Minggu, 23 Agustus 2009

Menulis atau Karier di Kampus Habis?

Oleh Cardiyan HIS


Bila para dosen apalagi profesor tak mampu berkarya yang salah satu indikator utamanya adalah karya penelitiannya dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia. Maka tak mengherankan tidak sedikit dari mereka dengan jiwa ksatria mundur dari kampus kelas dunia untuk alih profesi. Bahkan sampai ada para penyandang PhD yang menjadi supir taksi dan pencuci piring di restoran di Amerika Serikat. Bagaimana di Indonesia?



"Publish or perish". Demikian adagium yang sangat terkenal di kalangan para dosen peneliti di kampus berkelas dunia. Dan adagium ini diterapkan secara konsisten oleh mereka. Sehingga para dosen peneliti berlomba-lomba secara sehat untuk terus meneliti, menuliskannya ke dalam sebuah paper dan mengirimkannya ke jurnal-jurnal kredibel di dunia untuk dinilai oleh para peer reviewer berkelas dunia pula. Apakah karya penelitiannya layak muat atau hanya paper kelas ecek-ecek?


Bila para dosen peneliti apalagi profesor tak mampu berkarya yang salah satu indikator utamanya adalah dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia; maka tak mengherankan banyak dari mereka dengan jiwa ksatria mundur dari kampus kelas dunia untuk alih profesi. Bahkan sampai ada para penyandang PhD di Amerika Serikat yang menjadi supir taksi atau pencuci piring di restoran. Nah.


Tak mengherankan bila universitas-universitas kelas dunia seperti Harvard University, MIT, Stanford University, Cambridge University, Oxford University, para dosen peneliti dan profesor-profesornya selalu terkondisi untuk terus meneliti agar pencapaiannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Universitas-universitas kelas dunia tersebut memiliki "Citation Index" di atas 3. Artinya rata-rata dosen peneliti mereka menulis 3 paper hasil penelitian orisinal (bukan "review paper") per tahun yang dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia.


Ceriteranya dari Indonesia, hanya ada 3 universitas saja yang sudah berkelas dunia versi the TIME Higher Education QS (Inggris) yakni ITB, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Namun bila Citation Index dijadikan ukuran bagi ketiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia ini, menurut pendapat penulis ketiganya sesungguhnya masih belum pantas untuk menyandang predikat “World Class University”.


Maka bisa dipahami bila ada seorang dosen peneliti UGM yang berjiwa ksatria yakni Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, DR. Susetiawan, yang mengingatkan tanpa menafikan prestasi UGM di kategori Ilmu-ilmu Sosial, UGM harus tetap mawas diri dan tak lupa melakukan otokritik. ”Benarkah UGM sudah sesuai dengan peringkat kualitas tersebut?”, tanya doktor peneliti sosial UGM ini. Menurut Susetiawan, kalangan akademik khususnya dari kalangan Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia harus mempertanyakan keabsahan pemberian peringkat oleh the TIME HE QS tersebut untuk UGM. Sebab kenyataannya sampai saat ini belum ada figur ilmuwan sosial yang dilahirkan dari UGM dan menjadi rujukan kalangan akademik. Sampai saat ini, mereka yang menjadi rujukan hasil penelitian Imu Sosial di Indonesia justru berasal dari peneliti asing seperti Lance Castel, Clifford Geertz dan Robert Hefner.


ITB yang masih agak mendingan dibanding PTN atau lembaga riset lainnya di Indonesia pun yakni dengan berhasil mencatat 1.171 judul per 25 Juni 2009 versi Scopus (lembaga independen yang mengumpulkan berbagai karya dari jurnal ilmiah ternama dan terpilih di dunia) jangan berpuas diri. Sebab fakta ini belum mencerminkan gambaran umum kemampuan para dosen ITB secara merata. Bahkan yang sangat memprihatinkan masih lumayan banyak profesor ITB yang karyanya belum pernah dimuat di jurnal-jurnal ilmiah kelas dunia. Jadi tak lebih mereka masing-masing hanya menulis sebuah disertasi yang dibanggakan sepanjang hidupnya, tetapi itu pun belum tentu pula dijadikan sebagai “Cited Book” oleh para peneliti.


Karena sesungguhnya artikel-artikel ilmiah dosen ITB yang dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia tersebut versi Scopus ------seperti Nature, Lancet, Science, Proceedings of the National Academy of Science of the United States of America, Journal of the Acoustical Society of America, Journal of Vibration Acoustic, Physica C-Superconductivity, Advanced Materials, Physical Review, Energy Sources, International Journal of Heat and Mass Transfer, Mineallium Deposita, Geothermics, Journal of Sedimentary Research, Geochemical Exploration, Review of Geophysics, Earth and Planetary Science, Geophysical Journal International, Geophysical Journal International, Technophysics, Australian Journal of Combinatoria, Journal of Graph Theory, Chemical Engineering Science, Journal of Membrane Science, Filtration and Separation, Chemical and Engineering Data, Chemical Engineering Science, Polymer, American Journal of Cardiology, American Heart Journal, British Journal of Haematology, Circulation, American Journal of Human Genetics, Human Molecular Genetics, Theoritic and Applied Genetics, Biochemical Pharmacology, Biology of the Cell, Molecular Biology, Infection and Immunity, Journal of Immunology, Archive of Biochemistry and Biophysics, Plant Molecular Biology, Plant Journal, Biochemical Pharmacology, Biology of the Cell, Molecular and Cellular Endocrinology, Habitat, Cities, World Development, Urban Studies, Journal of Waterway Port Coastal, --------boleh dibilang ditulis oleh dosen ITB yang “eta keneh, eta keneh” (itu-itu saja). Meskipun kita boleh memberikan apresiasi yang tinggi karena dosen yang itu-itu saja ternyata adalah mayoritas dosen-dosen muda ITB. Karena itu kita boleh berharap ke depan akan lebih banyak lagi mereka berkarya dan juga membimbing generasi dosen muda berikutnya.


Sesungguhnya ITB paling diharapkan Indonesia karena ITB memiliki jumlah dosen bergelar derajat Doktor (PhD) terbanyak di Indonesia yakni 798 dosen bergelar PhD dari jumlah 1.025 seluruh dosen ITB. Mengapa? Kita berharap banyak kepada para dosen penyandang PhD lulusan “World Class University” karena mereka sudah terbiasa untuk terkondisi pada situasi atau iklim meneliti yang tinggi. Jadi tak mengherankan bila di Universitas Indonesia, UGM, IPB Bogor dan LIPI pun mirip dengan kasus yang ditemui di ITB. Malah mereka lebih parah lagi. Maksudnya dengan jumlah dosen UI, UGM dan IPB yang jauh lebih banyak dari jumlah dosen ITB; maka UI, UGM dan IPB yang masing-masing memiliki sekitar 3.500 dosen, semestinya jumlah judul artikel ilmiah yang berhasil diraihnya harus jauh lebih banyak dari ITB (Lihat Tabel di bawah ini).


“Jumlah Judul Artikel Ilmiah Universitas dan Lembaga Penelitian di Indonesia yang Dimuat di Jurnal-jurnal Ilmiah Kelas Dunia Versi Scopus per 25 Juni 2009”


1. Institut Teknologi Bandung (ITB): 1.171 judul
2. Universitas Indonesia (UI): 1.160 judul
3. Universitas Gadjah Mada (UGM): 717 judul
4. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): 517
5. Institut Pertanian Bogor (IPB): 509 judul


Sumber: “Pidato Rektor ITB pada Peringatan 89 Tahun Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia, 4 Juli 2009”.


Ada banyak kilah dari para dosen bahwa PTN mendapat Dana Penelitian melalui dana Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas RI dari sumber APBN 2009 sangat minim. Yakni di bawah Rp. 500 milyar. Itu pun harus dibagi kepada ratusan PTN yang ada. Jadi sangat sulit diharapkan para dosen peneliti untuk berbuat lebih jauh untuk melakukan riset orisinal dengan dana yang sangat minim itu. Memang sih kalau dibanding dengan dana penelitian yang dibelanjakan oleh “World Class Universities”, dana penelitian PTN Indonesia ibarat bumi dan langit (Lihat Tabel).


Belanja Riset Universitas-universitas Kelas Dunia:


1. California Institute of Technology (Caltech): US$ 1.780.600.000.-
2. Massachusetts Institute of Technology (MIT): US$ 598.300.000.-
3. Harvard University: US$ 569.900.000.-
4. Oxford University: US$ 567.700.000.-
5. Kyoto University: US$ 527.500.000.-
6. National University of Singapore (NUS): US$ 470.400.000.-
7. Seoul National University (SNU): US$ 298.200.000.-
8. Tokyo Institute of Technology: US$ 116.400.000.-
9. Universitas Gadjah Mada (UGM): US$ 30.000.000.-
10. Institut Teknologi Bandung (ITB): US$ 4.000.000.-
Sumber: Website masing-masing Perguruan Tinggi, diolah kembali oleh penulis.


Namun menurut penulis, jumlah dana penelitian janganlah dijadikan “kambing hitam” terus-terusan untuk menutup ketidak-mampuan meneliti, menulis dan mempublikasikannya di jurnal ilmiah kelas dunia. Kita berharap, para dosen di kampus-kampus Indonesia dapat memelihara semangat juang untuk terus meneliti dengan segala keterbatasan yang ada dengan melakukan terobosan kreatif. Karena ternyata Indonesia selalu menghasilkan “keajaiban” dengan kekayaan anak manusianya yang bertalenta luar biasa untuk menghasilkan karya yang luar biasa pula. Jadi sambil berjalan memperjuangkan kenaikan dana penelitian dari pemerintah dan sumber-sumber lain misalnya dunia industri dan para filantropis, ya kita berharap para dosen peneliti tak putus asa. Tokh masih relatif “untung” nasibnya tidak seperti koleganya di Amerika Serikat yang alih profesi menjadi sopir taksi dan pencuci piring di restoran, padahal mereka adalah para penyandang PhD lulusan universitas kelas dunia.

1 komentar:

  1. Meneliti dan Melaporkan hasil temuan itu bagus, menurut Saya akan lebih baik lagi apabila ilmuan sosial di Indonesia juga punya prestasi dalam pengabdian masyarakat. Jadi pandai tidak hanya untuk diri sendiri namun juga bermafanfaat untuk orang lain .....

    Salam :)

    BalasHapus