Regenerasi Pemain Dihadang Godaan Pragmatisme
Oleh Cardiyan HIS
Ada semacam adagium dalam
dunia manajemen bahwa selalu ada regenerasi dalam sebuah perusahaan yang
sukses. Namun, boleh dikatakan, proses regenerasi pada para pengusaha besar di Indonesia tidak berlangsung mulus dan
hanya menghasilkan generasi kelas pengusaha yang biasa-biasa saja. Begitu pula yang terjadi pada regenerasi kepemimpinan negara di Indonesia sejak jaman Bung Karno sampai
jaman SBY sekarang ini, belum menghasilkan seorang pun negarawan berkelas
dunia, yang visinya melampaui jamannya.
Dalam dunia manajemen
olahraga khususnya manajemen sepakbola, regenerasi adalah sebuah keniscayaan. Keberhasilan
tim nasional Indonesia di peta sepakbola Asia sampai tiga dekade yakni era
1950-an (yakni era Ramang-Aang Witarsa dan kawan-kawan yang antara lain membuat
prestasi sensasional di Olimpiade Melbourne, Australia, tahun 1956), era
1960-an (yakni era Soetjipto Soentoro-Anwar Udjang dan kawan-kawan, yang
menjuarai hampir semua turnamen bergengsi di Asia) dan era 1970-an (yakni era
Iswadi Idris-Djunaedi Abdilah, yang masih mampu meraih gelar juara pada
berbagai turnamen bergengsi di Asia) adalah keberhasilan manajemen sepakbola
Indonesia dalam melakukan regenerasi pada tim nasional Indonesia. Ketika tim
nasional senior Indonesia meraih kejayaan di level Asia, pembinaan tim nasional yunior
Indonesia juga secara paralel dilakukan dengan sistematis. Dan hasilnya
terbukti yakni tim nasional yunior Indonesia tiga kali meraih gelar juara yunior Asia. Disini jelas ada kesinambungan prestasi
antara tim nasional yunior Indonesia yang kemudian menjadi penyedia pemain-pemain berkualitas untuk tim nasional senior Indonesia.
Dalam skala klub di Indonesia,
pada tahun 1981 manajemen Persib, Bandung
yang dipimpin duet Solihin GP-Sukandar merekonstruksi total pembentukan tim
senior Persib, yang terdegradasi dari Divisi Utama Perserikatan PSSI ke Divisi
Satu PSSI dan terpaksa harus bertanding dari kampung ke kampung. Duet Solihin GP-Sukandar membangun Persib
secara sistematis melalui penyiapan tim yunior Persib dengan merekrut pelatih
asal Polandia, Marek Janota. Hasilnya tim Persib yang sepenuhnya diperkuat para
pemain yunior seperti Adjat Sudradjat, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Dede Iskandar,
Wawan Karnawan, Kosasih, Robby Darwis, Sobur dan kawan-kawan meraih prestasi pertamanya
dengan menjadi finalis kompetisi Divisi Utama Perserikatan tahun 1983/1984 dan 1984/1985. Persib akhirnya memetik buah hasil pembinaan jangka panjangnya dengan meraih
juara pertama pada kompetisi tahun 1985/1986, 1989/1990 dan 1993/1994. Dengan tim yang nyaris sama tanpa diperkuat satu pun pemain asing, Persib
Bandung menjuarai kompetisi Liga Sepakbola Indonesia yang pertama pada tahun
1995. Namun dari sinilah awal bencana bagi Persib Bandung yang terlena tak
melakukan regenerasi pemain. Akhirnya prestasi Persib melorot dan sudah 17
(tujuh belas) tahun tak pernah meraih satu pun gelar juara Liga Sepakbola
Indonesia. Padahal Persib memiliki segala potensi untuk menjadi juara seperti
memiliki pemain-pemain bintang yang berharga mahal; supporter paling banyak di
Indonesia serta nilai jual sangat tinggi di mata calon investor. Nasib Persib sungguh berbeda dengan Arema, Malang dan Persipura, Jayapura, yang para
pengurus dan pelatihnya berani ambil kebijakan dengan memberi kepercayaan
kepada para pemain muda, yang kemudian mereka membuktikan kepercayaan
pelatihnya dengan masing-masing meraih gelar juara dua kali Liga Indonesia!
Dalam skala dunia
khususnya dari 16 tim peserta Piala Eropa 2012, tim Jerman menjadi bukti
keberhasilan regenerasi . Rata-rata usia seluruh anggota “Tim Panser” Jerman
hanya 24,52 tahun. Bahkan skuad Jerman kali ini lebih muda dibanding “Tim
Panser” Jerman untuk Piala Dunia 2010
yang usianya rata-rata 25 tahun. Pelatih
Jerman, Joachim Loew, yang sejak Piala Dunia 2010 sudah banyak memberikan
kepercayaan kepada para pemain muda, terus melanjutkan konsistensinya dengan
memasukkan wajah-wajah baru dalam daftar 23 pemain pilihannya. Tercatat ada 12
pemain yang usianya tidak lebih dari 23 tahun bahkan gelandang Mario Goetze
tercatat sebagai pemain termuda yakni berusia 20 tahun. Dan yang menggembirakan
posisi para pemain muda tersebar di pos kiper, barisan
belakang, lini tengah hingga lini depan.
Para penganut paham arti
penting regenerasi yang berkesinambungan seperti pelatih Joachim Loew ini secara sadar
dan sistematis merekonstruksi tim nasional sepakbolanya berjenjang berdasarkan usia pemain, talenta
yang dimiliki, sumber penyedianya seperti akademia sepakbola sampai kepada
bagaimana para pemain muda diberi kesempatan menikmati kompetisi sepabola level
tinggi. Pola pikir mereka adalah proses pembinaan sangat penting dari pada
hasil akhir. Tidak pernah ada jalan pintas untuk meraih kesuksesan. Dan bahwa prestasi
tim nasional sepakbola hanya akan diraih bila direncanakan sejak jauh hari
melalui pembinaan yang sistematis berjenjang, fokus, penuh ujian di kompetisi
level tinggi dan penuh kesabaran.
Namun pada sisi lain,
setelah keberhasilan meraih prestasi seringkali pihak manajemen terlena. Bahkan
praktis mulai tergoda, untuk tidak memikirkan regenerasi pemain. Demi menjaga
pencitraan sebagai sang juara, mereka terjebak pragmatisme untuk tetap
mempertahankan kejuaraan dengan tetap mempertahankan skuad juara, demi
kepentingan jangka pendek. Itulah yang juga dikritik oleh pelatih senior Italia,
Arrigo Sacchi, terhadap kebijakan manajemen tim nasional Italia yang gagal
melakukan regenerasi. Sacchi sampai berani menyebut Samuel Longo (20 tahun) sebagai talenta muda Italia yang
terbuang, yang disia-siakan bersama sedikitnya tujuh talenta muda Italia lainnya asal kompetisi
Primavera.