Kamis, 05 April 2012

Hentikan Penzaliman Terhadap Masyarakat Sepakbola Indonesia!




Kubur Kepentingan Bisnis Pribadi

HENTIKAN PENZALIMAN TERHADAP MASYARAKAT SEPAKBOLA INDONESIA!

Oleh Cardiyan HIS



Revolusi sepakbola Indonesia yang semula diharapkan segera terwujud pasca tumbangnya rezim Nurdi Halid terhambat karena masih ada dua “kompetisi” sepakbola IPL dan ISL. Secara formal IPL adalah kompetisi legal versi FIFA terlebih rakyat Indonesia diuntungkan karena kran APBD untuk kepentingan klub-klub sepakbola resmi ditutup. Tetapi turnamen ISL ternyata banyak dihuni klub yang berprestasi, yang entah bagaimana terus digiring untuk tetap dipertahankan, dibiayai dan dicitrakan dengan harga mati demi kepentingan bisnis pihak tertentu. Damai, damai dan damailah!



Untung FIFA masih melihat masyarakat sepakbola Indonesia sebagai potensi pasar raksasa di Asia. Kalau tak melihat aspek ini, bagi FIFA sebenarnya enteng saja untuk menjatuhkan sanksi bagi PSSI, yang ranking FIFAnya terus melorot. Oleh karena itu FIFA masih memberikan tenggat waktu bagi PSSI untuk menyatukan dan atau mengontrol tidak adanya dualisme kompetisi di Indonesia sampai tanggal 15 Juni 2012. Tanpa mampu menyelesaikan masalah itu, PSSI dipastikan akan dikenai sanksi FIFA.


Kita sebagai bagian dari masyarakat sepakbola baik sebagai penonton, pemain, wasit, pembina, pemodal, abdi negara, atau pun pengamat/penulis/wartawan media cetak maupun elektronik dan sebagainya tentu tak menginginkan Indonesia mendapatkan sanksi FIFA. Mereka hanya menginginkan Indonesia memiliki kesebelasan nasional Indonesia yang kuat dan berprestasi bagus seperti kejayaan kesebelasan Indonesia tahun 1950an (era Ramang-Aang Witarsa cs), 1960an (era Soetjipto Soentoro-Anwar Udjang cs) dan 1970an (era Iswadi Idris-Djunaedi Abdilah cs) yang merajai peta sepakbola Asia, jauh di atas prestasi kesebelasan Jepang, Korea Selatan dan jazirah Arab. Tak mengherankan bila kesebelasan Indonesia disebut sebagai “Brazil Asia” seperti sering diucapkan oleh para dedengkot FIFA dari berbagai era baik jauh sebelum era Joao Havelange yang sangat panjang itu sampai era Sepp Blatter sekarang ini.


Dualisme Kompetisi

Kesebelasan Indonesia yang kuat tidak mungkin terbentuk dari kompetisi sepakbola yang amburadul. Oleh karena itu akar pemecahan kisruh sepakbola Indonesia harus datang dari konsep pemikiran yang jernih, jujur, adil, penuh idealisme dan tak memiliki kepentingan apa pun selain ingin mewujudkan kompetisi sepakbola Indonesia yang kredibel dan berkualitas tinggi. Jadi bila kita menemukan dimana akar pemecahan masalah sebenarnya dan sejujurnya; maka akan membawa kepada kita bagaimana tindakan yang tepat, pas dan akurat harus dilakukan.


Sebelum rezim Nurdin Halid tumbang, konglomerat pemilik Medco Group, Arifin Panigoro dan keluarga, menurut sumber yang layak dipercaya sudah berinvestasi sedikitnya USD 35 juta untuk membuat “breakaway league” bernama Indonesian Premier League (IPL). Sementara Indonesian Super League (ISL) sudah dan sedang berkibar di rezim Nurdin Halid, tetapi dengan sangat menggantungkan diri masalah pembiyaan kompetisi ISL dan operasional PSSI ke Bakrie Group (Aburizal Bakrie dan keluarga) disamping menggantungkan kepada APBD untuk membiayai klub peserta ISL yang jelas-jelas sangat menggerogoti dan merugikan keuangan negara.


Nah ketika rezim Nurdin Halid tumbang, PSSI rupanya terlalu semangat berevolusi. Padahal membangun Roma tidak mungkin dalam satu hari, kata sebuah adagium. Semua produk rezim Nurdin Halid digusur meskipun sebenarnya ada juga yang tersisa sedikit yang cukup baik yang hanya memerlukan sedikit modifikasi saja untuk terus dilanjutkan. Kompetisi ISL (tanpa membubarkannya) misalnya sebenarnya bisa digabungkan dengan kompetisi IPL dengan mengubah menjadi nama baru sama sekali. PSSI misalnya bisa saja mengintegrasikan semua kepemilikan saham para stake holder kedua kubu besar ke dalam satu perusahaan baru, sehingga kapitalisasinya pun menjadi sangat besar. Disini rupanya yang sulit dilakukan karena masing-masing “God Father” dari Medco Group dan Bakrie Group dari awal sudah sulit untuk dirujukkan karena membawa “cacat bawaan konflik” kasus lumpur Lapindo pada PT. Lapindo Brantas pada kedua grup perusahaan tersebut.


Yang juga dibatalkan oleh PSSI adalah masalah perjanjian hak siar eksklusif kompetisi Djarum ISL yang sebelumnya dipegang oleh ANTEVE milik Bakrie Group melalui anak perusahaan PT. Cakrawala Andalan Televisi, yang menjadi kontributor terbesar PT. Visi Media Asia Tbk (VIVA, induk PT. Cakrawala Andalan Televisi, yang tentunya masih masuk Bakrie Group). Pembatalan hak siar eksklusif Djarum ISL kepada ANTEVE oleh PSSI, bila dicermati lebih mendalam ternyata bisa berakibat hukum jauh bagi ANTEVE. Karena VIVA dalam IPO (Initial Public Offering) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menjanjikan perolehan terbesar pendapatannya berasal dari ANTEVE yang memegang hak siar eksklusif kompetisi Djarum ISL selama 10 (sepuluh) tahun. Dengan fakta ini ribuan pemegang saham VIVA bisa menuntut ke pihak VIVA atas fakta sangat akurat ini karena bisa dianggap sebagai suatu kebohongan publik dengan menyatakan sesuatu yang bukan miliknya. Setidaknya otoritas Bursa Efek Jakarta (BEJ) bisa men-suspend saham VIVA bahkan lebih jauh menutup keberadaanVIVA di BEJ.


Nah melihat situasi inilah, mudah dibaui dan ditengarai bila pihak VIVA berusaha mati-matian untuk mempertahankan ISL sebagai kompetisi yang legal dan bahkan lebih jauh berharap banyak FIFA mengakui “PSSI Tandingan” yang diprakarsai oleh KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) dan tidak mengakui PSSI kepengurusan Djohar Arifin dan kawan-kawan. Sebab dengan demikian legitimasi ISL sebagai kompetisi yang diakui FIFA otomatis akan menyelamatkan VIVA dari banyak gugatan publik dan terhindarkan dari kerugian bisnis yang lebih besar. Mudah-mudahan motif dan gerakan seperti itu tidak benar dan ini harus dibuktikan dengan tindakan nyata dari kubu ISL untuk melakukan rekonsialisasi sebagai solusi terbaik.


Sementara PSSI begitu kepengurusannya terbentuk, yang merasa punya wewenang sebagai satu-satunya organisasi sepakbola yang diakui FIFA, dengan serta merta hanya mengakui kompetisi legal adalah kompetisi IPL, memberikan hak siar eksklusif IPL kepada MNC Group melalui statsiun televisi RCTI dan Global TV.
Dengan melihat pemetaan permasalahan yang terang benderang tadi, masyarakat sepakbola Indonesia sangat berhak memaksa para kepentingan bisnis sesaat untuk menghentikan segera segala permainan mereka yang lebih mengedepankan kepentingan bisnis mereka sendiri yang selama ini sangat merugikan sepakbola Indonesia. Damai, damailah. Semua bisa duduk satu meja dengan mengabaikan ego masing-masing untuk mencari solusi terbaik agar kita lolos dari tenggat waktu yang telah ditetapkan oleh FIFA tanggal 15 Juni 2012.


Kita hargai berbagai upaya rekonsialisasi oleh PSSI untuk mengundang klub-klub anggota ISL sampai tiga kali sampai 5 April 2012. Namun dari 18 klub anggota ISL hanya klub terbesar Persib Bandung yang datang memenuhi undangan. Kita masih berharap agar upaya rekonsialisasi ini tetap dilakukan oleh PSSI dengan penuh kesabaran sampai sebelum deadline FIFA datang. Karena kalau pun FIFA tak memberikan sanksi kepada Indonesia karena misalnya hanya mengakui PSSI kepengurusan Djohar Arifin, tetap saja terutama para pemain dan pendukung klub ISL akan sangat dirugikan. Mengapa? Karena klub-klub kesayangan mereka akan langsung didegradasi ke Divisi Utama oleh PSSI meneruskan keputusan FIFA. Bahkan bukan tidak mungkin banyak klub ISL gulung tikar.


Sayang bukan. Padahal sebagai Bangsa Indonesia kita masih memiliki ruang untuk menyelesaikan masalah. Karena berbagai suku bangsa Indonesia memiliki begitu banyak kearifan lokal seperti kearifan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah. Maka sebenarnya, semua hal bisa diselesaikan secara musyawarah, secara damai, dari hati ke hati yang dalam, yang tulus dengan mengubur segala kedengkian dan kebencian. Terlebih mereka; kedua bos besar yang terlibat adalah berasal dari almamater yang sama Institut Teknologi Bandung (ITB), bahkan pada program studi yang sama pula yakni Teknik Elektro ITB. Sebagai penggila bola yang alumnus ITB juga, saya menghimbau kedua senior saya ini untuk menguatkan tekad yang kuat pada masing-masing pihak untuk sama-sama menyelamatkan sepakbola Indonesia ketimbang ambisi pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar