Minggu, 17 Juni 2012


Regenerasi  Pemain Dihadang Godaan Pragmatisme



Oleh Cardiyan HIS



Ada semacam adagium dalam dunia manajemen bahwa selalu ada regenerasi dalam sebuah perusahaan yang sukses. Namun, boleh dikatakan, proses regenerasi pada para pengusaha besar  di Indonesia tidak berlangsung mulus dan hanya menghasilkan generasi kelas pengusaha yang biasa-biasa saja.  Begitu pula yang terjadi  pada regenerasi kepemimpinan negara  di Indonesia sejak jaman Bung Karno sampai jaman SBY sekarang ini, belum menghasilkan seorang pun negarawan berkelas dunia, yang visinya melampaui jamannya.

Dalam dunia manajemen olahraga khususnya manajemen sepakbola, regenerasi adalah sebuah keniscayaan. Keberhasilan tim nasional Indonesia di peta sepakbola Asia sampai tiga dekade yakni era 1950-an (yakni era Ramang-Aang Witarsa dan kawan-kawan yang antara lain membuat prestasi sensasional di Olimpiade Melbourne, Australia, tahun 1956), era 1960-an (yakni era Soetjipto Soentoro-Anwar Udjang dan kawan-kawan, yang menjuarai hampir semua turnamen bergengsi di Asia) dan era 1970-an (yakni era Iswadi Idris-Djunaedi Abdilah, yang masih mampu meraih gelar juara pada berbagai turnamen bergengsi di Asia) adalah keberhasilan manajemen sepakbola Indonesia dalam melakukan regenerasi pada tim nasional Indonesia. Ketika tim nasional senior Indonesia meraih kejayaan di  level Asia, pembinaan tim nasional yunior Indonesia juga secara paralel dilakukan dengan sistematis. Dan hasilnya terbukti yakni tim nasional yunior Indonesia  tiga kali meraih gelar juara yunior Asia.  Disini jelas ada kesinambungan prestasi antara tim nasional yunior Indonesia yang kemudian menjadi penyedia pemain-pemain berkualitas  untuk  tim nasional senior Indonesia.

Dalam skala klub di Indonesia, pada tahun 1981 manajemen Persib, Bandung yang dipimpin duet Solihin GP-Sukandar merekonstruksi total pembentukan tim senior Persib,  yang terdegradasi  dari Divisi Utama Perserikatan PSSI ke Divisi Satu PSSI dan terpaksa harus bertanding dari kampung ke kampung.  Duet Solihin GP-Sukandar membangun Persib secara sistematis melalui penyiapan tim yunior Persib dengan merekrut pelatih asal Polandia, Marek Janota. Hasilnya tim Persib yang sepenuhnya diperkuat para pemain yunior seperti Adjat Sudradjat, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Dede Iskandar, Wawan Karnawan, Kosasih, Robby Darwis, Sobur dan kawan-kawan meraih prestasi pertamanya dengan menjadi finalis kompetisi Divisi Utama Perserikatan tahun 1983/1984 dan 1984/1985. Persib akhirnya memetik buah hasil pembinaan jangka panjangnya dengan meraih juara pertama  pada kompetisi tahun 1985/1986, 1989/1990 dan 1993/1994. Dengan tim yang nyaris sama tanpa diperkuat satu pun pemain asing, Persib Bandung menjuarai kompetisi Liga Sepakbola Indonesia yang pertama pada tahun 1995. Namun dari sinilah awal bencana bagi Persib Bandung yang terlena tak melakukan regenerasi pemain. Akhirnya prestasi Persib melorot dan sudah 17 (tujuh belas) tahun tak pernah meraih satu pun gelar juara Liga Sepakbola Indonesia. Padahal Persib memiliki segala potensi untuk menjadi juara seperti memiliki pemain-pemain bintang yang berharga mahal; supporter paling banyak di Indonesia serta nilai jual sangat tinggi di mata calon investor.  Nasib Persib sungguh berbeda dengan Arema, Malang dan Persipura, Jayapura, yang para pengurus dan pelatihnya berani ambil kebijakan dengan memberi kepercayaan kepada para pemain muda, yang kemudian mereka membuktikan kepercayaan pelatihnya dengan masing-masing meraih gelar juara dua kali Liga Indonesia!          

Dalam skala dunia khususnya dari 16 tim peserta Piala Eropa 2012, tim Jerman menjadi bukti keberhasilan regenerasi . Rata-rata usia seluruh anggota “Tim Panser” Jerman hanya 24,52 tahun. Bahkan skuad Jerman kali ini lebih muda dibanding “Tim Panser”  Jerman untuk Piala Dunia 2010 yang usianya rata-rata 25 tahun.  Pelatih Jerman, Joachim Loew, yang sejak Piala Dunia 2010 sudah banyak memberikan kepercayaan kepada para pemain muda, terus melanjutkan konsistensinya dengan memasukkan wajah-wajah baru dalam daftar 23 pemain pilihannya. Tercatat ada 12 pemain yang usianya tidak lebih dari 23 tahun bahkan gelandang Mario Goetze tercatat sebagai pemain termuda yakni berusia 20 tahun. Dan yang menggembirakan posisi para pemain muda tersebar  di pos kiper, barisan belakang, lini tengah hingga lini depan.   

