KALAH SEBELUM BERUNDING!
Oleh Cardiyan HIS
Kulihat ibu pertiwi
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Hutan gunung sawah
lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap
cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
“Ibu Pertiwi” oleh Ismail Marzuki
Ya ibu
pertiwi
memang sedang
bersusah hati. Sekarang yang
bisa dilakukan ibu pertiwi hanya merintih dan berdoa. Karena
anak-anaknya terus-terusan menjadi pecundang. Anak-anaknya; para pemangku
kekuasaan di Republik Indonesia baik di Pemerintahan maupun di Parlemen,
kalah dalam berbagai perundingan khususnya dalam perjanjian pengembangan
sumberdaya alam, pengembangan
infrastruktur dan nyaris pada pengembangan semua
sektor industri hulu dan hilir.
Padahal berbagai negara di dunia terutama
negara-negara maju berusaha sungguh-sungguh mengembangkan sumberdaya manusianya
dalam kemampuan berunding. Negara tetangga Singapura misalnya termasuk negara kecil yang terus-terusan mengungguli
Indonesia dalam berbagai perundingan perdagangan bilateral dan yang sangat
populer kasus perjanjian ekstradisi. (Cardiyan
HIS, Editor, “It’s Time for the World to
Change. In the Spirit of Dignity, Equity, and Transparency”, Publisher: PT.
Sulaksana Watinsa Indonesia, Jakarta, 2008). Namun Korea
Selatan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki sumberdaya manusia yang
memiliki kemampuan berunding yang terbaik di dunia. Mereka memiliki kemampuan
unik dalam berunding bahkan dalam posisi lemah sekali pun. Ada empat faktor yang
mendukung kemampuan unik ini yakni Pertama,
dibekali kemampuan memahami substansi. Kedua,
kemampuan menjaga emosi sampai tahap-tahap akhir perundingan. Ketiga, kemampuan membuat kejutan. Keempat, bila perundingan dengan
lawannya deadlock mereka punya
kemampuan bagaimana mengembalikan kepada kemurahan hati lawannya (Kang, T.W., “Is Korea the Next Japan?”, The Free Press, New York, 1989).
Sedangkan para perunding dan atau
negosiator Indonesia? Kalah telak dengan
Freeport McMoran. Kalah telak
dengan Exxon Mobil. Kalah telak dengan Newmount. Kalah telak dengan PetroChina. Kalah telak dengan Toyota Corporation. Kalah telak dengan Temasek Group. Kalah telak dengan British American Tobacco.
Untuk
sekadar menyebut beberapa nama.
Bukan kalah karena para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia
bodoh tak memiliki penguasaan materi dalam menghadapi
perundingan dengan MNC dan atau organisasi Multilateral. Tetapi
saya menengarai mereka kalah karena harga dirinya sudah “terjual” demi kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu. Bahkan kalau
ditelusuri ke hulunya, mereka secara sadar “membiarkan kekalahan” sejak dini karena Undang Undang Republik Indonesia yang
semestinya menjadi payung perlindungan bagi Bangsa Indonesia sudah dimuati dan
atau disusupi ayat-ayat yang membela kelompok kepentingan. Sehingga
mereka akhirnya seperti perilaku "Kerbau Dicocok Hidung" dalam setiap
kali berunding menghadapi MNC dan atau organisasi Multilateral.
Terlalu banyak kekalahan ini tentu
saja sangat menyedihkan dan meresahkan bagi setiap Rakyat Indonesia yang sejak
lama mendambakan kekayaan Rakyat Indonesia dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin bagi kesejahteraan Rakyat Indonesia. Mereka para pemangku kekuasaan
seperti tak memiliki sikap kesetaraan lagi sebagai wakil Bangsa Indonesia yang
Merdeka dan Berdaulat. Mereka tak memiliki roh, tak memiliki jiwa dalam
substansi perundingan; yang ada adalah mental rendah diri yakni kalah sebelum berunding!
Padahal pendiri Republik Indonesia, Presiden RI Pertama Ir.
Soekarno yang visinya jauh melampaui jamannya, yang misinya diimplementasikan melalui
Perdana Menteri RI Ir. Djuanda (keduanya alumni
ITB) juga telah menginspirasi banyak negara dalam mengelola sumberdaya alam. Bahwa Indonesia-lah pemilik sumberdaya alam bukan para perusahaan asing. Jadi sudah
sepantasnya Indonesia memiliki posisi tawar yang setara dengan mereka. Bahwa mereka benar memiliki uang dan teknologi tetapi posisi
mereka dalam berbisnis di Indonesia walau bagaimana pun adalah tetap hanya sebagai KONTRAKTOR BUKAN PEMILIK.
Saya berharap, dalam skala Indonesia
Incorporated, para pemangku kekuasaan di Jakarta seharusnya lebih percaya diri
dalam membuat kebijakan. Hilangkanlah kepentingan pribadi dan kelompok. Yang
harus di ke depankan adalah bekerja untuk kepentingan Rakyat Indonesia semata. Bila
roh substansi pro Rakyat Indonesia dalam setiap perjanjian atau perundingan ini
sudah menyatu dalam jiwa para pemangku kekuasaan tak akan ada satu pun MNC dan
atau organisasi Multilateral yang akan melecehkan harga diri Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah sebenar-benarnya
memang Bangsa Pejuang bukan Bangsa yang
mudah diinjak-injak harga dirinya.
Berharap kepada Kampus?
Jadi
sangatlah sulit kita berharap kepada para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia
untuk mengubah mental pecundangnya begitu saja, dalam jangka pendek bahkan dalam jangka panjang sekalipun. Kita agaknya hanya
menyisakan harapan kepada kampus yang setidaknya masih memiliki karakter sebagai
penjaga nilai-nilai; yang akan mampu mengubah paradigma mentalitet pecundang ke
mentalitet unggulan secara mendasar dan berjangka panjang jauh ke depan. Kampus yang masih
memandang bahwa proses pendidikan berkarakter adalah jauh lebih penting dari
proses pengajaran karena kampus bukan lembaga ujian.
Sebagai salah seorang yang pernah
digodok di kawah Candradimuka ITB sejak tahun 1973 di masa kehidupan mahasiswa
ITB yang sangat dinamis.
Dan ITB sendiri
masih dipandang sebagai kampus yang berkarakter kuat sebagai penjaga nilai-nilai, disamping memiliki
reputasi akademik terpandang di kawasan Asia Pasifik. Maka dalam benak
saya dan banyak teman-teman sudah tertanam sejak dini bahwa anak ITB sebenarnya
sama saja dengan mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT belajar Kalkulus 1 sampai
Kalkulus 4 sama dengan yang dipelajari oleh mahasiswa ITB. Mahasiswa ITB
belajar Fisika Dasar sampai Fisika Teoritis seperti halnya mahasiswa MIT.
Begitu pula untuk banyak matakuliah lainnya; mahasiswa MIT dan ITB mempelajari
ilmu yang sama.
Jadi apa sebenarnya yang membedakan
mahasiswa ITB dengan mahasiswa MIT? Menurut saya bukan soal kampus MIT
yang lebih luas dan fasilitas laboratoriumnya yang jauh lebih hebat di sebuah
negara adidaya Amerika Serikat; tetapi lebih kepada ekspektasi mahasiswa MIT
melebihi ekspektasi mahasiswa ITB.
Mahasiswa ITB memang memiliki tingkat kepercayaan
diri yang sangat tinggi bahkan cenderung arogan untuk ukuran mahasiswa di
Indonesia. Tetapi mahasiswa ITB belum sampai kepada tahapan mimpi yang dimiliki
oleh umumnya mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT memiliki ekspektasi sangat tinggi
dalam menatap masa depannya. Kalau diibaratkan memiliki mimpi; mimpi mahasiswa
MIT adalah: "to dream the impossible dream"!
Disinilah peranan Perguruan Tinggi
(PT) yang mampu melakukan proses pendidikan tidak hanya pada proses pengajaran
saja kepada para mahasiswanya, akan menjadi pilar-pilar yang strategis.
Mahasiswa-mahasiswa yang berkarakter kuat, yang memiliki kepribadian mandiri
dan penuh idealisme hanya akan tumbuh berkembang di dalam kampus yang
mengedepankan proses pendidikan yang berkarakter. Tentu mendidik mahasiswa yang
berkarakter tidak mudah disamping memerlukan
banyak dosen yang berkarakter kuat pula, yang sangat penting adalah sikap
PT itu sendiri dalam cara pandang bahwa mendidik mahasiswa jangan dianggap
sebagai Cost Center dan hanya buang-buang waktu saja. Tetapi mendidik
mahasiswa adalah suatu misi strategis PT dalam menyiapkan mahasiswa sebagai
calon pemimpin tangguh bagi Bangsa Indonesia bermasa depan cerah.
http:
//id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6
maju terus Pak.... salut
BalasHapusDulu ITB memang mendapat bibit unggul terbaik bangsa dengan cara UMPTN. Sekarang model BHMN mengutamakan calon mahasiswa yang mampu bayar dibanding potensi kecerdasan intelektual.
BalasHapusPendidikan berkarakter Indonesia yang pas menurut hemat saya menganut kepada pokok-pokok pengajaran Ki Hajar Dewantara:
1. Yang didepan memberi contoh.
2. Yang ditengah merapikan barisan.
3. Yang dibelakang mengikuti dengan tertib.
Salam..