yang lamban bekerja, lamban mengambil keputusan meskipun negara sudah di tepi jurang. Tetapi kemarahan SBY pelan-pelan redup seiring DPR reses. Dan politik pencitraan SBY kembali dimainkan. Tim Public Relations SBY boleh dipuji kali ini. Mereka jeli memanfaatkan momentum kemuakan rakyat yang mayoritas penggemar sepakbola terhadap Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI. SBY melemparkan ide perlu Kongres Sepakbola Nasional (KSN) untuk mereformasi prestasi sepakbola Indonesia. Tawaran simpatik dilemparkan ke PWI untuk menyiapkan KSN bersama berbagai lapisan masyarakat penggila sepakbola. Biaya sekitar Rp. 3 miliar, sepenuhnya akan disiapkan oleh Menteri Olahraga dan Pemuda Andi Malarangeng (AM).
Tawaran SBY langsung disambar PWI dan segudang media cetak dan elektronik termasuk Gerakan Sejuta Facebooker; para mantan pemain nasional; para supporter hampir semua klub . Targetnya Nurdin Halid harus digusur sebagai Ketua Umum PSSI. Berbagai berita dan ulasan diekspose besar-besaran bahwa Nurdin Halid adalah biang kerok kemerosotan prestasi sepakbola selama 7 tahun menjabat Ketua Umum PSSI. Nurdin Halid (NH) hanya berprestasi dalam mimpi termasuk mimpi menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022 yang akhirnya kandas.
Dan akhirnya kota Malang ditetapkan sebagai tuan rumah. Habis membuka KSN pada 30 Maret 2010 pagi hari, sore harinya SBY diangkat citranya setinggi langit. SBY didampingi AM antri membeli karcis di-closeup habis cameraman dan photographer. SBY patut dicontoh rakyat Indonesia karena dia adalah rakyat gila bola yang mau antri berdesakan demi selembar tiket menonton sepakbola, padahal dia Presiden RI. Dan manakala sebelum kick off dimulai, lagi-lagi SBY turun dari tribun VVIP ke lapangan meskipun hujan rintik-rintik karena mau menyalami para pemain Arema dan Persitara, padahal dia Presiden RI.
Dan setelah pertandingan Arema vs Persitara selesai dengan kemenangan Arema 2-0, arena sidang komisi organisasi KSN dilanjutkan. Rekan saya; Muhamad Kusnaeni, wartawan koran olahraga terbesar di Indonesia “Topskor” yang semula sudah siap membeberkan konsepnya mewakili blok perubahan urung mempresentasikannya. Terlalu banyak anak buah Nurdin Halid yang menghalanginya untuk bicara, belum begitu banyak “preman” yang berwajah angker pendukung NH berkeliaran di ruang dan di luar sidang yang selalu berteriak lantang kalau peserta sidang bersuara menyudutkan NH.
Maka sudah bisa ditebak: pada tanggal 31 Maret 2010 hari kedua sidang sekaligus hari terakhir KSN, kandungan rekomendasi KSN masuk angin. Semua rekomendasi terlalu normatif. Boro-boro merekomendasikan menurunkan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI. Bahkan dari segi substansi rekomendasi KSN ini sangat mundur yakni meminta agar kegiatan klub berkompetisi dapat dibiayai oleh Pemerintah melalui dana APBN dan atau APBD. Padahal Persib Bandung yang di kompetisi ISL tahun 2008-2009 dikucuri dana APBD Kodya Bandung sebesar Rp. 33 miliar, sekarang telah mampu mandiri karena Persib punya nilai jual tinggi sehingga banyak perusahaan antri untuk menjadi calon sponsor. Begitu pula Arema Malang yang lebih dulu mandiri bahkan siap mau go public, agar saham-sahamnya dapat dibeli oleh masyarakat luas.
Dan permainan diakhiri dengan kekalahan masyarakat sepakbola Indo nesia. Kemenangan politik citra diraih SBY-AM yang berhasil memanfaatkan momentum kuat masyarakat sepakbola membenci kepengurusan PSSI Nurdin Halid untuk mengadakan KSN. Sedangkan kemenangan terbesar dipegang oleh Nurdin Halid tentu saja karena masa jabatannya aman sampai 2011. Bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi Ketua Umum PSSI seumur hidup kalau timas PSSI menjuarai SEA Games 2011 yang akan diselenggarakan di Indonesia. Nurdin Halid yang sekarang status hukumnya sepenuhnya bebas dilawan, sedangkan ketika dia dua kali sedang menjalani hukuman di penjara Salemba, Jakarta saja berhasil menjungkir-balikkan semua kubu lawan antara lain dengan berhasil mengedit statuta FIFA soal status perbuatan kriminal pengurus PSSI!
