Sabtu, 26 Februari 2011

Menyedihkan Mantan Aktivis Kampus Menjadi Diktator dan atau Koruptor

Oleh Cardiyan HIS


Sejak lama kampus-kampus di Indonesia sudah bukan menjadi lembaga pendidikan lagi tetapi hanya lembaga ujian. Bahkan ditengarai ikut berperan juga sebagai pencetak koruptor dan atau diktator? Proses pendidikan karakter secara sistematis dan berkesinambungan adalah suatu keniscayaan. Tetapi kampus sering berkilah pendidikan karakter hanya buang-buang waktu dan duit.



Dipo Alam, Menteri Sekretaris Kabinet RI dilaporkan Media Group (“Metro TV” dan harian “Media Indonesia”) ke Bareskrim Mabes Polri. Karena waktu 3x24 jam yang diberikan “Metro TV” dan “Media Indonesia” kepada Dipo untuk meminta maaf tidak juga dipergunakan Ini sebagai buntut pernyataan Dipo Alam, agar memboikot 2 media elektronik (“Metro TV” dan “TV One”) dan satu media cetak harian “Media Indonesia”, yang dinilai selalu bersikap tendensius menjelek-jelekkan pemerintahan SBY. Dipo Alam, menurut pengacara Media Group DR. OC Kaligis, SH, telah melanggar UU 14/2008 tentang “Keterbukaan Informasi Publik” dan UU 40/1999 tentang “Pers” pasal 4 ayat 2.


Dalam pada itu, DR. Adnan Buyung Nasution, SH tak habis pikir. Seorang Dipo Alam yang dulu dikenal sebagai seorang aktivis Ketua Dewan Mahasiswa UI 1975-1976 ini berubah total menjadi seorang otoriter, seorang diktator. "Saya malu jadinya. Dipo Alam itu dulu seorang aktivis, saya ikut membela dia bersama, Hariman dan WS Rendra. Sebagai mantan aktivis kampus seharusnya dalam jiwanya terbentuk segala sikap anti-otoriter. Lha kok sekarang dia dengan jabatannya sebagai Menteri Sekretaris Kabinet menjadi sewenang-wenang," kata Buyung kepada sebuah statsiun televisi.


Fenomena Dipo Alam ini semakin menambah gugatan masyarakat bahwa para mantan aktivis kampus terkenal di Indonesia diragukan integritasnya untuk menjadi agen perubahan Indonesia yang semakin terpuruk. Gugatan masyarakat ini semakin mengemuka karena sebelumnya ada mantan aktivis kampus ITB yang dipenjara karena kasus suap di Komite Pengawasan dan Perlindungan Persaingan Usaha. Dan awal Februari 2011 ada mantan aktivis kampus ITB yang ditahan KPK atas suap cek pelawat pemenangan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Masyarakat pantas menggugat, alih-alih diharapkan menjadi agen perubahan yang kredibel, eh mereka malah menjadi diktator dan atau koruptor! Bahkan para mantan aktivis kampus ITB yang pernah dipenjara gara-gara melawan rejim Soeharto kepada penulis mengungkapkan: “Saya sangat muak dan tak akan pernah mau membesuk sesama rekan aktivis kampus kalau mereka dipenjara karena kasus korupsi!”.


Nah, kalau yang jelek-jelek terekspose dari para mantan aktivis kampus, maka almamater kampus dari anak durhaka itu ikut terseret-seret. Bahkan diduga kuat, ITB khususnya ikut pula berperan besar dalam keterpurukan negara Indonesia tercinta ini menjadi negara penuh skandal memalukan. Sehingga Krisis Moneter yang mengawalinya telah meningkat menjadi Krisis Multi Dimensi hingga sekarang ini? (Cukuplah Kampus Mencetak Garong, HU “Pikiran Rakyat”, 5 Maret 2006).


Barangkali penilaian itu memang terlalu ekstrim, karena dalam kenyataannya masih lebih banyak mantan aktivis kampus yang bermoral. Sehingga akibat berita yang “diplintir” wartawan “Pikiran Rakyat” -----atas makalah saya di acara seminar yang diselenggarakan oleh Kabinet Mahasiswa ITB di Aula Timur ITB pada 4 Maret 2006 itu------ saya sempat “dikeroyok” oleh dosen-dosen ITB sebagai penilaian yang sangat kejam.


Almamater memang tak bisa disalahkan terus menerus. Tetapi kampus harus terus menerus diingatkan agar merenungi kembali sebagai lembaga pendidikan dan bukan lembaga ujian. Sebagai lembaga pendidikan, sebagai lembaga penjaga pilar-pilar kebenaran, kampus harus memiliki visi kuat dalam menjalankan misi pendidikan mendidik mahasiswa yang berkarakter kuat disamping mengajar mahasiswa menjadi cerdas. Penekanan kepada bagaimana mendidik mahasiswa menjadi mahasiswa berkarakter kuat baru kemudian mahasiswa cerdas adalah sangat penting karena bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang sedikit memiliki pemimpin yang berkarakter kuat untuk membawa Indonesia lolos dari krisis multi dimensi ini. Sulit membayangkan Indonesia sebagai negara besar kalau kampus papan atas yang diharapkan sebagai pionir tak mampu mendidik para mahasiswanya dengan visi dan misi yang berkarakter kuat, penuh idealisme, berjiwa nasionalisme Indonesia disamping cerdas.


Untuk itu kampus juga harus memiliki para dosen yang berkarakter pendidik, berkarakter pelatih. Yang memiliki kesabaran dalam melakukan proses pendidikan kepada para mahasiswanya. Proses latihan yang sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya bagi para mahasiswa, jangan dipandang oleh para rektor dan jajarannya sebagai buang-buang waktu dan buang-buang duit. Tetapi ini semua adalah bagian dari bagaimana kampus papan atas yang memperoleh bahan baku lulusan SLA terbaik harus dapat mengimbanginya dengan memberikan nilai tambah tinggi menghasilkan sarjana yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi, penuh idealisme, penuh nasionalisme Indonesia disamping cerdas.


http://id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6

Minggu, 20 Februari 2011

Menggulingkan Nurdin Halid? Serahkan kepada Ical

Oleh Cardiyan HIS

Nurdin Halid adalah sosok fenomenal bagaimana seorang anak manusia harus survive. Mana mau dia disuruh turun. Sedangkan semasa di dalam bui saja dia bisa mengendalikan PSSI. Ketua Umum PSSI, bagi Nurdin Halid adalah segalanya. Jabatan kebanggaan yang sangat prestisius apalagi setelah dirinya dua kali menjadi terpidana dan beberapa kasus lagi masih menghadang di depan. Lalu?


Bagaimana menggusur Nurdin Halid? Menurut penulis, ya serahkan saja ke Aburizal Bakrie (Ical), Ketua Umum Golkar. Lho ke Ical? Tentu saja, karena “keberhasilan” timnas masuk final Piala AFF ybl diklaim Nurdin Halid adalah karena kemampuan dirinya memimpin PSSI. Dan kemudian ada embel-embelnya, kata Nurdin Halid lagi, karena dukungan Partai Golkar! Nurdin memang jagoan memanipulasi fakta. Ketika lawannya menekan dengan jalur politik, Nurdin berkilah jangan mempolitisi sepakbola. Dan sebaliknya manakala Nurdin mengklaim keberhasilan PSSI digadang-gadang berkat dukungan Partai Golkar.

Nurdin Halid sendiri memang kader Golkar “terpercaya” dan sudah menjadi rahasia umum menjadi “ATM Berjalan” sejak jaman rejim Soeharto. Dan dalam rangka pemenangan Pemilu Presiden 2014, Nurdin Halid telah ditunjuk Ical sebagai Ketua Pemenangan Pemilu Golkar se Sulawesi. Bukan main!

PSSI yang bulan Maret 2011 nanti akan mengadakan Kongres antara lain agendanya “meresmikan” Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI yang ketiga kali berturut-turut; telah memakan korban-korbannya. Arifin Panigoro (teman sekampus Ical di ITB, bahkan sama-sama dari jurusan Teknik Elektro ITB), yang memiliki PS Bandung Raya dan menjadi pembina dan sponsor tetap kompetisi PSSI U-15 adalah salah satu korban “kepiawaian” Nurdin Halid berorganisasi di PSSI (dan Golkar). George Toisutta, jenderal bintang 4 yang sekaligus KASAD yang nota bene puluhan tahun membina Persatuan Sepakbola Angkatan Darat (anggota PSSI) juga tak lolos verifikasi Panitia Pemilihan PSSI yang nota bene kroni-kroni Nurdin Halid.

Dua tokoh kuat secara figur dan keuangan telah dilindas kehebringan Nurdin Halid. Gebrakan Arifin Panigoro melalui Liga Primer Indonesia (LPI) secara konsepsional dan komersial adalah bagus. Tetapi itu saja tidak cukup karena “negara adidaya” bernama FIFA lebih mendukung “perpanjangan tangannya” di Indonesia yakni kompetisi Liga Super Indonesia (LSI) di bawah Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid. Hebatnya FIFA pun tutup mata dengan Statuta FIFA yang dimanipulasi oleh Nurdin Halid dan membolehkan “Nurdin good boy Halid” terpidana dua kali dan beberapa kasus pidana bakal menghadang di depannya; lolos verifikasi untuk menjadi calon Ketua Umum PSSI 2011-2015. Sebuah pelecehan akal sehat tetapi suatu fakta ini kehebatan kekuasaan Nurdin Halid.

Gerakan gusur Nurdin Halid melalui jaringan Facebook dan Twitter yang telah mencapai jutaan tetap tak mampu menurunkan nyali Nurdin Halid untuk mundur. Begitu pula ribuan demonstrasi para maniak sepakbola di seluruh Indonesia nyata-nyata tidak efektif. Bahkan yang efektif adalah slogan Nurdin Halid sendiri; “Saya sangat mencintai demokrasi. Sederhana saja. Saya hanya bisa diturunkan oleh anggota PSSI melalui Kongres PSSI”. Hebatnya, anggota-anggota PSSI sudah “disuap” macam-macam mulai amplop, entertaintments, studi banding ke klub-klub Real Madrid dan Manchester United dan entah apalagi.

Jadi untuk menggusur Nurdin Halid, menurut penulis hanya dua cara saja yang akan sangat efektif:

Pertama; serahkan kepada Ical, bosnya Nurdin Halid di Partai Golkar. Kalau Partai Golkar ingin memenangi Pemilu 2014 sekaligus mencalonkan Ical jadi Presiden RI 2014, jangan pelihara kader yang bermasalah seperti Nurdin Halid. Penggemar sepakbola itu mayoritas pemilih muda yang nota bene menjadi sasaran utama garapan Partai Golkar. Mana mau anak muda Indonesia memilih Partai Golar kalau juru kampanyenya orang-orang bermasalah seperti Nurdin Halid atau bahkan Ical sendiri yang masih bermasalah karena masih belum juga melunasi kewajiban kepada korban lumpur Lapindo. Dari sekarang Ical sebaiknya meminta Nurdin Halid mundur dari pencalonan Ketua Umum PSSI 2011-2015 demi misi yang lebih besar bagi Partai Golkar memenangi Pemilu 2014dan Pilpres 2014.

Kedua; sebenarnya lebih gampang lagi yakni pakai jalur hukum baik melalui KPK maupun Polisi dan Jaksa. Mengapa? Karena Nurdin Halid hanya takut dengan urusan hukum pidana. Sedikitnya ada 2 (dua) bukti pidana yang melilit dirinya. Yakni bukti aliran dana dari penetapan Pengadilan di Samarinda bahwa Nurdin Halid dan Andi Darussalam menerima aliran dana korupsi APBD dari terdakwa mantan manajer Persisam masing-masing Rp. 100 juta dan Rp. 80 juta. Kemudian bukti pengakuan Hamka Yamdhu, mantan anggota DPR 2004-2009 dari Partai Golkar yang juga mantan Bendahara PSSI pada Pengadilan Tipikor, bahwa Nurdin Halid menerima dana Rp. 500 juta berupa suap cek pelawat pemenangan Miranda Goeltom, sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.

Masalahnya Nurdin Halid pun tak bakalan tinggal diam. Otak Nurdin barangkali sudah berpikir melampaui jamannya. Apalagi KPK, Polisi dan Jaksa sering berolahraga “jalan di tempat” dari pada bergerak jalan aktif mencokok para koruptor kelas kakap.