Selasa, 13 Oktober 2009

Mari Kita Benahi Bersama, “Public Relations” ITB yang Memprihatinkan!

Oleh Cardiyan HIS

Lebih sering berita buruk yang muncul ke media massa tentang ITB. Mulai dari pencetak joki, penyiksa mahasiswa baru, pabrik narsisus sampai ranking ITB yang melorot versi The Times (UK) 2009 ini. Padahal bila ITB pintar main “PR” sudah sepatutnya mengangkat sisi lain keberhasilan ITB nomor 80 di dunia untuk “Technology Area” yang paling prestisius, satu-satunya PTN Indonesia yang masuk 100 Besar Dunia; sedangkan UI hanya terduduk lesu di ranking 198 dan UGM terpojok di sudut 233. Namun bukan soal sekedar ranking, tetapi bagaimana ITB menjadi lebih ramah dalam menghela bangsanya menjadi kontributor bagi peradaban dunia.



Kampus UI dan UGM sedang berbunga-bunga. Maklum ranking UI dan UGM tahun 2009 versi The Times Higher Education Supplement-QS World University Ranking (UK); meningkat tajam. UI ranking 201 dari sebelumnya 287 (untuk overall score) dan UGM ranking 250 dari sebelumnya 316. Sementara ITB menurun menjadi 351 dari sebelumnya 315.


Kok ITB adem ayem saja dibandingkan dengan UI dan UGM? Lihat bagaimana Rektor UI dan UGM beserta semua civitas academicanya sedang senang-senangnya; tebar pesona ke sana kemari; menyebar-luaskan berita gembira pencapaian kampusnya ke segala penjuru angin untuk sebesar-besarnya manfaat bagi kampus mereka. Public relations (PR) UI dan UGM yang memang memiliki jurusan Komunikasi ini memang luar biasa, muka yang sedikit jerawatan pun bisa di-make-up menjadi sangat kinclong. Apalagi ada pengakuan dari pemeringkat universitas dunia The Times asal Inggris, wah sudah terbayangkan cantiknya UI dan UGM ini. Walaupun di kalangan masyarakat ilmiah Indonesia yang kritis, tahu benar kemampuan UI dan UGM yang sesungguhnya. Namun fakta itu untuk saat ini, jangan sekali-sekali diungkapkan ke media massa umum, karena UI dan UGM akan sangat terusik keras seperti kemarahan induk kucing manakala anak yang baru dilahirkannya diganggu manusia. Biarkan mereka menikmati kemenangannya, sepuas-puasnya. Tidak salah tokh?


ITB memang adem ayem saja kalau tak boleh dibilang menanggapinya dengan sangat “cool” soal ranking-rankingan universitas kelas dunia ini, tentu ada sebabnya. Pertama, sekarang ITB sedang sibuk dan fokus kepada hajatan pemilihan calon Rektor ITB 2009-2014. Kedua, tak ada yang perlu dicemaskan oleh ITB soal ranking ITB yang melorot dari 315 ke 351 untuk “overall score”. Lho ITB ‘kan institut teknologi yang dari segi “size” (ukuran) pun tak mungkin dibanding-bandingkan dengan yang namanya universitas yang sangat besar, yang memiliki semua fakultas di dalamnya. Lagi pula ITB ‘kan malah NAIK dari ranking 90 menjadi ranking 80 untuk “Technology Area”; malah menang telak dari UI yang ranking 198 apalagi dengan UGM yang ranking 233. Kemudian ITB yang ranking 153 untuk “Natural Sciences Area” menewaskan UGM di ranking 198 dan memojokkan UI terduduk lesu di ranking 242. Bahkan untuk “Life Sciences & Biomedicine Area” ITB yang tak memiliki Fakultas Kedokteran pun (hanya Sekolah Farmasi dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) mendapat ranking lumayan di urutan 264 meski tentu saja kalah sama UGM di ranking 103, UI ranking 126 dan Unair ranking 224.


ITB adem ayem saja. Tanya kenapa? Ya karena ITB tetap superior di bidangnya sebagai sebuah institusi teknologi terbaik di Indonesia, eh malah untuk “Technology Area” ini mengalahkan banyak universiti papan atas Amerika Serikat seperti University of Chicago, University of Wisconsin at Urbana Champaign, Northwestern University, University of Southern California, Noth Carolina University, University of California at Davis, University of California at Irvine, Rice University, Brown University, University of Washington, University of Pennsylvania, Pennsylvania State University, Duke University, Boston University dan banyak lagi. Undang saja “public relations” kelas dunia untuk promosi ITB agar semakin banyak bule-bule ini sekolah di ITB, yang uang kuliahnya “murah banget”.


BENAHI PUBLIC RELATIONS ITB

Penulis sangat beruntung mendapat kehormatan menjadi salah seorang panelis unsur alumni ITB pada acara “Inter Aksi Calon Rektor ITB dengan Masyarakat” di Aula Barat ITB, 10 Oktober 2009 ybl. Pada acara tersebut penulis menilai bahwa ITB memang harus belajar banyak sama UI dan UGM dan juga tetangga terdekatnya Universitas Padjadjaran Unpad), untuk soal “Public Relations” atau disingkat “PR” ini.


Penulis ungkapkan kekecewaan bagaimana ITB yang untuk pertama kalinya meluncurkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Hotel Hilton Jakarta pada tahun 2001 ternyata di website: www.itb.ac.id tak pernah meng-update pencapaian HAKI-nya yang mencapai 100 buah paten, terdiri dari 5 paten telah berhasil dikomersialisasi, 30 paten siap lisensi dan ini belum termasuk belasan hak cipta setelah 8 tahun yang lalu!!!. Lebih kaget lagi, setelah saya membaca data SCOPUS yang menjadi acuan tentang data jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional, jumlah web dan jumlah paten. Tanya kenapa? Data paten ITB ternyata tertulis di Scopus sebagai 0 (diulang: nol !!!). Sedangkan UI yang mengupdate terus web-nya mencatatkan paten sebanyak 22, UGM 5 serta LIPI 2 paten. ITB memang berhasil mencetak 1.200 publikasi ilmiah di jurnal internasional terbanyak di Indonesia, UI hanya 1.186, UGM 742, LIPI 527 dan IPB 518. Begitu pula ITB paling banyak memiliki Web yakni 10 dibanding UI 3 web, UGM 2 web dan LIPI 2 web.


Sayang sekali dong, pencapaian ITB yang begitu bagus soal HAKI dan publikasi ilmiah di jurnal kelas dunia ternyata oleh pihak ITB sendiri tidak dirawat secara sepatutnya. “Cepat benahi, jangan-jangan diambil Malaysia”, kata seorang alumnus FK UI yang dokter sangat senior di jaman Menteri Kesehatan RI Soewardjono Suryaningrat, sambil ketawa. Bagaimana ada investor kelas dunia yang mau membeli hasil invensi ITB kalau mengakses ke website ITB saja disuguhi data yang super kadaluarsa. Apalagi kalau tim Scopus atau tim pemeringkat universitas dunia The Time mau masuk ke wesite ITB, mereka akan bilang “ITB is very very KACIAN BANGET”. Ya ITB, sama saja tidak menghargai pencapaian sangat susah payah para dosen penelitinya yang merupakan kekuatan utama dari ITB dalam arti sesungguhnya; disamping mendapatkan masukan mahasiswa-mahasiswa baru ITB terbaik dari tahun ke tahun yang diakui oleh dunia internasional sebagai selektivitas mahasiswa terbaik di Asia Pasifik versi majalah “AsiaWeek” tahun 2000.


Penulis ungkapkan pula bagaimana ITB tak memiliki konsep dalam mengembangkan mahasiswa-mahasiswa yang bertalenta sangat baik ini menjadi lulusan-lulusan ITB yang berkarakter kuat, berjiwa nasionalis, bermental tangguh dalam mengarungi perjalanannya setelah lulus dari ITB. Kenapa? Karena ITB tetap menganggap bahwa mengembangkan karakter mahasiswa adalah sebuah “cost center”, sebuah “wasting time”, buang-buang waktu saja dan tidak menganggapnya sebagai “human investment” yang memang “long term” sifatnya. Tak mengherankan bila hasilnya sekarang sudah menggejala, bagaimana mahasiswa ITB banyak yang menjadi pelaku kriminal menjadi joki seleksi masuk PTN; banyak lulusan dan dosen narsisus yang mengidap gejala penyakit yang berbau meta fisika tetapi tak mampu berbuat apa-apa bagi lingkungannya dan perilaku buruk lainnya.


Tetapi kalau ITB berhasil mengubah mind-set untuk bersedia mengembangkan mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan, maka insya Allah pada puluhan tahun mendatang akan terlahir manusia-manusia ITB yang berkarakter kuat dan berhasil pada bidangnya masing-masing berkelas dunia. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Genuine Entrepreneur”, yang bukan saja hebat dalam skala usahanya tetapi yang terpenting menjalankan bisnisnya dengan cara-cara yang bermartabat. Akan banyak manusia ITB yang menjadi “World Class Stateman” yang berjiwa negarawan. Akan banyak dosen peneliti ITB yang menjadi “World Class Researcher” yang akan mengubah dunia menikmati peradabannya yang damai dengan berbasis ilmu-teknologi.

2 komentar:

  1. Saya sangat setuju dengan pemikiran Pak Cardiyan. Walaupun saya bukan alumni ITB, saya berharap banyak prestasi yang dihasilkan oleh para teknokrat kita. Misalnya, para lulusan ITB dapat membuat motor dan mobil made in Indonesia yang banyak diminati konsumen dalam dan luar negeri. Itu saja sudah sangat membanggakan kita, betul gak Pak Cardiyan...?
    Thanks.
    From: www.saefullohmsatori.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Saya tidak heran kalau ITB unggul dalam “Technology Area”,...Orang sudah jelas bagaimana fokus studi teknologi yang sudah berjalan bertahun2 di ITB. Jadi jangan dibandingkan dalam kelas UI dan UGM karena kriteria yang dimasukkan pun dalam hal teknologi. Suatu bobot yang pasti lebih dimiliki Institut Teknologi. Berbeda dengan 2 kampus tersebut.

    BalasHapus