Para penganut paham arti penting  regenerasi yang berkesinambungan  seperti pelatih Joachim Loew ini secara sadar dan sistematis merekonstruksi tim nasional sepakbolanya  berjenjang berdasarkan usia pemain, talenta yang dimiliki, sumber penyedianya seperti akademia sepakbola sampai kepada bagaimana para pemain muda diberi kesempatan menikmati kompetisi sepabola level tinggi. Pola pikir mereka adalah proses pembinaan sangat penting dari pada hasil akhir. Tidak pernah ada jalan pintas untuk meraih kesuksesan. Dan bahwa prestasi tim nasional sepakbola hanya akan diraih bila direncanakan sejak jauh hari melalui pembinaan yang sistematis berjenjang, fokus, penuh ujian di kompetisi level tinggi dan penuh kesabaran.   

Namun pada sisi lain, setelah keberhasilan meraih prestasi seringkali pihak manajemen terlena. Bahkan praktis mulai tergoda, untuk tidak memikirkan regenerasi pemain. Demi menjaga pencitraan sebagai sang juara, mereka terjebak pragmatisme untuk tetap mempertahankan kejuaraan dengan tetap mempertahankan skuad juara, demi kepentingan jangka pendek. Itulah yang juga dikritik oleh pelatih senior Italia, Arrigo Sacchi, terhadap kebijakan manajemen tim nasional Italia yang gagal melakukan regenerasi. Sacchi sampai berani menyebut Samuel Longo  (20 tahun) sebagai talenta muda Italia yang terbuang, yang disia-siakan bersama sedikitnya tujuh talenta muda Italia lainnya asal kompetisi Primavera.

     



Minggu, 03 Juni 2012





KALAH SEBELUM BERUNDING!


Oleh Cardiyan HIS

Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang

Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa

Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu

Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa

“Ibu Pertiwi” oleh Ismail Marzuki  



Ya ibu pertiwi memang sedang bersusah hati. Sekarang yang bisa dilakukan ibu pertiwi hanya merintih dan berdoa.  Karena anak-anaknya terus-terusan menjadi pecundang. Anak-anaknya; para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia baik di Pemerintahan maupun di Parlemen, kalah dalam berbagai perundingan khususnya dalam perjanjian pengembangan sumberdaya alam, pengembangan infrastruktur dan nyaris pada pengembangan semua sektor industri hulu dan hilir.


Padahal berbagai negara di dunia terutama negara-negara maju berusaha sungguh-sungguh mengembangkan sumberdaya manusianya dalam kemampuan berunding. Negara tetangga Singapura misalnya termasuk  negara kecil yang terus-terusan mengungguli Indonesia dalam berbagai perundingan perdagangan bilateral dan yang sangat populer kasus perjanjian ekstradisi. (Cardiyan HIS, Editor, “It’s Time for the World to Change. In the Spirit of Dignity, Equity, and Transparency”, Publisher: PT. Sulaksana Watinsa Indonesia, Jakarta, 2008).   Namun Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan berunding yang terbaik di dunia. Mereka memiliki kemampuan unik dalam berunding bahkan dalam posisi lemah sekali pun. Ada empat faktor yang mendukung kemampuan unik ini yakni Pertama, dibekali kemampuan memahami substansi. Kedua, kemampuan menjaga emosi sampai tahap-tahap akhir perundingan. Ketiga, kemampuan membuat kejutan. Keempat, bila perundingan dengan lawannya deadlock mereka punya kemampuan bagaimana mengembalikan kepada kemurahan hati lawannya (Kang, T.W., “Is Korea the Next Japan?”, The Free Press, New York, 1989).  


Sedangkan para perunding dan atau negosiator Indonesia? Kalah telak dengan Freeport McMoran.  Kalah telak dengan Exxon Mobil.  Kalah telak dengan Newmount. Kalah telak dengan PetroChina. Kalah telak dengan Toyota Corporation. Kalah telak dengan Temasek Group. Kalah telak dengan British American Tobacco. Untuk sekadar menyebut beberapa nama.


Bukan kalah karena para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia bodoh tak memiliki penguasaan materi dalam menghadapi perundingan dengan MNC dan atau organisasi Multilateral.  Tetapi saya menengarai mereka kalah karena harga dirinya sudah terjual demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Bahkan kalau ditelusuri ke hulunya, mereka secara sadar “membiarkan kekalahan” sejak dini karena Undang Undang Republik Indonesia yang semestinya menjadi payung perlindungan bagi Bangsa Indonesia sudah dimuati dan atau disusupi ayat-ayat yang membela kelompok kepentingan.  Sehingga mereka akhirnya seperti perilaku "Kerbau Dicocok Hidung" dalam setiap kali berunding menghadapi MNC dan atau organisasi Multilateral.


Terlalu banyak kekalahan ini tentu saja sangat menyedihkan dan meresahkan bagi setiap Rakyat Indonesia yang sejak lama mendambakan kekayaan Rakyat Indonesia dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesejahteraan Rakyat Indonesia. Mereka para pemangku kekuasaan seperti tak memiliki sikap kesetaraan lagi sebagai wakil Bangsa Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat. Mereka tak memiliki roh, tak memiliki jiwa dalam substansi perundingan; yang ada adalah mental rendah diri yakni  kalah sebelum berunding!


Padahal pendiri Republik Indonesia, Presiden RI Pertama Ir. Soekarno  yang visinya jauh melampaui jamannya,  yang misinya diimplementasikan melalui Perdana Menteri RI Ir. Djuanda  (keduanya alumni ITB) juga telah menginspirasi banyak negara dalam mengelola sumberdaya alam. Bahwa Indonesia-lah pemilik sumberdaya alam  bukan para perusahaan asing.  Jadi sudah sepantasnya Indonesia memiliki posisi tawar yang setara dengan mereka. Bahwa mereka benar memiliki uang dan teknologi tetapi posisi mereka dalam berbisnis di Indonesia walau bagaimana pun adalah tetap hanya sebagai KONTRAKTOR BUKAN PEMILIK.


Saya berharap, dalam skala Indonesia Incorporated, para pemangku kekuasaan di Jakarta seharusnya lebih percaya diri dalam membuat kebijakan. Hilangkanlah kepentingan pribadi dan kelompok. Yang harus di ke depankan adalah bekerja untuk kepentingan Rakyat Indonesia semata. Bila roh substansi pro Rakyat Indonesia dalam setiap perjanjian atau perundingan ini sudah menyatu dalam jiwa para pemangku kekuasaan tak akan ada satu pun MNC dan atau organisasi Multilateral yang akan melecehkan harga diri Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah sebenar-benarnya memang Bangsa Pejuang bukan Bangsa yang mudah diinjak-injak harga dirinya.


Berharap kepada Kampus?

Jadi sangatlah sulit kita berharap kepada para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia untuk mengubah mental pecundangnya begitu saja, dalam jangka pendek bahkan dalam jangka panjang sekalipun.  Kita agaknya hanya menyisakan harapan kepada kampus yang setidaknya masih memiliki karakter sebagai penjaga nilai-nilai; yang akan mampu mengubah paradigma mentalitet pecundang ke mentalitet unggulan secara mendasar dan berjangka panjang jauh ke depan. Kampus yang masih memandang bahwa proses pendidikan berkarakter adalah jauh lebih penting dari proses pengajaran karena kampus bukan lembaga ujian.


Sebagai salah seorang yang pernah digodok di kawah Candradimuka ITB sejak tahun 1973 di masa kehidupan mahasiswa ITB yang sangat dinamis.  Dan ITB sendiri masih dipandang sebagai kampus yang berkarakter kuat sebagai penjaga nilai-nilai, disamping memiliki reputasi akademik terpandang di kawasan Asia Pasifik.  Maka dalam benak saya dan banyak teman-teman sudah tertanam sejak dini bahwa anak ITB sebenarnya sama saja dengan mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT belajar Kalkulus 1 sampai Kalkulus 4 sama dengan yang dipelajari oleh mahasiswa ITB. Mahasiswa ITB belajar Fisika Dasar sampai Fisika Teoritis seperti halnya mahasiswa MIT. Begitu pula untuk banyak matakuliah lainnya; mahasiswa MIT dan ITB mempelajari ilmu yang sama.


Jadi apa sebenarnya yang membedakan mahasiswa  ITB dengan mahasiswa MIT? Menurut saya bukan soal kampus MIT yang lebih luas dan fasilitas laboratoriumnya yang jauh lebih hebat di sebuah negara adidaya Amerika Serikat; tetapi lebih kepada ekspektasi mahasiswa MIT melebihi ekspektasi mahasiswa ITB.
Mahasiswa ITB memang memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi bahkan cenderung arogan untuk ukuran mahasiswa di Indonesia. Tetapi mahasiswa ITB belum sampai kepada tahapan mimpi yang dimiliki oleh umumnya mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT memiliki ekspektasi sangat tinggi dalam menatap masa depannya. Kalau diibaratkan memiliki mimpi; mimpi mahasiswa MIT adalah: "to dream the impossible dream"!


Disinilah peranan Perguruan Tinggi (PT) yang mampu melakukan proses pendidikan tidak hanya pada proses pengajaran saja kepada para mahasiswanya, akan menjadi pilar-pilar yang strategis. Mahasiswa-mahasiswa yang berkarakter kuat, yang memiliki kepribadian mandiri dan penuh idealisme hanya akan tumbuh berkembang di dalam kampus yang mengedepankan proses pendidikan yang berkarakter. Tentu mendidik mahasiswa yang berkarakter tidak mudah disamping memerlukan banyak dosen yang berkarakter kuat pula, yang sangat penting adalah sikap PT itu sendiri dalam cara pandang bahwa mendidik mahasiswa jangan dianggap sebagai Cost Center dan hanya buang-buang waktu saja. Tetapi mendidik mahasiswa adalah suatu misi strategis PT dalam menyiapkan mahasiswa sebagai calon pemimpin tangguh bagi Bangsa Indonesia bermasa depan cerah.


http: //id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6