Namun perang belum berakhir, ini hanya baru pertempuran kecil. SBY masih menghadapi kemungkinan DPR meminta Hak Menyatakan Pendapat. Terlebih suara untuk melakukan Yudisial Review terhadap qorum Sidang DPR akan segera diajukan oleh banyak anggota DPR ke Mahkamah Konsitusi (MK). Kalau hal ini diloloskan MK maka pintu pemakzulan Budiono (SBY) atas kasus Bank Century sangat terbuka kalau mengacu kepada kemenangan telak 5-3 (atau 315 suara anggota DPR penentang SBY).
Nurdin Halid hanya aman-aman saja bila PSSI mampu melakukan reformasi dan membawa timnas juara SEA Games 2011. Tetapi soal reformasi PSSI kita sangat pesimis sebab meskipun sekarang saja sudah ada pelanggaran substansial soal pengangkatan anggota Komite Esksekutif yang tidak sesuai ketentuan FIFA. Begitu juga ambisi timnas juara sepakbola SEA Games 2011 masih fifty-fifty. Kalau semua gagal; resep saya KONI sebagai induk semua cabang olahraga di Indonesia berwenang membekukan kepengurusan PSSI dan FIFA pun tak akan menganggapnya sebagai intervensi. Ayo Bu Rita Subowo (Ketua Umum KONI) jangan takut dengan Nurdin Halid. Para supporter Bobotoh, Bonek, Aremania, Jakmania, Panser dan rakyat sepakbola siap mendukung keputusan KONI.
Oleh Cardiyan HIS
Namun ini baru pertempuran kecil, perang sesungguhnya belum berakhir. DPR masih bisa melakukan Yudisial Review kepada Mahkamah Konstitusi tentang qorum sidang DPR untuk Hak Menyatakan Pendapat. Dan KONI bisa membekukan PSSI kalau satu bulan ke depan Nurdin Halid tetap bandel dengan Rekomendasi KSN.
Citra SBY melorot tajam gara-gara Hak Angket DPR atas kasus Bank Century. Skor akhir 5-3 dimenangi oleh kubu penentang SBY. Sementara di luar sidang DPR, foto-foto SBY diinjak-injak dan dibakar mahasiswa di banyak kota di Indonesia. Belum lagi ada seekor kerbau tambun di perutnya ditulisi “SBY” dibawa begitu lambannya oleh serombongan demonstran mengelilingi beberapa kali bundaran Hotel Indonesia.
SBY yang terkenal sangat peragu sehingga terkesan sangat sabar, kali ini marah besar terutama soal kerbau itu. Kerbau yang tambun dirasakan oleh SBY sebagai dilambangkan terhadap dirinya yang oleh sebagian masyarakat dikesankan sebagai berbadan besar gemuk yang lamban bekerja, lamban mengambil keputusan meskipun negara sudah di tepi jurang. Tetapi kemarahan SBY pelan-pelan redup seiring DPR reses. Dan politik pencitraan SBY kembali dimainkan. Tim Public Relations SBY boleh dipuji kali ini. Mereka jeli memanfaatkan momentum kemuakan rakyat yang mayoritas penggemar sepakbola terhadap Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI. SBY melemparkan ide perlu Kongres Sepakbola Nasional (KSN) untuk mereformasi prestasi sepakbola Indonesia. Tawaran simpatik dilemparkan ke PWI untuk menyiapkan KSN bersama berbagai lapisan masyarakat penggila sepakbola. Biaya sekitar Rp. 3 miliar, sepenuhnya akan disiapkan oleh Menteri Olahraga dan Pemuda Andi Malarangeng (AM).
Tawaran SBY langsung disambar PWI dan segudang media cetak dan elektronik termasuk Gerakan Sejuta Facebooker; para mantan pemain nasional; para supporter hampir semua klub . Targetnya Nurdin Halid harus digusur sebagai Ketua Umum PSSI. Berbagai berita dan ulasan diekspose besar-besaran bahwa Nurdin Halid adalah biang kerok kemerosotan prestasi sepakbola selama 7 tahun menjabat Ketua Umum PSSI. Nurdin Halid (NH) hanya berprestasi dalam mimpi termasuk mimpi menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022 yang akhirnya kandas.
Dan akhirnya kota Malang ditetapkan sebagai tuan rumah. Habis membuka KSN pada 30 Maret 2010 pagi hari, sore harinya SBY diangkat citranya setinggi langit. SBY didampingi AM antri membeli karcis di-closeup habis cameraman dan photographer. SBY patut dicontoh rakyat Indonesia karena dia adalah rakyat gila bola yang mau antri berdesakan demi selembar tiket menonton sepakbola, padahal dia Presiden RI. Dan manakala sebelum kick off dimulai, lagi-lagi SBY turun dari tribun VVIP ke lapangan meskipun hujan rintik-rintik karena mau menyalami para pemain Arema dan Persitara, padahal dia Presiden RI.
Dan setelah pertandingan Arema vs Persitara selesai dengan kemenangan Arema 2-0, arena sidang komisi organisasi KSN dilanjutkan. Rekan saya; Muhamad Kusnaeni, wartawan koran olahraga terbesar di Indonesia “Topskor” yang semula sudah siap membeberkan konsepnya mewakili blok perubahan urung mempresentasikannya. Terlalu banyak anak buah Nurdin Halid yang menghalanginya untuk bicara, belum begitu banyak “preman” yang berwajah angker pendukung NH berkeliaran di ruang dan di luar sidang yang selalu berteriak lantang kalau peserta sidang bersuara menyudutkan NH.
Maka sudah bisa ditebak: pada tanggal 31 Maret 2010 hari kedua sidang sekaligus hari terakhir KSN, kandungan rekomendasi KSN masuk angin. Semua rekomendasi terlalu normatif. Boro-boro merekomendasikan menurunkan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI. Bahkan dari segi substansi rekomendasi KSN ini sangat mundur yakni meminta agar kegiatan klub berkompetisi dapat dibiayai oleh Pemerintah melalui dana APBN dan atau APBD. Padahal Persib Bandung yang di kompetisi ISL tahun 2008-2009 dikucuri dana APBD Kodya Bandung sebesar Rp. 33 miliar, sekarang telah mampu mandiri karena Persib punya nilai jual tinggi sehingga banyak perusahaan antri untuk menjadi calon sponsor. Begitu pula Arema Malang yang lebih dulu mandiri bahkan siap mau go public, agar saham-sahamnya dapat dibeli oleh masyarakat luas.
Dan permainan diakhiri dengan kekalahan masyarakat sepakbola Indo nesia. Kemenangan politik citra diraih SBY-AM yang berhasil memanfaatkan momentum kuat masyarakat sepakbola membenci kepengurusan PSSI Nurdin Halid untuk mengadakan KSN. Sedangkan kemenangan terbesar dipegang oleh Nurdin Halid tentu saja karena masa jabatannya aman sampai 2011. Bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi Ketua Umum PSSI seumur hidup kalau timas PSSI menjuarai SEA Games 2011 yang akan diselenggarakan di Indonesia. Nurdin Halid yang sekarang status hukumnya sepenuhnya bebas dilawan, sedangkan ketika dia dua kali sedang menjalani hukuman di penjara Salemba, Jakarta saja berhasil menjungkir-balikkan semua kubu lawan antara lain dengan berhasil mengedit statuta FIFA soal status perbuatan kriminal pengurus PSSI!
Namun perang belum berakhir, ini hanya baru pertempuran kecil. SBY masih menghadapi kemungkinan DPR meminta Hak Menyatakan Pendapat. Terlebih suara untuk melakukan Yudisial Review terhadap qorum Sidang DPR akan segera diajukan oleh banyak anggota DPR ke Mahkamah Konsitusi (MK). Kalau hal ini diloloskan MK maka pintu pemakzulan Budiono (SBY) atas kasus Bank Century sangat terbuka kalau mengacu kepada kemenangan telak 5-3 (atau 315 suara anggota DPR penentang SBY).
Nurdin Halid hanya aman-aman saja bila PSSI mampu melakukan reformasi dan membawa timnas juara SEA Games 2011. Tetapi soal reformasi PSSI kita sangat pesimis sebab meskipun sekarang saja sudah ada pelanggaran substansial soal pengangkatan anggota Komite Esksekutif yang tidak sesuai ketentuan FIFA. Begitu juga ambisi timnas juara sepakbola SEA Games 2011 masih fifty-fifty. Kalau semua gagal; resep saya KONI sebagai induk semua cabang olahraga di Indonesia berwenang membekukan kepengurusan PSSI dan FIFA pun tak akan menganggapnya sebagai intervensi. Ayo Bu Rita Subowo (Ketua Umum KONI) jangan takut dengan Nurdin Halid. Para supporter Bobotoh, Bonek, Aremania, Jakmania, Panser dan rakyat sepakbola siap mendukung keputusan KONI.
Langganan:
Postingan (Atom)