Oleh Cardiyan HIS
Golkar 1 yang sudah kakek peot pun masih direbutin demi ngincar bagi-bagi kursi kabinet SBY jilid 2. Benar kata khatib shalat Ied, jangan-jangan Indonesia bubar justru setelah puasa selama satu bulan! Pindahin saja channel TV One dan Metro TV bila terus-terusan dijadikan alat kepentingan pribadi pemiliknya. Dan wartawan yang tak berkarakter pun jatuh menjadi “pelacur intelektual”.
Kalau jadi pemilik toko televisi, kita asyik bisa nonton secara paralel tayangan “Kick Andy” di Metro TV dan “Republik Mimpi” di TV One. Metro TV adalah milik Surya Paloh dan TV One milik Aburizal Bakrie. Kedua pengusaha ini tengah bersaing memperebutkan kursi Golkar 1, partai yang semakin peot karena perolehan suaranya semakin melorot. Tetapi tokh masih menjadi rebutan mereka berdua. Karena mereka masih berasumsi kalau menjadi Golkar 1, masih punya “bargaining position” dengan SBY, yang nyaris akan semakin mendekati kekuasaan seniornya Soeharto dalam mengangkangi kekuatan parlemen. Oleh karenanya, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie secara maksimal memanfaatkan media elektronika yang dimilikinya tersebut secara optimal untuk saling “membunuh”.
Hanya kita sebagai penonton televisi menjadi sangat sebel. Andy F. Noya yang dibangga-banggakan sebagai sangat humanis, pembela rakyat dan tak mau disetir oleh siapapun pengusaha kelas kakap termasuk oleh bos Surya Paloh, ternyata “wartawan kelas ecek-ecek” juga. Saya menyesal banget menghadiri dies Emas ITB awal Maret 2009 dengan satu alasan mau terbang dari Kalimantan Tengah untuk datang ke ITB karena ingin melihat Andy F. Noya (orang luar ITB) menerima penghargaan ITB yang sangat terkenal di dunia sangat pelit itu; mengapa ITB sampai memberi penghargaan begitu tinggi pada seorang Andy F. Noya? Apakah pasca insiden ini Andy F. Noya akan mundur dari Metro TV kita tunggu saja.
Dan di channel lain, TV One, seorang Emha Aenun Najib, yang bangga disebut budayawan papan atas Indonesia, yang dulu juga sangat bangga “direken” oleh Soeharto karena diundang sangat eksklusif satu dua hari sebelum Reformasi, begitu gagahnya membela keluarga Bakrie dalam kasus lumpur Lapindo. Apa urusannya budayawan Emha lebih membela pengusaha kelas atas Indonesia dibanding membela korban lumpur Lapindo?
Kolega saya di media cetak terpandang begitu gundahnya dengan insiden dagelan di dua media elektronika ini, forward ke saya jawaban sms-smsnya dari tokoh Dewan Pers dan KPI. Jawabannya memang seperti orang yang sudah sangat ngantuk habis menonton kedua dagelan itu. Media, baik itu media cetak maupun media elektronika memang semakin kasat mata telah menjadi alat para pemiliknya memainkan kepentingannya. Bisa kepentingan bisnis, bisa kepentingan politis atau sekedar menjadi alat mendongkrak popularitas pribadi menjadi selebritas alias pesohor. Bagaimana penonton yang sangat sebel akan segera pencet “remote control” manakala Surya Paloh, pemilik Metro TV begitu seringnya berbuih-buih di depan Metro TV seolah sangat heroik dengan durasi 4 sampai 5 menit tanpa editing sama sekali dari Pemimpin Redaksi Metro TV yang tentu sangat takut sama “big boss”. Masih agak mending Aburizal Bakrie tak turun gunung, dan menganggap lebih pantas diwakili oleh sang putra mahkota Anindya Bakrie untuk sering muncul di TV One.
Inilah persis apa yang dikatakan oleh John Swinton, the former Chief of Staff for the New York Times, was one of New York's best loved newspapermen. Called by his peers "The Dean of his Profession", John was asked in 1953 to give a toast before the New York Press Club, and in so doing, made a monumentally important and revealing statement. He is quoted as follows:
“.......The business of the journalists is to destroy the truth; to lie outright; to pervert; to vilify; to fawn at the feet of mammon, and to sell his country and his race for his daily bread. You know it and I know it, and what folly is this toasting an independent press? We are the tools and vassals of rich men behind the scenes. We are the jumping jacks, they pull the strings and we dance. Our talents, our possibilities, and our lives are all the property of other men. We are intellectual prostitutes."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar