Sabtu, 10 Juli 2010

Indonesia Mendarahi Sukses Belanda ke Final Piala Dunia 2010

Oleh Cardiyan HIS

Semakin terbukti bahwa talenta anak Indonesia bermain sepakbola sebenarnya berkelas dunia. Anak-anak keturunan Indonesia turut mengantar kesebelasan nasional Belanda menembus final Piala Dunia 2010. Manajemen PSSI harus direformasi total dalam kompetisi sepakbola berbagai level sejak usia dini sampai senior. Kalau tidak, ambisi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid membawa Indonesia ke pentas dunia sampai “Lebaran Kuda” pun tak akan pernah kesampaian.


Cannon ball berjarak 40 meter itu menembus telak pojok atas kiri gawang Uruguay. Sang penendang gol emas ini adalah kapten tim nasional Belanda, Giovanni van Bronckhorst. Mantan bek kiri klub Barcelona dan kini akan segera mundur dari klub Feyenoord pasca Piala Dunia 2010 ini, ternyata memiliki darah Indonesia. Ibu kandungnya adalah wanita berdarah Maluku dari fam Sapulete. Tak mengherankan sosok “hanya” bertinggi badan 178 cm pada aura wajahnya masih sangat kuat terpancar Ambon manise.

Gol sang kapten pada menit ke 18 ini (merupakan salah satu nominasi gol terbaik Piala Dunia 2010) tentu membangkitkan moral timnas Belanda di pertandingan semifinal yang sangat krusial melawan satu-satunya tim tersisa asal Amerika Latin; Uruguay. Terlebih-lebih gol ini membangkitkan semangat dan kebanggaan bagi 3 orang lagi sesama keturunan Indonesia yang bermain di semifinal; Johny Heitinga (bek tengah, pemain klub Everton, UK), Deny de Zeeuw (gelandang bertahan, Ajax, the Netherlands) dan Robin van Persie (penyerang, Arsenal, UK ini neneknya berdarah Jawa 100%). Sedangkan satu lagi keturunan Indonesia adalah gelandang bertahan; Nigel de Jong (Manchester City, UK) karena mendapat hukuman akumulasi kartu kuning tak bisa tampil di semifinal. Dengan semua 5 (lima) pemain keturunan Indonesia bebas dari hukuman akumulasi kartu sampai semifinal, maka kelimanya yang merupakan pemain inti kemungkinan besar akan dimainkan sepenuhnya oleh pelatih timnas Belanda, Bert van Marwijk melawan Spanyol di final 12 Juli 2010 jam 1.30 dini hari.

Cerita manis kiprah pemain nasional Belanda berdarah Indonesia sebenarnya bukan ceritera baru lagi. Malahan terjadi sejak jauh hari ketika timnas Indonesia asuhan pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik , melakukan Tour Eropa pertama pada awal 1965. Seorang pemain timnas Indonesia bernama Domingus asal Persipura, Jayapura, Irian Barat (kini Papua) membelot dari timnas Indonesia ke Belanda! Peristiwa yang sangat berbau politis ini, terjadi segera setelah pertandingan timnas Indonesia yang dikapteni Soetjipto “Gareng” Soentoro melawan Guus Hiddink, yang mengkapteni timnas Belanda. Bung Karno, Presiden RI marah besar dan semakin menguatkan tekadnya untuk membangun kesebelasan Indonesia yang kuat untuk event dunia Ganefo di Jakarta. Di event sebagai tandingan Olimpiade karena Indonesia memboikot Olimpiade Tokyo 1960, di final kesebelasan Indonesia mengalahkan Mesir 1-0 melalui gol tunggal striker Komar, asal Persib Bandung. Ketika itu Indonesia memang sedang mengalami masa-masa panas hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pasca Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) oleh PBB yang akhirnya pada tahun 1962 membawa kembali Irian Barat dari cengkeraman penjajah Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia.

Setelah kejadian itu, baru muncul Simon Tahamata berdarah Indonesia Maluku sebagai pemain inti tim nasional Belanda awal tahun 1980an. Bermain sebagai kiri luar yang sangat cemerlang di klub Ajax, membawa Simon Tahamata ke timnas Belanda. Simon mengakhiri karier internasionalnya di sebuah klub papan atas Belgia, Anderlecht. Nah yang menjadi menarik belakangan ini fenomena jumlah populasi pemain timnas Belanda ternyata semakin banyak dihuni oleh para pemain berdarah Indonesia. Timnas Belanda yang akan tampil di final melawan Spanyol tanggal 12 Juli 2010 jam 1.30, dipastikan akan melibatkan 5 (lima) orang keturunan Indonesia!

Dan masa depan para pemain keturunan Indonesia untuk bisa menembus pemain elite timnas Belanda pasca Piala Dunia 2010 ini pun masih sangat terbuka lebar. Karena masih sangat banyak pemain-pemain keturunan Indonesia yang terlibat dalam kompetisi divisi utama Belanda Eradivisie. Setelah salah seorang pemain timnas Belanda keturunan Indonesia bernama Hedwiges Maduro (juga mantan kapten timnas Belanda yang menjuarai Piala Eropa U-20 tahun 2005) menurun dan tak dipanggil oleh pelatih timnas Belanda 2010, kini ada barisan panjang nama-nama keturunan Indonesia yang kualitasnya sangat menjanjikan antara lain Christian Sapusepa, Michael Timisela, Robert Timisela dan Sven Taberima (Ajax, Amsterdam); Djilmal Lawansuka (Feyenoord, Rotterdam); Raphael Tuanakotta dan Ignacio Tuhuteru (FC Groningen); Gaston Salasiwa (AZ Alkmaar); Marciano Kastirejo, Stefano Lilipaly dan Max Lohy (FC Utrech); Nelljoe Latumahina, Juan Hatumena, Petg Toisuta dan Domingus Lim-Duan (FC Zwolle).

Melihat deretan nama tersebut, tak mengherankan bila Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI sangat tergiur untuk secara instant merekrut pemain-pemain keturunan Indonesia ini menjadi pemain timnas PSSI, melalui proses naturalisasi terlebih dulu. Maka segera dia menyuruh Nugraha Besoes, Sekjen PSSI yang menjabat Sekjen terlama di dunia untuk menjajaginya. Tapi sebagian terbesar dari mereka ternyata tidak mau bermain untuk tim PSSI karena mereka menilai peluang untuk lolos ke Piala Dunia sangat tipis bagi timnas Indonesia dibandingkan kalau mereka membela timnas Belanda. Alasan lain penolakan mereka tentunya adalah masalah jaminan hidup pemain yang sangat diragukan karena kompetisi PSSI masih sangat ecek-ecek.

Memang ada beberapa keturunan Indonesia yang mencoba peruntungan di kompetisi Indonesia Super League (ISL) seperti Irvan Bachdim, (ayahnya keturunan Minangkabau). Namun pemain yunior FC Groningen ini ditolak oleh Persib Bandung karena dinilai masih belum siap untuk mengarungi kompetisi ISL yang sangat keras. Ada lagi Sergio van Dijk, salah seorang top scorer liga Australia (A-League), tetapi beritanya tak kedengaran lagi, mungkin dia tahu Indonesia ditolak FIFA pada bidding keikutsertaannya untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

PSSI kepengurusan Nurdin Halid kalau mau maju ke pentas dunia janganlah berpikir serba instant dong. Jangan agar bisa lolos ke Piala Dunia lalu mencoba merekayasa menjadi Tuan Rumah Piala Dunia. Ini namanya ingin tampil di Piala Dunia dengan tiket gratis! Jangan karena ingin lolos ke Piala Dunia lalu berpikir segera menaturalisasi para pemain bola internasional keturunan Indonesia. Benahi dulu dong, semua level kompetisi sejak usia dini, berjenjang beberapa tingkatan sampai ke kompetisi senior. Kompetisi yang berjalan bagus, kompetitip dan dijalankan secara fair itulah yang akan membawa pemain-pemain Indonesia berada pada level tinggi sebagai pemain sepakbola yang nantinya direkrut memperkuat timnas Indonesia.

Datangkan ke Indonesia pelatih berkelas dunia sekelas Tony Pogacknik, yang didukung penuh oleh pemerintah di bawah Presiden RI, Ir. Soekarno; yang berhasil membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Melbourne, Australia 1956 setelah di final Pra Olimpiade mengalahkan timnas Cina 5-3 dan kemudian di perempat final Olimpiade Melbourne membuat kejutan dengan menahan 0-0 calon juara Olimpiade yang akhirnya memang juga menjuarai Olimpiade Melbourne; Uni Soviet (sekarang Rusia), melalui pertandingan sangat dramatik. Atau datangkan pelatih asal Belanda sekelas, Wiel Coerver, yang membawa Feyenoord memenangi piala Champions dan nyaris membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal, Kanada 1976, hanya karena kalah adu penalti 5-6 melawan Korea Utara. Suruh pelatih timnas Indonesia ini keliling Indonesia memantau pemain-pemain muda berbakat tanpa diintervensi pengurus PSSI. Suruh dia memantau pemain-pemain di kompetisi ISL dan terus berdiskusi dengan para pelatih klub anggota ISL. Suruh dia memberi kursus kepelatihan bagi calon pelatih Indonesia terutama yang berasal dari mantan pemain nasional.

Ayo sebenar-benarnya Indonesia itu bisa ke Piala Dunia!!!!!


Kepustakaan:

www.fifa.com

www.cardiyanhis.blogspot.com

Cardiyan HIS, “PSSI Tempo Doeloe Hebring”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.

Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, “Intinya Pemain Inti untuk PSSI”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.

Cardiyan HIS, “Soetjipto ‘GARENG’ Soentoro Menggoreng Bola”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.

Kamis, 01 Juli 2010

PSSI Tempo Doeloe Hebring, PSSI Nurdin Halid Terbanting

Oleh Cardiyan HIS

Sejarah kejayaan PSSI tempo doeloe gagal diulang PSSI Nurdin Halid. Kejayaan sepakbola Indonesia ini diraih karena pengorganisasian PSSI berlangsung dengan penuh idealisme, penuh patriotik. Bila sepakbola di jaman penjajahan Belanda adalah sebagai alat perjuangan menyatukan rakyat Indonesia melawan Belanda. Maka pada pasca kemerdekaan dijadikan alat perjuangan pembentukan karakter bangsa (National Character Building). Dan hal ini sangat didukung oleh visi dan misi Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Presiden RI pertama ini meminta sahabatnya di KTT Non Blok, Presiden Yugoslavia, Broz Tito untuk mengirim ke Indonesia salah seorang pelatih sepakbola terbaik di Eropa yakni Tony Pogacknik. Sedangkan manajemen sepakbola PSSI Nurdin Halid adalah mismanajemen.


Indonesia adalah negara yang memiliki suku bangsa atau etnis terbanyak di dunia. Dan berdasarkan tesis para akhli psikologi dunia Barbe dan Renzulli (1975) dan Gallagher (1975), Tuhan YME memberikan talenta terbaik kepada sebagian manusia pada berbagai etnis di mana pun mereka berada di belahan tempat di dunia. Maka tak mengherankan bila talenta terbaik sepakbola pun berada di mana-mana di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemudian pada masa itu belum ada kompetisi sepakbola profesional berkelas dunia di Asia dan Afrika, kompetisi profesional baru ada di belahan benua Eropa. Kompetisi sepakbola amatir atau di Indonesia dikenal sebagai kompetisi sepakbola Perserikatan-lah yang baru ada, begitu pula di negara-negara Asia dan Afrika lainnya, kecuali di Hong Kong yang berafiliasi ke Inggris. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat ketika kompetisi profesional seperti sekarang ini. Namun meskipun demikian, ketika itu kompetisi amatir Perserikatan dilakukan dengan teratur, terjadwal dengan baik. Sehingga para juara kompetisi Perserikatan peraih Piala Presiden RI ini mencerminkan kualitas pencapaian kesebelasannya adalah nyata-nyata bagus.

Sebagai pelatih sepakbola Tony Pogacknik memang sangat jeli. Ia menemukan kehebatan para pemain Indonesia ada pada kemampuan sprint pendek, sehingga dia mengembangkannya sebagai sebuah taktik penyerangan merayap sejak dari belakang mendekati kotak penalti lawan. Maka menghadapi pemain-pemain Eropa bertubuh tinggi besar pun bukan menjadi halangan bagi para pemain Indonesia, karena bisa bermain tik-tak untuk menerobos benteng pertahanan lawan. Sebagai orang Eropa, Tony sudah sangat hapal tentunya kelemahan para pemain belakang yang berfisik tinggi besar ada pada kekakuan tubuh, tak lentur dalam membalikkan badan manakala penyerang lawan berhasil menembus tembok pemain belakang. Nah sebaliknya para pemain belakang Indonesia memiliki kemampuan fisik yang lentur, sehingga mereka akan mudah membalikkan badan untuk mengejar pemain depan lawan yang mencoba lolos. Sedangkan fisik dan kebugaran para pemain Indonesia tempo dulu juga terbilang bagus, karena pada jamannya mereka memakan dan meminum makanan tradisional kampung yang bebas dari polutan, tidak merokok dan jelas tidak pernah makanan junk food seperti pemain sepakbola Indonesia jaman sekarang.

Maka dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan Indonesia menjadi salah satu Negara di Asia yang sangat maju dalam persepakbolaannya. Dalam “Tour Asia” pertama pada 16 April 1953 sampai dengan 15 Mei 1953, kesebelasan Indonesia telah membuat gempar Asia. Hong Kong sebagai satu-satunya negara di Asia yang telah memiliki kompetisi profesional dan memiliki tradisi unggul yakni kesebelasan mereka sangat sulit dikalahkan di “kandang macan” Happy Valley stadium yang terkenal itu. Melalui suara mantan bintang kompetisi Hong Kong dari klub Hong Kong Interporters, Lee Wai Tong sangat underestimate terhadap timnas Indonesia. “Indonesia akan putus!”, ejeknya. Hanya Mr. Chen Wing Pak (manajer klub Nan Hua) satu-satunya yang ketahuan terbebas dari perasaan memandang remeh Indonesia, karena tahun 1952 dia pernah membawa klub Nan Hua beruji coba ke Jakarta, sehinggga setidaknya dia sudah mengetahui level permainan tim-tim sepakbola di Indonesia. Pada pertandingan pertama, Hong Kong Interpoters dilibas timnas Indonesia dengan 1-4. Kemudian Indonesia menekuk Hong Kong Selection 2-3 dan terakhir Chinese Combination dicukur 5-1. Maka dalam acara “Farewell Dinner”, pimpinan Hong Kong Football Association, dengan jiwa besar mengatakan: “Belum pernah ada kesebelasan asing yang dalam pertandingan di Happy Valley stadium mengalahkan tiga kesebelasan terkuat di Hong Kong sekaligus! Kalau sebelumnya pada Welcome Party manajer Indonesia mengatakan ingin belajar kepada Hong Kong. Maka sekarang sebaliknya, Hong Kong yang harus belajar kepada Indonesia!”. Bukan main. Dalam lanjutan tour lanjutan PSSI ke Filipina, PSSI lebih menggila lagi. Manila Selections dicukur habis 0-8. All Students dilibas 0-7 dan Interpoters digasak 0-5. Sementara uji coba di Bangkok, Thailand, PSSI menggulung klub Chaisote 0-6 dan menghancurkan Thai Royal Airforce 0-7. Bahwa timnas Indonesia benar-benar digjaya di Asia terbukti Indonesia lolos ke Olimpiade XVI tahun 1956 di Melbourne, Australia, setelah pada final Pra Olimpiade menundukkan Cina 5-3. Sebelum berangkat ke Melbourne dalam uji coba sesama timnas sepakbola ke olimpiade Melbourne, Indonesia mengalahkan timnas sepakbola Amerika Serikat dengan skor 7-5.

Pada arena Olimpiade Melbourne ini pula kesebelasan Indonesia yang dikapteni Aang Witarsa (asal Persib Bandung) menjadi perhatian dunia. Indonesia berhasil menahan favorit juara timnas Uni Soviet (Rusia sekarang) dengan skor 0-0. Penjaga gawang ditempati Saelan, sedangkan pemain belakang Indonesia terdiri dari Rasyid, Kiat Sek dan Chaeruddin. Sedangkan barisan gelandang ditempati Siang Liong, Him Tjiang dan Liong Houw bagai benteng yang sungguh kuat. Namun mereka tetap lincah sekali dalam gerakan-gerakannya; seperti penjalin yang dapat dibengkok-bengkokkan dan dapat dipentalkan kembali. Ditambah si “Tukang Pikul Air” Ramlan, yang bekerja keras bagai Genaro Gatusso (AC Milan) menahan pada tahap awal setiap serangan pemain-pemain depan Uni Soviet, sebelum memasuki barisan gelandang dan akhirnya barisan pemain belakang Indonesia. Pada barisan depan Aang Witarsa memimpin rekannya; Ramang dan Danu.

Karena skor normal 2x45 menit tetap 0-0, maka pertandingan harus diperpanjang 2x15 menit. Padahal dalam waktu normal itu Uni Soviet telah menendang bola ke luar melalui garis gawang (out keeper) sebanyak 46 kali. Menembak 20 kali yang dapat ditangkap dengan gemilang oleh penjaga gawang Saelan. Bahkan Uni Soviet memaksakan tendangan penjuru sebanyak 23 kali! Rupanya, penyerang-penyerang Uni Soviet sudah kehilangan akal untuk membobol gawang Indonesia. Maka mereka dengan segala cara mencoba memforsir satu penalti. Yaitu ketika ada kemelut di depan benteng Indonesia, penyerang mereka sengaja menjatuhkan diri berguling-guling seolah kesakitan luar biasa (diving). Tetapi untunglah wasit tidak dapat dipengaruhinya. Ini digambarkan dengan jeli oleh reporter the SUN: “ ....in sheer desperations at one stage, the Russian tried to force a penalty kick decisions in their favour, but desisted when the referee failed to impressed ....” Padahal dalam pertandingan sebelumnya favorit lainnya Jerman Barat, dikalahkan Uni Soviet 2-1. Barulah pada pertandingan play-off keesokan harinya, dimana empat pemain Indonesia mengalami cedera berat, Uni Soviet mampu mengalahkan Indonesia 4-0. Akhirnya Uni Soviet memenangi Medali Emas Olimpiade Melbourne setelah di babak final mengalahkan Yugoslavia 1-0.

Bagaimana hebat dan gagah beraninya para pemain kesebelasan Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: If there was an Olympic Medal awarded for courage, tenacity and refusal to admit inferiority, the INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic Park. They confounded experts, amazed the spectators and worried the Russian team a scoreless draw, even after extra time had been ordered. It was the most fantastic soccer match I have ever seen. (Bill Fleming, senior soccer writer at the Argus newspaper, Australia, 30 November 1956. Menutup periode 1950an Indonesia memenangi medali perunggu Asian Games 1958, di Tokyo, Jepang.

Pemain-pemain Berkarakter Kuat

Pembangunan karakter bangsa yang menjadi komitmen Presiden RI Bung Karno semakin menampakkan hasilnya. Masih dengan pelatih Tony Pogacknik, Indonesia semakin merajalela di peta sepakbola Asia. Tony Pogacknik bukan saja mampu meramu kesebelasan Indonesia menjadi kesebelasan yang kuat. Tony juga mampu mengembangkan para pemain Indonesia menjadi pemain yang memiliki karakter kuat seperti pada diri Aang Witarsa (Persib), Fatah Hidayat (Persib), Soetjipto Soentoro (Persija), Anwar Ujang (PSMS), Iswadi Idris (Persija) yang berturut-turut kesemuanya adalah para kapten tim nasional Indonesia yang sangat berwibawa. Dengan kualitas timnas Indonesia yang cemerlang, maka berdatanganlah ke Jakarta kesebelasan-kesebelasan kelas dunia seperti Dynamo Kiev dengan kapten penjaga gawang legendaris Lev Yashin dan Dynamo Tiblisi (Uni Soviet), Csepel (Hongaria), Hajduk Split dan Red Star Belgrade (Yugoslavia), Spartac (Cekoslowakia), Santos, Cruzeiro, Corinthians dan Flamengo (Brazil), Independentie (Argentina). Sebaliknya, negara-negara kuat sepakbola di Eropa seperti timnas-timnas Belanda, Yugoslavia, Cekoslowakia, Bulgaria, Hongaria dan klub juara Bundesliga Jerman Barat Werder Bremen, dengan senang hati menerima timnas Indonesia yang melakukan “Tour Eropa” pada awal tahun 1965.

Dari beberapa pertandingan “Tour Eropa”, pertandingan paling dahsyat adalah ketika timnas Indonesia melawan Werder Bremen. Indonesia memang kalah 5-6, dua di antara enam gol Werder Bremen diperoleh melalui tendangan penalti. Tetapi pelatih Werder Bremen, Herr Brocker memiliki kesan sangat mendalam terhadap timnas Indonesia. Ia sangat kagum dan heran apa yang ditunjukkan kesebelasan Indonesia yang dianggapnya sudah memiliki tingkat permainan kelas dunia. Juga mereka melihat “handicap” yang ada soal tinggi dan lebih ringkihnya badan pemain-pemain Indonesia, ternyata dapat dikompensasikan dengan “gorengan bola” (dribble) yang sangat lincah dan operan tik-tak cepat yang sangat teliti terutama pada diri Soetjipto Soentoro dan Max Timisela.

