Rabu, 21 April 2010

Pendapat Kang Maman dan Bagaimana ITB soal Plagiarisme?

Oleh Cardiyan HIS

Untung ada Kang Maman. Si Akang yang nama lengkapnya adalah Prof.DR. Maman Abdurachman Djauhari memang sudah pensiun dari Matematika ITB tetapi pemikirannya tak terputus dari almamaternya meski sekarang sedang menjadi periset di manca negara. Sebagaimana diketahui Kang Maman ini pernah menjadi Ketua Majelis Guru Besar ITB periode 2007-2008. Kita beruntung telah membaca surat Kang Maman di mailist IA ITB (21 April 2010 jam 07:05 postingan seorang alumnus ITB Tsulusun ArRoyan) yang merupakan forward dari mailist “Tertutup Dosen ITB” berjudul “Plagiarism versus Marwah ITB”.

Selama berhari-hari dan belum berakhir hingga sekarang, para alumni ITB memang merasa sangat terpukul. Ulah plagiarisme Mochammad Zuliansyah (MZ) alumnus S-2 dan S-3 STEI ITB telah mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang sepanjang 90 tahun telah menjadi kebajikan umum di ITB. Nilai-nilai kejuangan, nilai kejujuran yang tak tersentuhkan yang “sakral” sejak seleksi masuk S-1 ITB dan selama proses menuntut ilmu di ITB yang tak bisa dipertukarkan dengan uang berapa pun nilainya, begitu mudahnya dicampakkan MZ.

“Majelis Guru Besar ITB sebagai penjaga nilai-nilai telah kecolongan,” tulis surat Kang Maman. Rektor ITB sampai dosen muda ITB hendaknya tidak defensif dan jangan membela orang. Harus rasional untuk tetap berintegritas akademik. Maknanya sungguh mendalam bahwa yang harus dibela adalah nilai-nilai BUKAN orang per orang. Kita semua sudah tahu bahwa tulisan termasuk tulisan plagiat adalah tanggungjawab semua pengarang. Penjelasan ITB sementara ini tentang siapa penulis utama dan bagaimana peran ketiga penulis lainnya sungguh sebagai alasan yang sangat sulit diterima. Oleh karena itu ungkap Kang Maman, ITB harus segera membuat NORMATIVE STATEMENT, sebelum masyarakat kampus internasional bahkan masyarakat luas memandang sebelah mata ITB karena tak memiliki lagi sikap tegas, tak memiliki integritas dalam menjunjung dan membela nilai-nilai kebenaran.

Kang Maman tak hanya mengungkapkan sikap tegasnya kepada ITB. Tetapi juga ia menyarankan dengan mengingatkan ITB agar para profesornya disuruh kembali ke laboratorium saja, tak usah urus yang macam-macam. Profesor itu harus dikelilingi para mahasiswa untuk memproduksi ilmu baru yang kemudian diterbitkan ke dalam jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan dari “international peers”. Bukankah profesor adalah sebuah “klub internasional”?

Saya sangat setuju dengan pendapat kang Maman ini karena senada dengan tulisan saya sebelumnya “Saatnya Rektor Menegur Profesor” (mailist IA-ITB, 16 Februari 2010) yang antara lain mengupas ternyata masih ada profesor di ITB yang menjelang pensiun tak memiliki tulisan yang dimuat di jurnal internasional kredibel selain disertasi doktornya saja atau juga “Menulis atau Karier di Kampus Habis?” (mailist IA-ITB, 23 Agustus 2009) yang antara lain mengupas nasib tragis para dosen peneliti di kampus Amerika Serikat yang alih profesi menjadi supir taksi, pencuci piring di restoran atau loper koran dll sementara nasib profesor di Indonesia aman-aman saja meskipun tak menulis satu pun paper di jurnal internasional bahkan “hebat” ada yang menjadi selebritas sebagai pengamat di media cetak maupun elektronik.

Arogansi Komunitas Mengancam ITB?

Tim Investigasi yang dibentuk oleh Rektor ITB memang sedang melakukan investigasi dengan waktu tugas selama satu bulan. Tetapi berbagai opini terus berkembang liar yang mengarah kepada bagaimana dengan ketiga pembimbing ITB. Karena pada banyak kasus pada hakekatnya penelitian yang dikerjakan mahasiswa adalah sebuah penelitian dosennya. Dalam kasus plagiarisme MZ pada tahun 2008 saat dia masih mahasiswa S3 atas paper DR. Siyka Zlatanova berjudul “On 3 D Topological Relationship” yang sudah dipublikasikan pada 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, IEEE 2000; ternyata para pembimbing “terpukau” dengan cara MZ berpresentasi dan lancar menjawab pertanyaan.

Menurut saya dan rekan-rekan profesi Geodesi dan Geomatika sebenarnya ada terungkap sisi lain telah terjadi “Pelanggaran Etika Akademik” pada para pembimbing yang tidak melibatkan profesi lain yang lebih berkompeten pada salah satu substansi penelitian. Coba kita lihat ketiga pembimbing MZ semua adalah dari disiplin Teknik Elektro. Mengapa tidak ada satu pun penguji atau setidaknya peer reviewer dari disiplin Ilmu Geodesi dan Geomatika kalau “tak boleh” salah satu menjadi co-promotor? Topik seperti itu merupakan makanan empuk sehari-hari para mahasiswa S-1 Geodesi dan Geomatika ITB.

Sepintas melihat judulnya saja, jelas paper DR. Siyka Zlatanova ini “sangat berbau Geodesi dan Geomatika”. Sisi demikian nama panggilan akrab dari Siyka Zlatanova ini adalah tak asing lagi di mata para alumni Geodesi ITB seperti DR.Ir. T. Lukman Azis, DR.Ir. Bobby Dipokusumo, DR. Ishak Hanafiah Ismullah, DR.Ir. Dudung Muhally Hakim, DR.Ir. Agus Suparman, DR.Ir. Elly Rasdiani, sampai ke dosen muda DR. Ir. Deni Suwardhi. Karena mereka adalah sama-sama alumni ITC at Enschede, the Netherland. Sisi kemudian memilih kariernya menjadi dosen di Department of Geodesy, TU Delft, Belanda.

Seorang teman saya, seorang dosen Geodesi dan Geomatika ITB bahkan telah mendapat kehormatan diundang oleh Sisi pada bulan April 2005 untuk berbicara di TU Delft tentang peranan Geodesi dan Geomatika dalam mitigasi bencana Tsunami Aceh Desember 2004. Bahkan DR.Ir. Deni Suwardhi (GD ITB 1988) masih intens berkomunikasi sebagai “sparring partner” dengan Sisi, sampai kemudian seluruh alumni ITC asal ITB terkaget-kaget setelah terbongkar kasus plagiarisme oleh MZ itu.

Nasi telah jadi bubur memang. Kasus plagiarisme telah merusak reputasi ITB yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Dan sangat sulit untuk memulihkannya kembali kecuali dengan perjuangan berat para civitas academica ITB untuk selalu terus berkarya pada bidangnya masing-masing; baik untuk menghasilkan riset orisinal berkualitas tinggi maupun berbagai ide dan pemikiran serta kiprah pengabdian yang berdampak besar bagi peradaban manusia. Kini saatnya Sidang Senat Akademik ITB harus mengambil sikap jernih, tegas dengan semangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang memandu peradaban, yang kemudian harus dijalankan oleh Rektor ITB dengan tegas pula.

Http: www.cardiyanhis.blogspot.com

Minggu, 18 April 2010

Mensiasati “Public Relations” ITB agar Kinclong

Oleh Cardiyan HIS


ITB terkaget-kaget. Kasus plagiarisme seorang mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB telah merusak citra ITB. Memang lebih sering berita buruk yang muncul ke media massa tentang ITB. Mulai dari gudang joki seleksi masuk PTN, meninggalnya untuk yang kedua kali mahasiswa baru, serta pabrik narsisus nomor 1. Padahal bila ITB pintar main “Public Relations” sudah sepatutnya mengangkat sisi lain keberhasilan banyak civitas academica ITB tanpa harus menutup fakta lain yang memang tak boleh ditutup-tutupi.


Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat (AS). Indonesia adalah negara dengan kebebasan pers yang luar biasa terbuka bahkan mengalahkan dedengkotnya sendiri yakni Amerika Serikat, kecuali tentu saja dalam hal tidak boleh menerbitkan dan menyiarkan pornografi dan porno aksi. Mayoritas Rakyat Indonesia dengan demikian sudah menjadi masyarakat informasional, setidaknya secara pasif , tetapi belum tentu menjadi masyarakat yang terbuka terhadap semua ide atau pemikiran yang berkembang.

Civitas academica ITB yang merupakan bagian dari masyarakat informasional, tentu berada pada posisi yang lebih aktif dan lebih terbuka terhadap berbagai ide dan pemikiran yang berkembang pada arus globalisasi dunia ini. Namun ITB sebagai sebuah institusi sains teknologi dan seni, ternyata belum siap bahkan terkaget-kaget manakala harus menerima kenyataan gelombang besar berbagai berita pahit ada civitas academica ITB yang melakukan tindakan menyimpang yang mencederai harga diri ITB dan civitas academicanya.

Akar persoalannya menurut penulis karena ITB sebagai institusi memang tak memiliki strategi “Public Relations” (“PR”) yang sistematis bahkan terkesan kurang memandang sangat penting dan strategis soal “PR” ini dalam menaikkan nilai tambah ITB pada peta Indonesia dan dunia. Bahwa memang betul ITB selalu memiliki Wakil Rektor Bidang Komunikasi dan Alumni pada struktur organisasinya pada berbagai Rektor yang memimpin ITB. Tetapi ini lebih sebagai “tempelan” dari pada sebagai sebuah struktur yang sangat strategis dalam organisasi ITB dan secara fungsional didesain untuk mengangkat nilai tambah ITB. ITB tak cukup hanya menempatkan seorang Wakil Rektor ITB (yang nota bene masih menangani tugas sehari-hari sebagai Guru Besar yang melakukan riset, mengajar dan membimbing riset para mahasiswa Pasca Sarjana, bahkan masih mengajar mahasiswa S-1) yang menangani “PR” ini. Tetapi secara organisasi, ITB harus memiliki suatu tim “PR” tangguh yang direkrut melalui undangan terbuka iklan media massa dari kalangan profesional komunikasi massa yang diharapkan mampu memahami karakter ITB baik kekuatan dan kelemahannya; yang hari demi hari bersikap aktif mendesain ke-“PR”-an ITB untuk diinformasikan ke luar dan selalu sigap menangani suatu isyu negatif secara cepat dan menuntaskannya.

“PR”Juga Menjadi Tanggungjawab Alumni ITB

Ketika menjadi panelis Pemilihan Rektor ITB mewakili unsur alumni ITB, penulis sangat “gregeteun” dengan presentasi salah seorang calon Rektor ITB. Dia aneh lebih mengangkat keberhasilan UI menjadi ranking 201 dan UGM ranking 250 dan mengekspose ranking 351 yang diraih ITB. Dari segi “PR” ITB ini adalah suatu tindakan sangat bodoh, sangat tidak taktis karena dia berbicara tentang kelemahan ITB pada suatu forum terbuka yang banyak diliput oleh media cetak dan elektronik dan juga masyarakat luas.

Seorang ahli “PR” yang profesional (seandainya direkrut oleh ITB), dia pasti akan mengangkat ITB nomor 80 di dunia (dari tahun sebelumnya yang nomor 90) untuk “Technology Area”, sebuah bidang yang paling prestisius dan menjadi favorit mahasiswa. ITB dengan demikian menjadi satu-satunya PTN Indonesia yang masuk 100 Besar Dunia. Sedangkan UI hanya terduduk lesu di ranking 198 dan UGM terpojok di sudut 233. Seorang ahli “PR” profesional kemudian akan mengangkat lagi bahwa ITB meraih ranking 153 untuk “Natural Sciences Area” menewaskan UGM di ranking 198 dan memojokkan UI terduduk lesu di ranking 242. Bahkan untuk “Life Sciences & Biomedicine Area”, ITB yang tak memiliki Fakultas Kedokteran pun (hanya Sekolah Farmasi dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) masih mendapat ranking lumayan di urutan 264 meski tentu saja kalah sama UGM di ranking 103, UI ranking 126 dan Unair ranking 224 karena ketiganya memang memiliki Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi bahkan Fakultas Psikologi. Ini adalah sebuah ilustrasi saja dan BUKAN PROPAGANDA betapa “PR ITB” bisa menjungkir balikkan suatu citra yang kurang nyaman menjadi citra yang lebih baik, atau paling tidak masyarakat akan lebih memahaminya.

Para ahli “PR” UI dan UGM benar-benar memanfaatkan ranking UI dan UGM tahun 2009 versi The Times Higher Education Supplement-QS World University Ranking (UK) sebagai “PR” yang sangat ampuh untuk menaikkan kredibilitas kampus mereka . Kepada media massa, bahkan tim “PR” UI dan UGM TERANG-TERANGAN MENOHOK ITB sebagai satu-satunya PTN yang menurun rankingnya dari semula 315 menjadi 351. Sedangkan UI ranking 201 dari sebelumnya 287 (untuk overall score) dan UGM ranking 250 dari sebelumnya 316. Tim “PR” UI dan UGM by design tak akan pernah berbicara ranking berdasarkan apple to apple karena jelas tindakan bodoh dari segi “PR”, kontra produktif untuk pencitraan UI dan UGM. Contoh yang lain; bagaimana begitu “jeli”-nya Rektor UI memanfaatkan “fakta sejarah” seorang bule asli Belanda yang bernama Christian EIJKMAN Pemenang Hadiah Nobel tahun 1926 ke dalam jajaran alumni UI. Alasannya menurut Rektor UI, walau bagaimana pun Eijkman adalah pernah menjadi mahasiswa dan lulus dari Stovia (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda), di jaman penjajahan Belanda dulu. Inilah yang akhirnya mampu mengatrol ranking UI karena merupakan kampus ke enam di Asia setelah Jepang, India, Pakistan, Cina dan Iran yang alumninya memiliki Pemenang Hadiah Nobel.

Kok ITB adem ayem saja? Padahal dari segi “PR” ini kesempatan untuk merilis keberhasilan ITB nomor 80 di dunia untuk bidang “Technology Area” dengan dana riset hanya US$ 3,8 juta/tahun; tetapi mampu mengalahkan banyak universitas papan atas Amerika Serikat seperti University of Chicago, University of Wisconsin at Urbana Champaign, Northwestern University, University of Southern California, Noth Carolina University, University of California at Davis, University of California at Irvine, Rice University, Brown University, University of Washington, University of Pennsylvania, Pennsylvania State University, Duke University, Boston University dan banyak lagi, yang memiliki dana riset ratusan juta dollar.

Bagaimana dengan kiprah alumni ITB yang berprestasi di dunia? “PR ITB” akan semakin dimudahkan dengan fakta begitu banyak alumni ITB yang jumlahnya ribuan menjadi diaspora dan memiliki prestasi kelas dunia antara lain Herry Sutanto (Microsoft Inc.,, USA), Khoirul Anwar (JAIST, Japan), Anak Agung Julius (Renselaer Polytechnic Institute, USA), Stephen Prajna (California Institute of Technology, USA), Dina Shona Laila (Imperial College London, UK), Bayu Jayawardhana (University of Groningen, Belanda), Hendra Nurdin (ANU, Australia), Henricus Kusbiantoro (LANDOR Associates, USA), Chris Lie (USA), Bambang Parmanto (University of Pittsburg, USA), Hansye (Michigan, USA), Satria Zulkarnaen (Tohoku University, Japan) disamping tentu saja alumni ITB yang menjadi dosen ITB antara lain Sri Widiyantoro, I Gede Wenten, Benyamin Soenarko, Suwono, Djoko T. Iskandar, Wilson H. Wenas, Halim M, Noer AS, T. Gusdinar, Arismunandar, Hasanuddin ZA, Bambang Riyanto, Pekik Dahono,Trio Adiono, Adi Indrayanto. Belum alumni ITB yang berkiprah sebagai wirausaha antara lain Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Ciputra, TP Rachmat, Bambang Subianto.

Dan jangan dilupakan, karena ITB mendapatkan masukan mahasiswa-mahasiswa baru terbaik dari tahun ke tahun sepanjang sejarah seleksi masuk PTN di Indonesia, yang juga diakui oleh dunia internasional sebagai Selektivitas Mahasiswa terketat dan terbaik di Asia Pasifik versi majalah “AsiaWeek” tahun 2000 (Cesar Bacani, Time of Ferment, Hong Kong, June 30, 2000). Maka hasilnya pun sudah dipetik sebelum mereka lulus seperti terbukti mahasiswa ITB memenangi berturut-turut kompetisi kelas dunia antara lain Imagine Cup (Microsoft Inc.,) untuk tahun 2008 (Tim Antarmuka) dan tahun 2009 (Tim Big Bang); L’Oreal, Perancis tahun 2008 dan 2009; the XML Challenge Superstar IBM; LSI Design Contest 2008 dan 2009 dari Japan Society of Information and Communication.

Belajarlah “PR” kepada UI, UGM dan Unpad

ITB memang harus belajar banyak soal “PR” ini kepada UI dan UGM dan juga tetangga terdekatnya Universitas Padjadjaran (Unpad). Pada forum “Temu Calon Rektor ITB dengan Masyarakat” itu, penulis ungkapkan kekecewaan yang sangat mendalam; bagaimana ITB yang nota bene menjadi perintis peluncuran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Hotel Hilton Jakarta pada tahun 2001 ternyata di website: www.itb.ac.id tak pernah meng-update pencapaian HAKI-nya yang telah melampaui 100 buah paten, terdiri dari 5 paten telah berhasil dikomersialisasi, 30 paten siap lisensi dan ini belum termasuk puluhan hak cipta setelah 8 tahun yang lalu!!!.

Lebih kaget lagi, setelah penulis membaca data SCOPUS yang menjadi acuan tentang data jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional, jumlah web dan jumlah paten. Tanya kenapa? Data Paten ITB ternyata tertulis di Scopus sebagai 0 (diulang: nol !!!). Sedangkan UI yang terus menerus memperbarui content web-nya mencatatkan paten sebanyak 22, UGM 5 serta LIPI 2 paten. Di Scopus, ITB memang tercatat sebanyak 1.200 publikasi ilmiah di jurnal internasional, terbanyak di Indonesia, UI hanya 1.186, UGM 742, LIPI 527 dan IPB 518. Begitu pula ITB paling banyak memiliki web yakni 10 dibanding UI 3 web, UGM 2 web dan LIPI 2 web.

Sayang sekali dong, pencapaian ITB yang begitu bagus soal HAKI dan publikasi ilmiah di jurnal kelas dunia ternyata oleh pihak ITB sendiri tidak dirawat secara sepatutnya. “Cepat benahi, jangan-jangan diambil Malaysia”, kata seorang alumnus FK UI yang dokter sangat senior di jaman Menteri Kesehatan RI Soewardjono Suryaningrat, kepada penulis sambil ketawa. Bagaimana ada investor kelas dunia yang mau membeli hasil invensi ITB kalau mengakses ke website ITB saja disuguhi data yang super kadaluarsa. Apalagi kalau tim Scopus atau tim pemeringkat universitas dunia The Time HE QS (UK) mau masuk ke website ITB, mereka akan bilang “ITB is very very KACIAN BANGET”. Ya ITB, sama saja tidak menghargai pencapaian sangat susah payah para dosen penelitinya yang merupakan kekuatan utama dari ITB dalam arti sesungguhnya disamping kehebatan talenta para mahasiswanya.

Penulis ungkapkan pula bagaimana ITB tak memiliki konsep dalam mengembangkan mahasiswa-mahasiswa yang bertalenta sangat baik ini menjadi lulusan-lulusan ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi, berjiwa nasionalis, bermental tangguh dalam mengarungi perjalanannya setelah lulus dari ITB. Kenapa? Karena ITB tetap menganggap bahwa mengembangkan karakter mahasiswa adalah sebuah “cost center”, sebuah “wasting time”, buang-buang waktu saja dan tidak menganggapnya sebagai “human investment” yang memang “long term” sifatnya. Tak mengherankan bila hasilnya sekarang sudah menggejala, bagaimana mahasiswa ITB banyak yang menjadi pelaku kriminal menjadi joki seleksi masuk PTN; banyak lulusan dan dosen narsisus yang mengidap gejala penyakit yang berbau meta fisika tetapi tak mampu berbuat apa-apa bagi lingkungannya dan perilaku buruk lainnya seperti yang paling hot kasus plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa S-3 Teknik Elektro ITB.

Tetapi kalau ITB berhasil mengubah “mind-set” untuk bersedia mengembangkan mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan, maka insya Allah pada puluhan tahun mendatang akan terlahir manusia-manusia ITB yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi dan berhasil pada bidangnya masing-masing berkelas dunia. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Genuine Entrepreneur”, yang bukan saja hebat dalam skala usahanya tetapi yang terpenting menjalankan bisnisnya dengan cara-cara yang bermartabat. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Stateman” yang berjiwa negarawan. Akan banyak dosen peneliti ITB yang menjadi “World Class Researcher” yang akan mengubah dunia menikmati peradabannya yang damai dengan berbasis ilmu-teknologi.


Http: www.cardiyanhis.blogspot.com
Http: www.ia-itb.blogspot.com

Kamis, 15 April 2010

ITB Berkabung, Mawas Diri dan Bangkitlah!!!

Oleh Cardiyan HIS

ITB sedang berkabung berat. Almamater sedang menangis sedih, bahkan tersedu-sedu. Sudah sepantasnya bendera setengah tiang dikerek di pintu gerbang kampus Ganesha. Mengapa? Karena hanya ulah plagiarisme salah seorang alumnus S-2 dan S-3 Teknik Elektro ITB, Mochamad Zuliansyah, telah mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang sepanjang 90 tahun telah menjadi kebajikan umum di ITB.

Bagaimana tidak terpukul harga diri civitas academica ITB, karena untuk bisa bergabung menjadi “ITB Club” harus lolos seleksi masuk ITB yang sangat-sangat ketat sepanjang sejarah seleksi masuk PTN di Indonesia, bahkan menjadi Selektivitas Mahasiswa yang terketat dan terbaik se Asia Pasifik versi AsiaWeek (Cesar Bacani, “Time of Ferment”, Hong Kong, June 30, 2000). Ujian seleksi masuk ITB yang jujur menjadi suatu lembaga yang tak tersentuhkan, yang “sakral”. Plus ratusan ujian otak dan mental yang mengiringinya kemudian sepanjang kuliah di ITB merupakan kebanggaan yang tak bisa dipertukarkan dengan uang berapa pun nilainya.

Para alumni S-1 Teknik Elektro ITB yang paling terpukul harga dirinya mungkin masih sedikit “terhibur” bahwa MZ, BUKAN alumnus S-1 Teknik Elektro ITB karena dia lulusan S-1 sebuah sekolah tinggi di daerah Bandung Selatan. Tetapi adalah fakta dia telah lulus S-2 bahkan S-3 Teknik Elektro ITB yang kini bernama Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB. Jadi para dosen S-2 dan S-3 ITB tidak bisa cuci tangan begitu saja terhadap siapa pun dan dari perguruan tinggi mana pun mahasiswa S-2 dan S-3 itu berasal.

Bahwa MZ melakukan plagiarismenya semasa masih menjadi mahasiswa S-3 STEI ITB tetap adalah fakta civitas academica ITB telah dicemari. Penulis “beruntung” yang pertama kali menerima email pribadi MZ yakni Kamis, 15 April 2010 jam 19.54 dan belakangan pada jam 20.41 ia juga mengirim ke mailist Ikatan Alumni ITB serta terakhir ke detik.com jam 21.54. MZ telah mengakui sepenuhnya atas tindakan plagiarisme atas karya orang lain yakni Siyka Zlatanova berjudul “On 3D Topological Relationships”, yang sudah dipublikasikan dalam 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, IEEE terbitan tahun 2000.

Ya, MZ telah mengakui dosanya. Yang terpenting kasus ini hendaknya menjadi yang pertama dan terakhir dalam perjalanan ITB. Seperti adagium terkenal Perancis; “Noblesse Oblige”, civitas academica ITB jangan hanya menikmati semua kebaikan saja, keuntungan saja, bahkan “teraihnya kekuasaan saja” atas nama besar ITB; tetapi juga harus siap dan berjiwa besar dalam memikul tanggungjawab sesulit apa pun terhadap rakyat Indonesia yang telah melahirkannya. Kita harus siap menerima cobaan seberat apa pun.

Civitas academica ITB harus melakukan mawas diri. Kita boleh bersedih atas musibah ini tetapi jangan terus-terusan larut pula dalam kesedihan. Dalam forum IEEE yang memang sangat prestisius masih banyak alumni muda (asli) S-1Teknik Elektro ITB yang menerbitkan karya-karya “Advanced Research” antara lain Khoirul Anwar (JAIST, Japan), Anak Agung Julius (Rensselaer Politechnic Institute, USA), Stephen Prajna (California Institute of Technology at Pasadena, CA, USA), Hendra Nurdin (ANU at Canberra, Australia), Dina Shona Laila (Imperial College London) dan tentu saja dari kalangan dosen muda Teknik Elektro ITB seperti Pekik Dahono.

