Oleh Cardiyan HIS
Rektor-rektor PTN di Indonesia telah mengingkari sendiri model keberhasilan menangani mahasiswa melalui sebanyak mungkin proses latihan di kampus. Ada pragmatisme nyata, kampus secara sadar hanya akan dijadikan sebagai Lembaga Ujian dan bukan Lembaga Pendidikan.
Sebagian mahasiswa baru kampus-kampus di Indonesia sudah mulai menjalani kuliah. Tentu tanpa kegiatan Orientasi Studi Mahasiswa (OSM). Karena OSM dinyatakan sebagai kegiatan haram di kampus oleh para Rektor nyaris di semua kampus-kampus Indonesia. Terlebih tahun lalu pada acara OSM yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Geodesi ITB ada musibah seorang mahasiswanya meninggal karena kelelahan fisik (bukan karena ditendang dan disiksa seperti di sebuah perguruan tinggi calon pamong praja yang sangat menghebohkan itu). Sanksinya pun luar biasa. Puluhan mahasiswa kena skorsing sampai dua semester. Puluhan mahasiswa lagi harus kerja sosial yang sesuai bidang studinya yakni membuat Peta Desa pada puluhan desa di kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Puluhan alumninya yang “rindu kampus” sehingga ikut menonton acara, kena skorsing black list tak akan mendapat pelayanan ITB kalau tak minta maaf kepada Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni.
Padahal sesungguhnya OSM itu sangat indah. Bukan hanya indah tetapi secara ilmiah terbukti sangat berhasil sebagai model keberhasilan menangani mahasiswa melalui sebanyak mungkin proses latihan di kampus; bagaimana kampus menangani mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan. Setidaknya bagi kami 1.000 mahasiswa ITB Angkatan Masuk 1973, yang menjadi “Kelinci Percobaan” ketika ITB ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai “Pilot Projek Pengembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia” pada akhir tahun 1972.
Disamping banyak terobosan yang dilakukan dalam hal Kurikulum Baru di ITB pada tahun 1973 itu seperti Program Terminal Sarjana Empat Tahun; pemberlakuan sepenuhnya penerusan Sistem Kredit Semester beserta Sistem Penilaiannya yang telah diadopsi ITB sejak tahun 1971; beberapa mata kuliah seperti Konsep Teknologi dilakukan dengan sistem Kuliah Seminar dimana mahasiswa dituntut aktif dialog di kelas; pertama kali di Indonesia ITB mengenalkan mata kuliah Ilmu Lingkungan. ITB secara resmi, secara sadar dan konsepsional mengadakan OSM I (minggu pertama masuk ITB). OSM II selama masa Matrikulasi (enam bulan) dan Tingkat Pertama Bersama atau TPB (satu tahun). OSM Jurusan ketika masuk jurusan (satu minggu) sebagai kegiatan wajib bagi mahasiswa. Dan selanjutnya ITB menganjurkan kepada para mahasiswa untuk secara sukarela aktif pada berbagai Unit Aktivitas Mahasiswa (UAM) sepanjang masih menjadi mahasiswa.
Ketika itu ITB juga diuntungkan karena memiliki dosen bergelar doktor terbanyak di Asia Tenggara (karena universiti-universiti di Singapura seperti NUS dan NTU baru meraih kemajuan pada akhir tahun 1980-an). Sementara itu di ITB sudah ada 600 mahasiswa asal Malaysia dan puluhan mahasiswa non-degree dari Thailand, Filipina dan Papua New Guinea yang sedang menempuh kuliah. Para dosen ini memiliki idealisme sangat tinggi. Mereka mayoritas pemegang gelar PhD World Class Universities di Amerika Serikat ini membawa banyak ide perubahan di kampus ITB, bahwa hanya dengan proses latihan sebanyak mungkin selama mahasiswa kuliah akan menghasilkan mahasiwa-mahasiswa yang berkarakter kuat disamping berintelegensia tinggi.
Ketika OSM II, ITB mewajibkan mahasiswanya memilih 3 (tiga) kegiatan yakni Umum, Seni dan Olahraga yang tersebar pada sedikitnya 86 UAM. Masa OSM memang adalah masa indah kemahasiswaan. Karena secara tidak langsung kita dibikin bergaul dengan sebanyak mungkin mahasiswa yang berbeda-beda kelas sejak di Matrikulasi (6 bulan) dan dikocok ulang oleh ITB agar sebagian besar mahasiswa berbeda kelas di TPB (satu tahun). Dilanjutkan lagi OSM Jurusan di jurusan masing-masing selama 2 minggu. Dan sepanjang menjadi mahasiswa aktif di 3 UAM berbeda yakni Umum, Olahraga dan Seni. Sungguh suatu masa yang paling indah. Karena proses latihan berorganisasi berlangsung begitu dinamis. Begitu pula dalam hubungan dengan lingkungan masyarakat. Kita dilatih terus menerus untuk menyadari; betapa perlunya bersosialisasi dengan masyarakat yang telah melahirkan kita, sehingga kita bisa menikmati bangku kuliah.
Mereguk Proses Latihan
Buah pertama kehidupan dinamis kemahasiswaan di ITB adalah “memberikan pelajaran
kepada Soeharto” bahwa mahasiswa ITB berhasil melakukan Pemilu Mahasiswa Pertama di Indonesia untuk memilih Ketua Dewan Mahasiswa ITB, dengan one student, one vote pada tahun 1977. Herry Akhmadi, terpilih menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB pertama dengan mekanisme Pemilu Mahasiswa langsung, jujur dan rahasia ini. Sementara di Senayan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sejak tahun 1966 terus menerus memilih Soeharto sebagai calon tunggal Presiden Republik Indonesia.
Dewan Mahasiswa ITB mempelopori Gerakan Anti Kebodohan (GAK) secara sistematis dan konsepsional yang dituangkan dalam sebuah paper. Sehingga oleh sebuah pusat kajian di Cornell University, Amerika Serikat, yang menerbitkan sebuah buku karangan Ben Anderson tentang pledoi Herry Akhmadi pada Pengadilan Negeri Bandung, disebut dalam pengantar bukunya oleh Prof. George Kahin, sebagai pemikiran spektakuler mahasiswa ITB yang mendahului jamannya. Kalangan pendidikan dari Indonesia sendiri seperti Prof. Winarno Surachmad (IKIP Jakarta) dan Prof. Anton Muliono (UI) memang menilai konsep Gerakan Anti Kebodohan sebagai pemikiran terobosan bahwa mahasiswa ternyata tak hanya pintar teriak demonstrasi di jalan-jalan tetapi juga memiliki ide dan pemikiran mendasar dan cemerlang untuk mencerdaskan bangsanya sesuai UUD 1945. Ketika itu memang ada sedikitnya 7 juta anak Indonesia yang tak bisa sekolah hanya untuk masuk sekolah dasar (SD). Pasca pendudukan kampus ITB yang dilakukan secara kekerasan dan brutal oleh serdadu yang setia kepada Soeharto dan setelah Soeharto dinyatakan MPR sebagai calon tunggal presiden RI yang sah menjadi Presiden RI definitip. Maka rezim Soeharto menjawab Gerakan Anti Kebodohan mahasiswa ITB ini dengan adanya Wajib Belajar 6 Tahun.
Dewan Mahasiswa ITB juga mempelopori Asuransi Kesehatan Mahasiswa yang pertama kali di Indonesia bahkan di Asia pada tahun 1973 dengan membayar iuran sebesar Rp 100,-/semester. Sehingga mahasiswa tidak perlu memikirkan biaya jika terjadi musibah sakit. Dewan Mahasiswa ITB sendiri yang mencarikan 2 dokter yang standby selama 24 jam, sedangkan ITB menyediakan tempat klinik di lingkungan kampus. ITB sendiri menyiapkan dana alokasi khusus yang cukup besar ketika itu karena harus menutup segala kemungkinan atas kesehatan lebih 5.000 mahasiswanya.
UAM ITB sebanyak 86 buah antara lain Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK), Lembaga Bantuan Teknologi, Keluarga Donor Darah (KDD), Marching Band (hanya ITB dan AKABRI yang punya ketika itu), Paduan Suara Mahasiswa (PSM), Unit Gitar Klasik, Lingkung Seni Sunda (LSS), Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan Jawa (PSTK), unit kesenian Bali Mahagotra Ganesha, Liga Film Mahasiswa (satu-satunya bioskop kampus di Indonesia sejak tahun 1967), Radio 8EH (satu-satunya radio FM di Indonesia sejak tahun 1967) untuk menyebut di antaranya; telah menjadi mesin organisasi yang mandiri dan efektif bagi mahasiswa untuk proses latihan.
Sebagai suatu ilustrasi ada sedikitnya 5 media kampus pusat (tidak termasuk majalah himpunan mahasiswa di masing-masing jurusan) seperti majalah-majalah “Kampus”, “Elektronika”, tabloid “Integritas”, “Berita-berita ITB”, dan yang paling besar dan menonjol adalah bagaimana majalah sains dan teknologi “Scientiae ITB” (kebetulan saya menjadi Pemimpin Redaksi) pada tahun 1974-1975 bisa disegani oleh majalah umum sekelas majalah “Tempo”. Mengapa? Karena oplaag (tiras) majalah bulanan mahasiswa yang terbit secara teratur tiap bulan sejak tahun 1969 ini telah mencapai rata-rata 30.000 eksemplar/bulan! Bahkan di saat penerimaan mahasiswa baru bisa mencapai 50.000 eksemplar. Majalah “Scientiae ITB”, yang dikelola dengan hati, dengan idealisme gotong royong mahasiswa telah mampu menggaji dengan lancar sedikitnya 8 karyawan profesional non-mahasiswa ITB. Majalah ini banyak meraih iklan komersial yang kebanyakan iklan berwarna. Ada iklan yang kami peroleh dari biro iklan papan atas. Ada iklan yang kami peroleh door to door kepada para alumni ITB yang telah memegang posisi kunci di perusahaan-perusahaan industri milik negara maupun swasta. Dan ada juga “inovasi” yang kami banggakan pada tahun 1973 itu yang kemudian ditiru oleh media umum lainnya di Indonesia yakni iklan barter tiket pesawat seperti dengan Garuda Indonesia Airways (GIA) dan iklan barter kamar pada jaringan hotel bertaraf internasional. Sehingga dengan demikian kami mampu meningkatkan mutu liputan dengan mengirim langsung wartawan-wartawan mahasiswa ITB sampai ke kampus-kampus besar di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, India, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura.
Maka tak mengherankan dari 1.000 mahasiswa ITB Angkatan 1973 pasti saling kenal baik. Kalau tak hapal lagi nama, setidaknya masih hapal wajahnya. Kekerabatan, pertemanan kita begitu kuatnya sejak tahun 1973 terus berlanjut hingga sekarang. Dengan 5 (lima) orang teman-teman yang sudah dan sedang menjabat Menteri pada kabinet era Gus Dur, era Megawati dan era SBY yakni Rizal Ramli, Alhilal Hamdi, Hatta Rajasa, Kusmayanto Kadiman dan Yusman SD. Kita bergaul sangat akrab dan egaliter. Lu-gue tetap nyaring terdengar dan begitu enaknya terdengar di telinga kami. Tanpa menyebut Bapak Menteri segala tetapi memanggil namanya saja. Tanpa basa-basi. Tanpa kepura-puraan. Mengalir begitu saja. Sungguh mengharukan. Bahkan dua orang Wakil Rektor Senior ITB sekarang yakni Prof. Adang Surahman dan Prof. Carmadi Mahbub tetap sangat akrab meskipun sudah jadi pejabat tinggi ITB. Begitu pula dengan teman-teman yang sukses sebagai wirausaha berkelas internasional.
Bagian dari Proses Pendidikan
Jadi adalah sangat mengherankan bagi saya dan teman-teman justru di jaman Reformasi ini, di jaman Demokrasi, di jaman Keterbukaan, ITB (melalui Wakil Rektor bidang Mahasiswa dan Alumni) malah mundur, tidak mentolerir OSM lagi. Menurut saya, sungguh suatu penghianatan besar bagi proses pendidikan. ITB sebagai lembaga pendidikan menutup mata atas model keberhasilan dirinya sendiri sebagai “Pilot Projek Pengembangan Pendidikan Tinggi: pada tahun 1972 yang diujicobakan kepada mahasiswa ITB angkatan masuk 1973. Model keberhasilan yang justru berlangsung di bawah rezim refresif Soeharto, eh malah di era Reformasi ini justru ditinggalkan oleh kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Jadi dimanakah mahasiswa sekarang mereguk proses latihan? Teman-teman dosen senior ITB menginformasikan dan berkilah kepada saya, bahwa OSM yang dilakukan mahasiswa ITB belakangan ini sangat berbeda dengan OSM I dulu yang berlangsung seminggu atau maksimum 2 minggu. Sekarang berlangsung hampir sepanjang tahun dengan kegiatan antara lain baris berbaris, pakai hukuman push-up, sit-up bahkan bisa lebih keras lagi. Semua himpunan mahasiswa ada hirarkinya: Anggota Biasa dan Anggota Muda yaitu mereka yang masih yunior. Ngerinya dilakukan secara clandestine dan sembunyi-sembunyi di tengah-tengah masa sibuk kuliah.
Nah, karena hal-hal seperti itu, kata teman-teman dosen senior ITB kepada saya. Maka pola pembinaan mahasiswa diubah. Karena kondisinya sudah berbeda dengan jaman dulu. Pertama, perpeloncoan dalam bentuk apa pun tidak diizinkan karena lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya. Kedua, pembinaan mahasiswa menjadi tanggung jawab Program Studi. Tugas Program Studi adalah melaksanakan pendidikan dan membina kehidupan kemahasiswaan, tidak lagi ngurus dosen. Dosen sekarang diurus oleh Fakultas. Ketiga, kegiatan kemahasiswaan diarahkan kepada pengembangan karier, keolahragaan, kesenian, kemasyarakatan (politik juga boleh tapi bukan demonstrasi teriak-teriak di jalanan), pembinaan intelektualita, soft skills, dan sejenisnya. Keempat, mahasiswa baru tetap boleh melakukan kegiatan asal mereka tidak dijadikan "obyek" kegiatan. Dalam OSM, mahasiswa senior jadi panitia, mahasiswa baru jadi peserta. Cara melihatnya gampang kok: Jika mahasiswa baru dan mahasiswa senior sama-sama jadi peserta atau sama-sama jadi panitia. Maka akan terjadi alih pengalaman, tanpa ada yang namanya perpeloncoan.
Namun demikian saya dan juga tak sedikit teman-teman mantan aktivis maupun alumni lainnya harus mengkritik para pimpinan ITB, yang lebih melihat kegiatan mahasiswa seperti “bola panas”. Tidak ada yang mau menangani OSM secara sungguh-sungguh sebagai bagian dari proses pendidikan. Kegiatan mahasiswa seolah adalah kegiatan para “tamu”, para alumni yang berkolaborasi dengan mahasiswa ITB. “Bila ITB tidak setuju, ya diusir. Bila disetujui, ya didukung. Tapi cuma segitu”. Sekali lagi, OSM tidak dijadikan secara sungguh-sungguh sebagai bagian dari proses pendidikan.
Namun pada sisi lain, saya ingin mengingatkan dan harus mengkritik banyak teman-teman alumni pula, yang menginginkan the good old times back to campus. Saya ingin mengkritik banyak alumni dan pengamat kampus yang berpendapat: “Menangani mahasiswa saja, kok repot?”. Ada baiknya kita dengar pendapat pakar psikologi dunia Barbe dan Renzulli (1975), Gallagher (1975) dan Conny Semiawan (1984) yang mengatakan: “Menangani high-achiever itu sangatlah sulit. Bila salah menanganinya akan menjadi anak bermasalah”. Dan inilah agaknya yang dihadapi oleh para Pimpinan ITB dalam menangani begitu banyak high-achiever yakni para mahasiswanya sendiri. Misalnya, nyaris tiap tahun selalu saja ada puluhan mahasiswa pandai yang berbuat kriminal menjadi Phantom Writer (istilah Phantom Writer atau Penulis Hantu ini populer di universitas-universitas Amerika Serikat pada akhir tahun 1960-an) atau di Indonesia lebih dikenal sebagai joki seleksi masuk PTN. Hal ini menjadi pertanyaan besar yang perlu djawab sampai ke akar masalahnya. Mengapa sampai terjadi?
Oleh karena itu, terus terang saya mendambakan dosen yang ideal, yang bernama “Dosen Pelatih”. Bukan dosen wali yang hanya bertugas pada setiap awal semester pendafaran rencana studi mahasiswa, yang berbicara beberapa menit saja dengan mahasiswa dalam rentang enam bulan. Kita ingin lebih dari itu yakni dosen yang tak hanya menyatakan puas karena telah memberikan materi kuliah dengan baik di ruang kuliah. Tetapi dia juga hendaknya menjadi dosen pelatih bagi para mahasiswa dalam menjalani proses latihan di kampus. Mendengar dengan sabar aspirasi dan pendapat para mahasiswa; sewaktu-waktu berlaku seolah sebagai ayah, terkadang seolah menjadi teman mahasiswa bercengkerama. Aktivitas dosen pelatih ini semuanya dalam kerangka membentuk karakter kuat kepada para mahasiswanya.
“Tak ada waktu. Capek ngurus mahasiswa”. Mudah-mudahan kilah seperti ini bukan menjadi gambaran umum dosen-dosen di Indonesia yang secara sadar cenderung berpikir pragmatis untuk menjadikan kampus sebagai Lembaga Ujian dan bukan Lembaga Pendidikan. Selamat menjadi Dosen Pelatih.
Senin, 10 Agustus 2009
Menangani Mahasiswa Sebagai Bagian Proses Pendidikan. Rektor Mau?
Label:
Cardiyan HIS,
Lembaga Pendidikan,
Lembaga Ujian,
Mahasiswa,
Rektor
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
'Oleh karena itu, terus terang saya mendambakan dosen yang ideal, yang bernama “Dosen Pelatih”. Bukan dosen wali yang hanya bertugas pada setiap awal semester pendafaran rencana studi mahasiswa, yang berbicara beberapa menit saja dengan mahasiswa dalam rentang enam bulan.'
BalasHapusSetuju sekali dgn pernyataan di atas, Pak. Saya mengalaminya sendiri,hehehe..