Minggu, 30 Agustus 2009

Menghindari Neraka, Orangutan pun Terpaksa Puasa dan Kelelawar Menjerit-jerit Kesakitan.

Oleh Cardiyan HIS


Seluruh provinsi di Kalimantan menjadi neraka bagi hewan-hewan kekayaan Indonesia yang masih tersisa. Sudah lebih dari 20.000 Orangutan terbunuh. Sementara nyawa Kelelawar dihargai cuma belasan ribu rupiah saja. Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit yang dimiliki mayoritas pengusaha Malaysia dituding LSM sebagai biang kerok akan punahnya hewan-hewan kekayaan hayati Indonesia.



Sejak menjelang Puasa Ramadhan, saya bak gaya pejabat Orde Baru; Menteri Penerangan Harmoko dan para pejabat Bupati di Orde Reformasi. Saya ditemani anak Teknik Fisika ITB 1983 dan dua staf saya di Kalimantan Tengah melakukan “Safari Ramadhan”. Namun saya mengkombinasikannya bak perilaku selebritis artis film, sinetron dan pemain band yakni putus-sambung, putus-sambung.


Berangkat tanggal 18 Agustus 2009 dari Jakarta, saya nginap semalam di Banjarmasin. Keesokan harinya saya lewat jalan darat melahap rute Banjarmasin--Tamiang Layang (ibukota kabupaten Barito Timur)--Buntok (ibukota kabupaten Barito Selatan) dan kemudian berhenti dua hari di Muara Teweh (ibu kota kabupaten Barito Utara). Muara Teweh kotanya terbilang ramai untuk ukuran ibu kota kabupaten di Kalimantan Tengah meskipun kalah dibanding kota lainnya di Kalimantan Tengah yakni Sampit, ibu kota kabupaten Kotawaringin Timur.


Setelah sempat berisitirahat di Muara Teweh, saya kembali fit. Kami melanjutkan perjalanan safari melelahkan ini ke kota Puruk Cahu, kota paling ujung di Kalimantan Tengah yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Timur. Dibanding dengan jalan-jalan di Kalimantan Tengah yang sebenarnya dari kemajuan bisnis belum semaju dibanding dengan Kalimantan Selatan, tetapi “aneh” bagian ruas jalan-jalan di Kalimantan Selatan menuju ke Kalimantan Tengah banyak yang rusak (apalagi kalau Anda pergi dari Banjarmasin ke arah Kalimantan Timur dengan rute melalui Batulicin, ibu kota kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Grogot terutama sejak Sungai Danau ruas-ruas jalannya sebagian besar hancur). Sedangkan mulai memasuki provinsi Kalimantan Tengah mayoritas jalan-jalannya relatif bagus. Semua diaspal hotmix seperti umumnya rute penghubung ke kota-kota besar di pulau Jawa. Bahwa masih ada beberapa ruas jalan belum mulus, tetapi memang sedang dalam pengerjaan untuk dimuluskan seperti terlihat dari alat-alat berat yang siap bekerja.


Puruk Cahu meskipun ibu kota kabupaten Murung Raya tetapi kotanya kecil saja. Masih kalah dengan kota kecamatan di pulau Jawa. Tetapi kabupaten Murung Raya ini sangat kaya sumberdaya alamnya terutama batubara dengan Gross Calorific Value sangat tinggi yakni rata-rata di atas 8.500 Kcal/kg dengan Standard Method ASTM. Tak mengherankan bila BHP perusahaan tambang raksasa asal Australia memiliki dua PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dengan luas areal ratusan ribu hektar dan sudah lama mengeksplorasinya disini. Namun entah alasan apa persisnya, mungkin karena resesi berat dunia atau ada problem teknis yang menyangkut handling di lapangan, yang jelas baru-baru ini mereka mengundurkan diri. Sehingga banyak asetnya dilelang dan mengundang banyak peminatnya pula terutama mengincar barang-barang seperti laptop dan komputer personal lainnya serta banyak kendaraan offroad. Saya hanya satu hari saja di Puruk Cahu. Kemudian kendaraan dipacu kencang menuju ke Buntok agar bisa istirahat sebelum memulai puasa Ramadhan pada 22 Agustus 2009.


Setelah sahur dan shalat Subuh di hotel, kami melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Kami harus menunggu cukup lama karena antrian panjang kendaraan di penyebarangan sungai Barito. Karena kemarau panjang, sungai mendangkal. Sebagian dasar sungai dijadikan tempat anak-anak bermain sepakbola dan sebagian pemuda menjadikannya tempat berolahraga bola volley. Sambil menunggu, saya lihat beberapa orang penduduk tengah mengawasi dua kurungan ketat yang terbuat dari bambu. Ternyata di dalamnya berisi Kelelawar!!! Kuku-kuku tajamnya nongol di sela-sela kurungan bambu. Wah ngeri juga kalau dicakar, apalagi gigi Kelelawar juga sangat tajam dan bila menggigit bisa kena infeksi.


Saya tanya ibu-ibu, berapa jumlahnya? “Ada delapan puluh ekor!,” jawabnya. Gila. Bagaimana cara mendapatkannya, bu? “Ya mudah saja, kita pakai jaring besar dan kelelawar akan terjaring,” tambahnya. Mau diapakan bu, saya tanya kemudian. “Kita lagi menunggu bandar dari Tamiang Layang datang. Mereka akan borong semua Kelelawar yang kami tangkap,” jawab seorang ibu sambil memegang sebuah tangkai pohon yang masih ada satu kaitannya. Berapa harganya bu? “Ah cuma tiga belas ribu rupiah saja per ekor. Lumayan untuk makan dan bayar iuran sekolah anak”, jawab si ibu enteng.


Saya berpikir bagaimana mengeluarkan satu per satu Kelelawar ini dari kurungan bambu agar tak mencakar dan menggigit Manusia, eh sang bandar yang ditunggu-tunggu pun datang. Saya perhatikan dia dengan mudah mengeluarkan hidup-hidup seekor demi seekor Kelelawar. Caranya dengan memegang salah satu sayapnya sementara tangkai pohon mengait lehernya dan langsung memindahkannya ke kurungan yang dibawanya. Begitulah satu persatu Kelelawar dipindahkan sang bandar disaksikan ibu-ibu penjual dan anak-anaknya juga kami yang masih menunggu giliran menyebrang sungai. Saya lihat ada seorang penduduk membeli dua ekor Kelelawar. Dan si ibu dengan enteng memegang sayapnya, kemudian memukul satu dua kali kepala Kelelawar yang menjerit-jerit sampai nyawanya putus. Saya iseng tanya untuk apa? “Ya untuk dimakan saja”, katanya enteng. Mungkin istrinya akan memasaknya di rumahnya seperti orang Manado memasaknya menjadi makanan favorit “Paniki” di restoran-restoran Manado di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.


Sampai di Palangkaraya barulah saya bisa baca koran. Ternyata koran-koran lokal memuat berita protes sangat keras dari kalangan LSM tentang nasib tragis si Jojo, nama Orangutan di Pontianak, Kalimantan Barat. Tak hanya ummat Islam diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan, rupanya Orangutan pun “diwajibkan” berpuasa pula. Namun ada bedanya dengan ummat Islam yang berpuasa, Orangutan jantan bernama Jojo, yang diserahkan oleh masyarakat Pontianak ke BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) Pontianak, Kalimantan Barat ini karena terpaksa harus berpuasa. Menurut pengamatan para tokoh LSM Perlindungan Orangutan Kalimantan Barat; tak satu pun staf BKSDA, yang merawat serta memberi makan dan minum si Jojo.


Kemungkinan besar si Jojo tidak mendapatkan makan dan minum sejak hari Jumat, 21 Agustus 2009 lalu. Ketika itu para staf BKSDA rupanya telah kembali ke rumah masing-masing untuk berakhir pekan menyambut bulan puasa Ramadhan yang akan dimulai pada hari Sabtu, 22 Agustus 2009. Tentu saja si Jojo sakit. Padahal si Jojo, yang sebelumnya dalam kondisi tetanus karena dirantai selama bertahun-tahun, nampak semakin parah. Tubuhnya lemah dan badannya demam.


"Kondisinya sangat lemah dan panas tinggi. Jika tidak segera mendapatkan perhatian serius, dikhawatirkan si Jojo akan mati dalam waktu dekat," kata Seto Hari Wibowo, salah seorang pengkampanye perlindungan Orangutan dari Centre for Orangutan Protection (COP) kepada para wartawan. Kemarin, kami mengirimkan makanan dan susu agar dia bisa bertahan hidup. Hari ini, dia sudah mulai bicara meskipun dengan suara yang lemah. Dokter hewan akan memeriksanya besok. Seto berharap si Jojo tidak senasib dengan empat Orangutan saudara-saudaranya yang dititipkan ke Taman Agro Pontianak yang telah tewas karena buruknya penanganan. Kondisi yang lebih buruk malah disampaikan terjadi di Taman Pancur Aji, Sanggau, Kalimantan Barat. Ternyata ada tiga Orangutan muda saat ini tengah dikurung dalam kandang kecil, tanpa akses ke air minum dan makanan.


Rekan saya sesama mailister di mailist Lingkungan, Hardi Baktiantoro, yang merupakan Director of the Centre for Orangutan Protection, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mengatakan kepada Naturealert.blogspot.com milik institusi konservasi di London, Inggris: "The palm oil industry must be one of the worst, maybe even the worst, environmentally damaging industries in the world. I'm both shocked and saddened to now learn that New Zealand and EU farmers import palm kernel from my country to feed to their cows, the farmers knowing as they do, this contributes to deforestation and killing of Orangutans I appeal to these farmers today to immediately stop importing palm kernel."


Sementara kami dua hari kemudian akan segera melanjutkan safari ke kabupaten Pulang Pisau dan kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, saudara Hardi Baktiantoro terus meradang. Indonesia adalah negeri yang kaya akan tumbuhan buah-buahan. Apakah tidak boleh ada sedikit saja sisa untuk Orangutan? Puasa hanya untuk orang sehat. “Kenapa Orangutan yang sekarat juga dipaksa puasa? Apakah ini yang diinginkan dari Orangutan Action Plan? Jutaan dollar dihabiskan oleh OCSP dan budak-budaknya. Kemana perginya
nurani?”, Baktiantoro mempertanyakan.

Rabu, 26 Agustus 2009

Pemerintah RI, Bagaimana Kalau Carrefour dan Sejenisnya 1 Hari Libur?

Oleh Cardiyan HIS


Sebagai uji coba di bulan puasa Ramadhan 1430 H ini misalnya dipilih satu hari saja libur yakni hari ke 22 puasa Sabtu 12 September 2009 atau setelah para karyawan swasta, PNS, TNI dan Polri mendapat gaji bulanan serta mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) yakni 19 September 2009. Agar mereka membelanjakan sebagian uangnya untuk para pengusaha kecil di pasar-pasar tradisional.




Seorang rekan sesama alumni ITB prihatin berat. “Dalam jangka tidak terlalu lama lagi, ratusan ribu pemilik warung kecil akan menjadi pengangguran”, dia seolah meramal dengan keprihatinan yang mendalam. Jutaan pedagang “Pasar Becek”, akan mengais-ngais rejeki di selokan dan menghela gerobak memungut barang bekas, kardus, dan gelas plastik. Mereka adalah orang Indonesia, rakyat Indonesia yang tersisih, yang terpinggirkan, yang termarjinalisasi karena kalah dalam persaingan, yang dibuka kancahnya justru oleh PEMERINTAH-nya sendiri.


Persis layaknya pertarungan WFC kelas bebas saja. Tidak ada lagi aturan main. Yang badannya besar, kuat, kelas berat, diadu langsung dengan mereka yang kelas bulu. Sepak terjang pelaku ekonomi seperti bertarung di ring tanpa aturan apa pun. Apa pun boleh dipukul, segala cara pun halal, licik, ganas, kejam, berlaku sah dan boleh. Wasit memang ada tetapi seperti tiada.


Sekarang memang tambah banyak orang Indonesia yang sudah pandai sekali. Apalagi para lulusan “World Class University” di negeri Paman Sam Amerika Serikat dan di Eropa sana yang bukan kebetulan bila mereka banyak bercokol di kursi pengambil kebijakan Pemerintahan Indonesia. Dengan mindset yang dimilikinya praktis mereka tak punya kendala lagi untuk mempraktekkan dan mengembangkan konsep ekonomi supra-liberal alias ekonomi hukum rimba dalam industri retail khususnya, dan industri secara umum. Bahkan “lebih Amerika dari Amerikanya sendiri. Atau lebih Eropa dari Eropanya sendiri”.


Jadi apa yang diharapkan lagi dari para orang pandai bila tak mampu mengkonversi kepandaiannya untuk kemajuan bangsanya, untuk kesejahteraan rakyatnya? Padahal puncak dari segala puncak kepandaiaan seseorang adalah bila ilmunya bermanfaat untuk masyarakat. Nah, harapan agaknya tinggal kepada Pemerintah untuk memiliki dan menerapkan kebijakan memihak pengusaha kecil, agar kemudian mereka tumbuh dan berkembang setapak demi setapak menjadi pengusaha menengah bahkan suatu ketika akan menjadi pengusaha besar. Mengapa Pemerintah? Waktu kuliah Ilmu Pajak dan Hukum Tata Negara di semester akhir di Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, di Bandung, dosen saya DR. Wiratni, SH., dari Universitas Padjadjaran, di Bandung, menjelaskan kepada para mahasiswa agar berbagai lapisan masyarakat merasakan keadilan disinilah diperlukan kekuasaan mengatur yang dimiliki Pemerintah. Tanpa kekuasaan mengatur, Pemerintah adalah Pemerintah yang tak bisa memerintah.


Bila Pemerintah sadar, atau tidak takut (takut sama siapa sebenarnya sih) ya kekuasaan mengatur itulah yang harus diterapkan dengan tegas demi sebuah kebijakan memihak pengusaha kecil. Bila ada aturan yang sudah terlanjur berjalan tetapi sangat merugikan kepentingan rakyat Indonesia, ya bisa direvisi melalui sidang di Parlemen. Gitu saja repot. Konkritnya untuk urusan industri retail dan industri umumnya, sepak terjang Carrefour, Hypermart, Giant dan sejenisnya perlu diatur kembali.
Untuk masa transisi saya punya usulan; bagaimana kalau Carrefour, Hypermart, Giant dan sejenisnya disuruh 1 (satu) hari libur dalam seminggu yakni setiap hari Sabtu. Ini agar para calon pembeli kalangan berduit membelanjakan duitnya ke pasar-pasar tradisional alias “Pasar Becek”, ke para pengusaha kecil. Sebagai uji coba di bulan puasa Ramadhan ini misalnya dipilih satu hari saja yakni hari ke 22 puasa atau Sabtu 12 September 2009 atau setelah para karyawan swasta, PNS, TNI dan Polri mendapat gaji bulanan serta mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) yakni 19 September 2009.


Untuk ke depan hal-hal yang strategis dalam industri retail dan industri pada umumnya kita atur secara lebih mendalam. Agar semua merasa diperlakukan oleh Pemerintah secara adil. Termasuk juga untuk menjewer manajemen pasar-pasar tradisional milik Pemda yang dikelola amburadul, sehingga premanisme dipelihara. “Pasar Becek” seperti citra yang melekat pada tempat usaha pengusaha kecil sebenarnya bisa tidak becek lagi kalau dikelola secara kreatif. Tampilan barang dagangan di kios-kios bisa dibikin cantik dengan bantuan para mahasiswa Arsitektur dan Seni Rupa dalam sebuah aksi amal masyarakat kampus untuk pengusaha kecil. Pedagang dengan letak kios-kios yang kurang strategis misalnya yang di belakang, agar tak kesepian karena kurang pengunjung bisa dibikin oleh para mahasiswa menjadi jauh lebih menarik. Para pengusaha kecil ini perlu diberdayakan juga kemampuannya dengan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh para mahasiswa ekonomi atau teknik manajemen industri dari berbagai Kabinet Mahasiswa di kampus-kampus Indonesia. Sehingga pada akhirnya akan semakin memancing minat para pembelanja datang. Kepada para pengusaha kecil yang suka pura-pura jujur padahal nakal, untuk tidak berbuat nakal lagi. Misalnya tindakan mengurangi timbangan; menjual daging yang tidak sehat bahkan mencampur dengan daging babi hasil buruan pemburu liar; menjual dendeng babi liar sebagai daging sapi; dan sebagainya adalah tindakan kriminal karena menipu dan merugikan konsumen.

Selasa, 25 Agustus 2009

Cari Duit di Indonesia, Menyumbang Sekolah Singapura. Aduh!

Oleh Cardiyan HIS


Perilaku sebagian konglomerat Indonesia memang sering menjengkelkan. Cari duit di Indonesia tetapi kalau membelanjakan uangnya malah di Singapura. Buktinya? Lippo Group dan Mayapada Group secara atraktif menyumbang sekolah Singapura. Ada apa sebenarnya?




Kalau soal koruptor atau para maling kelas kakap dari Indonesia lari ke Singapura itu mah biasa. Maklum saking sering terjadi. Padahal sebenarnya bisa disebut kejadian luar biasa karena korupsi adalah kejahatan luar biasa. Dan biasanya pula, mereka tak pernah berhasil dicokok polisi Indonesia, apalagi sampai diboyong kembali lagi ke Indonesia. Karena meskipun paspor mereka telah dicabut oleh Pemerintah RI, tokh Singapura tetap “belagu bego” tak mengusirnya. Contoh paling gres ya kasus konglomerat Joko Candra, karena gagal dieksekusi oleh Kejaksaan Agung. Joko Candra dan pencoleng-pencoleng uang milik rakyat Indonesia sebelumnya ini eh malah “dipelihara” terus oleh Singapura. Karena memang mereka punya duit simpanan hasil rampokan dari Indonesia kok, ya bagi pemerintah Singapura pun sangat “bermanfaat” tokh, untuk kemudian dikembang-biakkan oleh bank-bank Singapura. Dan boleh jadi duit rampokan ini sebagian dikucurkan sebagai pinjaman komersial kepada pengusaha-pengusaha Indonesia di Jakarta.Tragis!


Yang menjadi luar biasa adalah kelakuan lain konglomerat. Meskipun itu namanya perbuatan “mulia” memberikan sumbangan. Sudah tahu sangat banyak rakyat Indonesia kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena tak ada duit. Sehingga mereka sangat pantas dan layak untuk menerima bantuan bea-siswa untuk biaya pendidikan dari para warga negara Indonesia yang kebetulan lebih beruntung hidupnya. Eh, konglomerat seperti Stephen Riady, President of the Lippo Group of Companies, Indonesia, secara atraktif malah menyumbang National University of Singapore Business School, sebesar £6.7 juta atau $14 juta. Sejauh ini merupakan sumbangan terbesar pribadi dari pengusaha swasta luar Singapura untuk sekolah kebanggaan pemerintah Singapura ini bahkan dibanding dengan jumlah sumbangan pengusaha yang berasal dari pengusaha Singapura sendiri. Kemudian perilaku Stephen Riady ini dilanjutkan oleh koleganya sesama konglomerat Indonesia yakni Tahir, Chairman of Mayapada Group dengan menyumbang $1 juta untuk NUS Business School pula.


Meskipun kita tak bisa mengatur atau mencegah setiap pengusaha atau siapa pun untuk membelanjakan uang yang dimilikinya apalagi dengan “cap sumbangan pendidikan” ke mana dia mau menyumbangnya. Namun kedua pengusaha Indonesia ini sepertinya tidak memiliki kepekaan atas penderitaan nyata rakyat Indonesia dimana mereka selama ini tinggal menghirup udara oksigen bersih Indonesia, dan menerima sinar matahari gratis sepanjang tahun serta makan nasi “pulen” dengan lauk pauk lezat dan air bersih Indonesia. Padahal mereka menjadi besar karena mencari duit di Indonesia. Eh, malah menyumbangkan keuntungan yang diraihnya untuk sekolah Singapura. Aduh!


Ketiadaan sensitifitas ini sangat-sangat disesalkan. Coba untuk waktu-waktu mendatang Stephen Ryadi dan Tahir bila berniat tulus untuk menyumbang beasiswa hendaknya meniru mantan Presiden RI ketiga, Prof.DR.Ing. BJ Habibie. Melalui BJ Habibie Center, semua gaji yang diperoleh BJ Habibie selama puluhan tahun bekerja untuk Rakyat Indonesia dan sebagian keuntungan royalti atas banyak invensinya yang berkelas dunia diberikannya pula sepenuhnya bagi siswa dan mahasiswa cerdas miskin Indonesia untuk bisa melanjutkan sekolah.


Di tengah berbagai kontroversi tentang perilaku konglomerat berikut, tetapi mereka tak mengabaikan prinsip kepekaan dan kepantasan dengan menyumbang pendidikan untuk Indonesia di Indonesia. Sampoerna Group misalnya menggandeng ITB -----yang merupakan perguruan tinggi nomor 90 terbaik untuk bidang Teknologi di Dunia versi the TIME HE QS (UK) ----- untuk membangun dan mengembangkan MBA Sampoerna ITB agar berkelas dunia pula. Sampoerna Group membiayai penuh para mahasiswa cerdas miskin untuk menikmati kuliah dengan kualitas dunia. Atau Bakrie Group yang memberikan beasiswa penuh kepada para siswa cerdas miskin untuk sekolah gratis di Sekolah Bisnis Achmad Bakrie. Atau Tanoto Foundation yang memberikan beasiswa kepada banyak siswa dan mahasiswa cerdas miskin pada berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang berada di Indonesia, bukan untuk sekolah yang berada di Singapura.


Bahan-bahan antara lain dari:
http://www.bschool.nus.edu.sg/corpdev/bizleads/BIZ%20Leads%

http://www.thefinancialexpress-bd.com/2007/11/13/17021.html

Minggu, 23 Agustus 2009

Menulis atau Karier di Kampus Habis?

Oleh Cardiyan HIS


Bila para dosen apalagi profesor tak mampu berkarya yang salah satu indikator utamanya adalah karya penelitiannya dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia. Maka tak mengherankan tidak sedikit dari mereka dengan jiwa ksatria mundur dari kampus kelas dunia untuk alih profesi. Bahkan sampai ada para penyandang PhD yang menjadi supir taksi dan pencuci piring di restoran di Amerika Serikat. Bagaimana di Indonesia?



"Publish or perish". Demikian adagium yang sangat terkenal di kalangan para dosen peneliti di kampus berkelas dunia. Dan adagium ini diterapkan secara konsisten oleh mereka. Sehingga para dosen peneliti berlomba-lomba secara sehat untuk terus meneliti, menuliskannya ke dalam sebuah paper dan mengirimkannya ke jurnal-jurnal kredibel di dunia untuk dinilai oleh para peer reviewer berkelas dunia pula. Apakah karya penelitiannya layak muat atau hanya paper kelas ecek-ecek?


Bila para dosen peneliti apalagi profesor tak mampu berkarya yang salah satu indikator utamanya adalah dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia; maka tak mengherankan banyak dari mereka dengan jiwa ksatria mundur dari kampus kelas dunia untuk alih profesi. Bahkan sampai ada para penyandang PhD di Amerika Serikat yang menjadi supir taksi atau pencuci piring di restoran. Nah.


Tak mengherankan bila universitas-universitas kelas dunia seperti Harvard University, MIT, Stanford University, Cambridge University, Oxford University, para dosen peneliti dan profesor-profesornya selalu terkondisi untuk terus meneliti agar pencapaiannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Universitas-universitas kelas dunia tersebut memiliki "Citation Index" di atas 3. Artinya rata-rata dosen peneliti mereka menulis 3 paper hasil penelitian orisinal (bukan "review paper") per tahun yang dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia.


Ceriteranya dari Indonesia, hanya ada 3 universitas saja yang sudah berkelas dunia versi the TIME Higher Education QS (Inggris) yakni ITB, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Namun bila Citation Index dijadikan ukuran bagi ketiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia ini, menurut pendapat penulis ketiganya sesungguhnya masih belum pantas untuk menyandang predikat “World Class University”.


Maka bisa dipahami bila ada seorang dosen peneliti UGM yang berjiwa ksatria yakni Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, DR. Susetiawan, yang mengingatkan tanpa menafikan prestasi UGM di kategori Ilmu-ilmu Sosial, UGM harus tetap mawas diri dan tak lupa melakukan otokritik. ”Benarkah UGM sudah sesuai dengan peringkat kualitas tersebut?”, tanya doktor peneliti sosial UGM ini. Menurut Susetiawan, kalangan akademik khususnya dari kalangan Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia harus mempertanyakan keabsahan pemberian peringkat oleh the TIME HE QS tersebut untuk UGM. Sebab kenyataannya sampai saat ini belum ada figur ilmuwan sosial yang dilahirkan dari UGM dan menjadi rujukan kalangan akademik. Sampai saat ini, mereka yang menjadi rujukan hasil penelitian Imu Sosial di Indonesia justru berasal dari peneliti asing seperti Lance Castel, Clifford Geertz dan Robert Hefner.


ITB yang masih agak mendingan dibanding PTN atau lembaga riset lainnya di Indonesia pun yakni dengan berhasil mencatat 1.171 judul per 25 Juni 2009 versi Scopus (lembaga independen yang mengumpulkan berbagai karya dari jurnal ilmiah ternama dan terpilih di dunia) jangan berpuas diri. Sebab fakta ini belum mencerminkan gambaran umum kemampuan para dosen ITB secara merata. Bahkan yang sangat memprihatinkan masih lumayan banyak profesor ITB yang karyanya belum pernah dimuat di jurnal-jurnal ilmiah kelas dunia. Jadi tak lebih mereka masing-masing hanya menulis sebuah disertasi yang dibanggakan sepanjang hidupnya, tetapi itu pun belum tentu pula dijadikan sebagai “Cited Book” oleh para peneliti.


Karena sesungguhnya artikel-artikel ilmiah dosen ITB yang dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia tersebut versi Scopus ------seperti Nature, Lancet, Science, Proceedings of the National Academy of Science of the United States of America, Journal of the Acoustical Society of America, Journal of Vibration Acoustic, Physica C-Superconductivity, Advanced Materials, Physical Review, Energy Sources, International Journal of Heat and Mass Transfer, Mineallium Deposita, Geothermics, Journal of Sedimentary Research, Geochemical Exploration, Review of Geophysics, Earth and Planetary Science, Geophysical Journal International, Geophysical Journal International, Technophysics, Australian Journal of Combinatoria, Journal of Graph Theory, Chemical Engineering Science, Journal of Membrane Science, Filtration and Separation, Chemical and Engineering Data, Chemical Engineering Science, Polymer, American Journal of Cardiology, American Heart Journal, British Journal of Haematology, Circulation, American Journal of Human Genetics, Human Molecular Genetics, Theoritic and Applied Genetics, Biochemical Pharmacology, Biology of the Cell, Molecular Biology, Infection and Immunity, Journal of Immunology, Archive of Biochemistry and Biophysics, Plant Molecular Biology, Plant Journal, Biochemical Pharmacology, Biology of the Cell, Molecular and Cellular Endocrinology, Habitat, Cities, World Development, Urban Studies, Journal of Waterway Port Coastal, --------boleh dibilang ditulis oleh dosen ITB yang “eta keneh, eta keneh” (itu-itu saja). Meskipun kita boleh memberikan apresiasi yang tinggi karena dosen yang itu-itu saja ternyata adalah mayoritas dosen-dosen muda ITB. Karena itu kita boleh berharap ke depan akan lebih banyak lagi mereka berkarya dan juga membimbing generasi dosen muda berikutnya.


Sesungguhnya ITB paling diharapkan Indonesia karena ITB memiliki jumlah dosen bergelar derajat Doktor (PhD) terbanyak di Indonesia yakni 798 dosen bergelar PhD dari jumlah 1.025 seluruh dosen ITB. Mengapa? Kita berharap banyak kepada para dosen penyandang PhD lulusan “World Class University” karena mereka sudah terbiasa untuk terkondisi pada situasi atau iklim meneliti yang tinggi. Jadi tak mengherankan bila di Universitas Indonesia, UGM, IPB Bogor dan LIPI pun mirip dengan kasus yang ditemui di ITB. Malah mereka lebih parah lagi. Maksudnya dengan jumlah dosen UI, UGM dan IPB yang jauh lebih banyak dari jumlah dosen ITB; maka UI, UGM dan IPB yang masing-masing memiliki sekitar 3.500 dosen, semestinya jumlah judul artikel ilmiah yang berhasil diraihnya harus jauh lebih banyak dari ITB (Lihat Tabel di bawah ini).


“Jumlah Judul Artikel Ilmiah Universitas dan Lembaga Penelitian di Indonesia yang Dimuat di Jurnal-jurnal Ilmiah Kelas Dunia Versi Scopus per 25 Juni 2009”


1. Institut Teknologi Bandung (ITB): 1.171 judul
2. Universitas Indonesia (UI): 1.160 judul
3. Universitas Gadjah Mada (UGM): 717 judul
4. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): 517
5. Institut Pertanian Bogor (IPB): 509 judul


Sumber: “Pidato Rektor ITB pada Peringatan 89 Tahun Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia, 4 Juli 2009”.


Ada banyak kilah dari para dosen bahwa PTN mendapat Dana Penelitian melalui dana Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas RI dari sumber APBN 2009 sangat minim. Yakni di bawah Rp. 500 milyar. Itu pun harus dibagi kepada ratusan PTN yang ada. Jadi sangat sulit diharapkan para dosen peneliti untuk berbuat lebih jauh untuk melakukan riset orisinal dengan dana yang sangat minim itu. Memang sih kalau dibanding dengan dana penelitian yang dibelanjakan oleh “World Class Universities”, dana penelitian PTN Indonesia ibarat bumi dan langit (Lihat Tabel).


Belanja Riset Universitas-universitas Kelas Dunia:


1. California Institute of Technology (Caltech): US$ 1.780.600.000.-
2. Massachusetts Institute of Technology (MIT): US$ 598.300.000.-
3. Harvard University: US$ 569.900.000.-
4. Oxford University: US$ 567.700.000.-
5. Kyoto University: US$ 527.500.000.-
6. National University of Singapore (NUS): US$ 470.400.000.-
7. Seoul National University (SNU): US$ 298.200.000.-
8. Tokyo Institute of Technology: US$ 116.400.000.-
9. Universitas Gadjah Mada (UGM): US$ 30.000.000.-
10. Institut Teknologi Bandung (ITB): US$ 4.000.000.-
Sumber: Website masing-masing Perguruan Tinggi, diolah kembali oleh penulis.


Namun menurut penulis, jumlah dana penelitian janganlah dijadikan “kambing hitam” terus-terusan untuk menutup ketidak-mampuan meneliti, menulis dan mempublikasikannya di jurnal ilmiah kelas dunia. Kita berharap, para dosen di kampus-kampus Indonesia dapat memelihara semangat juang untuk terus meneliti dengan segala keterbatasan yang ada dengan melakukan terobosan kreatif. Karena ternyata Indonesia selalu menghasilkan “keajaiban” dengan kekayaan anak manusianya yang bertalenta luar biasa untuk menghasilkan karya yang luar biasa pula. Jadi sambil berjalan memperjuangkan kenaikan dana penelitian dari pemerintah dan sumber-sumber lain misalnya dunia industri dan para filantropis, ya kita berharap para dosen peneliti tak putus asa. Tokh masih relatif “untung” nasibnya tidak seperti koleganya di Amerika Serikat yang alih profesi menjadi sopir taksi dan pencuci piring di restoran, padahal mereka adalah para penyandang PhD lulusan universitas kelas dunia.

Selasa, 18 Agustus 2009

Mengkaji Belanja Ramadhan dan Lebaran di Carefour

Oleh Cardiyan HIS



Carefour bukan milik Perancis lagi. Berita bisnis sangat penting ini ditanggapi dingin-dingin saja di Indonesia, padahal sudah berlangsung hampir dua bulan. Termasuk oleh Pemerintah Indonesia (yang memang secara resmi belum memiliki hubungan diplomatik dengan Israel), yang menganggap alih kepemilikan Carefour oleh orang pengusaha Israel sebagai “business as usual” saja. Hanya ibu-ibu rumah tangga mungkin karena tidak tahu informasi ini, tak sadar terus membelanjakan banyak rupiahnya menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran untuk memperkaya kocek bisnis orang Israel.


Carefour , adalah salah satu ikon penting Perancis di dunia disamping makanan dan minuman Danone atau mobil Renault, kini sudah menjadi milik pengusaha Israel. Kini Carefour telah menjadi milik perusahaan Koor Industries Ltd dengan harga pembelian senilai US$ 986 juta atau 3,5 miliar Shekel (mata uang Israel). Pemilik Koor Industries Ltd adalah Eli Hurvitz, pengusaha asli Israel yang sangat pro soal pembangunan pemukiman Yahudi di Palestina dan tentunya sangat anti soal Kemerdekaan Bangsa Palestina. Eli Hurvitz tentu saja bersilang pendapat dengan sutradara beken Steven Spielberg, warga negara Amerika Serikat keturunan Israel, yang justru sebaliknya sangat mendukung Kemerdekaan bagi Bangsa Palestina.


Terjadinya peralihan kepemilikan perusahaan multi nasional seperti Carefour
(Perancis) ke pengusaha kakap Israel adalah memang peristiwa biasa sebagai konsekuensi perdagangan global yang bebas menembus batas negara. Masalahnya di Indonesia, Carefour mendapat keistimewaan tanpa pembatasan lokasi.


Kebijakan ini sungguh sangat berbeda dengan Carefour di negara-negara kapitalis Eropa bahkan di Perancis sendiri sekali pun tempat asalnya, tidak akan bisa ditemui keberadaan Carefour di tengah-tengah kota, di sudut-sudut strategis kota-kota besar Paris, Lyon, Marseille. Pemerintah kota mereka akan selalu tetap memperhitungkan terhadap keberadaan pasar tradisional atau tempat kegiatan ekonomi pengusaha kecil penduduk setempat.


Sedangkan Indonesia? Lagi-lagi Pemerintah Indonesia sebuah anomali membiarkan Carefour ada di pusat kota, di sudut-sudut strategis bahkan sudah tak memperdulikan lagi kedekatan lokasinya dengan keberadaan pasar tradisional tempat para pengusaha kecil Indonesia menyabung nyawa. Kasus Carefour di Indonesia boleh jadi bisa menjadi kasus riset yang menarik bagi seorang “PhD Candidate in Marketing Business”. Termasuk kepemilikan saham Carefour di jaringan retail Alfa Mart, yang telah menelan begitu banyak kebangkrutan toko-toko kecil atau warung-warung kelontongan para pengusaha kecil Indonesia. Pihak KPPU sebagai komite independen pengawasan persaingan usaha harus memprioritaskan kasus ini.


Indonesia memang harus mengevaluasi segala keterlanjuran ini dengan sangat serius, mengkajinya secara seksama pula dengan kewajiban ketat terhadap perilaku Carefour selama ini. Misalnya beberapa lokasi Carefour di Jakarta berulang-ulang mencemari lingkungan bahkan nyaris menewaskan puluhan karyawannya sendiri karena keracunan gas buangan adalah “high-light” yang harus digaris-bawahi oleh Pemerintah kota DKI Jakarta. Sistem hubungan kerjasama dengan para pemasok dari kalangan Usaha Kecil Menengah (UKM) perlu dievaluasi agar lebih adil. Kompensasi terhadap keberadaan Carefour yang berada sangat dekat dengan pasar tradisional harus segera dirumuskan untuk sebaik-baiknya kegiatan ekonomi rakyat. Kasus Carefour yang sangat dekat dengan dua pasar tradisional di kecamatan Duren Sawit, Jakarta sungguh merupakan bukti nyata yang memerlukan perhatian Pemda DKI Jakarta.


Selamat menempuh ibadah Ramadhan, semoga Tuhan YME memberikan ridhoNya kepada ummat manusia yang menjalankan ibadahnya. Amiin.

Senin, 17 Agustus 2009

“Road Map Perguruan Tinggi di Indonesia Menuju ke Kelas Dunia”

Oleh: Cardiyan HIS




Menengok ke belakang kadang sungguh mengasyikkan dan membuat sedikit relaks. Sekali-kali memang pantas dilakukan dengan berkilah menghormati sejarah. Universitas papan atas di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI) terutama untuk bidang ilmu kedokteran dan ilmu ilmu sosial; dan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk bidang sains, teknologi dan seni, memang memiliki sejarah bagus di mata dunia, setidaknya di kawasan Asia Pasifik.


Dalam jangka waktu yang cukup panjang setidaknya sampai medio tahun 1980-an, UI dan ITB praktis menjadi representasi wajah kampus Indonesia di mata dunia. UGM, kampus utama Indonesia lainnya ketika itu masih terkendala minimnya jumlah dosen bergelar PhD dan laboratoriumnya yang masih sangat terbatas. Begitu pula Korea Selatan dan Singapura ketika itu ekonominya masih biasa-biasa saja, anggaran pendidikan tinggi mereka pun masih terbatas. Sehingga reputasi kampus mereka belum muncul ke permukaan untuk dapat dibanggakan. Sementara UI dan ITB sudah punya modal “jam terbang” puluhan tahun sebelumnya ----karena ITB misalnya sudah berdiri sejak tahun 1920---- baik berupa sarana dan pra-sarana kampus maupun sumberdaya manusia yakni ratusan dosen yang telah menyandang gelar PhD dari berbagai universitas kelas dunia di Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia dan Jepang.


Bagaimana kehebatan para dokter peneliti di Fakultas Kedokteran UI dipimpin Prof.Dr.dr. Padmo Santjoyo sukses melakukan operasi pemisahan berdempetnya kepala bayi kembar, yang hanya sukses dilakukan oleh sedikit saja fakultas kedokteran di dunia pada medio 1980-an. Bagaimana para peneliti di FK UI sangat unggul dalam riset penyakit-penyakit infeksi tropika (Tropical Diseases), misalnya. Bagaimana pada tahun 1970, Laboratorium Botani, Departemen Biologi ITB dipimpin oleh Prof.Dr. Eddy Noerhadi sudah mampu menguasai “Teknologi Kultur Jaringan” (Bioteknologi) yang bahkan di Asia Pasifik termasuk pelopor bersama Tokyo University dan Kyoto University.


Bagaimana pada tahun 1972 Profesor Iskandar Alisjahbana dan para dosen peneliti di Laboratorium Elektronika ITB mampu membuat rancangan Teleblackboard yang merupakan cikal bakal teknologi multimedia sekarang ini. Bagaimana pada tahun 1974, Prof.Dr.Ing. Iskandar Alisjahbana, Guru Besar Telekomunikasi dan Dekan Fakultas Teknik Industri ITB berhasil memberikan pengaruh luar biasa agar pemerintah Indonesia mengambil keputusan politik teknologi yakni memilih teknologi satelit telekomunikasi (satelit Palapa) untuk menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berkomunikasi dengan Dunia. Sehingga menempatkan Indonesia menjadi Negara ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Kanada sebagai pemilik dan pengguna satelit telekomunikasi.


Ketika kami tim wartawan mahasiswa majalah sains dan teknologi Scientiae ITB pada tahun 1977 melakukan liputan eksklusif ke kampus-kampus utama di Asia menemukan fakta bahwa Seoul National University (SNU) dan Korean Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) di Seoul, National University of Singapore (NUS), Indian Institute of Technology di Delhi, Chulalongkorn University dan Thammasat University di Bangkok, University of the Philippines di Manila, belum memiliki Laboratorium Konversi Energi Listrik yang lengkap dan modern. Sementara Departemen Teknik Elektro ITB sudah memilikinya sejak tahun 1970 atas rintisan Prof. Dr. TM Soelaiman dan menjadi sarana munculnya banyak inovasi dari laboratorium ini antara lain; “Rancangan Sirkuit Tertutup bagi Kereta Rel Listrik Kota Metropolitan di Dunia” karya mahasiswa Purwanto, pada tahun 1974. Bagaimana pada tahun 1978, Prof.Dr. Samaun Samadikun dan para dosen peneliti di laboratorium Mikroelektronika ITB sudah mampu mendesain microchip. Dan kemudian pada awal tahun 1980-an sudah menguasai cellular technology dan sebetulnya sudah siap untuk masuk ke tahap model industri pembuatan telepon genggam, namun kebijakan Pemerintah RI ketika itu tidak mendukung. Sehingga berakibat jauh terhadap Indonesia yang menjadi konsumen teknologi selular ini. Bagaimana pada tahun 1983 Ir. Benjamin Soenarko, PhD, dari Departemen Fisika Teknik ITB, menemukan “Teori Elemen Batas dalam Akustik” yang merupakan pencapaian revolusioner di dunia karena bisa diaplikasikan untuk benda sembarang bentuk dibanding teori lama yakni hanya pada benda teratur. Hak Cipta Benjamin Soenarko ini terdaftar di University of Microfilm, University of Michigan, at Ann Arbor (USA).


Bagaimana pada tahun 1974, seorang Dean of Earth Sciences Faculty, Ohio State University (USA) terheran-heran melihat demikian lengkap dan modern Laboratorium Fotogrametri dan Kartografi, Departemen Teknik Geodesi ITB bahkan dibanding universitas-universitas papan atas di Amerika Serikat sekalipun. Sehingga sangat pantas menjadi laboratorium “Collaborating Center” untuk Ilmu-ilmu Kebumian di kawasan Asia Pasifik.


Tak mengherankan bila Pemerintah Kerajaan Malaysia melalui kerjasama Government to Government (G to G) dengan Pemerintah Republik Indonesia, mengirimkan ribuan mahasiswanya belajar ke Indonesia mulai tahun 1968. ITB yang paling banyak menjadi tujuan mahasiswa Malaysia yang ingin belajar sains dan teknologi, yakni lebih dari 600 orang mahasiswa Malaysia mengikuti Undergraduate Program (Program Sarjana, sekarang Program S-1) sampai angkatan terakhir mereka lulus pada tahun 1992. Disamping itu, setiap tahunnya ada sekitar 200 mahasiswa Non-degree Program dari Thailand, Filipina, Malaysia dan Papua New Guinea yang khusus belajar di ITB untuk menjadi teknisi terutama pada bidang keahlian Natural Sciences.


Bahkan ITB juga praktis menjadi “founder” (“pendiri”) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pada 18 Mei 1970 dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM) pada tahun 1972, karena praktis kurikulumnya 100% dibuat oleh para Guru Besar dan dosen senior bergelar PhD dari ITB sekaligus menjadi pensyarah (dosen) pada 15 tahun pertama UKM dan UTM ini berjalan. Hampir semua fakultas kedokteran universitas-universitas di Indonesia mulai dari FK USU Medan, FK Unpad Bandung, FK UGM Yogyakarta, FK Undip Semarang, FK Unair Surabaya, FK Unhas Makassar dan tentu saja FK UI menjadi favorit lainnya para mahasiswa Malaysia. Namun fakultas fakultas ilmu sosial dan keagamaan terutama di UI, UGM dan Unpad serta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya juga diserbu mahasiswa Malaysia.


Serbuan mahasiswa Malaysia ke Indonesia adalah salah satu contoh nyata bahwa memang telah terjadi fenomena The Booming of High Education (“Ledakan Pendidikan Tinggi”) di Asia. Fenomena ini pertama kali diungkapkan oleh Rektor Yonsei University (Korsel), DR. TS Park pada tahun 1974. Dia menyatakan bahwa telah terjadi ledakan minat rakyat di Asia untuk terus menyekolahkan anaknya ke jenjang universitas, sementara fasilitas pendidikan dan sumberdaya dosennya tak berdaya untuk menampung dan melayaninya dengan baik. Inilah yang kemudian mendorong tumbuh kembangnya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pelopor di Indonesia yang cukup baik mutunya seperti Universitas Katolik Parahyangan, Bandung; Universitas Kristen Maranatha, Bandung; Institut Teknologi Nasional, Bandung; Universitas Trisakti, Jakarta; Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta; Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta; Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga; Universitas Muhammadiyah, Malang; Universitas Kristen Petra, Surabaya dan sebagainya (Cardiyan HIS, “Akibat Ledakan Pendidikan Tinggi: Peranan Perguruan Tinggi Swasta Semakin Menonjol”, koran “Kompas”, 18 Januari 1975).


Dan ketika awal tahun 1990-an ekonomi tumbuh sangat ajaib di benua Asia munculah julukan Asian Tiger untuk Negara Negara yang kemajuan ekonominya luar biasa yakni Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Thailand dan terakhir Malaysia. Hebatnya, seiring dengan kemajuan ekonomi mereka, para pemimpinnya memiliki visi yang hebat tentang pendidikan sebagai bidang yang sangat strategis untuk memacu kemajuan Bangsa dan Negaranya. Pendidikan menjadi prioritas utama Anggaran Belanja Negara atas keberhasilan ekonomi mereka. Education has been a major item of public expenditure. The importance given to education is clearly replected in the country’s budget allocation, ungkap Tun Sri Najib Razak, Menteri Pendidikan Malaysia(sekarang Wakil Perdana Menteri Malaysia) yang bersama Menteri Pendidikan Nasional Yuwono Sudarsono membuka pameran pendidikan Malaysia di Indonesia pada tahun 1998


Perkembangan pesat kemajuan pendidikan tinggi di negara-negara tersebut dibanding dengan Indonesia yang sebenarnya memiliki sejarah lebih dulu, agaknya mirip dengan apa yang disebut Jan Romein, ahli sejarah Belanda sebagai suatu hipotesis yang terkait erat sekali dengan fenomena “Perubahan Dialektika Wilhelm Friedrich HEGEL”. (“……..Sesuatu yang secara sepintas lalu kelihatannya benar sesudah dipertimbangkan kembali terbukti salah, tetapi sesudah dipikirkan lebih dalam dan terperinci, terbukti dapat diterima kembali kebenarannya”). Ini dinamakannya “Falsafah Kuadrat” karena disadari sepenuhnya bahwa kebenaran terakhir ini mempunyai tingkat lebih tinggi dari kebenaran sebelumnya. Terutama karena sudah mengalami suatu kritik yang menantang atau kritik koreksi. Dalam proses dialektika ini terjadi suatu proses perkembangan atau pembaruan. Jan Romein mengatakan: “………. Yang berlawanan itulah yang membawa kemajuan”. Karena memang yang berlawanan itulah mengandung unsur-unsur koreksi untuk umpan balik. Hegel yakin sekali bahwa fenomena Dialektika adalah prinsip semua pergerakan, semua proses kehidupan dan semua aktivitas dalam kenyataan hidup sehari-hari. Jan Romein juga mengeluarkan suatu yang terkait erat sekali dengan fenomena Dialektika ini yang berbunyi: “……….. bahwa suatu posisi terdepan, pada suatu waktu tertentu dan dalam kondisi yang tertentu pula, akan justru menghambat dan akan berubah menjadi keterbelakangan”. Atau bisa juga diungkapkan demikian: “posisi terdepan yang menghambat dan posisi terbelakang yang mempercepat”(Cardiyan HIS, Editor, “Menuju Indonesia Baru”, Sebuah Buku Antalogi, Penerbit Persatuan Insinyur Indonesia, Jakarta 1999).


Fenomena Dialektika Hegel ini benar-benar terbukti pada peta universitas di Asia Pasifik belakangan ini. Dengan anggaran pendidikan yang jumlahnya mulai memadai, maka perguruan tinggi (selanjutnya disingkat PT) di Korea Selatan, Singapura, Taiwan, Thailand dan Malaysia mulai menggeliat. SNU dan KAIST di Korea Selatan; NUS di Singapura; National Tsing Hua University di Taiwan dan Chulalongkorn University, Thammasat University serta Mahidol University di Thailand, pelan pelan mulai muncul ke permukaan medio tahun 1980-an dan kemudian di awal tahun 1990-an mulai ancang-ancang siap berkompetisi di peta universitas Asia Pasifik.



MUSIM RANKING PUN TIBA

Maka tak mengherankan bila kemudian muncul inisiasi pemeringkatan PT di Asia Pasifik, yang dipelopori oleh majalah bergengsi AsiaWeek, Hong Kong (sebuah unit usaha media TIME Inc., penerbit majalah berita mingguan terbesar di dunia “Time”). Pada peluncuran pertama tahun 1997, isu pemeringkatan universitas oleh majalah AsiaWeek, menempatkan University of Tokyo sebagai nomor 1 di Asia pada “The Best Universities of Asia”. Dari Indonesia muncul ITB sebagai yang terbaik yakni pada urutan nomor 19, sementara UI nomor 32, UGM nomor 37, Unair nomor 38 dan Undip nomor 42 (Cesar Bacani, Asia’s Search for Excellence, AsiaWeek, May 23, 1997).


Ranking ITB di nomor 19 dari populasi puluhan ribu PT di kawasan Asia Pasifik (karena PT-PT di Australia dan Selandia Baru juga ikut disurvey AsiaWeek) jelas relatif sangat baik dan sungguh membanggakan bagi Indonesia ketika itu. Rektor ITB sendiri, Prof.Ir. Liliek Hendradjaja, MSc, PhD (ketika itu) tak bisa menutupi rasa bangganya. Mendapatkan gelar PhD di bidang seismologi dengan predikat cum laude dari Australian National University (ANU), Canberra, Liliek Hendradjaja ----ketika diwawancarai koran “Suara Pembaruan”---- tak bisa menahan diri untuk mengatakan, bahwa universitas universitas di Australia dan Selandia Baru harus berpikir keras dengan pencapaian ITB yang berkualitas tinggi. Yang menjadi “sasaran tembak” Liliek Hendradjaja adalah University of Queensland, University of Adelaide, University of Western Australia, University of South Australia, University of Wollongong, La Trobe University, University of Tasmania, University of Newcastle, Macquarie University, Griffith University, Flinders University, Murdoch University, Deakin University serta dua universitas dari Selandia Baru; University of Auckland dan Victoria University of Wellington, dan tentunya saja Curtin University of Technology (universitas teknologi terbaik di Australia), Queensland University of Technology, University of Technology Sidney, Victoria University of Technology, Royal Melbourne Institute of Technology, semua universitas tersebut rankingnya di bawah ITB. Sebab hanya 5 universitas Australia saja yakni UNSW, University of Melbourne, ANU, University of Sydney dan Monash University yang rankingnya sedikit di atas ITB.


Bisa dipahami sebenarnya pernyataan Liliek Hendradjaja ini. Karena dia sungguh-sungguh sangat gusar. Ternyata Australia meraup devisa demikian banyak dari Indonesia lewat jualan pendidikan, yakni sedikitnya US$ 500 juta setiap tahun! Sedangkan kualitas PT-nya terbukti melalui survey AsiaWeek, mayoritas masih di bawah kualitas ITB. Bayangkan saja ada sedikitnya 16.000 mahasiswa Indonesia yang belajar di Negara Kanguru saat itu dan bahkan sekarang angkanya menjadi 16.800. Suatu pemborosan devisa yang sangat sangat luar biasa!


Padahal tidak hanya ke Australia, orang-tua Indonesia mengirimkan anaknya kuliah. Amerika Serikat adalah salah satu favorit lainnya. Tahun 1999, meskipun masih dalam suasana krisis moneter sehingga ada penurunan sebesar 8,6%. Namun menurut laporan Kaplan-NewsWeek yang bertajuk “How to get Into American Universities” toh masih ada 12.142 mahasiswa asal Indonesia yang masih melanjutkan studi. Tentu jumlah devisa Indonesia terkuras lebih banyak lagi. Karena biaya kuliah dan biaya hidup di Amerika Serikat jauh lebih mahal dibanding dengan Australia, yang merupakan tetangga dekat Indonesia. Terlebih di negara bagian kaya raya seperti California dan Massachussett tempat mayoritas mahasiswa Indonesia kuliah, biaya kuliah dan biaya hidup bisa mencapai US$ 50.000 per tahun. Jumlah mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat adalah nomor 8 setelah mahasiswa asal Thailand (12.489), namun masih di atas Malaysia (11.557). Mahasiswa asing terbanyak berasal dari Cina yakni 51.001, disusul Jepang 46.406, Korea Selatan 38.199 dan India 37.482. Populasi mahasiswa asing di Amerika Serikat memang mayoritas berasal dari benua Asia yakni sebesar 56%.


Pada survey majalah AsiaWeek tahun 2000, Kyoto University menjadi no 1 karena University of Tokyo menarik diri. Dan khusus untuk Kriteria Selektivitas Mahasiswa, ITB menduduki nomor 1, tahun 1997 nomor 8. Sedangkan untuk Kriteria Reputasi Akademik, ITB menduduki papan tengah yakni nomor 20 (tahun 1997 nomor 34) dengan skor 70% dari skor maksimal 100% pada universitas peringkat. Untuk total skor ITB menduduki nomor 21.


Meskipun majalah AsiaWeek ditutup oleh perusahaan induknya; the Time Inc (USA) pada tahun 2001. Tetapi tradisi pemeringkatan universitas oleh penyelenggara dari luar kampus khususnya oleh media massa seperti the Times HE QS (Inggris) maupun majalah-majalah US News & World Report, NewsWeek dan BusinessWeek International (Amerika Serikat) terus berlanjut dari tahun ke tahun, tanpa dapat dicegah oleh kalangan kampus mana pun atau pihak manapun.


Ada PT yang sangat senang kalau peringkatnya sesuai dengan pencitraannya karena akan berdampak bisnis luar biasa dari hasil jualan pendidikan seperti yang diraup oleh Australia dan Singapura, juga memberikan gengsi tinggi bagi para alumninya tanpa harus membayar. Tapi tidak sedikit pula PT yang merasa terusik dan dirugikan citranya, tapi tak bisa membela diri alias terpojok dan gerah. Sehingga harus ada social cost untuk memperbaiki citranya kembali. Salah satu yang terpojok adalah London School of Economics and Political, sekolah sangat prestisius di dunia ini “terjun bebas” dari ranking 19 pada pemeringkatan the Times 2006 menjadi nomor 59pada pemeringkatan the Times 2007. Penyebabnya adalah menurunnya jumlah mahasiswa asing yang kuliah disana, padahal ini menjadi salah satu kriteria penilaian the Times HE QS (Measuring Mortarboards, the Economist, London, UK, November 15th, 2007).


Yang menarik bagi penulis sehubungan dengan tema tulisan ini; mengapa University of Tokyo menarik diri? Apakah mereka takut tersaingi dan kemudian disusul oleh universitas lainnya? Ternyata alasan Presiden atau Rektor University of Tokyo sungguh sangat bijak. Menurut Rektor University of Tokyo Shigehiko Husumi, PhD (ketika itu); ”Kualitas pendidikan dan riset tidak dapat dibandingkan antara perguruan tinggi yang satu dengan perguruan tinggi yang lain. Seperti juga karakteristik seseorang adalah sangat sulit untuk dikuantifikasi. Namun demikian University of Tokyo akan terus secara konsisten meningkatkan kualitas Advanced Research jauh ke depan”. (Missing Your School? Why 35 universities did not join”, AsiaWeek June 30, 2000) dan juga baca ”A Word from President”, (http://www.u-tokyo.ac.jp/president/index.html). Alasan yang sungguh sangat menyentuh. Karena mereka lebih menegaskan kepada kepedulian untuk mengangkat semangat bagaimana universitas sebaiknya berkontribusi bagi peradaban manusia ketimbang sekadar mendapatkan ranking PT yang bisa saja penilaiannya bias.


Kebijakan seperti University of Tokyo inilah yang sebetulnya dan sebaiknya ditiru secara mendasar dan mendalam oleh PT-PT di Indonesia bahkan dunia, dalam menyikapi survey semacam yang dilakukan oleh the Times Higher Education Supplement-Quacquarelli Symonds (THES-QS) World University Rankings dari Inggris. Seperti sama-sama diketahui, menurut survey the Times untuk tahun 2008, hanya menempatkan 3 PT asal Indonesia pada “Top 400 Universities” yakni UI pada urutan 287, ITB urutan 315 dan UGM urutan 316. Sedangkan kalau dibandingkan secara apple to apple berdasarkan bidang studi adalah sebagai berikut:


Bidang Studi: TEKNOLOGI

1. ITB, Indonesia, ranking 90 DUNIA, satu-satunya dari Indonesia yang masuk 100 besar dunia
2. Fudan University, Cina, ranking 92
3. Brown University, Amerika Serikat, ranking 93
4. RMIT University, Melbourne, Australia, ranking 94
5. Helsinki University of Technology TKK, Swedia, ranking 94
6. University College London (UCL), Inggris, ranking 96
7. University of Southhampton, Inggris, ranking 96
8. Tohoku University, Jepang, ranking 98
9. University of Birmingham, Inggris, ranking 98
10. Ecole Normale Superieure, Paris, Perancis, ranking 100
11. Queensland University of Technology, Australia, ranking 101
12. UI, Indonesia, ranking 206
13. UGM, Indonesia, ranking 234


Bidang Studi: ILMU-ILMU KEBUMIAN

1. ITB, Indonesia ranking 143 DUNIA bersama dengan Tsukuba University, Jepang
2. Hokkaido University, Jepang ranking 147
3. University of the Philippines, Filipina, ranking153
4. Waseda University, Jepang ranking 154
5. Pohang University of Science and Technology, Korea Selatan, ranking 163
6. University of Western Australia ranking 166
7. Chulalongkorn University, Thailand ranking 171
8. Indian Institute of Technology at Madras, India ranking 173
9. Universite Paris Sorbonne (Paris IV), Perancis, ranking 175
10. Yonsei University, Korea Selatan ranking 188
12. UGM, Indonesia, ranking 220
13. UI, Indonesia, tak dapat ranking dunia


Bidang Studi: KEDOKTERAN & ILMU HAYATI

1. UGM, Indonesia ranking 106 DUNIA bersama Dartmouth College, AS
2. Chulalongkorn University, Thailand, ranking 108
3. University of Dundee, Inggris, ranking 108
4. University of Sheffield, Inggris, ranking 110
5. Queen’s University, Kanada, ranking 111
6. Queensland University of Technology, Australia, ranking 111
7. Mahidol University, Thailand, ranking 113
8. University of Sao Paulo, Brasil, ranking 114
9. University of Illinois, AS, ranking 115
10. Tel Aviv University, Israel, ranking 115
11. University Sains Malaysia, Malaysia, ranking 123
12. UI, Indonesia, ranking 207
13. ITB, Indonesia, ranking 210


Bidang Studi: ILMU-ILMU SOSIAL

1. UI, Indonesia, ranking 131 DUNIA bersama Essec Business School, Paris, Perancis
2. Kobe University, Jepang, ranking 133
3. University of Complutense, Madrid, Spanyol, ranking 133
4. University of Canterbury, Selandia Baru, ranking 135
5. University of California at Irvine, AS, ranking 135
6. University of Nottingham, Inggris, ranking 137
7. University of Malaya, Malaysia, ranking 137
8. University of Bergen, Norwegia, ranking 139
9. Purdue University, AS, ranking 140
10. University of Arizona, AS, ranking 143
11. University of Groningen, Belanda, ranking 143
12, University of the Philippines, Manila, Filipina, ranking 143
13. UGM, Indonesia, ranking 167


Dari Asia yang sangat berkembang pesat adalah Chulalongkorn University, Thailand, yang menduduki nomor 166 (padahal pada tahun 1997 versi AsiaWeek masih berada pada posisi 44 jauh di bawah ITB pada posisi 19 dan masih di bawah semua PT-PT Indonesia). Sedangkan Harvard University terus-terusan bertengger di urutan nomor 1 sejak pemeringkatan diadakan the Times HE pada tahun 2004 sampai 2008. Ranking per tahun 2008 berturut-turut adalah Harvard University, Yale University, University of Cambridge, University of Oxford, California Institute of Technology, Imperial College London, University College London, University of Chicago, MIT dan Columbia University pada ranking ke 10.



DIDESAIN HANYA UNTUK SURVIVE

Adakah makna di balik gemerlap pemeringkatan PT di dunia ini bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia? Kita hendaknya menyikapinya dengan bijak, sebijak Rektor University of Tokyo itu. Yakni ada atau tidak ada pemeringkatan PT di Asia Pasifik dan Dunia, PT-PT di Indonesia harus terus bekerja, “tak boleh tidur sekejap pun”! Bangun, bangun! Bekerjalah lebih keras lagi untuk mengejar ketertinggalan yang sudah demikian jauh.


Tapi, bagaimana mau mengejar ketertinggalan dalam balapan kemajuan sains dan teknologi dengan negara-negara maju, kalau Pemerintah RI sendiri malah cuci tangan dalam membelajakan dana bagi pendidikan tinggi demikian kecil. Dari segi dana yang dikucurkan oleh Pemerintah, PT-PT di Indonesia memang hanya didesain untuk survive saja! Seolah mereka tidak diharuskan untuk bersaing atau untuk mampu bersaing dengan PT-PT di dunia. Pemerintah disini memang benar benar cuci tangan. Bagaimana review atas perjalanan PT yang telah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN)? Menurut Komisi X DPR, kegiatan usaha yang dilakukan PT BHMN belum memberi sumbangan yang signifikan dalam pembiayaan, kecuali di ITB, Bandung (Heri Akhmadi, Arah Kebijakan Pendanaan Pendidikan Tinggi, Presentasi pada Pertemuan 7 PT BHMN, Bandung 13 Juli 2007). Jadi pola pikir Pemerintah RI sudah harus diubah mulai sekarang.


Dari mana dana Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk PT harus diadakan? Kalau berdasarkan prosedur harus berasal dari Anggaran Litbang Iptek Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas RI pada Anggaran Pendidikan APBN setiap tahun. Sedangkan jumlah Anggaran Pendidikan APBN 2007 keseluruhannya hanya berjumlah Rp. 43,462 triliun saja atau 14,7% dari total APBN 2007 yang besarnya Rp. 454,0 triliun. Pada tahun 2010 Anggaran Pendidikan ditargetkan senilai Rp 195,636 triliun atau berkurang Rp 11,7 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,413 triliun. Dengan anggaran Rp 195,636 triliun, Anggaran Pendidikan 2010 setara dengan 20,6 persen dari total RAPBN 2010. Anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 21 persen dari APBN terutama terfokus untuk Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah termasuk untuk kenaikan gaji dan tunjangan guru. Sedangkan APBN tahun 2010 difokuskan untuk pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.


Jadi khusus untuk dana Riset dan Pengembangan akan semakin sulit untuk direalisasikan dari sumber Anggaran Pendidikan APBN secara signifikan. Anggaran Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang diterima Ditjen Pendidikan Tinggi Tahun 2007 hanya Rp. 338,03 milyar. Dan tak ada kenaikan signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Mana cukup? Tak mengherankan bila Pemerintah memang secara sadar telah menyuruh masing-masing PT untuk mencari biaya hidup sendiri dengan berkedok membuat Undng Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Cuci tangan dalam mengurangi perannya dalam mencerdaskan Bangsa dengan menyuruh masing-masing PT BHP kejar setoran.



MEMAHAMI KRITERIA, MEMBUAT PETA JALAN

Bagaimana langkah aksinya menyusul ketertinggalan? Petakan terlebih dulu secara jujur dan transparan program studi PT-PT di Indonesia yang lebih didasarkan kepada KOMPETISI, lebih kepada ukuran-ukuran kualitas yang kompetitip, fair dan relatif terukur. Kata kuncinya hanya satu PRESTASI. Bukan hanya kepada “kedisiplinan” proses pengajaran; bukan hanya kepada sarana dan prasarana fisik bangunan kampus yang otomatis memang harus dimiliki; bukan hanya kepada kepandaian mengisi borang yang lebih didasarkan kepada menilai diri sendiri, yang lebih sering dibesar-besarkan. Pokoknya jangan sampai terjebak secara sadar kepada penipuan statistik demi politik pencitraan PT yang sangat menyesatkan dan tentunya sangat membahayakan.
Penulis mencoba mengusulkan indikator indikator secara tajam untuk dijadikan kriterianya, agar kelak siapa pun Badan Akreditasi yang ditunjuk dan berwenang untuk itu, bisa menilainya secara lebih diskriminatif dan lebih mendalam, seperti berikut ini:


1. Selektivitas Mahasiswa.

PT-PT di Indonesia sebenarnya telah memiliki tradisi bagus dalam seleksi mahasiswa baru. Dan ini telah diapresiasi oleh para penyelenggara pemeringkatan PT di dunia, yang selalu menempatkan PT papan atas Indonesia pada posisi terhormat. Ini modal yang sangat baik, meskipun harus terus menerus dievaluasi dan ditingkatkan. Dengan memiliki mahasiswa berkualitas tinggi akan tumbuh suasana kompetisi di dalam perkuliahan. Tentu pasar kerja akan menikmatinya dengan sangat antusias karena kelak para lulusan PT menjadi lebih berkualitas. Ini juga merupakan ladang yang baik bagi regenerasi dosen berkualitas di kemudian hari.


2. Pencapaian Karya Mahasiswa.

Para mahasiswa harus senantiasa didorong untuk berpikir kreatif di luar kewajibannya kuliah. Minat untuk berkarya pada berbagai ajang lomba karya ilmiah dan karya kreatif tingkat nasional maupun internasional akan tumbuh dari proses latihan selama bersosialisasi di kampus. Oleh karena itu pihak Rektor harus memberikan ruang dan perhatian khusus untuk proses latihan ini. Terlebih pada berbagai ajang kompetisi tingkat dunia antara lain seperti yang diselenggarakan oleh Microsoft Corporation, tim mahasiswa ITB melalui Tim Antar Muka (2008) dan Tim Big Bang (2009) meraih prestasi nomor satu pada kelasnya. Begitu pula tim mahasiswa ITB yang selama tiga tahun berturut-turut telah pula memenangi kejuaraan yang diselenggarakan oleh perusahaan raksasa L’Oreal, di Paris. Begitu pula tim mahasiswa ITB yang menjuarai pembuatan desain microchip yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi top Jepang yang bekerja sama dengan asosisi perusahaan-perusahaan industri software di dunia.


3. Kompetensi Akademis Dosen Tetap.

Kekuatan utama PT adalah tercermin dari kredibilitas banyak dosen bergelar PhD (Doktor) dari PT kelas dunia (minimum 70% harus bergelar PhD sedangkan sisanya bergelar Master). Mengapa? Karena dosen bergelar PhD dari PT kelas dunia sudah terkondisi dengan iklim penelitian yang mandiri. Kinerjanya selalu terkait berapa publikasi hasil penelitian di jurnal internasional yang telah “disertifikasi” atau dicatat oleh the Science Citation Index (SCI) atau ISI Web dan atau pemeringkat sejenis seperti Scopus. Dan berapa kali tulisannya dirujuk (Times Cited) oleh peneliti lain dalam publikasi topik sejenis. Serta, berapa Dana Eksternal berhasil digiring oleh para dosen peneliti masuk ke kampus.


Karya karya tulis dari hasil penelitian para dosen peneliti memang harus diakui masyarakat akademis internasional seperti tercermin dari dimuatnya karya-karya mereka pada jurnal-jurnal internasional berakreditasi, berdasarkan penilaian sejawat (peer review). Para peer reviewer-nya pun berkaliber internasional, yang benar-benar independen. Ya, harus benar-benar independen karena bukan professor yang pernah membimbing disertasinya, bukan pula sejawatnya yang pernah sama-sama dalam tim penelitian bersama atau menulis paper bersama. Pokoknya tak ada “KKN” antar dosen. Atau dalam kata-kata mantan Rektor Imperial College London (UK), Sir Richard Sykes: “Peer Review is an effective way to evaluate universities. It takes smart people to recognize smart people”.


Makanya, tak ada itu paper seminar di tingkat nasional bahkan seminar internasional yang masuk hitungan Citation Index. Sehingga Citation Index PT menjadi ukuran kredibelitas tinggi PT karena disinilah asal muasal terjadinya komunikasi yang intens antara sesama anggota masyarakat peneliti di dunia, juga dengan dunia industri yang terus mengintip perkembangan ilmu dan teknologi yang berasal dari hasil penelitian di kampus.


Begitulah dunia penelitian di kampus berlangsung dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, sehingga kita mengenal ada adagium publish or perish. Yakni PT telah mati kalau para dosen penelitinya tak mampu melahirkan riset bermutu internasional dan tak mampu pula mempublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal berakreditasi internasional. Di kampus sendiri, prestasi para dosen berkelas dunia akan membawa perkuliahan dan penelitian menjadi bermutu dan ini akan menumbuhkan kepercayaan dan kebanggaan pada para mahasiswa yang mengikutinya. Fakta ini akan bergulir dari mulut ke mulut mahasiswa senior ke mahasiswa yunior dan menjadi daya tarik calon mahasiswa baru pula. Inilah yang bukan hanya menjadi kebanggaan dan kebahagiaan dosen yang bersangkutan tetapi juga (minimal) kebanggaan seluruh civitas academica kampus.


3. Proses Belajar Mengajar Mahasiswa.

Tugas dosen belum selesai meskipun telah mengajar di ruang kuliah dengan baik. Masih ada kewajiban lain di luar ruang kuliah untuk menaikkan nilai tambah mahasiswa. Bukan hanya diperlukan dosen pengajar tetapi lebih dari itu yakni Dosen Pendidik, yang mampu menjalankan proses pendidikan mencetak sarjana berkarakter baik. Lebih ideal lagi kalau menjadi Dosen Pelatih yang mampu melahirkan para lulusan kampus yang berkarakter kuat disamping berintelegensia tinggi.


4. Rasio Dosen Tetap dengan Mahasiswa.

Rasionya harus ideal karena dosen akan lebih intens dalam memberikan kuliahnya dan mahasiswa akan lebih mudah menyerap ilmunya. Akan terjadi komunikasi dua arah yang sangat mendalam. Peluang hasilnya akan lebih banyak sarjana berkualitas tinggi dan berkarakter.


5. Remunerasi Dosen Tetap Harus Ada Standar Minimal yang Atraktif.

Omong kosong kalau bicara terus tuntutan terhadap kualitas dosen tanpa memikirkan bagaimana mereka sebagai manusia harus survive. “Dosen juga Manusia”, kata si Candil, vokalis band “Seurieus”, yang alumnus Seni Rupa ITB ini. Dengan pola rekrutmen dosen yang baik akan diperoleh dosen yang berkualitas tinggi. Konsekuensinya adalah remunerasi dosen tetap harus ada standar minimalnya.
Bagaimana seorang dosen peneliti muda di Teknik Geodesi dan Geomatika ITB yang pada tahun 1991 terpilih sebagai “Ilmuwan Terbaik ASEAN” menulis artikel di HU “Pikiran Rakyat” tahun 2002, bahwa remunerasi yang diperolehnya hanya Rp. 1.500.000.- Sementara dia juga prihatin melihat banyak koleganya setelah 10 tahun bekerja belum juga diangkat sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Entah berapa lembaran Rupiah yang dia peroleh setiap gajian sekarang ketika ia sudah menjadi Lektor Kepala kemudian meraih derajat Profesor pada tahun 2008 yl. Bahkan Prof.DR.Ir. Sahari Besari, Ketua Senat ITB ketika itu, kepada para wartawan seusai Dies Natalis ke 42 pada awal Maret 2001 mengungkapkan: “Saya yang sudah puluhan tahun mengabdi di ITB cuma bergaji Rp. 1,5 juta. Padahal rekan saya di Malaysia bisa mendapatkan minimal setara Rp. 20 juta atau delapan kali lipatnya”.


Dosen tetap di PT BHMN sudah saatnya berbeda dengan dosen di perguruan tinggi non-BHMN. Status mereka tak bisa lagi memakai sistem PNS tetapi sebagai pegawai PT BHMN atau PT BHP pada beberapa PT BHMN pelopor seperti ITB, IPB, UI dan UGM. Diharapkan Starting Salary mereka yang berkualifikasi PhD minimal Rp. 20 juta sedangkan para Profesor yang sudah puluhan tahun bekerja berhak mendapatkan remunerasi sampai Rp. 75 juta. Kalau tidak cepat-cepat dilakukan, maka mereka akan “dibajak” oleh PTS top di Indonesia seperti Universitas Pelita Harapan (UPH) bahkan oleh PT kelas dunia lainnya.


6. Minat Lulusan Baru Terbaik untuk Menjadi Dosen di Almamaternya.

Idealisme ini akan tumbuh karena suasana selama mahasiswa kuliah sangat menarik dan menyenangkan. Mahasiswa akan betah di kampus. Namun untuk menambah daya tarik, bila pendanaan untuk pengiriman dosen studi lanjut ke universitas kelas dunia sudah tersedia, hendaknya diprioritaskan bagi mereka, sebelum “dibajak” perusahaan asing dan PTS top Indonesia dengan remunerasi yang begitu menggiurkan. Sehingga diharapkan, mereka akan kembali ke tanah air dengan gelar PhD di tangan, pada rata rata usia 27 tahun. Usia emas untuk banyak berkarya. Dan dari sini akan lahir banyak calon profesor yang berusia lebih muda lagi dibanding para pendahulunya; yakni di bawah usia empat puluh tahun!


7. Waktu Tunggu Sarjana Setelah Lulus.

Semakin pendek waktunya semakin baik. Bahkan lebih hebat lagi kalau sudah dipesan sejak mereka melakukan kuliah kerja praktek di dunia industri. Praktis hanya lulusan baru dari program studi semacam Kedokteran Umum dan Kedokteran Gigi, Akuntansi, Informatika, Teknik Elektro, Teknik Perminyakan, Teknik Geologi, Teknik Pertambangan, Teknik Kimia, Teknik Geodesi dan Geomtika dan lain-lain yang langsung bekerja karena sangat laku di pasar kerja. Sedangkan masih banyak lulusan baru yang waktu tunggunya semakin panjang. Inilah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah tidak hanya kalangan kampus semata tetapi kita semua.


8. Jumlah Alumni Baru yang Menjadi Entrepreneur Pemula.

Berkat kesadaran perlunya sebanyak mungkin proses latihan selama di kampus terutama bagi mahasiswa yang berminat menjadi entrepreneur. Maka projek inkubator di kampus perlu lebih banyak dilakukan. Disini proses latihan mahasiswa akan mendekati kenyataannya di lapangan bila kelak mereka lulus dan memilih menjadi entrepreneur. Ada social cost memang, tapi peranan kampus untuk menggandeng para alumni entrepreneur akan sangat membantu dalam projek kemitraan inkubator ini.


9. Gaji Awal dan Bonus Tahunan Rata-rata Lulusan Baru.

Ini adalah salah satu ukuran keberhasilan kampus bahwa bisa menghasilkan sarjana berkualitas. Maka sarjana yang berkualitas berhak menikmati imbalan yang pantas pula. “Penghargaan itu bagi yang berhak”, kata sebuah adagium.


10. Penampilan Lulusan Berdasarkan Penilaian para “Recruiters”, “Head Hunter” dan
“End Users” yang Independen.

Jangan sekali kali menilai diri sendiri. Biarkan orang lain yang akan menilai. Setidaknya penilaian oleh para Recruiters, Head Hunter dan End Users yang Independen. Karena kemampuan seseorang akan diakui dengan sendirinya kalau dia memberikan manfaat bagi organisasi atau perusahaan yang membayarnya. Bahwa ada permainan juga di antara komunitas “Head Hunter” untuk “mengatrol” alumni pergurun tinggi tertentu, ini akan menjadi pelanggaran etika bisnis mereka sendiri, yang ke depannya akan menghancurkan dirinya sendiri . Tokh pada akhirnya, pelangganlah yang akan menjadi raja yang menentukan atas kepuasan kualitas SDM dari perguruan tinggi mana berasal.


11. Kredibilitas Alumni yang Menjadi Entrepreneur di Peta Dunia Bisnis Internasional.

Jangan merasa telah menjadi pengusaha hebat kalau masih berkutat sebagai jago kandang, raja di negeri sendiri. Karena bisa saja keberhasilannya dipengaruhi oleh faktor Kolusi, Nepotisme dan Korupsi (KKN). Apa kata dunia? Jajallah dunia dengan ide terobosan karena di dunia banyak tantangan yang jauh lebih sulit, tetapi dengan volume pasar yang sangat menggiurkan. High risk, high gain.


12. Minat Lulusan Baru untuk Langsung Studi Lanjut di Pasca Sarjana Almamaternya.
Ini merupakan salah satu ukuran tingkat kepercayaan alumni baru terhadap kualitas kampusnya. Semakin banyak alumni baru yang kuliah lanjut di Program Pasca Sarjana, semakin tinggi kredibilitas almamaternya.


13. Minat para Alumni Setelah 6 tahun atau lebih Meninggalkan Almamaternya untuk
Kembali Kuliah di Program Pasca Sarjana.
Banyak alumni lulusan terbaik lebih memilih bekerja dulu di perusahaan-perusahaan multi nasional ketimbang menjadi dosen di almamaternya. Umumnya alasan mereka sangat rasional yakni mendapatkan uang yang lebih banyak dan mempraktekkan keilmuannya di perusahaan multi nasional adalah lebih menjamin rasa aman penghasilan hidupnya. Tetapi bagi mereka yang tidak mau belajar lagi, ilmunya akan mandek. Oleh karena itu, bagaimana mereka mau kembali kuliah kembali di almamaternya sangat tergantung kredibilitas almamaternya sendiri sekarang ini. Apakah masih seperti yang dulu ataukah sudah mengikuti perkembangan kemajuan PT lainnya di dunia?


14. Minat dan Jumlah Mahasiswa Asing.

Kalau mahasiswa asingnya banyak lantas bisa diklaim bahwa PT-nya sebagai PT berkualitas? Belum tentu. Karena apa alasan mereka kuliah disini, itulah yang harus digali dengan jujur.

Apakah karena mereka datang karena biaya kuliah di Indonesia jauh lebih murah? Bahkan untuk kesempatan tertentu ada yang dibiayai oleh pemerintah Indonesia dalam rangka kerjasama Selatan-Selatan seperti mahasiswa asal Timor Leste, Papua New Guinea dan banyak negara-negara Afrika? Ataukah karena alasan kualitas setelah adanya pencapaian signifikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat universal pada kampus di Indonesia? Ataukah mereka datang karena adanya keunikan lokal seperti bahasa lokal dan budaya lokal, sehingga banyak mahasiswa asing asal negara-negara adidaya belajar di pergurun tinggi di Indonesia?

Begitu pula, apakah mereka hanya mengikuti Non Degree Program atau semacam Summer Program, ataukah pada Program Sarjana (Undergraduate Program) dan Program Pasca Sarjana (Graduate Program) secara regular. Sehingga proses belajarnya lebih lama, sehingga evaluasinya akan lebih fair.

Disamping hal itu, bagaimana peranan Pemerintah disini sangat diharapkan dalam menanggulangi kendala administrasi Student Visa. Kalangan kampus sangat menyayangkan adanya kewajiban melapor kepada Depdiknas RI bagi mahasiswa asing disamping kepada pihak Sekretariat Negara dan Imigrasi. Jadi bila kendala ini belum bisa diatasi, sangat sulit untuk menggiring lebih banyak lagi mahasiswa asing mau kuliah di Indonesia.


15. Rangsangan untuk Menulis Hasil Penelitian.

Sungguh sangat menyedihkan Citation Index kampus-kampus di Indonesia. Untuk mau meneliti kemudian menuliskan hasil penelitiannya sampai harus dirangsang segala. Sayang rangsangan yang ada pun berupa Insentif Khusus, besarnya serba tanggung yakni dari Rp. 5 juta yang disediakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas, agar semakin banyak dosen peneliti untuk menuliskan hasil penelitiannya di jurnal internasional berakreditasi.


Depdiknas memang secara rutin menyediakan dana berupa Riset Unggulan Terpadu maupun Hibah Bersaing tetapi jumlahnya sangat terbatas dengan nilai masing-masing topik riset Rp. 250 juta, yang untuk memperolehnya tentu harus melalui kompetisi sulit. Sedangkan untuk riset unggulan yang dibiayai oleh masing-masing PT sendiri sangat bervariasi dan tidak bisa dijadikan patokan. UGM membiayai para penelitinya khusus untuk Riset Unggulan UGM sebesar Rp. 800 juta. Unpad membiayai Riset Andalan Unpad sampai Rp. 3 milyar dengan target harus menghasilkan paten dan produk serta publikasi di jurnal internasional berakreditasi.


Bandingkan misalnya dengan insentif yang diberikan oleh Pemerintah Korea Selatan terhadap para Profesor di KAIST. Para professor KAIST yang mendapat Research Grants per Professor sebesar 250 juta Won (sekitar Rp.15 milyar) per tahun 2003 dan ditargetkan meningkat menjadi 300 juta Won (Rp. 18 milyar) pada tahun 2010. Salah satu riset unggulan KAIST adalah berhasil dikomersialisasikannya hasil penelitian KAIST yakni leukemia treatment bernilai milyaran US dollar (KAIST Vision 2010, http://www.kaist.edu).


16. Jumlah Hasil Riset yang Memiliki Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Baik yang
Terdaftar di Dalam Negeri maupun Internasional.

Latar belakang ITB memperoleh paten jauh lebih banyak dibanding PT lainnya di Indonesia, karena sejak awal penelitiannya diarahkan sebagai penelitian berbasis paten dan produk. Namun ternyata untuk pengurusan HAKI tak semudah membalikkan tangan. Bahkan bagi penemunya, barangkali “lebih mudah” mendapatkan temuannya ketimbang menembus kendala mendapatkan HAKI di Departemen Kehakiman dan HAM.
Oleh karena itu, disamping harus ditopang oleh institusi kampusnya juga harus dijaga perjalanan hasil penelitian para dosen peneliti yang memiliki potensi HAKI ini. Maka sebaiknya dijalin kemitraan dalam pembiayaan pengurusan HAKI sejak pendaftaran sampai menjelang siap lisensi. Kalau perlu kerjasamanya bisa sampai pada tingkat kerjasama bilateral dengan negara maju, yang sangat menjunjung tinggi HAKI. Sehingga semangat para peneliti akan terus terjaga dan semakin meningkat dalam penelitian lanjut untuk menemukan lagi penelitian baru yang berpotensi HAKI.


17. Jumlah HAKI yang telah Siap Lisensi dan HAKI yang telah Dikomersialisasi.

Persoalan belum selesai dengan berhasilnya diperoleh HAKI. Bagaimana HAKI dapat memberikan manfaat bagi penemunya dan masyarakat adalah persoalan lain yang lebih berat lagi. Oleh karena itu bagaimana mendapatkan lisensi dan kemudian bisa dikomersialisasi menjadi langkah perjuangan bersama. Tidak hanya bagi kampus yang bersangkutan tetapi melibatkan banyak pihak, dari mulai alumni pengusaha papan atas, masing-masing departemen pemerintah dan juga BUMN, masyarakat industri, pasar bebas melalui bursa saham dan sebagainya.


18. Kemampuan Menjalin Kerjasama Riset dengan PT Kelas Dunia maupun
Lembaga Penelitian Kelas Dunia.

Para peneliti akan dimatangkan dalam kemampuan riset skala internasional sehingga akan terbentuk jejaring lebih luas. Dampaknya akan tumbuh pada para peneliti kita budaya menulis dan mempublikasikannya pada jurnal internasional berakreditasi. Bermula sebagai co-author bersama peneliti asing, kemudian meningkat menjadi single author. Dan peluang menjadi tulisan rujukan oleh peneliti lainnya menjadi sangat terbuka. Kalau karya para dosen peneliti sudah menjadi rujukan berbagai peneliti dari penjuru dunia, maka derajatnya akan meningkat menjadi Peneliti Penjuru. Semakin banyak sebuah universitas memiliki Peneliti Penjuru, maka semakin mudah untuk mengajukan proposal bagi kemungkinan terbentuknya laboratorium Collaborating Center, yang menjadi pusat penelitian dan kajian di kawasan benuanya.


19. Kemampuan Mengembangkan Jaringan Kampus dengan Dunia Industri dan Sumber
Sumber Pembiayaannya serta Pemerintah.

Memiliki kemampuan baik dalam kegiatan penelitian harus diimbangi oleh kemampuan dalam mengembangkan jaringan kampus dengan dunia industri, sumber-sumber pembiayaan dan pemerintah. Tanpa kemampuan itu hasil penelitian hanya akan banyak disimpan di laci. Tentu hal ini sangat mubazir karena merupakan pemborosan uang rakyat yang luar biasa.


20. Kemampuan Mengembangkan Jaringan Perpustakaan Konvensional dan Perpustakaan Digital.

Perpustakaan adalah salah satu ukuran kredibelitas kampus. Betapa pun telah maju teknologi internet sehingga banyak menghasilkan Perpustakaan Digital (Digilib), kehadiran perpustakaan konvensional tetap sangat diperlukan. Bahkan sudah lama terjadi sinergi dengan terbentuknya perpustakaan digital. Persoalannya bagaimana masyarakat kampus dapat memaksimalkan sarana perpustakaan ini untuk menunjang dinamika kegiatan riset yang demikian cepat dan kompleks kalau masalah minat baca saja masih harus dihimbau-himbau.


21. Kemampuan Mengembangkan Jaringan Alumni bukan Partisan, bukan Primordial
Tetapi Semata untuk Kepentingan Indonesia Incorporated.
Keberhasilan kampus berkelas dunia dalam proses pengajaran dan pendidikan serta penelitian bukan hanya akan melahirkan dari rahimnya para alumni yang berkualitas tetapi juga alumni yang cinta dan bangga pada almamater.


Alasan cinta dan bangga almamater tak pernah bergeser; mengapa para alumni Harvard University bisa mengumpulkan Dana Abadi (Endowment Fund) yang demikian spektakuler yakni US$ 29,219 miliar atau Rp. 290 triliun lebih! Jumlah ini lebih dari 6,68 kali Anggaran Pendidikan RI 2007 yang besarnya Rp. 43,4 triliun. Bagaimana Harvard University bisa mempertahankan kelangsungannya sejak 374 tahun yang lalu, paling tidak dari sisi finansial terus terjaga dengan adanya dana abadi ini. Lagi pula perolehan Harvard University sebesar US$ 2.999.583.000.- dibanding belanja operasionalnya sebesar US$ 2.999.503.000.- per 30 Juni 2006 menghasilkan surplus sebesar US$ 80.000. Fakta ini hendaknya setidaknya bisa menjadi inspirasi bagi para alumni kampus di Indonesia, memulai dari yang kecil dan terus menggelinding membesar, yang perolehannya melalui cara-cara legal dan kreatif, sehingga tak menimbulkan kecemburuan antar kampus di Indonesia.



PETA JALAN DAN WAKTU TEMPUH

Bila kriteria di atas bisa dijadikan acuan dan kemudian diimplementasikan pada masing-masing Program Studi (Prodi) di masing-masing PT di Indonesia. Maka Road Map atau Peta Jalan beserta Waktu Tempuh untuk mencapai tujuan adalah berupa suatu Peta Tematik tentang keunggulan Prodi Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, akan dengan sendirinya bisa dibuat. Maka semua kemampuan Prodi terbaik masing-masing PT di Indonesia akan terpetakan dan tercetak pada Peta Jalan yang penuh keanekaragaman warna kampus Indonesia ini. Kemudian disinergikan dalam suatu Skenario Besar sebagai asset Indonesia Incorporated.


Rute Pertama yang harus ditempuh untuk “Meniti Peta Jalan Perguruan Tinggi di Indonesia Menuju ke Kelas Dunia” adalah menugaskan PT papan atas Indonesia misalnya ITB, UI, UGM, Unair, Unpad, Unbraw, Undip, ITS untuk bersinergi terlebih dulu menjadi Universitas Riset! Apa kriteria Universitas Riset? Bagaimana cara mencapainya?


Di Amerika Serikat, sudah ada sedikitnya 228 Universitas Riset (147 milik pemerintah federal AS dan 81 PTS) dari 3.700 universitas yang ada. Berdasarkan kualitasnya ada 50 PT dikualifikasikan sebagai National Universities. Sedangkan sisanya harus berada pada PT first tier, second tier dan seterusnya. Bahkan untuk PT-PT papan atas (mereka menyebutnya Ivy Leage) derajatnya bukan soal Universitas Riset (Research University) lagi tetapi bagaimana menjadi Universitas Entrepreneur (Entrepreneur University). Perbedaan skor antar mereka sangat tipis dalam setiap kali pemeringkatan PT. Dan yang akan memenangkan persaingan adalah Universitas Riset mana yang dapat mencetak berapa entrepreneur baru setiap tahunnya? Disini MIT dan Stanford University sangat menonjol, sehingga dijuluki juga sebagai ”Universitas Entrepreneur” .


Di Amerika Serikat ada 2 kriteria Universitas Riset, yakni pertama, kriteria jumlah dana yang diserap oleh suatu PT dari masyarakat industri dan Pemerintah (baik pusat maupun Negara bagian). Kedua, kriteria jumlah Doktor atau PhD yang dapat dihasilkan oleh suatu PT setiap tahun. Dari dua kriteria utama Universitas Riset di Amerika Serikat dibagi ke dalam dua kategori besar yakni Universitas Riset I dan Universitas Riset II. Universitas Riset I adalah PT yang mampu menyerap dana dari Pemerintah, masyarakat industri dan filantropis, lebih besar dari US$40 juta per tahun dan mampu menghasilkan lebih dari 50 Doktor/PhD untuk berbagai program studi setiap tahun. Sedangkan Universitas Riset II adalah PT yang mampu menyerap dana US$15,5 juta sampai US$40 juta per tahun dari Pemerintah, masyarakat industri dan filantropis, dan mampu menghasilkan 50 Doktor/PhD untuk berbagai program studi setiap tahun.
Sedangkan kriteria Universitas Riset versi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI, didasarkan kepada Aspek Beban Kerja Program, yaitu jumlah mahasiswa setiap 10.000 orang, layak disebut Universitas Riset bila memiliki dosen tetap minimal 934 orang, dengan perbandingan kualifikasi dapat mencapai kondisi berikut:


1. Jenjang pendidikan untuk 5.000 mahasiswa S-1, rasio dosen mahasiswa adalah 1 : 15, dengan kualifikasi dosen lulusan S-1 adalah 167, lulusan S-2 adalah 124 dan lulusan S-3 adalah 33 orang (termasuk guru besar). Jumlah dosen 324.
2. Jenjang pendidikan untuk 4.000 mahasiswa S-2, rasio dosen mahasiswa adalah 1 : 10, dengan kualifikasi dosen lulusan S-2 adalah 160, lulusan S-3 adalah 240 (termasuk guru besar). Jumlah dosen 400.
3. Jenjang pendidikan untuk 1.000 mahasiswa S-3, rasio dosen mahasiswa adalah 1 : 5, dengan kualifikasi seluruh dosen lulusan S-3 (termasuk guru besar). Jumlah dosen 200.


Dengan memakai kriteria Aspek Beban Kerja Program versi Departemen Pendidikan Nasional RI, ITB, Bandung, dan IPB, Bogor, telah memenuhi semua syarat menjadi Universitas Riset. ITB memiliki 775 dosen bergelar PhD (termasuk Guru Besar) dan 223dosen bergelar Master dan hanya 27 dosen bergelar S-1. Total seluruh dosen tetap ITB per 31 Desember 2007 adalah 1.025 orang, untuk melayani 15.280 mahasiswa terdiri dari 12.422 mahasiswa S-1, 2.465 mahasiswa S-2 dan 393 mahasiswa S-3. Fakultas Pasca Sarjana ITB mampu menghasilkan rata-rata 100 doktor baru per tahun bahkan pada tahun 2005 mencapai 110 doktor baru. Sedangkan IPB Bogor yang memiliki 620 dosen bergelar PhD (termasuk Guru Besar) dan 448 dosen bergelar Master dan 333 dosen bergelar S-1. Total seluruh dosen tetap IPB per 31 Desember 2007 adalah 1.301 orang, untuk melayani 25.000 mahasiswa seluruh Prodi IPB. Fakultas Pasca Sarjana IPB mampu menghasilkan rata-rata 80 doktor baru per tahun.


Sedangkan UGM, UI, Unair, Unpad, Unbraw, UNS, Undip dan ITS belum bisa disebut Universitas Riset karena ukuran universitasnya terlalu besar dimana jumlah mahasiswanya di atas 40.000 mahasiswa, tetapi tidak didukung oleh jumlah dosen bergelar doktor secara proporsional. Problem PT dengan populasi mahasiswa sebanyak itu adalah akan tetap berkonsentrasi kepada proses pengajaran tetapi tidak ke proses penelitian. Hanya pada Prodi tertentu seperti Prodi Kedokteran, Prodi Pertanian dimana terjadi konsentrasi dosen bergelar doktor, UGM, UI, Unpad, Unair, Unbraw dan Undip akan mampu melakukan riset unggulan.


Namun kalau melihat kepada kriteria Universitas Riset versi Amerika Serikat, hanya PT BHMN ITB telah memenuhi kriteria Universitas Riset II versi Amerika Serikat. Yakni ITB mampu menyerap dana masyarakat (Non SPP Mahasiswa) melalui Kegiatan Usaha Penelitian sebesar Rp. 160,267 milyar atau US$16,26 juta (kurs Rp. 10.000/US$) dan mampu menghasilkan rata rata 100 Doktor/PhD setiap tahunnya. Dengan usaha lebih keras lagi terutama dengan lebih memperbanyak riset berbasis HAKI dan mampu dipublikasikan pada jurnal internasional yang telah disertifikasi the Science Citation Index (SCI) atau juga Scopus, lebih banyak dari yang telah dicapai sekarang. PT BHP ITB diharapkan akan mencapai derajat Universitas Riset II papan atas dalam arti sesungguhnya seperti versi Amerika Serikat, pada tahun 2010 seperti target ITB sendiri (Djoko Santoso, ITB Menuju Universitas Riset 2010, Bahan Sajian Rektor ITB pada Pertemuan Awal Tahun Akademik 2005/2006, Aula Barat ITB, 23 Agustus 2005).


Sedangkan IPB, Bogor, meskipun dari segi sumberdaya dosen bergelar doktornya relatif bagus juga produktivitas Fakultas Pasca Sarjana IPB dalam mencetak doktor baru, tetapi ternyata belum banyak menghasilkan hasil riset yang dimuat di jurnal internasional bersertifikasi SCI seperti diakui sendiri oleh Rektor IPB, Bogor (H. Ahmad Ansori Mattjik, Pidato Rektor IPB, pada Acara Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke 44, Bogor, 1 September 2007). IPB, Bogor, juga masih minim dalam kepemilikan HAKI yakni baru 4 paten terdaftar sebagai Paten Dalam Negeri dan 16 paten sederhana yang masih dalam proses pemeriksaan substantif. Bandingkan misalnya dengan ITB yang telah memiliki 102 Paten dan Hak Cipta baik Nasional maupun Internasional, 10 sudah dikomersialisasi dan 30 siap lisensi. Dan memiliki lebih dari 400 Dosen dengan Citation Index rata-rata 2 publikasi per tahun.


Secara umum memang untuk bidang sains dan teknologi ITB mampu menunjukkan jati dirinya sebagai sumber inovasi yang terkokoh di Indonesia. Dibuktikan dari jumlah karya-karya para warga ITB yang dicatat oleh Scopus (lembaga independen yang mengumpulkan berbagai karya dari jurnal ilmiah ternama dan terpilih) dimana ITB menempati posisi tertinggi se-Indonesia. Posisi per 25 Juni 2009 menunjukkan, ITB berada dalam posisi pertama dengan pengumpulan 1.171 judul artikel, UI mencatat 1.160 judul artikel, UGM dengan 717 judul artikel, LIPI sejumlah 517 judul artikel dan IPB memiliki 509 judul.


Dengan demikian ITB setidaknya bisa dijadikan “Lokomotif Penarik Pertama” untuk mampu bersaing secara terhormat pada peta PT di dunia. UI, UGM, IPB, Unpad, Unair, Unbraw, Undip, ITS diharapkan menjadi “Lokomotif Penarik Kedua” dengan selang waktu maksimal 5 tahun. Selain itu, jangan dilupakan PT-PT mana yang diberi tugas membantu membina PT-PT di daerah yang masih ketinggalan melalui program Affirmative Action, bisa diatur dari Peta Jalan tadi.


Tahap Pertama, ITB harus mengalahkan PT papan atas di Thailand yakni Chulalongkorn University pada tahun 2010 dan membayangi dan mendekati mutu NUS dan NTU di Singapura, dengan target waktu paling lambat 2013. Tahap Kedua, ITB harus mampu mendekati derajat “Sepuluh Besar Asia” yang berarti kualitasnya sejajar SNU dan KAIST, kemudian mendekati Kyoto University dan University of Tokyo, dengan target waktu paling lambat 2019. Tahap Ketiga Jangka Panjang, ITB harus mampu mendekati derajat “Lima Puluh Besar Dunia” yang berarti kualitasnya mendekati kualifikasi “National Universities” di Amerika Serikat, dengan target waktu 2045. Pas dengan 100 Tahun Republik Indonesia Merdeka, sehingga ini merupakan kado indah dari kampus kampus Indonesia untuk Ibu Pertiwi.


Selain itu, jangan dilupakan PT-PT mana yang diberi tugas membantu membina PT-PT di daerah yang masih ketinggalan (Affirmative Action), bisa diatur dari Peta Jalan tadi.


Bila sekarang sebagian besar (90%) dana PT dibelanjakan untuk gaji pegawai dan biaya operasional sehari-hari. Maka untuk ke depan secara bertahap dana tersebut sebagian besar hendaknya dialokasikan untuk dana riset dan pengembangan, dimana di dalamnya sudah ada peningkatan signifikan atas remunerasi dosen (gaji dan tunjangan peneliti); dana peningkatan fasilitas laboratorium riset; dana belanja bahan; dana riset lapangan; dana peningkatan SDM pada keikutsertaan dalam forum-forum seminar dan pertemuan ilmiah internasional; dana penulisan hasil-hasil riset; dana pengurusan HAKI; dana pembuatan lisensi HAKI dan komersialisasi HAKI dan sebagainya.


Dengan telah diakomodasikannya keinginan para pelaku utama di kampus-kampus Indonesia. Maka tak ada alasan lagi bagi para dosen untuk terus tidur, ngajar seenaknya, enggan meneliti tetapi ngobyek dimana-mana. Kini mereka tidak hanya terbatas memberi kuliah mahasiswa di ruang kelas saja tetapi juga aktif mendidik mahasiswa secara manusiawi agar meningkat nilai tambahnya menjadi calon-calon pemimpin yang berkarakter untuk memimpin Indonesia di masa depan. Mereka hendaknya menghabiskan waktunya untuk membaca, mengeksplorasi dunia maya, meneliti dan kemudian menuliskannya pada jurnal-jurnal ilmiah kredibel. Sehingga Citation Index para dosen peneliti Indonesia pun meningkat pesat.


Jadi jangan sedikit saja ada ”prestasi” versi BAN (Badan Akreditasi Nasional) malah dijadikan ”public relations” (PR) murahan yang menipu diri sendiri. Bagaimana bisa terjadi banyak PT besar di Indonesia yang dari jaman dahulu kala berambisi menjadi “Universitas Riset” misalnya, ternyata sampai sekarang hanya masih dalam mimpi. Mereka terjebak untuk terus menerima mahasiswa Program S-1 sebanyak-banyaknya, begitu pula terus melakukan Program Diploma dan Program Sarjana Ekstensi. Sehingga PTN tersebut berkutat di program pengajaran tetapi melupakan program riset. Inilah yang banyak dikeluhkan oleh banyak PTS-PTS yang terpaksa banyak yang gulung tikar karena “pasar mahasiswa” mereka telah direnggut oleh PTN-PTN besar.


Penulis sangat salut kepada sikap Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, DR. Susetiawan, yang mengingatkan tanpa menafikan prestasi UGM di kategori Ilmu-ilmu Sosial, UGM harus tetap mawas diri dan tak lupa melakukan otokritik. ”Benarkah UGM sudah sesuai dengan peringkat kualitas tersebut?”, tanya doktor peneliti sosial UGM ini. Menurut Susetiawan, kalangan akademik harus mempertanyakan keabsahan pemberian peringkat tersebut. Sebab kenyataannya sampai saat ini belum ada figur ilmuwan sosial yang dilahirkan dari UGM dan menjadi rujukan kalangan akademik. Sampai saat ini, mereka yang menjadi rujukan hasil penelitian ilmu sosial di Indonesia justru berasal dari peneliti asing seperti Lance Castel, Clifford Geertz dan Robert Hefner.



UNIVERSITAS KELAS DUNIA: SIAPA TAKUT!

Bila dalam perjalanan semua skenario berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Maka kini saatnya PT-PT di Indonesia bersuara: “Universitas Kelas Dunia, Siapa Takut!
Ya, PT-PT di Indonesia sudah siap untuk bersaing dengan PT-PT di dunia, apapun kriteria penyelenggara pemeringkatan universitas. Baik itu kriteria the Times Higher Education Supplement-Quacquarelli Symonds (THES-QS) World University Rankings (UK), maupun kriteria Shanghai Jiao Tung University (Cina).
Kriteria the Times Higher Education Supplement-Quacquarelli Symonda (THES-QS) World University Ranking (UK) didasarkan kepada:


1. Research Quality (indikatornya adalah Peer Review bobotnya sebesar 40% dan Citations per Faculty bobotnya sebesar 20%).
2. Graduate Employability (indikatornya adalah Recruiter Review bobotnya sebesar 10%).
3. International Outlook (indikatornya adalah International Faculty bobotnya sebesar 5% dan International Students bobotnya sebesar 5%).
4. Teaching Quality (indikatornya adalah Student Faculty bobotnya sebesar 20%)
Menurut pendapat penulis Kriteria THES-QS ini masih mengandung unsur Subyektifitas Tinggi, dan juga Magnitute-nya yang subyektif, terutama lebih condong kepada negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris seperti Malaysia, India dan Selandia Baru.


Pertama; karena bobot terbesar dengan indikator yang ditentukan oleh Peer Review mencapai 40%. Sebaiknya bobotnya dibalik diberikan kepada Citations per Faculty yang menjadi 40% dari 20%. Mengapa? Karena kualitas publikasi hasil riset akan diseleksi sangat ketat dalam waktu yang relatif lebih lama oleh Sidang Dewan Redaksi yang terdiri dari para periset kelas dunia di bidangnya dari pada sekedar penilaian sesaat dari para koresponden yang diminta penilaiannya oleh survey THES-QS. Kecuali kriterianya sesuai dengan yang diungkapkan oleh mantan Rektor Imperial College London (UK), Sir Richard Sykes, yakni para Peer Reviewer telah mengenal baik terlebih dulu kemampuan rekan-rekan sejawatnya yang menjadi dosen peneliti kredibel di Perguruan Tinggi yang dinilainya.


Kedua; Graduate Employability apakah sebaiknya kriterianya tidak hanya terbatas kepada kuantitas dan kualitas para profesional. Tetapi juga ditambah dengan bagaimana suatu PT mampu mencetak entrepreneur kelas dunia atau setidaknya entrepreneur baru, seperti yang lazim dilakukan oleh para penyelenggara pemeringkatan PT di Amerika Serikat. Kemudian penyebaran survey THES-QS; apakah sudah berimbang antara Bidang Sosial dan Bidang Teknologi? Dan bagaimana keterjangkauan terhadap area lapangan kerja para profesional?


Ketiga; Teaching Quality sebaiknya tidak hanya melihat kepada rasio dosen dengan jumlah mahasiswa tetapi juga kualitas dosennya apakah telah bergelar PhD. Begitu pula hendaknya ke depan the Time HE mengikutsertakan kriteria Selektivitas Mahasiswa-nya secara nasional, secara regional, bahkan internasionl adalah yang terbaik ketika mereka masuk di masing-masing PT (Kriteria the Times ini memang sangat berbeda dengan kriteria yang ditetapkan oleh AsiaWeek, US News & World Report, BusinessWeek, Newsweek dan Badan Akreditasi di Amerika Serikat, yang selalu mencantumkan kriteria Selektivitas Mahasiswa).


Disamping itu, ada juga magnitute tentang kemungkinan penilaian subyektif yang lebih condong kepada Inggris dan negara-negara anggota persemakmuran yang lebih mereka kenali dibanding dengan Non-Commonwealth Countries. Oleh karena itu, untuk jangka panjang; PT-PT di Indonesia hendaknya lebih mengacu kepada ranking yang dilakukan oleh Shanghai Jia Tong University Ranking (Cina) yang kriterianya lebih berbobot dan unsur subyektifitasnya relatif lebih kecil. Meskipun tentu akan kalah dari segi ”public relations” dibanding ranking PT yang dilakukan oleh media cetak the Times HE, London (UK).


Seperti diketahui kriteria Shanghai Jia Tong University Ranking (Cina) adalah sebagai berikut:
1. Quality of Education (dengan indikator ”Alumni of an institution winning Nobel Prizes and Fields Medals” bobotnya 10%).
2. Quality of Faculty (dengan indikator ”Staff of an institution winning Nobel Prizes and Fields Medals” bobotnya 20% dan ”Highly cited researchers in 21 broad subject categories” bobotnya 20%)
3. Research Output (dengan indikator ”Articles published in Nature and Science” bobotnya 20% dan ”Articles in Science Citation Index-expanded, Social Science Citation Index” bobotnya 20%).
4. Size of Institution (dengan indicator ”Academic performance with respect to the size of an institution” bobotnya 10%).
Total skor 100%.


Tak mengherankan bila ranking NUS dan NTU dari Singapura ”jeblog” karena mendapat skor 0 (nol) untuk Score on Alumni dan Score on Award versi Institute of Higher Education Shanghai Jiao Tung University, yang memberikan bobot 80% bagi hasil-hasil riset dalam “Academic Ranking of World Universities 2007: Top 500 World University”. Adakah dosen peneliti NUS dan NTU yang nota bene mendapat remunerasi sangat menggiurkan yang telah mendapatkan Hadiah Nobel? Civitas academica NUS dan NTU satu pun belum pernah meraih Hadiah Nobel sedangkan University of Tokyo dan University of Kyoto telah lama meraihnya. Apalagi kalau dibanding dengan MIT, dimana 71 orang civitas academica MIT berhasil menyandang Hadiah Nobel sampai per 31 Desember 2008.


Apa sih discovery (penemuan), invention (perekaan) dan innovation (inovasi) kelas dunia yang telah berhasil diraih oleh NUS padahal dana riset mereka adalah sangat besar yakni US$ 470,4 juta per tahun 2007. NUS ini untuk pertama kalinya pada tahun fiskal 2007 memecahkan rekor belanja riset yakni sebesar US$ 470,8 juta dibanding US$ 181,0 juta pada tahun 2001. Belanja riset NUS ini menempatkan NUS pada posisi nomor 6 di dunia setelah California Institute of Technology (US$ 1.780,6 juta)), MIT (US$ 598,3 juta), Harvard University (US$ 569,9 juta), Oxford University (527,7 juta) dan Kyoto University (US$ 527,5 juta).


Sedangkan dana riset ITB cuma US$ 4 juta atau dana riset NUS ini 117 kali lebih besar dari dana riset ITB! Justru dosen-dosen peneliti ITB yang perlu dibanggakan dan dihargai oleh Bangsa Indonesia karena dengan dana riset US$ 4 juta per tahun mampu menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia dari riset-riset dasar maupun riset terapan yang berbasis HAKI internasional.


Namun harus diakui memang, Singapura boleh disebut nomor 1 dari segi ”Entrepreneurship Pendidikan”. Karena dengan dana berlimpah dari Pemerintahnya, mereka berhasil mengelola PT-nya antara lain; berhasil merekrut dosen-dosen asing kelas dunia dengan remunerasi sangat besar untuk bekerja di NUS dan NTU. Sehingga keberadaan mereka menjadi daya tarik dan mampu menyedot lebih banyak mahasiswa asing untuk belajar di NUS dan NTU. Pengelola NUS dan NTU dengan mudah membeli fasilitas laboratorium secanggih dan semahal apa pun misalnya reaktor MOCVD canggih pembuatan film tipis untuk teknologi nano (Sementara Fisika ITB melalui Profesor Barmawi, untuk memiliki reaktor MOCVD harus membikin sendiri dan ternyata mampu membuat 3 reaktor dengan nilai biayanya sepertiga dari belanja NUS dan NTU untuk pengadaan 1 reaktor MOCVD !!).


NUS dan NTU enteng saja membangun jaringan internet dengan bandwidth super highway (dengan kapasitas 10 Gbps) karena dananya melimpah. Sementara ITB yang di Indonesia satu-satunya universitas yang memiliki kapasitas terbesar yakni 55 Mbps masih harus berjuang sangat panjang untuk mendapatkan kapasitas yang telah dimiliki oleh NUS dan NTU, agar para dosen peneliti di Observatorium Boscha, Departemen Astronomi ITB melalui jaringan radio Astronomi, Australia (AARnet), Jepang dan Eropa bisa bekerja bergandengan dengan para peneliti di NASA, Amerika Serikat, untuk menjelajah antariksa.


Jangan dilupakan pula, Singapura adalah salah satu pusat bisnis di dunia. Sehingga para lulusan NUS dan NTU telah memiliki kedekatan untuk selalu berada pada pantuan para manajer SDM (sumberdaya manusia) atau recruiters atau head hunter atau endusers. Dari para manajer SDM inilah para penyelenggara pemeringkatan PT mendapatkan penilaian tentang performa para lulusan NUS dan NTU. Kriteria-kriteria pemeringkatan PT yang mengedepankan indikator-indikator seperti itulah yang menyebabkan NUS dan NTU selalu mendapat skor tinggi.



PERANAN PEMERINTAH TETAP DIPERLUKAN

Pemerintah RI harus belajar kepada kepedulian Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang betapa pentingnya pendidikan. Pemerintah Kerajaan Malaysia telah menghibahkan dana riset sebesar US$ 25 juta pada periode 2000-2002 agar Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) meningkat menjadi Universitas Riset. Meskipun hasil riset pada UKM belum begitu impresif bila dibandingkan dengan pencapaian hasil-hasil riset ITB misalnya. Tetapi Pemerintah Malaysia paling tidak telah memberikan komitmen tinggi dalam peletakan dasar yang kuat bagi tumbuh kembangnya iklim riset di kalangan kampus mereka.


Contoh yang lain adalah perlakuan khusus Pemerintah Korea Selatan terhadap Seoul National University (SNU) dan KAIST (Korean Advanced Institute of Science and Technology) yang dijadikan lokomotif PT di Korsel. Kendati pun telah menghasilkan riset-riset kelas dunia (termasuk dari sedikit PT pertama yang mampu mengkloning domba di dunia) ternyata secara reguler SNU masih tetap menerima kucuran dana US$ 50 juta per tahun untuk keperluan risetnya dari Pemerintah Korea Selatan (Research Activities in SNU, 2003.6.17, Office of Research Affairs, SNU). Begitu pula KAIST yang mendapat Research Grants per Professor sebesar 250 juta Won (sekitar Rp.15 milyar) per tahun 2003 dan ditargetkan meningkat menjadi 300 juta Won (lk Rp. 18 milyar) pada tahun 2010. Salah satu riset unggulan KAIST adalah berhasil dikomersialisasikannya hasil penelitian KAIST yakni leukemia treatment bernilai milyaran US dollar, (KAIST Vision 2010, http://www.kaist.edu).


Bahkan MIT yang sudah demikian hebat performanya tokh untuk Tahun Fiskal 2007 masih dikucuri dana investasi Pemerintah AS yakni 88% dari perolehan dana riset MIT yang seluruhnya US$598,3 juta, berasal dari Pemerintah Pusat melalui Department of Health and Human Services (35%), Department of Defense (15%), Department of Energy (11%), National Science Foundation (11%) yang memberikan proyek-proyek Riset Dasar skala besar, sedangkan proyek riset lainnya berasal dari perusahaan-perusahaan industri multinasional (13%) dan organisasi nirlaba milik para filantropis kaya raya (2%) serta Pemerintah Federal lainnya (2%). Maka sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia juga harus memberikan perhatian yang lebih besar masalah dana riset ini kepada PT-PT di Indonesia agar mereka mampu berkiprah lebih jauh bagi kemajuan Bangsa Indonesia.


Tak mengherankan bila MIT pada tahun 1994 berdasarkan penelitian Boston Bank yang bertajuk. “MIT: The Impact of Innovation”, telah berkontribusi luar biasa tidak hanya bagi AS tetapi juga bagi dunia. Para alumni MIT telah mampu membangun 4.000 perusahaan dengan ”sales turnover” US$232 milyar, sehingga mereka mampu membuka kesempatan kerja bagi 1.100.000 orang di berbagai dunia. Pencapaian ini telah menempatkan MIT sama dengan kekuatan ekonomi dunia pada urutan ke 24 karena sales turnovernya setara 2 kali GDP Afrika Selatan yang besarnya US$ 116 milyar (MIT Graduates Have Started 4,000 Companies With 1,100,000 Jobs, $232 Billion in Sales in ’94, (http://web.mit.edu/newsoffice/1997/jobs.html). Mudah-mudahan tanggungjawab seperti ini menjadi program yang menantang bagi para alumni universitas universitas di Indonesia.


Suatu kalkulasi yang dilakukan MIT Technology Licensing Office menyebutkan bahwa Pemerintah AS memperoleh keuntungan kembali yang sangat tinggi atas dana investasi Pemerintah pada pembiayaan riset ilmiah di berbagai universitas dan lembaga riset. Sementara PT, lembaga riset dan para inventornya hanya mendapatkan kurang dari 3% atas royalty dari hasil penjualan lisensi teknologinya. Sedangkan Pemerintah AS mendapatkan 15% dari hasil penjualan lisensi teknologi tersebut melalui income taxes, payroll taxes, capital gains taxes dan corporate taxes. Serta jangan dilupakan Pemerintah AS mendapat keuntungan signifikan pula karena bebas menggunakan manfaat dari paten-paten tersebut (Kenneth D. Campbell, ”TLO says government research pays off through $3 billion in taxes”, MIT News Offices, April 15, 1998).


Berkali-kali AS mengalami guncangan ekonomi karena terjadinya defisit APBN bahkan jauh melebihi pada angka psikologis US$1.000 milyar per tahun. Tetapi mereka selalu berhasil lolos dari krisis, dan dalam hal ini peranan kampus-kampus PT dan lembaga riset tak bisa dibilang enteng. Mereka telah mampu memerankan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, kata Presiden Yale University, Richard C. Levin dalam pidato ilmiahnnya di Tsinghua University, Beijing, Cina (Richard C. Levin, The University As an Engine of Economic Growth, Tsinghua University, May 2001).



PERANAN UNIVERSITAS SWASTA INDONESIA

Seperti ketika terjadi Ledakan Pendidikan Tinggi di Asia Pasifik, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Indonesia memberikan peranan dan kontribusi yang sangat besar. Dengan telah menemukan mekanisme survival yang benar-benar teruji dalam mengelola kelangsungan sebuah PT, sebenarnya PTS-PTS Indonesia akan lebih siap dalam mengarungi masa depannya dibanding kebanyakan PTN. Apalagi jejaring mereka dengan dunia internasional juga sudah lama terbentuk. Bagaimana undangan prestisius dari Goldman Sachs Global Leaders yang diselenggarakan di New York City pada July 2008 yang lalu untuk Universitas Pelita Harapan (UPH), disamping Fakultas Ekonomi UI dan Fakultas Ekonomi UGM telah bikin iri para pembaca mailist Ikatan Alumni ITB, mengapa ITB tidak diundang? Apa yang akan dan telah dilakukan oleh PTS-PTS dalam “menghambat” sedini mungkin laju minat orangtua mahasiswa dalam pengiriman studi anaknya ke luar negeri adalah peranan yang nyata sekali. Devisa Indonesia yang sangat terbatas hendaknya dimanfaatkan untuk PTS-PTS Indonesia yang bermutu tinggi dalam memberikan karya nyata dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.


Kalau ada kelemahan yang mudah dikenali dari PTS-PTS Indonesia papan atas adalah belum terkondisinya mereka kepada iklim melakukan riset. Mereka sangat kuat dalam proses pengajaran, bahkan tidak sedikit program studi S-1 mereka mengalahkan program studi S-1 di PTN atas. Tetapi karena keterbatasan sumberdaya manusia dosen peneliti bergelar doktor, kelemahan dalam melakukan riset di PTS-PTS menjadi kelihatan dengan kasat mata. Ini perlu dicarikan jalan keluarnya, misalnya dengan melakukan sebanyak mungkin kerjasama kemitraan dengan Prodi-prodi unggulan di PTN papan atas. Pokoknya tak ada pengkotakan PTN dengan PTS dalam bersinergi bagi kejayaan PT di Indonesia di peta PT di dunia.