Para dosen ITB yang sedikitnya 800 bergelar PhD dari berbagai “World Class Universities” dari seluruh populasi 1.025 dosen, sejak dini harus memiliki mindset dalam menangani mahasiswa adalah sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan hanya proses pengajaran saja. Memang ada Biaya Uang disini, begitu pula Biaya Waktu yang harus dikeluarkan oleh ITB dan para dosennya. Namun bila mindset ini diterapkan, saya yakin ITB secara mendasar, berjangka panjang dan strategis akan berhasil menaikkan nilai tambah atas masukan mahasiswa S-1 ITB yang telah sangat baik ini, menjadi lulusan yang secara akademis cemerlang juga memiliki jiwa dan karakter kuat dalam mengusung panji-panji kebenaran; memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi terhadap Bangsa Indonesia; memiliki kepekaan tinggi terhadap problema yang dirasakan Rakyat Indonesia yang telah melahirkannya.

Tetapi apakah ITB telah memiliki banyak dosen yang demikian? Profesor Djoko Soeharto yang khusus mengundang saya ke kantornya di Majelis Wali Amanah ITB ketika lagi ramai-ramainya proses pemilihan Rektor ITB, terus terang mengakui bahwa untuk menerapkan itu: “Kan harus tersedia dosen yang memiliki mindset itu”. Jadi kesimpulannya; ITB masih harus secara terus menerus mengupayakannya. Rektor ITB, Prof.DR. Akhmaloka sendiri kepada detik.com mengakui para dosen ITB hendaknya lebih care dalam membimbing para mahasiswanya; sehingga tidak akan pernah kejadian mahasiswa S-3 ITB melakukan plagiarisme.

Ya komitmen ini harus terus diupayakan dengan kesabaran tinggi, sehingga misalnya tidak akan pernah ada lagi dosen ITB yang tengah berkuasa petantang-petenteng dengan jabatannya “sangat keras” terhadap kegiatan mahasiswa telah ditinju oleh seorang “dosen gaul” yang membela mahasiswa. Saya sangat yakin upaya yang lain-lain meskipun penting tetapi hanya bersifat teknis.


Link yang bisa diakses:
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/215436/1339334/10/zuliansyah-akui-berbuat-curang
http://www.detiknews.com/read/2010/04/16/001841/1339353/10/itb-bentuk-tim-untuk-telusuri-disertasi-zuliansya
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/221028/1339340/10/zuliansyah-diblacklist-ieee-tiga-pembimbingnya-tidak
http://www.detiknews.com/read/2010/04/15/204042/1339319/10/plagiarisme-dilakukan-zuliansyah-saat-berstatus-mahasiswa-s3
http://ia-itb.blogspot.com
http://cardiyanhis.blogspot.com

Jumat, 02 April 2010

Rakyat (Sepakbola) Keok: “Duet” SBY-Nurdin Halid Menang!

Rakyat (Sepakbola) Keok: “Duet” SBY-Nurdin Halid Menang!

Oleh Cardiyan HIS


Namun ini baru pertempuran kecil, perang sesungguhnya belum berakhir. DPR masih bisa melakukan Yudisial Review kepada Mahkamah Konstitusi tentang qorum sidang DPR untuk Hak Menyatakan Pendapat. Dan KONI bisa membekukan PSSI kalau satu bulan ke depan Nurdin Halid tetap bandel dengan Rekomendasi KSN.


Citra SBY melorot tajam gara-gara Hak Angket DPR atas kasus Bank Century. Skor akhir 5-3 dimenangi oleh kubu penentang SBY. Sementara di luar sidang DPR, foto-foto SBY diinjak-injak dan dibakar mahasiswa di banyak kota di Indonesia. Belum lagi ada seekor kerbau tambun di perutnya ditulisi “SBY” dibawa begitu lambannya oleh serombongan demonstran mengelilingi beberapa kali bundaran Hotel Indonesia.

SBY yang terkenal sangat peragu sehingga terkesan sangat sabar, kali ini marah besar terutama soal kerbau itu. Kerbau yang tambun dirasakan oleh SBY sebagai dilambangkan terhadap dirinya yang oleh sebagian masyarakat dikesankan sebagai berbadan besar gemuk yang lamban bekerja, lamban mengambil keputusan meskipun negara sudah di tepi jurang. Tetapi kemarahan SBY pelan-pelan redup seiring DPR reses. Dan politik pencitraan SBY kembali dimainkan. Tim Public Relations SBY boleh dipuji kali ini. Mereka jeli memanfaatkan momentum kemuakan rakyat yang mayoritas penggemar sepakbola terhadap Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI. SBY melemparkan ide perlu Kongres Sepakbola Nasional (KSN) untuk mereformasi prestasi sepakbola Indonesia. Tawaran simpatik dilemparkan ke PWI untuk menyiapkan KSN bersama berbagai lapisan masyarakat penggila sepakbola. Biaya sekitar Rp. 3 miliar, sepenuhnya akan disiapkan oleh Menteri Olahraga dan Pemuda Andi Malarangeng (AM).

Tawaran SBY langsung disambar PWI dan segudang media cetak dan elektronik termasuk Gerakan Sejuta Facebooker; para mantan pemain nasional; para supporter hampir semua klub . Targetnya Nurdin Halid harus digusur sebagai Ketua Umum PSSI. Berbagai berita dan ulasan diekspose besar-besaran bahwa Nurdin Halid adalah biang kerok kemerosotan prestasi sepakbola selama 7 tahun menjabat Ketua Umum PSSI. Nurdin Halid (NH) hanya berprestasi dalam mimpi termasuk mimpi menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022 yang akhirnya kandas.

Dan akhirnya kota Malang ditetapkan sebagai tuan rumah. Habis membuka KSN pada 30 Maret 2010 pagi hari, sore harinya SBY diangkat citranya setinggi langit. SBY didampingi AM antri membeli karcis di-closeup habis cameraman dan photographer. SBY patut dicontoh rakyat Indonesia karena dia adalah rakyat gila bola yang mau antri berdesakan demi selembar tiket menonton sepakbola, padahal dia Presiden RI. Dan manakala sebelum kick off dimulai, lagi-lagi SBY turun dari tribun VVIP ke lapangan meskipun hujan rintik-rintik karena mau menyalami para pemain Arema dan Persitara, padahal dia Presiden RI.

Dan setelah pertandingan Arema vs Persitara selesai dengan kemenangan Arema 2-0, arena sidang komisi organisasi KSN dilanjutkan. Rekan saya; Muhamad Kusnaeni, wartawan koran olahraga terbesar di Indonesia “Topskor” yang semula sudah siap membeberkan konsepnya mewakili blok perubahan urung mempresentasikannya. Terlalu banyak anak buah Nurdin Halid yang menghalanginya untuk bicara, belum begitu banyak “preman” yang berwajah angker pendukung NH berkeliaran di ruang dan di luar sidang yang selalu berteriak lantang kalau peserta sidang bersuara menyudutkan NH.
Maka sudah bisa ditebak: pada tanggal 31 Maret 2010 hari kedua sidang sekaligus hari terakhir KSN, kandungan rekomendasi KSN masuk angin. Semua rekomendasi terlalu normatif. Boro-boro merekomendasikan menurunkan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI. Bahkan dari segi substansi rekomendasi KSN ini sangat mundur yakni meminta agar kegiatan klub berkompetisi dapat dibiayai oleh Pemerintah melalui dana APBN dan atau APBD. Padahal Persib Bandung yang di kompetisi ISL tahun 2008-2009 dikucuri dana APBD Kodya Bandung sebesar Rp. 33 miliar, sekarang telah mampu mandiri karena Persib punya nilai jual tinggi sehingga banyak perusahaan antri untuk menjadi calon sponsor. Begitu pula Arema Malang yang lebih dulu mandiri bahkan siap mau go public, agar saham-sahamnya dapat dibeli oleh masyarakat luas.

Dan permainan diakhiri dengan kekalahan masyarakat sepakbola Indo nesia. Kemenangan politik citra diraih SBY-AM yang berhasil memanfaatkan momentum kuat masyarakat sepakbola membenci kepengurusan PSSI Nurdin Halid untuk mengadakan KSN. Sedangkan kemenangan terbesar dipegang oleh Nurdin Halid tentu saja karena masa jabatannya aman sampai 2011. Bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi Ketua Umum PSSI seumur hidup kalau timas PSSI menjuarai SEA Games 2011 yang akan diselenggarakan di Indonesia. Nurdin Halid yang sekarang status hukumnya sepenuhnya bebas dilawan, sedangkan ketika dia dua kali sedang menjalani hukuman di penjara Salemba, Jakarta saja berhasil menjungkir-balikkan semua kubu lawan antara lain dengan berhasil mengedit statuta FIFA soal status perbuatan kriminal pengurus PSSI!

Namun perang belum berakhir, ini hanya baru pertempuran kecil. SBY masih menghadapi kemungkinan DPR meminta Hak Menyatakan Pendapat. Terlebih suara untuk melakukan Yudisial Review terhadap qorum Sidang DPR akan segera diajukan oleh banyak anggota DPR ke Mahkamah Konsitusi (MK). Kalau hal ini diloloskan MK maka pintu pemakzulan Budiono (SBY) atas kasus Bank Century sangat terbuka kalau mengacu kepada kemenangan telak 5-3 (atau 315 suara anggota DPR penentang SBY).

Nurdin Halid hanya aman-aman saja bila PSSI mampu melakukan reformasi dan membawa timnas juara SEA Games 2011. Tetapi soal reformasi PSSI kita sangat pesimis sebab meskipun sekarang saja sudah ada pelanggaran substansial soal pengangkatan anggota Komite Esksekutif yang tidak sesuai ketentuan FIFA. Begitu juga ambisi timnas juara sepakbola SEA Games 2011 masih fifty-fifty. Kalau semua gagal; resep saya KONI sebagai induk semua cabang olahraga di Indonesia berwenang membekukan kepengurusan PSSI dan FIFA pun tak akan menganggapnya sebagai intervensi. Ayo Bu Rita Subowo (Ketua Umum KONI) jangan takut dengan Nurdin Halid. Para supporter Bobotoh, Bonek, Aremania, Jakmania, Panser dan rakyat sepakbola siap mendukung keputusan KONI.

Kamis, 01 April 2010

Insinyur dkk Cari Duit, Sri Mulyani “Buang Duit”

Oleh Cardiyan HIS


Kepala BP Migas Ir. R. Priyono pusing tujuh keliling. Mau libur panjang kok pusing mas Pri? Ya, Ir. Priyono, MSc (alumnus ITB angkatan masuk 1976) pusing karena terus-terusan ditilpun Menteri Keuangan Sri Mulyani soal lifting. Sri Mulyani, SE, PhD tentu lebih pusing lagi karena utang RI sudah melampaui Rp. 1.200 triliun dan banyak yang mau jatuh tempo lagi. Sri Mulyani, SE, PhD, tambah pusing karena “buang duit” Rp. 4,126 triliun /tahun untuk “Reformasi Birokrasi” yang dibangga-banggakannya ternyata begitu mudahnya jeblog dibobolin oleh ulah anak buahnya sendiri.

Berita berupa running text di sebuah statsiun TV kemarin ini seperti luput dari perhatian para insinyur dan sarjana lainnya yang tengah jungkir balik bekerja karena kalah dengan berita artis panas Jupe (Julia Perez) yang akan menjadi calon Bupati Pacitan, tempat kelahiran dan SBY dibesarkan. Padahal ini sangat mendasar bagi Pemerintah RI dan pertanggungjawabannya kepada rakyat Indonesia. Dan kalau mau dikorek-korek lebih jauh lagi secara emosional dan sentimen profesi bisa saja; memang terbukti ini merupakan perseturuan abadi antara insinyur yang cari duit jungkir balik di laut dan di hutan dan sarjana ekonomi keuangan yang buang duit seenak udel di kursi empuk.

Ir. R. Priyono, MSc, sebagai Kepala BP Migas memang bertanggungjawab; bagaimana harus terus menerus mengoptimalkan para insinyur dkk yang bekerja siang malam di lapangan minyak gas di offshore berbagai laut Indonesia maupun di hutan-hutan agar proses produksi migas berjalan aman agar lifting bisa meningkat. Tak hanya Ir. R. Priyono, para insinyur di tambang batubara dan mineral lainnya di hutan-hutan siang malam terus bekerja keras agar sumberdaya alam berhasil diangkat menjadi pemasukan negara melalui pajak dan royalti. Begitu pula insinyur pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan dkk bekerja keras di hutan produksi dan perkebunan dan laut agar mampu mencetak produksi maksimal supaya pajak yang masuk ke negara juga tinggi. Belum terhitung insinyur dan insunyur periset di dunia industri manufaktur.
Pajak dijadikan andalan untuk menjadi pemasukan negara, agar RI tidak bangkrut. Tetapi Menteri Keuangan RI Sri Mulyani tidak mengelolanya dengan baik. Dengan dalih untuk Reformasi Birokrasi dia dengan seenaknya menaikkan remunerasi pegawai di lingkungan kementriannya sembilan kali lebih banyak dari kementrian lain di Kabinet SBY. Ini bukan saja tidak efektif menghasilkan kinerja anak buahnya yang tetap saja korupsi gila-gilaan seperti terbukti kasus pegawai rendahan pajak Gayus Tambunan saja sudah luar biasa apalagi pejabat di atasnya. Tetapi tindakan Sri Mulyani ini juga bisa menimbulkan kecemburuan pada profesi yang lain yang nota bene berperan besar dalam menghasilkan duit dan mencegah duit tidak dirampok. Misalnya para insinyur dkk jelas berada di garis depan dalam menghasilkan duit. Tetapi tidak hanya insinyur tetapi juga ada para prajurit TNI dan Polri di daerah terpencil masih setia menjaga NKRI dan menangkap para penyelundup, yang kalau saja lolos bukan hanya bisa merugikan ekonomi negara tetapi juga kedaulatan NKRI dikangkangi. Belum aktivitas para aktivis LSM yang terus mengawasi perusahaan-perusahaan pengeruk SDA agar bekerja sesuai aturan.

Sebagai Menteri Keuangan RI Sri Mulyani juga terlalu getol mencari utang dengan bunga sangat tinggi. Contohnya untuk menerbitkan Obligasi RI dengan bunga tinggi 13% per tahun padahal perusahaan tambang batubara PT. Adaro Energy Tbk dengan mudah menerbitkan obligasi US$ 800 juta selama 10 tahun dengan suku bunga tetap 7,625%/tahun (HU “Kompas” 17 Oktober 2009). Tentu saja Sri Mulyani dipuji-puji jaringan neolib sebagai salah seorang “Menteri Keuangan Terbaik di Dunia” karena memberi ekstra bunga luar biasa. Dan jumlah utangan yang diraihnya pun selalu lebih besar dari realisasinya sehingga RI kena penalti tinggi rentenir asing. Belum amburadulnya realisasi belanja APBN yang selalu ditumpuk di akhir tahun. Ini jelas membuat semua pihak yang terlibat dan bekerja atas sumber APBN jungkir balik sebab sebenarnya mereka bekerja sejak awal tahun APBN; yang sudah menjadi rahasia umum sangat rawan terhadap terjadinya rekayasa pertanggungjawaban belanja negara. Belum cara dia begitu royalnya membelanjai kemewahan untuk kalangan pejabat tinggi negara.

Kita percaya 1.000.000.000.000% bahwa Sri Mulyani sebagai pribadi tidak pernah memperkaya diri. Tetapi dia harus bertanggungjawab bukan soal dia tidak korupsi. Tetapi dia harus bertanggungjawab atas amanah dia menjabat sebagai Menteri Keuangan RI kepada rakyat Indonesia termasuk kepada rakyat insinyur, para prajurit dan profesi lainnya dalam mengelola keuangan negara termasuk dalam “membuang duit”.