Oleh Cardiyan HIS
Lomba band antar angkatan alumni ITB dan pesta seni lainnya adalah contoh bagaimana merelakskan Manusia (ITB) Indonesia. Budaya relaks perlu dihidupkan kembali setelah kita bekerja keras, berpikir keras, berjuang dalam kesabaran untuk mayoritas rakyat Indonesia yang justru malah semakin terpuruk dan terpinggirkan di pasca Reformasi ini.
Anak ITB “maen ben” euy! Sungguh menghebohkan. Karena diformat dalam bentuk “Lomba Band antar Angkatan Alumni ITB”. Dan hebatnya para pemusik kelas nasional bahkan internasional seperti Purwacaraka (TI 1979), Doni Suhendra, Hari Sungkari (gitaris), Fuad Zakaria (drummer, GD 1973), penyanyi Agnes Sitompul (MA1979) ikut dalam lomba dan tentunya tampil sangat memukau. Sungguh saya sangat menyesal tak menyaksikan teman-teman alumni unjuk kemampuan, karena pada hari Jum’at, 11 Maret 2011 yang sama, saya sendiri harus dengar pendapat di depan para anggota DPRD Katingan, Kalimantan Tengah, tentang pembangunan proyek PLTU Mulut Tambang 62 MW.
Dan kehebohan berlanjut khas anak ITB yakni pasca penentuan pemenang. Yang difavoritkan juara Alumni ITB Angkatan 1983 (juara 2) tetapi yang akhirnya juara Alumni ITB Angkatan 1984. Karena ada banyak kritik tentang penilaian juri, sang Dewan Juri melalui Amrie Noor (AR 1977) cukup sewot juga atas insinuasi salah seorang alumnus wanita ITB yang band angkatannya kalah. Sabar-sabar.
Ide dasar dan atau esensi lomba band antar angkatan alumni ITB adalah lebih ditekankan kepada partisipasi untuk menjalin keakraban antar alumni ITB ketimbang suatu komba dalam arti sebenarnya. Bahwa Alumni ITB Angkatan 1984 yang menjuarai ya Alhamdulillah, anggap saja sebagai bonus (seperangkat alat band lengkap lho!). Atau dalam kata-kata Eko Tjahjo P., Direktur Eksekutif Ikatan Alumni ITB, pemenangnya adalah semua partisipan, baik itu kontestan, panitia maupun dewan juri. Bukan basa-basi. Karena di tengah kesibukan sehari-hari, mereka masih bisa menyempatkan untuk mempersiapkan diri ini semua. Sehingga penyelenggaraan lomba menjadi sukses.
Saya sangat senang, alumni ITB menikmati relaks di pasca Jum’atan. Mengapa? Karena mayoritas dari mereka selama ini terlalu larut dalam kesibukan bahkan dalam suasana di bawah tekanan. Mereka terus terjebak dalam suasana rutinitas yang sangat menjemukan. Bahkan manakala mereka menikmati suasana rekreasi pun masih berpikir tentang sesuatu yang lebih serius. “Saya memang sering diundang untuk main tenis, yang meskipun penting juga tetapi harapan saya tentu lebih dari sekedar main tenis, yang sifatnya lebih untuk tujuan rekreatif”, ungkap Sarwono Kusumaatmadja (Sipil ITB 1964), mantan Menteri di kabinet rejim Soeharto dan Gus Dur, kepada penulis beberapa waktu silam. Sementara Rachmat Witoelar (Arsitektur ITB, 1964), mantan Menteri KLH di Kabinet Indonesia Bersatu I, menganggap undangan-undangan yang sifatnya rekreatif memang perlu. “Justru untuk merelakskan ketegangan alumni ITB dari kesibukan sehari-hari yang sering kali berada di bawah tekanan”.
Istilah Budaya Relaks pertama kali dipopulerkan oleh DR. Soedjoko, dari Seni Rupa ITB pada tahun 1974 adalah suatu budaya positif yakni relaks setelah melakukan kerja keras dan kerja otak sepanjang hari. Soedjoko menarik garis pengamatannya kepada budaya kerja keras pada manusia di negara-negara maju yang mengakhirinya di ruang-ruang relaks yang berkesenian dan panggung dinamis sportifitas olahraga. Intinya adalah adanya keseimbangan jiwa, adanya keseimbangan penggunaan otak kiri dan otak kanan, yang ujung-ujungnya akan menghasilkan produktifitas tinggi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah relaks nonton anak ITB “maen baen” dan sebagian pentonton dapat pula kaos “anak ben ITB 1976” sejak sore Jum’at; setelah relaks bersama keluarga di hari Sabtu dan Minggu yang panjang. Maka di hari Senin, kita mulai kerja kembali. “I like Monday”.
www.cardiyanhis.blogspot.com
http://id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar