Oleh Cardiyan HIS
Salah satu ukuran keberhasilan kampus di mana pun di dunia akan lebih banyak ditentukan oleh bagaimana kampus berhasil mencetak wirausaha baru dari tahun ke tahun. Pada tahap awal tidak terlalu penting skala usahanya tetapi bagaimana kualitas proses pencapaiannya. Tetapi di kemudian hari merekalah yang akan mengubah dunia.
Sangat sulit kalau tak dikatakan mustahil untuk menjadi “Wirausaha Sukses” kalau tak punya koneksi ke sesama alumni ITB. Lebih spesifik lagi punya akses ke sesama alumni ITB yang tengah menjadi pejabat tinggi pemerintah. Anggapan yang seperti sudah menjadi mitos ini begitu melekat pada banyak mahasiswa ITB, alumni ITB baru lulus yang berniat terjun menjadi wirausaha dan atau alumni ITB yang sedang jatuh kesakitan dalam meniti karier menjadi wirausaha.
Namanya juga mitos belum tentu sebagian atau sepenuhnya benar. Mitos ini wajar timbul karena lebih banyak alumni ITB yang terlalu melihat ke atas. Melihat ke pencapaian kakak-kakak seniornya seperti Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, TP Rachmat, Beni Subianto, Iman Taufik, Achmad Ganis, Achmad Kalla yang memang semuanya “World Class Player”, yang telah menjadi kebanggaan kita semua.
Coba para alumni ITB melihat juga kepada keberhasilan wirausaha alumni ITB yang lebih muda, tetapi proses pencapaiannya tak kalah sama senior-senior tadi. Misalnya Denni Andri yang alumnus Geologi ITB (1989) yang merintis dari bawah sampai mendudukkan perusahaannya menjadi pemain kelas dunia untuk produk turbin dan mesin-mesin industri lainnya. Bagaimana Irwan H. Marbun (Teknik Sipil ITB 1980) dan rekannya M. Fauzan (Teknik Sipil 1985) sangat hebat berwirausaha di bidang pembuatan tangki-tangki penyimpan raksasa yang memerlukan penguasaan teknologi tinggi yang sebelumnya biasa dikerjakan oleh Chicago Bridge & Iron dan Toyo Kanetsu. Perusahaannya kini dipercaya untuk mengerjakan banyak proyek di perusahaan-perusahaan minyak dan gas tidak hanya di Indonesia tetapi juga mulai mengerjakan proyeknya di luar negeri. Atau Saidi Pranoto, alumnus Teknik Geodesi ITB yang dulu karyawan sebuah konsultan sumberdaya alam kemudian keluar untuk mulai menapak berwirausaha dari kecil, menengah, menengah besar, besar dan “besar sekali” sekarang ini, dengan memiliki banyak pesawat terbang untuk keperluan pemetaan udara maupun pesawat penumpang ke puluhan rute penerbangan perintis di puluhan kabupaten di Indonesia. Ada juga alumnus ITB yang semula menjadi intrapreneur kemudian menjadi wirausaha kecil mengerjakan serabutan berbagai order pekerjaan; kemudian menjadi “juragan batubara” karena dari tabungan deposito yang dimilikinya selama bekerja dan keuntungan berwirausaha kecil-kecilan tadi telah mampu menaikkan nilai tambahnya menjadi pemegang belasan ijin Kuasa Pertambangan Batubara dengan luas puluhan ribu hektar; yang kemudian dikembangkannya sendiri dan sebagian di antaranya sudah mulai produksi batubara dan bahkan sudah jutaan metrik ton batubaranya “loading” ke tongkang maupun “mother vessel” menuju berbagai industri di dunia. Itu adalah sekedar contoh-contoh kecil saja karena terlalu panjang untuk diungkapkan satu persatu disini dalam sebuah artikel di mailist ini.
Saya jadi ingat salah satu postingan email di sebuah mailist dari Ir. Irsal Imran, PhD, alumnus Sipil ITB (angkatan masuk 1983) yang sejak belasan tahun bekerja di Amerika Serikat yakni tentang “Insinyur Abstrak”. Indonesia lebih memerlukan insinyur abstrak yang pemikirannya dapat menerawang tidak sekedar tukang insinyur seperti yang diperankan dengan baik oleh artis senior RanoKarno pada serial sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” di stasiun TV RCTI belasan tahun silam. Yang banyak dijumpai di Indonesia dalam pengamatan Irsal Imran adalah insinyur yang memang profesional dalam bidangnya tetapi lebih cenderung mengejar gaji tinggi doang.
“Insinyur Abstrak” dalam pengertian saya adalah insinyur yang kemampuan imajinasinya tinggi yang karena pintar mengukur diri untuk tidak langsung mewujudkan cita-citanya tetapi dia “sekolah” terlebih dulu di sebuah perusahaan kredibel untuk mengasah kemampuannya dan menguatkan mentalnya, membuat jejaring pula bertahun-tahun, sambil menabung gajinya yang gede untuk suatu ketika setelah keberaniannya memuncak kemudian dijadikan modal awal berwirausaha. Ada proses menjadi “intrapreneur” terlebih dulu disini kemudian menjadi “entrepreneur pemula” yang telah dibekali keahlian, jejaring yang telah terbentuk ketika menjadi intrapreneur dan terutama keberanian mengambil risiko dari “orang makan gaji” menjadi “orang menggaji orang”. Atau bahkan ada yang prosesnya bisa dimulai sejak menjadi mahasiswa telah menjadi “entrepreneur kelas gurem” dari segi skala tetapi ada keberanian luar biasa yang tumbuh sejak dini, sedikit kemampuan dan sangat sedikit modal serta sedikit rintisan jejaring.
Kita memang sangat mendambakan lebih banyak lagi lulusan perguruan tinggi di Indonesia memilih wirausaha sebagai pilihan profesinya. Karena bukan saja akan mengurangi deretan jumlah sarjana yang menganggur tetapi juga akan membuka kesempatan kerja yang lebih luas. Oleh karena itu, saya sejak lama telah sering mengingatkan agar kampus-kampus di Indonesia mengembangkan lebih banyak proses latihan bagi mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan, antara lain pembentukan unit-unit Inkubator Bisnis di kampus yang dikelola secara sungguh-sungguh dan profesional. Kebijakan ini akan sangat strategis bagi pencetakan kelahiran lebih banyak wirausaha baru berbasis kampus. Kita mendambakan kampus ITB tidak hanya menjadi kampus riset tetapi lebih hebat lagi menjadi “Entrepreneur University”. ITB diharapkan dari tahun ke tahun lebih banyak mencetak cikal bakal “Wirausaha Sejati” yang di kemudian hari di antara mereka akan ada yang berhasil menjadi “World Class Entrepreneur” yang akan mengubah Dunia.
Senin, 28 September 2009
Sabtu, 26 September 2009
Sampai Wartawan Dua TV pun Terpaksa Jadi “Pelacur” Demi Golkar 1 yang Peot
Oleh Cardiyan HIS
Golkar 1 yang sudah kakek peot pun masih direbutin demi ngincar bagi-bagi kursi kabinet SBY jilid 2. Benar kata khatib shalat Ied, jangan-jangan Indonesia bubar justru setelah puasa selama satu bulan! Pindahin saja channel TV One dan Metro TV bila terus-terusan dijadikan alat kepentingan pribadi pemiliknya. Dan wartawan yang tak berkarakter pun jatuh menjadi “pelacur intelektual”.
Kalau jadi pemilik toko televisi, kita asyik bisa nonton secara paralel tayangan “Kick Andy” di Metro TV dan “Republik Mimpi” di TV One. Metro TV adalah milik Surya Paloh dan TV One milik Aburizal Bakrie. Kedua pengusaha ini tengah bersaing memperebutkan kursi Golkar 1, partai yang semakin peot karena perolehan suaranya semakin melorot. Tetapi tokh masih menjadi rebutan mereka berdua. Karena mereka masih berasumsi kalau menjadi Golkar 1, masih punya “bargaining position” dengan SBY, yang nyaris akan semakin mendekati kekuasaan seniornya Soeharto dalam mengangkangi kekuatan parlemen. Oleh karenanya, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie secara maksimal memanfaatkan media elektronika yang dimilikinya tersebut secara optimal untuk saling “membunuh”.
Hanya kita sebagai penonton televisi menjadi sangat sebel. Andy F. Noya yang dibangga-banggakan sebagai sangat humanis, pembela rakyat dan tak mau disetir oleh siapapun pengusaha kelas kakap termasuk oleh bos Surya Paloh, ternyata “wartawan kelas ecek-ecek” juga. Saya menyesal banget menghadiri dies Emas ITB awal Maret 2009 dengan satu alasan mau terbang dari Kalimantan Tengah untuk datang ke ITB karena ingin melihat Andy F. Noya (orang luar ITB) menerima penghargaan ITB yang sangat terkenal di dunia sangat pelit itu; mengapa ITB sampai memberi penghargaan begitu tinggi pada seorang Andy F. Noya? Apakah pasca insiden ini Andy F. Noya akan mundur dari Metro TV kita tunggu saja.
Dan di channel lain, TV One, seorang Emha Aenun Najib, yang bangga disebut budayawan papan atas Indonesia, yang dulu juga sangat bangga “direken” oleh Soeharto karena diundang sangat eksklusif satu dua hari sebelum Reformasi, begitu gagahnya membela keluarga Bakrie dalam kasus lumpur Lapindo. Apa urusannya budayawan Emha lebih membela pengusaha kelas atas Indonesia dibanding membela korban lumpur Lapindo?
Kolega saya di media cetak terpandang begitu gundahnya dengan insiden dagelan di dua media elektronika ini, forward ke saya jawaban sms-smsnya dari tokoh Dewan Pers dan KPI. Jawabannya memang seperti orang yang sudah sangat ngantuk habis menonton kedua dagelan itu. Media, baik itu media cetak maupun media elektronika memang semakin kasat mata telah menjadi alat para pemiliknya memainkan kepentingannya. Bisa kepentingan bisnis, bisa kepentingan politis atau sekedar menjadi alat mendongkrak popularitas pribadi menjadi selebritas alias pesohor. Bagaimana penonton yang sangat sebel akan segera pencet “remote control” manakala Surya Paloh, pemilik Metro TV begitu seringnya berbuih-buih di depan Metro TV seolah sangat heroik dengan durasi 4 sampai 5 menit tanpa editing sama sekali dari Pemimpin Redaksi Metro TV yang tentu sangat takut sama “big boss”. Masih agak mending Aburizal Bakrie tak turun gunung, dan menganggap lebih pantas diwakili oleh sang putra mahkota Anindya Bakrie untuk sering muncul di TV One.
Inilah persis apa yang dikatakan oleh John Swinton, the former Chief of Staff for the New York Times, was one of New York's best loved newspapermen. Called by his peers "The Dean of his Profession", John was asked in 1953 to give a toast before the New York Press Club, and in so doing, made a monumentally important and revealing statement. He is quoted as follows:
“.......The business of the journalists is to destroy the truth; to lie outright; to pervert; to vilify; to fawn at the feet of mammon, and to sell his country and his race for his daily bread. You know it and I know it, and what folly is this toasting an independent press? We are the tools and vassals of rich men behind the scenes. We are the jumping jacks, they pull the strings and we dance. Our talents, our possibilities, and our lives are all the property of other men. We are intellectual prostitutes."
Golkar 1 yang sudah kakek peot pun masih direbutin demi ngincar bagi-bagi kursi kabinet SBY jilid 2. Benar kata khatib shalat Ied, jangan-jangan Indonesia bubar justru setelah puasa selama satu bulan! Pindahin saja channel TV One dan Metro TV bila terus-terusan dijadikan alat kepentingan pribadi pemiliknya. Dan wartawan yang tak berkarakter pun jatuh menjadi “pelacur intelektual”.
Kalau jadi pemilik toko televisi, kita asyik bisa nonton secara paralel tayangan “Kick Andy” di Metro TV dan “Republik Mimpi” di TV One. Metro TV adalah milik Surya Paloh dan TV One milik Aburizal Bakrie. Kedua pengusaha ini tengah bersaing memperebutkan kursi Golkar 1, partai yang semakin peot karena perolehan suaranya semakin melorot. Tetapi tokh masih menjadi rebutan mereka berdua. Karena mereka masih berasumsi kalau menjadi Golkar 1, masih punya “bargaining position” dengan SBY, yang nyaris akan semakin mendekati kekuasaan seniornya Soeharto dalam mengangkangi kekuatan parlemen. Oleh karenanya, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie secara maksimal memanfaatkan media elektronika yang dimilikinya tersebut secara optimal untuk saling “membunuh”.
Hanya kita sebagai penonton televisi menjadi sangat sebel. Andy F. Noya yang dibangga-banggakan sebagai sangat humanis, pembela rakyat dan tak mau disetir oleh siapapun pengusaha kelas kakap termasuk oleh bos Surya Paloh, ternyata “wartawan kelas ecek-ecek” juga. Saya menyesal banget menghadiri dies Emas ITB awal Maret 2009 dengan satu alasan mau terbang dari Kalimantan Tengah untuk datang ke ITB karena ingin melihat Andy F. Noya (orang luar ITB) menerima penghargaan ITB yang sangat terkenal di dunia sangat pelit itu; mengapa ITB sampai memberi penghargaan begitu tinggi pada seorang Andy F. Noya? Apakah pasca insiden ini Andy F. Noya akan mundur dari Metro TV kita tunggu saja.
Dan di channel lain, TV One, seorang Emha Aenun Najib, yang bangga disebut budayawan papan atas Indonesia, yang dulu juga sangat bangga “direken” oleh Soeharto karena diundang sangat eksklusif satu dua hari sebelum Reformasi, begitu gagahnya membela keluarga Bakrie dalam kasus lumpur Lapindo. Apa urusannya budayawan Emha lebih membela pengusaha kelas atas Indonesia dibanding membela korban lumpur Lapindo?
Kolega saya di media cetak terpandang begitu gundahnya dengan insiden dagelan di dua media elektronika ini, forward ke saya jawaban sms-smsnya dari tokoh Dewan Pers dan KPI. Jawabannya memang seperti orang yang sudah sangat ngantuk habis menonton kedua dagelan itu. Media, baik itu media cetak maupun media elektronika memang semakin kasat mata telah menjadi alat para pemiliknya memainkan kepentingannya. Bisa kepentingan bisnis, bisa kepentingan politis atau sekedar menjadi alat mendongkrak popularitas pribadi menjadi selebritas alias pesohor. Bagaimana penonton yang sangat sebel akan segera pencet “remote control” manakala Surya Paloh, pemilik Metro TV begitu seringnya berbuih-buih di depan Metro TV seolah sangat heroik dengan durasi 4 sampai 5 menit tanpa editing sama sekali dari Pemimpin Redaksi Metro TV yang tentu sangat takut sama “big boss”. Masih agak mending Aburizal Bakrie tak turun gunung, dan menganggap lebih pantas diwakili oleh sang putra mahkota Anindya Bakrie untuk sering muncul di TV One.
Inilah persis apa yang dikatakan oleh John Swinton, the former Chief of Staff for the New York Times, was one of New York's best loved newspapermen. Called by his peers "The Dean of his Profession", John was asked in 1953 to give a toast before the New York Press Club, and in so doing, made a monumentally important and revealing statement. He is quoted as follows:
“.......The business of the journalists is to destroy the truth; to lie outright; to pervert; to vilify; to fawn at the feet of mammon, and to sell his country and his race for his daily bread. You know it and I know it, and what folly is this toasting an independent press? We are the tools and vassals of rich men behind the scenes. We are the jumping jacks, they pull the strings and we dance. Our talents, our possibilities, and our lives are all the property of other men. We are intellectual prostitutes."
Label:
Cardiyan HIS,
Golkar 1,
Media TV,
Pelacur Intelektual
Selasa, 22 September 2009
1 Syawal 1430 H, Bukan Awal Menumpulkan KPK ‘kan SBY?
Oleh Cardiyan HIS
Rapat rencana penunjukan langsung pejabat sementara KPK dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) oleh Presiden SBY sangat membahayakan independensi KPK. Terlebih SBY hanya mengundang anak buahnya saja yakni Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung dan Kapolri tanpa menyertakan sama sekali unsur pimpinan KPK yang tersisa.
Siapapun yang terpilih nanti, misalnya kalau kita berangan-angan SBY menunjuk Teten Masduki, Bambang Widjojanto atau Todung Mulia Lubis atau para pendekar anti korupsi yang memiliki integritas tinggi lainnya menyempil di antara “buaya” polisi yang akan bergabung dengan jaksa menjadi “godzilla” seperti diistilahkan sendiri oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang begitu mengerikan. Namun mekanisme perppu sebaik apa pun niat baik SBY tetaplah SBY telah intervensi terhadap independensi KPK.
Bisa dibayangkan, 3 orang yang ditunjuk sementara nanti akan mengobok-obok data sangat rahasia dan kalau perlu menghapus jejak setiap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sebelumnya. Karena siapa tahu banyak di antaranya pejabat tinggi, politisi atau pengusaha kakap yang karena politik citra terkesan sangat jujur, eh malah ternyata garong juga. Bukankah selama ini rakyat Indonesia tidak mengetahui gurita masalah kebobrokan para koruptor kelas kakap dan siapa di belakangnya yang lebih berkuasa penuh yang bertindak sebagai pelindung. Siapa pun yang ditunjuk SBY akan merasa “kehilangan budi baik” dan sebagai manusia akan cenderung lebih loyal kepada yang menunjuknya yakni kepada SBY ketimbang loyal terhadap rakyat Indonesia.
Bila kekhawatiran itu yang terjadi dalam kenyataannya, Indonesia dipastikan akan mundur kembali menjadi negara korupsi nomor satu di dunia! Mundur beratus tahun seperti Jepang pada masa Pra Restorasi Meiji atau mundur ke jaman korupsi rezim Soeharto. Masa depan Indonesia sungguh sangat-sangat suram. Dengan demikian Indonesia berkemungkinan sangat potensial menjadi negara gagal di dunia. Reformasi birokrasi pemerintah yang didengung-dengungkan oleh SBY akan mati lebih dini sejak dikomando di pusat pemerintahan di Jakarta. Dan pasti akan tambah hancur-hancuran manakala sangat banyak raja kecil di kabupaten-kabupaten seluruh provinsi Indonesia yang selama ini tidak tersentuh KPK akan merayakan pesta besar pemerasan dengan memasang biaya ekonomi tinggi kepada para Wirausaha Sejati (Genuine Entrepreneur) yang sebenarnya berniat berusaha untuk menggerakkan ekonomi daerah dan dengan demikian akan membuka kesempatan kerja yang lebih luas.
Semula kita sebenarnya sangat mengapresiasi atas pengorbanan sangat luar-biasa SBY untuk tidak pandang bulu untuk membiarkan KPK menyeret Aulia Pohan, besannya sendiri. Begitu pula dalam kampanye Pemilu 2009-2014, Partai Demokrat yang dilahirkan dari tangan SBY satu-satunya partai yang mengangkat isyu pemberantasan korupsi secara atraktif yakni dengan jargon: “Katakan tidak untuk korupsi. Lanjutkan!”. Maka adalah sungguh mulia bila SBY membuktikan jargon mentereng tersebut dalam praktek yakni menuntaskan integritas tinggi SBY untuk menghabiskan periode terakhir kepemimpinannya dengan tidak ragu-ragu lagi untuk: menghabisi koruptor-koruptor kelas kakap tanpa pandang bulu!!! Rakyat Indonesia akan berdiri di belakang SBY dan tersenyum bangga menatap Indonesia Raya ke depan yang akan menjadi adidaya kembali seperti tradisi Indonesia sebagai bangsa besar, yang meraih kebesarannya dengan perjuangan besar pula.
Jangan kecewakan rakyat mahasiswa yang berhasil menumbangkan rezim korup Soeharto. Jangan kecewakan rakyat yang telah melahirkan para pahlawan mahasiswa yang telah mempercayai Anda, SBY untuk kedua kalinya memimpin Indonesia. Sebaliknya kalau SBY yang secara pribadi adalah orang baik, tetapi seandainya sebagai Presiden RI masih ragu-ragu lagi membuktikan jargonnya “Katakan tidak untuk korupsi. Lanjutkan”. Maka sesungguhnya SBY telah menyimpan bom waktu demikian dahsyat bagi kemarahan sangat luar biasa rakyat Indonesia yang dizalimi sejak lama oleh para koruptor dan para pelindungnya.
Rapat rencana penunjukan langsung pejabat sementara KPK dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) oleh Presiden SBY sangat membahayakan independensi KPK. Terlebih SBY hanya mengundang anak buahnya saja yakni Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung dan Kapolri tanpa menyertakan sama sekali unsur pimpinan KPK yang tersisa.
Siapapun yang terpilih nanti, misalnya kalau kita berangan-angan SBY menunjuk Teten Masduki, Bambang Widjojanto atau Todung Mulia Lubis atau para pendekar anti korupsi yang memiliki integritas tinggi lainnya menyempil di antara “buaya” polisi yang akan bergabung dengan jaksa menjadi “godzilla” seperti diistilahkan sendiri oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang begitu mengerikan. Namun mekanisme perppu sebaik apa pun niat baik SBY tetaplah SBY telah intervensi terhadap independensi KPK.
Bisa dibayangkan, 3 orang yang ditunjuk sementara nanti akan mengobok-obok data sangat rahasia dan kalau perlu menghapus jejak setiap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sebelumnya. Karena siapa tahu banyak di antaranya pejabat tinggi, politisi atau pengusaha kakap yang karena politik citra terkesan sangat jujur, eh malah ternyata garong juga. Bukankah selama ini rakyat Indonesia tidak mengetahui gurita masalah kebobrokan para koruptor kelas kakap dan siapa di belakangnya yang lebih berkuasa penuh yang bertindak sebagai pelindung. Siapa pun yang ditunjuk SBY akan merasa “kehilangan budi baik” dan sebagai manusia akan cenderung lebih loyal kepada yang menunjuknya yakni kepada SBY ketimbang loyal terhadap rakyat Indonesia.
Bila kekhawatiran itu yang terjadi dalam kenyataannya, Indonesia dipastikan akan mundur kembali menjadi negara korupsi nomor satu di dunia! Mundur beratus tahun seperti Jepang pada masa Pra Restorasi Meiji atau mundur ke jaman korupsi rezim Soeharto. Masa depan Indonesia sungguh sangat-sangat suram. Dengan demikian Indonesia berkemungkinan sangat potensial menjadi negara gagal di dunia. Reformasi birokrasi pemerintah yang didengung-dengungkan oleh SBY akan mati lebih dini sejak dikomando di pusat pemerintahan di Jakarta. Dan pasti akan tambah hancur-hancuran manakala sangat banyak raja kecil di kabupaten-kabupaten seluruh provinsi Indonesia yang selama ini tidak tersentuh KPK akan merayakan pesta besar pemerasan dengan memasang biaya ekonomi tinggi kepada para Wirausaha Sejati (Genuine Entrepreneur) yang sebenarnya berniat berusaha untuk menggerakkan ekonomi daerah dan dengan demikian akan membuka kesempatan kerja yang lebih luas.
Semula kita sebenarnya sangat mengapresiasi atas pengorbanan sangat luar-biasa SBY untuk tidak pandang bulu untuk membiarkan KPK menyeret Aulia Pohan, besannya sendiri. Begitu pula dalam kampanye Pemilu 2009-2014, Partai Demokrat yang dilahirkan dari tangan SBY satu-satunya partai yang mengangkat isyu pemberantasan korupsi secara atraktif yakni dengan jargon: “Katakan tidak untuk korupsi. Lanjutkan!”. Maka adalah sungguh mulia bila SBY membuktikan jargon mentereng tersebut dalam praktek yakni menuntaskan integritas tinggi SBY untuk menghabiskan periode terakhir kepemimpinannya dengan tidak ragu-ragu lagi untuk: menghabisi koruptor-koruptor kelas kakap tanpa pandang bulu!!! Rakyat Indonesia akan berdiri di belakang SBY dan tersenyum bangga menatap Indonesia Raya ke depan yang akan menjadi adidaya kembali seperti tradisi Indonesia sebagai bangsa besar, yang meraih kebesarannya dengan perjuangan besar pula.
Jangan kecewakan rakyat mahasiswa yang berhasil menumbangkan rezim korup Soeharto. Jangan kecewakan rakyat yang telah melahirkan para pahlawan mahasiswa yang telah mempercayai Anda, SBY untuk kedua kalinya memimpin Indonesia. Sebaliknya kalau SBY yang secara pribadi adalah orang baik, tetapi seandainya sebagai Presiden RI masih ragu-ragu lagi membuktikan jargonnya “Katakan tidak untuk korupsi. Lanjutkan”. Maka sesungguhnya SBY telah menyimpan bom waktu demikian dahsyat bagi kemarahan sangat luar biasa rakyat Indonesia yang dizalimi sejak lama oleh para koruptor dan para pelindungnya.
Label:
Cardiyan HIS,
Jaksa,
KPK,
Polisi Hutan,
SBY
Rabu, 16 September 2009
Apa Kabar Jargon “Katakan Tidak pada Korupsi. Lanjutkan!”?
Oleh Cardiyan HIS
Jargon memang selalu mudah untuk diteriakkan dengan sekeras-kerasnya tetapi sangat sulit dilaksanakan dalam praktek. Bagaimana janji Presiden SBY yang mau memimpin terdepan dalam pemberantasan korupsi tetapi “cicak” KPK dibiarkan ditelan “buaya” Polisi? Dan anak buah SBY lainnya yakni Jaksa Agung ikut-ikutan galak pula sama KPK tetapi lembek kepada para koruptor.
Jelang Kabinet SBY jilid 2 diumumkan, banyak pahlawan kesiangan. Banyak yang cari muka ke SBY. Kejaksaaan Agung misalnya, seperti sangat galak tetapi bukan galak menjerat koruptor melainkan galak kepada KPK. Dan ini agaknya move Jaksa Agung Hendarman Supandji di depan SBY agar terpilih lagi jadi Jaksa Agung (Sorry deh, track record Anda terlampau memble!). Begitu pula sang “buaya” Polisi seperti tak tahu aturan kekhususan KPK, mereka secara arogan mengobok-obok KPK pula dengan dalih ada penyalahgunaan wewenang pada beberapa pimpinan KPK dan bawahannya.
Sementara sang komandan SBY seolah diam tak berdaya. Padahal kalau dia mau, SBY bisa saja menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri, karena keduanya adalah masih dalam wewenang komando SBY untuk tidak bertindak seenaknya mengobok-obok KPK. Anak SD pun telah tahu, KPK adalah lembaga independen dan memiliki kekhususan dalam pemberantasan korupsi dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun termasuk oleh Presiden SBY.
Sebagai salah seorang rakyat Indonesia yang sangat meyakini bahwa Indonesia ke depan akan maju kalau pemerintah SBY menguatkan tiga pilar utama pembangunan bangsa yakni Pendidikan, Kewirausahaan dan Penegakan Hukum. Maka dengan merujuk fakta-fakta di atas, saya sangat sedih dalam memandang Tanah Air Indonesia ke depan begitu sangat suramnya. Indonesia dipastikan akan menjadi negara paling korup nomor satu di dunia! Dan akibatnya sangat berkemungkinan menyimpan bom waktu menjadi salah satu negara gagal di dunia.
Nasib Indonesia akan sangat suram karena salah satu pilar tadi yakni Penegakan Hukum akan mandul. Investasi pendidikan yang sesungguhnya mulai ada trend positif yakni naik menuju ke angka ideal 20% dari total APBN berdasarkan amanat UUD 1945, akan menjadi sia-sia kalau koruptor dibiarkan merajalela. Begitu pula para Wirausaha Sejati (Genuine Entrepreneur) akan jungkir balik berakrobat untuk memutar roda ekonomi karena sehari-hari mereka harus mengeluarkan ekonomi biaya sangat tinggi akibat ulah penguasa yang sangat korup, tetapi dibiarkan merajalela tanpa ditindak.
Pengadilan hanya akan menjadi forum dagelan belaka. Koruptor sebagian besar dibebaskan karena sejak awal memang direkayasa oleh jaksa dengan tuntutan hukum yang lemah dan kemudian batal demi hukum untuk divonis bebas oleh hakim yang telah terbeli pula. Dan kalau pun ada yang dihukum, hanya vonis basa-basi saja, vonis hukuman dibuat sangat-sangat ringan. Nasib maling ayam yang digebukin sampai mati bahkan ada yang dibakar oleh rakyat sungguh tragis dibanding nasib koruptor yang dipenjara di ruang yang lapang dan memiliki AC, TV Flat, kasur empuk, bebas menggunakan HP dari ruang nyaman penjara bahkan kalau perlu memimpin rapat bisnis disini pula. Dan presedennya sudah banyak. Seperti sudah terbukti sekarang pun banyak koruptor dihukum sangat ringan dengan masa percobaan bahkan tanpa penahanan. Ini sama saja dengan bohong. Dan kalau pun jaksa melakukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung, ya tetap dagelan juga.
Jadi Indonesia sekarang persis Jepang 150 tahun yang lalu! Ketika upaya-upaya Restorasi Meiji di Jepang mendapat banyak tantangan terutama dari para koruptor dan pendukungnya. Indonesia tentu ingin maju menjelma seperti Jepang yang modern sekarang ini, sebagai buah dari Restorasi Meiji yang diajarkan oleh Guru Bangsa Jepang, Fukuzawa Yukichi, sekaligus sebagai peletak dasar utama Jepang menuju Jepang yang modern sekarang ini melalui perjuangan membangun Pendidikan, Kewirausahaan dan Penegakan Hukum.
Jadi apa lagi pengharapan yang ada? Ya paling kita harus menunggu dulu untuk sabar sampai SBY melantik Kabinet SBY Jilid Dua pada 20 Oktober 2009. Siapa tahu SBY menjadi sangat malu dengan kisruh KPK lawan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Siapa tahu SBY lebih malu lagi dengan jargon kampanye pemenang Pemilu 2009-2014 yakni Partai Demokrat, partainya SBY: “Katakan Tidak pada Korupsi. Lanjutkan!?”.
Kita hanya berharap SBY tidak lupa dengan janjinya untuk memimpin paling depan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang dijanjikannya sejak 2004 ketika pertama kali SBY dilantik oleh MPR sebagai Presiden RI yang ke enam. Ketika itu rakyat sangat berharap SBY mengikuti langkah Presiden Cina yang memimpin di depan dalam pemberantasan korupsi, sehingga banyak koruptor yang dihukum gantung atau ditembak sampai mati. Dan lihat saja hasilnya; Cina menjelma menjadi negara raksasa ekonomi nomor 1 di dunia dengan cadangan devisa lebih dari US$ 2.000 miliar! Kita, rakyat Indonesia tentu menginginkan Indonesia maju, dan sesungguhnya Indonesia berpotensi juga untuk menjadi negara adidaya di dunia asalkan koruptor-koruptor dihabisin. Rakyat Indonesia akan protes sangat keras bila pemberantasan korupsi bukannya maju malah mundur ke belakang, ke jaman korupsi di era Soeharto bahkan lebih mundur lagi seperti ke jaman Pra Restorasi Meiji di Jepang 150 tahun yang lalu!
Jargon memang selalu mudah untuk diteriakkan dengan sekeras-kerasnya tetapi sangat sulit dilaksanakan dalam praktek. Bagaimana janji Presiden SBY yang mau memimpin terdepan dalam pemberantasan korupsi tetapi “cicak” KPK dibiarkan ditelan “buaya” Polisi? Dan anak buah SBY lainnya yakni Jaksa Agung ikut-ikutan galak pula sama KPK tetapi lembek kepada para koruptor.
Jelang Kabinet SBY jilid 2 diumumkan, banyak pahlawan kesiangan. Banyak yang cari muka ke SBY. Kejaksaaan Agung misalnya, seperti sangat galak tetapi bukan galak menjerat koruptor melainkan galak kepada KPK. Dan ini agaknya move Jaksa Agung Hendarman Supandji di depan SBY agar terpilih lagi jadi Jaksa Agung (Sorry deh, track record Anda terlampau memble!). Begitu pula sang “buaya” Polisi seperti tak tahu aturan kekhususan KPK, mereka secara arogan mengobok-obok KPK pula dengan dalih ada penyalahgunaan wewenang pada beberapa pimpinan KPK dan bawahannya.
Sementara sang komandan SBY seolah diam tak berdaya. Padahal kalau dia mau, SBY bisa saja menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri, karena keduanya adalah masih dalam wewenang komando SBY untuk tidak bertindak seenaknya mengobok-obok KPK. Anak SD pun telah tahu, KPK adalah lembaga independen dan memiliki kekhususan dalam pemberantasan korupsi dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun termasuk oleh Presiden SBY.
Sebagai salah seorang rakyat Indonesia yang sangat meyakini bahwa Indonesia ke depan akan maju kalau pemerintah SBY menguatkan tiga pilar utama pembangunan bangsa yakni Pendidikan, Kewirausahaan dan Penegakan Hukum. Maka dengan merujuk fakta-fakta di atas, saya sangat sedih dalam memandang Tanah Air Indonesia ke depan begitu sangat suramnya. Indonesia dipastikan akan menjadi negara paling korup nomor satu di dunia! Dan akibatnya sangat berkemungkinan menyimpan bom waktu menjadi salah satu negara gagal di dunia.
Nasib Indonesia akan sangat suram karena salah satu pilar tadi yakni Penegakan Hukum akan mandul. Investasi pendidikan yang sesungguhnya mulai ada trend positif yakni naik menuju ke angka ideal 20% dari total APBN berdasarkan amanat UUD 1945, akan menjadi sia-sia kalau koruptor dibiarkan merajalela. Begitu pula para Wirausaha Sejati (Genuine Entrepreneur) akan jungkir balik berakrobat untuk memutar roda ekonomi karena sehari-hari mereka harus mengeluarkan ekonomi biaya sangat tinggi akibat ulah penguasa yang sangat korup, tetapi dibiarkan merajalela tanpa ditindak.
Pengadilan hanya akan menjadi forum dagelan belaka. Koruptor sebagian besar dibebaskan karena sejak awal memang direkayasa oleh jaksa dengan tuntutan hukum yang lemah dan kemudian batal demi hukum untuk divonis bebas oleh hakim yang telah terbeli pula. Dan kalau pun ada yang dihukum, hanya vonis basa-basi saja, vonis hukuman dibuat sangat-sangat ringan. Nasib maling ayam yang digebukin sampai mati bahkan ada yang dibakar oleh rakyat sungguh tragis dibanding nasib koruptor yang dipenjara di ruang yang lapang dan memiliki AC, TV Flat, kasur empuk, bebas menggunakan HP dari ruang nyaman penjara bahkan kalau perlu memimpin rapat bisnis disini pula. Dan presedennya sudah banyak. Seperti sudah terbukti sekarang pun banyak koruptor dihukum sangat ringan dengan masa percobaan bahkan tanpa penahanan. Ini sama saja dengan bohong. Dan kalau pun jaksa melakukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung, ya tetap dagelan juga.
Jadi Indonesia sekarang persis Jepang 150 tahun yang lalu! Ketika upaya-upaya Restorasi Meiji di Jepang mendapat banyak tantangan terutama dari para koruptor dan pendukungnya. Indonesia tentu ingin maju menjelma seperti Jepang yang modern sekarang ini, sebagai buah dari Restorasi Meiji yang diajarkan oleh Guru Bangsa Jepang, Fukuzawa Yukichi, sekaligus sebagai peletak dasar utama Jepang menuju Jepang yang modern sekarang ini melalui perjuangan membangun Pendidikan, Kewirausahaan dan Penegakan Hukum.
Jadi apa lagi pengharapan yang ada? Ya paling kita harus menunggu dulu untuk sabar sampai SBY melantik Kabinet SBY Jilid Dua pada 20 Oktober 2009. Siapa tahu SBY menjadi sangat malu dengan kisruh KPK lawan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Siapa tahu SBY lebih malu lagi dengan jargon kampanye pemenang Pemilu 2009-2014 yakni Partai Demokrat, partainya SBY: “Katakan Tidak pada Korupsi. Lanjutkan!?”.
Kita hanya berharap SBY tidak lupa dengan janjinya untuk memimpin paling depan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang dijanjikannya sejak 2004 ketika pertama kali SBY dilantik oleh MPR sebagai Presiden RI yang ke enam. Ketika itu rakyat sangat berharap SBY mengikuti langkah Presiden Cina yang memimpin di depan dalam pemberantasan korupsi, sehingga banyak koruptor yang dihukum gantung atau ditembak sampai mati. Dan lihat saja hasilnya; Cina menjelma menjadi negara raksasa ekonomi nomor 1 di dunia dengan cadangan devisa lebih dari US$ 2.000 miliar! Kita, rakyat Indonesia tentu menginginkan Indonesia maju, dan sesungguhnya Indonesia berpotensi juga untuk menjadi negara adidaya di dunia asalkan koruptor-koruptor dihabisin. Rakyat Indonesia akan protes sangat keras bila pemberantasan korupsi bukannya maju malah mundur ke belakang, ke jaman korupsi di era Soeharto bahkan lebih mundur lagi seperti ke jaman Pra Restorasi Meiji di Jepang 150 tahun yang lalu!
Label:
Cardiyan HIS,
Kabinet SBY,
KPK,
Pemberantasan Korupsi
Sabtu, 12 September 2009
Dan Lebaran pun Marak dengan Pamer Mobil Baru
Oleh Cardiyan HIS
Transportasi umum hampir pasti akan harus dikembangkan sebaik-baiknya, terutama di kawasan-kawasan padat penduduk. Akan tetapi orang akan tetap mencari ruang untuk pribadi. Dan jika ruang lain sulit dicari, maka tempat yang paling baik untuk menyendiri adalah kendaraan bermotor pribadi.
“I think I need a bigger TRUCK. Yes, Indonesia can attract Investment in the Global Automotive Industry of the World”. Kata-kata itu mengucur demikian deras dari Anthony (Tom) McDonald, seorang tokoh otomotif pada Australian Trade Commission, kepada penulis sesaat setelah ia selesai mempresentasikan papernya pada sebuah seminar dan pameran otomotif di Jakarta Convention Centre, Jakarta beberapa waktu lalu.
Apanya yang menarik dari Indonesia? “Indonesia adalah negara yang memiliki potensi luar biasa dalam segi pertumbuhan pemilikan kendaraan bermotor. Karena yang telah memiliki kendaraan bermotor adalah kurang dari 2% penduduknya yang jumlahnya sekitar 240 juta”, tegas Tom. Menurut Tom pula, perlu dicatat bahwa Indonesia adalah pemilik sepeda motor terbanyak ketiga di dunia setelah Cina dan India. Sehingga bila Indonesia bangkit dari keterpurukan otomatis punya peluang akan kepemilikan kendaraan bermotor di masa-masa mendatang.
Bila bermain dengan “angka-angka yang mengesankan”, Indonesia memang belum apa-apa dalam segi kuantitas kepemilikan kendaraan bermotor. Studi-studi World Bank, Autopolis, Euromonitor International dan Bridge menunjukkan jumlah kendaraan bermotor per 1 km jalan raya di Indonesia masih terbilang rendah yakni 14 buah. Namun Indonesia masih di atas India (3), Cina (7) dan Filipina (11). Angka tertinggi dicapai Hong Kong 276 buah kendaraan bermotor per km jalan; Singapura (170), Korea Selatan (120), Thailand (97), Malaysia (69) dan Jepang (61).
Sedangkan bila diukur oleh jumlah kendaraan penumpang per 1.000 penduduk, Indonesia masih termasuk paling rendah pula yakni hanya 14 buah. Hanya di atas Filipina 12 buah, tetapi sangat jauh dibanding Malaysia dan Thailand, yang masing-masing telah mencapai angka 177 dan 36 buah kendaraan penumpang per 1.000 penduduk.
Namun melihat dari pertumbuhan kendaraan bermotor per 1 km jalan, Indonesia termasuk yang memiliki pertumbuhan cukup pesat yakni rata-rata 4%. Pertumbuhan ini agaknya dipacu oleh faktor betapa harga BBM di Indonesia adalah tetap termasuk paling rendah di Asia Pasifik meskipun pihak Pertamina kerap menaikkan harga BBM.
Indonesia jelas memiliki potensi sangat besar untuk menjadi pemilik kendaraan bermotor yang sangat diperhitungkan di masa depan. Indikator “kulit kemewahan” di kota-kota besar Indonesia, yang secara kualitatif menunjukkan ke arah itu sulit untuk dibantah. Dan secara kualitatif memang kesenjangan antara pemilik kendaraan bermotor dengan yang belum memiliki kendaraan bermotor, begitu menganga lebar. Bahkan secara kualitatif pemilik kendaraan bermotor Indonesia dari kelas “low-end to high-end” yang memiliki lebih dari satu kendaraan mewah, terbilang sudah memiliki gaya hidup seperti rekan-rekan mereka di negara-negara maju. Bahkan kalau dikuantifikasi secara kasar pun jumlah pemilik kendaraan bermotor di kota-kota besar Indonesia pada kelas tadi, boleh jadi akan mengalahkan angka Singapura yang jumlah penduduknya cuma sekitar 3,5 juta orang.
Sesungguhnya, salah satu tantangan serius di masa-masa mendatang adalah memecahkan masalah kesenjangan sosial di antara pemilik kendaraan bermotor dan bukan pemilik kendaraan bermotor, yang lingkupnya tidak hanya terbatas pada satu negara tertentu, seperti ilustrasi di Indonesia. Tetapi kini lingkup problematikanya telah mendunia. Yakni tentang kenyataan adanya kebutuhan mobilitas dan aspirasi-aspirasi kawasan dunia yang masih berkembang terhadap rekan-rekan mereka di negara-negara maju. Sesungguhnya itulah yang menjadi tantangan besar dunia otomotif di masa-masa mendatang. Seperti ditulis oleh pakar otomotif dunia; Dennis Simanaitis pada http://www.roadtrack.com/Road Track/technical/0901_whiter_the automobile_pl.html, bahwa mau atau tidak, disadari atau tidak, nenek moyang kita adalah pengembara. Yang mewariskan kepada kita sebuah gen kecenderungan untuk mengembara ke mana pun di dunia ini.
Maka seperti kebanyakan orang lain, ia pun percaya bahwa mobilitas pribadi akan tetap menjadi prioritas utama. Transportasi umum hampir pasti akan harus dikembangkan sebaik-baiknya, terutama di kawasan-kawasan padat. Akan tetapi orang akan tetap mencari ruang untuk pribadi. Dan jika ruang lain sulit dicari, maka tempat yang paling baik untuk menyendiri adalah kendaraan bermotor pribadi.
Selain itu, akibat kepadatan penduduk yang semakin berlipat ganda di masa mendatang, hasrat untuk mendapatkan kebebasan pribadi akan semakin penting. Dan kendaraan bermotor akan tetap menjadi sesuatu yang menyenangkan, baik untuk mengisi waktu senggang maupun untuk mencari tambahan penghasilan. Kita agaknya masih akan suka berkeliling memakai kendaraan bermotor hanya demi kesenangan termasuk untuk mudik Lebaran atau Hari Raya Idhul Fitri 1430 H kali ini, sekalipun Indonesia masih terjebak dalam krisis panjang multi dimensi. Dan bahkan juga untuk sekadar “pamer” guna menunjukkan pencapaian status simbol tertentu bagi para pemilik kendaraan bermotor.
Transportasi umum hampir pasti akan harus dikembangkan sebaik-baiknya, terutama di kawasan-kawasan padat penduduk. Akan tetapi orang akan tetap mencari ruang untuk pribadi. Dan jika ruang lain sulit dicari, maka tempat yang paling baik untuk menyendiri adalah kendaraan bermotor pribadi.
“I think I need a bigger TRUCK. Yes, Indonesia can attract Investment in the Global Automotive Industry of the World”. Kata-kata itu mengucur demikian deras dari Anthony (Tom) McDonald, seorang tokoh otomotif pada Australian Trade Commission, kepada penulis sesaat setelah ia selesai mempresentasikan papernya pada sebuah seminar dan pameran otomotif di Jakarta Convention Centre, Jakarta beberapa waktu lalu.
Apanya yang menarik dari Indonesia? “Indonesia adalah negara yang memiliki potensi luar biasa dalam segi pertumbuhan pemilikan kendaraan bermotor. Karena yang telah memiliki kendaraan bermotor adalah kurang dari 2% penduduknya yang jumlahnya sekitar 240 juta”, tegas Tom. Menurut Tom pula, perlu dicatat bahwa Indonesia adalah pemilik sepeda motor terbanyak ketiga di dunia setelah Cina dan India. Sehingga bila Indonesia bangkit dari keterpurukan otomatis punya peluang akan kepemilikan kendaraan bermotor di masa-masa mendatang.
Bila bermain dengan “angka-angka yang mengesankan”, Indonesia memang belum apa-apa dalam segi kuantitas kepemilikan kendaraan bermotor. Studi-studi World Bank, Autopolis, Euromonitor International dan Bridge menunjukkan jumlah kendaraan bermotor per 1 km jalan raya di Indonesia masih terbilang rendah yakni 14 buah. Namun Indonesia masih di atas India (3), Cina (7) dan Filipina (11). Angka tertinggi dicapai Hong Kong 276 buah kendaraan bermotor per km jalan; Singapura (170), Korea Selatan (120), Thailand (97), Malaysia (69) dan Jepang (61).
Sedangkan bila diukur oleh jumlah kendaraan penumpang per 1.000 penduduk, Indonesia masih termasuk paling rendah pula yakni hanya 14 buah. Hanya di atas Filipina 12 buah, tetapi sangat jauh dibanding Malaysia dan Thailand, yang masing-masing telah mencapai angka 177 dan 36 buah kendaraan penumpang per 1.000 penduduk.
Namun melihat dari pertumbuhan kendaraan bermotor per 1 km jalan, Indonesia termasuk yang memiliki pertumbuhan cukup pesat yakni rata-rata 4%. Pertumbuhan ini agaknya dipacu oleh faktor betapa harga BBM di Indonesia adalah tetap termasuk paling rendah di Asia Pasifik meskipun pihak Pertamina kerap menaikkan harga BBM.
Indonesia jelas memiliki potensi sangat besar untuk menjadi pemilik kendaraan bermotor yang sangat diperhitungkan di masa depan. Indikator “kulit kemewahan” di kota-kota besar Indonesia, yang secara kualitatif menunjukkan ke arah itu sulit untuk dibantah. Dan secara kualitatif memang kesenjangan antara pemilik kendaraan bermotor dengan yang belum memiliki kendaraan bermotor, begitu menganga lebar. Bahkan secara kualitatif pemilik kendaraan bermotor Indonesia dari kelas “low-end to high-end” yang memiliki lebih dari satu kendaraan mewah, terbilang sudah memiliki gaya hidup seperti rekan-rekan mereka di negara-negara maju. Bahkan kalau dikuantifikasi secara kasar pun jumlah pemilik kendaraan bermotor di kota-kota besar Indonesia pada kelas tadi, boleh jadi akan mengalahkan angka Singapura yang jumlah penduduknya cuma sekitar 3,5 juta orang.
Sesungguhnya, salah satu tantangan serius di masa-masa mendatang adalah memecahkan masalah kesenjangan sosial di antara pemilik kendaraan bermotor dan bukan pemilik kendaraan bermotor, yang lingkupnya tidak hanya terbatas pada satu negara tertentu, seperti ilustrasi di Indonesia. Tetapi kini lingkup problematikanya telah mendunia. Yakni tentang kenyataan adanya kebutuhan mobilitas dan aspirasi-aspirasi kawasan dunia yang masih berkembang terhadap rekan-rekan mereka di negara-negara maju. Sesungguhnya itulah yang menjadi tantangan besar dunia otomotif di masa-masa mendatang. Seperti ditulis oleh pakar otomotif dunia; Dennis Simanaitis pada http://www.roadtrack.com/Road Track/technical/0901_whiter_the automobile_pl.html, bahwa mau atau tidak, disadari atau tidak, nenek moyang kita adalah pengembara. Yang mewariskan kepada kita sebuah gen kecenderungan untuk mengembara ke mana pun di dunia ini.
Maka seperti kebanyakan orang lain, ia pun percaya bahwa mobilitas pribadi akan tetap menjadi prioritas utama. Transportasi umum hampir pasti akan harus dikembangkan sebaik-baiknya, terutama di kawasan-kawasan padat. Akan tetapi orang akan tetap mencari ruang untuk pribadi. Dan jika ruang lain sulit dicari, maka tempat yang paling baik untuk menyendiri adalah kendaraan bermotor pribadi.
Selain itu, akibat kepadatan penduduk yang semakin berlipat ganda di masa mendatang, hasrat untuk mendapatkan kebebasan pribadi akan semakin penting. Dan kendaraan bermotor akan tetap menjadi sesuatu yang menyenangkan, baik untuk mengisi waktu senggang maupun untuk mencari tambahan penghasilan. Kita agaknya masih akan suka berkeliling memakai kendaraan bermotor hanya demi kesenangan termasuk untuk mudik Lebaran atau Hari Raya Idhul Fitri 1430 H kali ini, sekalipun Indonesia masih terjebak dalam krisis panjang multi dimensi. Dan bahkan juga untuk sekadar “pamer” guna menunjukkan pencapaian status simbol tertentu bagi para pemilik kendaraan bermotor.
Kamis, 03 September 2009
ITB, UI, UGM dan IPB Melawan PT Thailand dan Malaysia.
Oleh Cardiyan HIS
Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan representasi terbaik Indonesia dalam hal publikasi di jurnal internasional lebih menekankan kepada substansi, kandungan dan orisinalitas paper yang dimuat di jurnal paling kredibel di dunia. Sehingga ITB menang dalam jumlah artikel dirujuk (Times Cited). Sedangkan Malaysia dan Thailand sudah pinter merekayasa strategi secara sistimatis sejak paper-paper yang dimuat di jurnal-jurnal nasional mereka diupayakan bisa masuk index ISI Knowledge dan Scopus; memperbanyak seminar dan konferensi internasional di negerinya agar dibuat proceedings yang bisa dicatat ISI Knowledge dan Scopus; dosen-dosen dirangsang bonus besar yang penting agar papernya banyak muncul dulu dan dicatat ISI dan Scopus, meski dimuat di jurnal internasional kelas dua dengan sedikit saja Times Cited .
Strategi persaingan antar perguruan tinggi (selanjutnya disingkat PT) di dunia internasional menarik untuk dikaji. Khususnya pada salah satu indikator utama kualitas PT yakni publikasi paper para dosen penelitinya yang dimuat di jurnal internasional. Berbagai upaya “public relations” yang menarik terus diupayakan oleh PT-PT di Asean khususnya PT Thailand dan Malaysia, begitu sistematis. PT-PT Singapura tidak dibahas disini karena dari segi dana riset yang diberikan oleh Pemerintah ke National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) misalnya sudah setara dengan dana riset universitas papan atas di dunia seperti MIT, Harvard University. Selain itu, NUS dan NTU diuntungkan oleh jumlah publikasi dosen-dosen terbaik yang direkrut dari berbagai belahan dunia sehingga mengkatrol Citations Index mereka. Di sinilah PT-PT Indonesia harus mengaku kalah dalam strategi pencitraan yang dilakukan secara sistematis oleh PT-PT Thailand dan Malaysia. PT-PT Indonesia yang diwakili ITB, UI, UGM dan IPB hanya masih menang dibanding PT-PT di Filipina dan Vietnam.
Politik pencitraan bagi PT-PT Thailand dan Malaysia sangat disadari akan membuat PT-PT mereka bisa survive bahkan diharapkan menjadi kiblat PT minimal di kawasan regional Asean. Dan ini berarti akan menjadi kiblat pula dengan berdatangannya mahasiswa asing untuk menuntut ilmu. Juga kalangan industri akan melirik hasil riset PT. Jadi ujung-ujungnya berarti bisnis besar di bidang pendidikan tinggi, seperti yang telah berhasil diperankan dengan baik oleh PT-PT di Australia dan Singapura.
ITB sebagai representasi terbaik Indonesia dalam hal jumlah dan kualitas publikasi di jurnal internasional dibanding UI, UGM, LIPI dan IPB. Ternyata ITB masih kalah jauh dalam jumlah judul publikasi dibanding PT-PT papan atas di Thailand (seperti Mahidol University, Chulalongkorn University, Thamasat University) dan PT-PT papan atas Malaysia (seperti University of Malaya, Universiti Sains Malaysia, Universiti Putera Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Teknologi Malaysia).
Tanya kenapa? Dosen-dosen peneliti ITB memang unggul dalam hal substansi, kandungan dan orisinalitas paper sehingga banyak dimuat di jurnal-jurnal papan atas (first tier) di dunia dibanding paper-paper PT-PT asal Thailand dan Malaysia yang mayoritas hanya dimuat di jurnal-jurnal internasional second tier. Ini menyebabkan dampaknya sangat signifikan terhadap jumlah paper dirujuk (Times Cited) milik dosen-dosen peneliti ITB yang dirujuk oleh banyak dosen peneliti kelas dunia pula, dibanding Times Cited seluruh dosen peneliti PT-PT di Thailand dan Malaysia bahkan PT-PT Singapura untuk disiplin ilmu tertentu seperti Natural Sciences.
Paper Prof.DR.Ir. Sri Widiyantoro (ITB) berjudul “The Evidence for deep mantle circulation from Global tomography” yang dimuat di jurnal sangat bergengsi di dunia “Nature” volume 386, Tahun 1997, misalnya telah dirujuk 576 kali!!! Sri Widiyantoro telah menulis 18 paper yang dimuat di jurnal-jurnal papan atas, selain Nature juga antara lain dimuat di jurnal sangat kredibel di dunia yakni “Science”, “Review of Geophysics”, “Journal of Geophysical Research-Solid Earth”, “Earth and Planetary Science Letters”. Total Times Cited (jumlah paper dirujuk) Sri Widiyantoro versi Scopus adalah 1.472 sedangkan versi ISI Web of Knowledge adalah 1.240, merupakan yang tertinggi di Asean. ITB juga masih memiliki dosen-dosen peneliti papan atas pada bidangnya di dunia yang jumlah Times Cited-nya ratusan seperti Benjamin Soenarko, Halim M, Noer AS, Soemarsono, Hidayat R, Wilson W. Wenas, Hakim EH, Wiramihardja SD, Ariando, Firman T, Gusnidar T, Pancoro A, Onggo D, Linaya C, Arif I, Herman, Suwono A, Hidayat T, Akhmaloka, Priadi B, Cahyati, Wenten IG, Hadi S, Adisasmito S, Wurjanto A, Herdianita NR, Rusdi A, Widjaja J, Hasanuddin ZA, Retnoningrum DS, Baskoro ET, Sutjahja IM, Iskandar DT, Dahono P, Arismunandar dan banyak lagi.
Untuk melihat fenomena ITB yang kalah di jumlah paper disbanding PT-PT Thailand dan Malaysia, tetapi ITB menang di jumlah paper dirujuk atau Times Cited. Maka ada bagusnya membaca H-Index seperti yang diusulkan oleh Jorge E. Hirsch. Hirsch menegaskan bahwa total jumlah paper tidak memperhitungkan kualitas publikasi ilmiah. Sedangkan jumlah citations (Times Cited) paper akan menunjukkan indikasi atas kualitas paper tersebut karena dimuat di publikasi ilmiah yang sangat kredibel dan menjadi rujukan banyak para peneliti di dunia. Juga bisa dibaca untuk tema serupa pada teori-teori John P. Perdew, yang telah sangat berhasil dalam devising baru perkiraan yang banyak digunakan dalam Teori Kerapatan Fungsional. Dia telah menerbitkan karya-karyanya dimana 3 karya dikutip lebih dari 5.000 kali dan 2 dikutip lebih dari 4.000 kali. Beberapa ribu makalah memanfaatkan Teori Kerapatan Fungsional yang diterbitkan setiap tahun, kebanyakan dari mereka mengambil sekurang-kurangnya satu paper karya JP Perdew. Dapat dibaca H-index Me pada www. scienceblogs.com/pontiff September 15, 2005 on 9:37 pm I In Science I.
Namun terus terang, penulis ingin mengkritik ITB terlalu “polos”, terlalu “PD” (percaya diri) dengan keunggulan substansi, kandungan dan orisinalitas karya penelitian yang ditulis dosen-dosennya dalam paper-paper di jurnal internasional papan atas di dunia. Tetapi ITB kalah telak dalam aspek strategi pencitraan dan strategi perekayasaan secara sistematis dibanding PT-PT di Thailand dan Malaysia. PT-PT Thailand dan Malaysia sangat pintar dan gesit dalam memobilisasi gerakan pencitraan jurnal-jurnal nasional milik mereka agar yang terpenting semua paper yang dimuatnya masuk terlebih dulu pada Index ISI Knowledge dan Scopus, disamping Google Sholar (lembaga independen yang mengumpulkan berbagai karya dari jurnal ilmiah ternama dan terpilih di dunia). Dosen-dosen senior mereka membimbing langsung dosen-dosen yunior dan mahasiswa program pasca sarjana agar berusaha menulis paper dengan target yang penting agar dimuat terlebih dulu di jurnal lokal agar paper tersebut berhasil Indexed oleh ISI Knowledge dan Scopus. PT-PT mereka merangsang bonus tinggi kepada dosen-dosen peneliti yang papernya berhasil dimuat di jurnal internasional meskipun di jurnal internasional kelas dua, sehingga tak apa-apa untuk tahap-tahap awal paper-paper mereka akan kurang dalam hal Times Cited. Mereka juga memperbanyak event kegiatan seminar dan konferensi ilmiah internasional sehingga hasilnya dibukukan dalam bentuk proceedings yang kemudian Indexed di Scopus dan ISI Knowledge.
PT-PT di Indonesia boleh saja belajar dengan strategi yang dilakukan oleh PT-PT Thailand dan Malaysia yakni dengan mewajibkan mahasiswa Pasca Sarjana S-2 dan terlebih-lebih S-3 untuk menulis thesis dalam bahasa Inggris yang novelty yang kemudian dijadikan paper untuk dikirim dan diseleksi untuk pemuatan di jurnal nasional dan kemudian di jurnal internasional. Program ini kalau konsisten dilakukan akan membuat produktifitas paper yang dihasilkan PT-PT di Indonesia akan melonjak tajam. Tetapi tetap politik pencitraan ini tidak melupakan akar pokoknya yakni paper yang substansial, kaya kandungannya dan orisinal. Selamat meneliti dan menuliskannya ke dalam jurnal-jurnal kredibel di dunia.
Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan representasi terbaik Indonesia dalam hal publikasi di jurnal internasional lebih menekankan kepada substansi, kandungan dan orisinalitas paper yang dimuat di jurnal paling kredibel di dunia. Sehingga ITB menang dalam jumlah artikel dirujuk (Times Cited). Sedangkan Malaysia dan Thailand sudah pinter merekayasa strategi secara sistimatis sejak paper-paper yang dimuat di jurnal-jurnal nasional mereka diupayakan bisa masuk index ISI Knowledge dan Scopus; memperbanyak seminar dan konferensi internasional di negerinya agar dibuat proceedings yang bisa dicatat ISI Knowledge dan Scopus; dosen-dosen dirangsang bonus besar yang penting agar papernya banyak muncul dulu dan dicatat ISI dan Scopus, meski dimuat di jurnal internasional kelas dua dengan sedikit saja Times Cited .
Strategi persaingan antar perguruan tinggi (selanjutnya disingkat PT) di dunia internasional menarik untuk dikaji. Khususnya pada salah satu indikator utama kualitas PT yakni publikasi paper para dosen penelitinya yang dimuat di jurnal internasional. Berbagai upaya “public relations” yang menarik terus diupayakan oleh PT-PT di Asean khususnya PT Thailand dan Malaysia, begitu sistematis. PT-PT Singapura tidak dibahas disini karena dari segi dana riset yang diberikan oleh Pemerintah ke National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) misalnya sudah setara dengan dana riset universitas papan atas di dunia seperti MIT, Harvard University. Selain itu, NUS dan NTU diuntungkan oleh jumlah publikasi dosen-dosen terbaik yang direkrut dari berbagai belahan dunia sehingga mengkatrol Citations Index mereka. Di sinilah PT-PT Indonesia harus mengaku kalah dalam strategi pencitraan yang dilakukan secara sistematis oleh PT-PT Thailand dan Malaysia. PT-PT Indonesia yang diwakili ITB, UI, UGM dan IPB hanya masih menang dibanding PT-PT di Filipina dan Vietnam.
Politik pencitraan bagi PT-PT Thailand dan Malaysia sangat disadari akan membuat PT-PT mereka bisa survive bahkan diharapkan menjadi kiblat PT minimal di kawasan regional Asean. Dan ini berarti akan menjadi kiblat pula dengan berdatangannya mahasiswa asing untuk menuntut ilmu. Juga kalangan industri akan melirik hasil riset PT. Jadi ujung-ujungnya berarti bisnis besar di bidang pendidikan tinggi, seperti yang telah berhasil diperankan dengan baik oleh PT-PT di Australia dan Singapura.
ITB sebagai representasi terbaik Indonesia dalam hal jumlah dan kualitas publikasi di jurnal internasional dibanding UI, UGM, LIPI dan IPB. Ternyata ITB masih kalah jauh dalam jumlah judul publikasi dibanding PT-PT papan atas di Thailand (seperti Mahidol University, Chulalongkorn University, Thamasat University) dan PT-PT papan atas Malaysia (seperti University of Malaya, Universiti Sains Malaysia, Universiti Putera Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Teknologi Malaysia).
Tanya kenapa? Dosen-dosen peneliti ITB memang unggul dalam hal substansi, kandungan dan orisinalitas paper sehingga banyak dimuat di jurnal-jurnal papan atas (first tier) di dunia dibanding paper-paper PT-PT asal Thailand dan Malaysia yang mayoritas hanya dimuat di jurnal-jurnal internasional second tier. Ini menyebabkan dampaknya sangat signifikan terhadap jumlah paper dirujuk (Times Cited) milik dosen-dosen peneliti ITB yang dirujuk oleh banyak dosen peneliti kelas dunia pula, dibanding Times Cited seluruh dosen peneliti PT-PT di Thailand dan Malaysia bahkan PT-PT Singapura untuk disiplin ilmu tertentu seperti Natural Sciences.
Paper Prof.DR.Ir. Sri Widiyantoro (ITB) berjudul “The Evidence for deep mantle circulation from Global tomography” yang dimuat di jurnal sangat bergengsi di dunia “Nature” volume 386, Tahun 1997, misalnya telah dirujuk 576 kali!!! Sri Widiyantoro telah menulis 18 paper yang dimuat di jurnal-jurnal papan atas, selain Nature juga antara lain dimuat di jurnal sangat kredibel di dunia yakni “Science”, “Review of Geophysics”, “Journal of Geophysical Research-Solid Earth”, “Earth and Planetary Science Letters”. Total Times Cited (jumlah paper dirujuk) Sri Widiyantoro versi Scopus adalah 1.472 sedangkan versi ISI Web of Knowledge adalah 1.240, merupakan yang tertinggi di Asean. ITB juga masih memiliki dosen-dosen peneliti papan atas pada bidangnya di dunia yang jumlah Times Cited-nya ratusan seperti Benjamin Soenarko, Halim M, Noer AS, Soemarsono, Hidayat R, Wilson W. Wenas, Hakim EH, Wiramihardja SD, Ariando, Firman T, Gusnidar T, Pancoro A, Onggo D, Linaya C, Arif I, Herman, Suwono A, Hidayat T, Akhmaloka, Priadi B, Cahyati, Wenten IG, Hadi S, Adisasmito S, Wurjanto A, Herdianita NR, Rusdi A, Widjaja J, Hasanuddin ZA, Retnoningrum DS, Baskoro ET, Sutjahja IM, Iskandar DT, Dahono P, Arismunandar dan banyak lagi.
Untuk melihat fenomena ITB yang kalah di jumlah paper disbanding PT-PT Thailand dan Malaysia, tetapi ITB menang di jumlah paper dirujuk atau Times Cited. Maka ada bagusnya membaca H-Index seperti yang diusulkan oleh Jorge E. Hirsch. Hirsch menegaskan bahwa total jumlah paper tidak memperhitungkan kualitas publikasi ilmiah. Sedangkan jumlah citations (Times Cited) paper akan menunjukkan indikasi atas kualitas paper tersebut karena dimuat di publikasi ilmiah yang sangat kredibel dan menjadi rujukan banyak para peneliti di dunia. Juga bisa dibaca untuk tema serupa pada teori-teori John P. Perdew, yang telah sangat berhasil dalam devising baru perkiraan yang banyak digunakan dalam Teori Kerapatan Fungsional. Dia telah menerbitkan karya-karyanya dimana 3 karya dikutip lebih dari 5.000 kali dan 2 dikutip lebih dari 4.000 kali. Beberapa ribu makalah memanfaatkan Teori Kerapatan Fungsional yang diterbitkan setiap tahun, kebanyakan dari mereka mengambil sekurang-kurangnya satu paper karya JP Perdew. Dapat dibaca H-index Me pada www. scienceblogs.com/pontiff September 15, 2005 on 9:37 pm I In Science I.
Namun terus terang, penulis ingin mengkritik ITB terlalu “polos”, terlalu “PD” (percaya diri) dengan keunggulan substansi, kandungan dan orisinalitas karya penelitian yang ditulis dosen-dosennya dalam paper-paper di jurnal internasional papan atas di dunia. Tetapi ITB kalah telak dalam aspek strategi pencitraan dan strategi perekayasaan secara sistematis dibanding PT-PT di Thailand dan Malaysia. PT-PT Thailand dan Malaysia sangat pintar dan gesit dalam memobilisasi gerakan pencitraan jurnal-jurnal nasional milik mereka agar yang terpenting semua paper yang dimuatnya masuk terlebih dulu pada Index ISI Knowledge dan Scopus, disamping Google Sholar (lembaga independen yang mengumpulkan berbagai karya dari jurnal ilmiah ternama dan terpilih di dunia). Dosen-dosen senior mereka membimbing langsung dosen-dosen yunior dan mahasiswa program pasca sarjana agar berusaha menulis paper dengan target yang penting agar dimuat terlebih dulu di jurnal lokal agar paper tersebut berhasil Indexed oleh ISI Knowledge dan Scopus. PT-PT mereka merangsang bonus tinggi kepada dosen-dosen peneliti yang papernya berhasil dimuat di jurnal internasional meskipun di jurnal internasional kelas dua, sehingga tak apa-apa untuk tahap-tahap awal paper-paper mereka akan kurang dalam hal Times Cited. Mereka juga memperbanyak event kegiatan seminar dan konferensi ilmiah internasional sehingga hasilnya dibukukan dalam bentuk proceedings yang kemudian Indexed di Scopus dan ISI Knowledge.
PT-PT di Indonesia boleh saja belajar dengan strategi yang dilakukan oleh PT-PT Thailand dan Malaysia yakni dengan mewajibkan mahasiswa Pasca Sarjana S-2 dan terlebih-lebih S-3 untuk menulis thesis dalam bahasa Inggris yang novelty yang kemudian dijadikan paper untuk dikirim dan diseleksi untuk pemuatan di jurnal nasional dan kemudian di jurnal internasional. Program ini kalau konsisten dilakukan akan membuat produktifitas paper yang dihasilkan PT-PT di Indonesia akan melonjak tajam. Tetapi tetap politik pencitraan ini tidak melupakan akar pokoknya yakni paper yang substansial, kaya kandungannya dan orisinal. Selamat meneliti dan menuliskannya ke dalam jurnal-jurnal kredibel di dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)