Oleh Cardiyan HIS
Sejak lama kampus-kampus di Indonesia sudah bukan menjadi lembaga pendidikan lagi tetapi hanya lembaga ujian. Bahkan ditengarai ikut berperan juga sebagai pencetak koruptor dan atau diktator? Proses pendidikan karakter secara sistematis dan berkesinambungan adalah suatu keniscayaan. Tetapi kampus sering berkilah pendidikan karakter hanya buang-buang waktu dan duit.
Dipo Alam, Menteri Sekretaris Kabinet RI dilaporkan Media Group (“Metro TV” dan harian “Media Indonesia”) ke Bareskrim Mabes Polri. Karena waktu 3x24 jam yang diberikan “Metro TV” dan “Media Indonesia” kepada Dipo untuk meminta maaf tidak juga dipergunakan Ini sebagai buntut pernyataan Dipo Alam, agar memboikot 2 media elektronik (“Metro TV” dan “TV One”) dan satu media cetak harian “Media Indonesia”, yang dinilai selalu bersikap tendensius menjelek-jelekkan pemerintahan SBY. Dipo Alam, menurut pengacara Media Group DR. OC Kaligis, SH, telah melanggar UU 14/2008 tentang “Keterbukaan Informasi Publik” dan UU 40/1999 tentang “Pers” pasal 4 ayat 2.
Dalam pada itu, DR. Adnan Buyung Nasution, SH tak habis pikir. Seorang Dipo Alam yang dulu dikenal sebagai seorang aktivis Ketua Dewan Mahasiswa UI 1975-1976 ini berubah total menjadi seorang otoriter, seorang diktator. "Saya malu jadinya. Dipo Alam itu dulu seorang aktivis, saya ikut membela dia bersama, Hariman dan WS Rendra. Sebagai mantan aktivis kampus seharusnya dalam jiwanya terbentuk segala sikap anti-otoriter. Lha kok sekarang dia dengan jabatannya sebagai Menteri Sekretaris Kabinet menjadi sewenang-wenang," kata Buyung kepada sebuah statsiun televisi.
Fenomena Dipo Alam ini semakin menambah gugatan masyarakat bahwa para mantan aktivis kampus terkenal di Indonesia diragukan integritasnya untuk menjadi agen perubahan Indonesia yang semakin terpuruk. Gugatan masyarakat ini semakin mengemuka karena sebelumnya ada mantan aktivis kampus ITB yang dipenjara karena kasus suap di Komite Pengawasan dan Perlindungan Persaingan Usaha. Dan awal Februari 2011 ada mantan aktivis kampus ITB yang ditahan KPK atas suap cek pelawat pemenangan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Masyarakat pantas menggugat, alih-alih diharapkan menjadi agen perubahan yang kredibel, eh mereka malah menjadi diktator dan atau koruptor! Bahkan para mantan aktivis kampus ITB yang pernah dipenjara gara-gara melawan rejim Soeharto kepada penulis mengungkapkan: “Saya sangat muak dan tak akan pernah mau membesuk sesama rekan aktivis kampus kalau mereka dipenjara karena kasus korupsi!”.
Nah, kalau yang jelek-jelek terekspose dari para mantan aktivis kampus, maka almamater kampus dari anak durhaka itu ikut terseret-seret. Bahkan diduga kuat, ITB khususnya ikut pula berperan besar dalam keterpurukan negara Indonesia tercinta ini menjadi negara penuh skandal memalukan. Sehingga Krisis Moneter yang mengawalinya telah meningkat menjadi Krisis Multi Dimensi hingga sekarang ini? (Cukuplah Kampus Mencetak Garong, HU “Pikiran Rakyat”, 5 Maret 2006).
Barangkali penilaian itu memang terlalu ekstrim, karena dalam kenyataannya masih lebih banyak mantan aktivis kampus yang bermoral. Sehingga akibat berita yang “diplintir” wartawan “Pikiran Rakyat” -----atas makalah saya di acara seminar yang diselenggarakan oleh Kabinet Mahasiswa ITB di Aula Timur ITB pada 4 Maret 2006 itu------ saya sempat “dikeroyok” oleh dosen-dosen ITB sebagai penilaian yang sangat kejam.
Almamater memang tak bisa disalahkan terus menerus. Tetapi kampus harus terus menerus diingatkan agar merenungi kembali sebagai lembaga pendidikan dan bukan lembaga ujian. Sebagai lembaga pendidikan, sebagai lembaga penjaga pilar-pilar kebenaran, kampus harus memiliki visi kuat dalam menjalankan misi pendidikan mendidik mahasiswa yang berkarakter kuat disamping mengajar mahasiswa menjadi cerdas. Penekanan kepada bagaimana mendidik mahasiswa menjadi mahasiswa berkarakter kuat baru kemudian mahasiswa cerdas adalah sangat penting karena bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang sedikit memiliki pemimpin yang berkarakter kuat untuk membawa Indonesia lolos dari krisis multi dimensi ini. Sulit membayangkan Indonesia sebagai negara besar kalau kampus papan atas yang diharapkan sebagai pionir tak mampu mendidik para mahasiswanya dengan visi dan misi yang berkarakter kuat, penuh idealisme, berjiwa nasionalisme Indonesia disamping cerdas.
Untuk itu kampus juga harus memiliki para dosen yang berkarakter pendidik, berkarakter pelatih. Yang memiliki kesabaran dalam melakukan proses pendidikan kepada para mahasiswanya. Proses latihan yang sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya bagi para mahasiswa, jangan dipandang oleh para rektor dan jajarannya sebagai buang-buang waktu dan buang-buang duit. Tetapi ini semua adalah bagian dari bagaimana kampus papan atas yang memperoleh bahan baku lulusan SLA terbaik harus dapat mengimbanginya dengan memberikan nilai tambah tinggi menghasilkan sarjana yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi, penuh idealisme, penuh nasionalisme Indonesia disamping cerdas.
http://id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Numpang di-share ya Pak...:)
BalasHapusSalam kenal..
Yanes David, ITB 2007
Ijin bang, untuk dijadikan link referensi di tulisan
BalasHapusMigrasi para Politisi dan Pencuri
http://gerahan.itb90.com/2012/04/migrasi-para-politis-pencuri/