Pelatih Brocker selanjutnya memuji pemain-pemain Indonesia yang dari segi teknis “perfect”, sangat pandai menguasai bola dan gesit. Selama main dalam kompetisi “seizum” 1965, Werder Bremen tak pernah kebobolan gol sebanyak lima. Padahal dalam melawan Indonesia, pelatih Brocker telah mengajukan pasangan yang terkuat, banyak di antaranya adalah pemain-pemain tim nasional Jerman Barat. Oleh karena itu, Brocker memuji sistem permainan Indonesia yang sering memberikan “long passing” dari sayap ke sayap yang lain. Menurut pelatih Werder ini pertandingan berlangsung dengan mutu tinggi, berjalan cepat dan sama sekali tidak menjemukan. Semua gol yang dicetak, baik oleh Werder Bremen maupun timnas Indonesia adalah “gol-gol ideal” yang tidak dapat dilihat setiap hari. Wasit Herr Redelfs yang juga diwawancarai para wartawan mengatakan, bahwa pertandingan telah berlangsung dengan fair. Ia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan kesebelasan terkuat di Asia. “Saya yakin setiap klub sepakbola Jerman Barat akan bersedia menerima pemain-pemain seperti Soetjipto Soentoro dan Max Timisela, yang sangat berkualitas”. Kedua pemain Indonesia ini memang paling banyak mendapat tepuk tangan riuh setiap kali ia “menggoreng bola” dan “menipu” dua atau bahkan tiga pemain belakang Werder Bremen yang tinggi besar itu. Beberapa pemain belakang Werder Bremen bahkan saling meneriaki ke sesama temannya “Pele”, “Pele”, “Pele” yang dimaksudkannya mengingatkan temannya agar menjaga ekstra keras Soetjipto Soentoro, yang mencetak tiga gol dalam pertandingan tersebut.

Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan yang sekarang menjadi pelanggan Piala Dunia, ketika itu biasa dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dihancurkan oleh Soetjipto Soentoro dkk dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1968. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka memang belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an). Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau AFC (Asian Football Confederation) yang berkantor di Kuala Lumpur nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri (gelandang elegan), Anwar Ujang (stopper paling sulit dilewati lawan) dan Yudo Hadiyanto (penjaga gawang “paling kebal” di Asia versi koran “Utusan Malaysia” dan “Bangkok Post”) pun sebenarnya mau ditarik juga untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.

Berikut adalah statistik keberhasilan kesebelasan Indonesia tempo doeloe, baik PSSI Yunior maupun PSSI Senior pada berbagai level turnamen sepakbola bergengsi di Asia:

Prestasi PSSI Yunior:

Kejuaraan Piala Asia Yunior 1960: Indonesia juara 3.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1961: Indonesia juara 1.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1962: Indonesia juara 1
Tahun 1963-1966: Indonesia tak ikut kejuaraan karena situasi Tanah Air ada perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Jaya dan Dwikora konfrontasi dengan Malaysia).
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1967: Indonesia juara 2
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1970: Indonesia juara 2
Kejuaraan Pelajar Asia 1984: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1985: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1986: Indonesia juara 1
Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986: Indonesia juara 1

Prestasi PSSI Senior:

Turnamen Merdeka Games 1960, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1961, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1961, Dhaka: Indonesia Juara 1
Sepakbola Asian Games IV 1962, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1962, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1966, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1967, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup, Bangkok 1968, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1969, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1969, Bangkok: Indonesia Juara 2
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1970, Dhaka: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup I 1970, Jakarta: Indonesia Juara 3
Turnamen Queen’s Cup 1971, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1971, Seoul: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1971, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1972, Jakarta: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1972, Seoul: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan 1972, Singapura: All Indonesian Final (PSSI A & PSSI B)
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1973, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1973, Saigon: Indonesia/Persija Juara 1
Turnamen President’s Cup 1974, Seoul: Indonesia/PSMS Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1974, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1974, Saigon: Indonesia/Persipura Juara 2
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1979, Dhaka: Indonesia/Niac Mitra Juara 1
Sepakbola SEA Games 1981, Manila: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1984, Bangkok: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan Brunei Darussalam 1986, Indonesia/Persib Juara 1
Turnamen Piala Kemerdekaan 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1
Sepakbola SEA Games 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1

Berbasis Kompetisi Profesional

Dengan tradisi kuat memenangi berbagai turnamen di Asia dan dengan memiliki pemain berbakat luar biasa banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka Ali Sadikin ingin menguatkan pilar-pilar itu ke dalam sebuah kompetisi yang profesional yang disebut kompetisi Liga Sepakbola Utama atau yang lebih dikenal sebagai Galatama pada tahun 1979. Nama Galatama dengan demikian membedakan dengan kompetisi amatir yang berbasis nama kota atau yang lebih dikenal sebagai Perserikatan. Ali Sadikin yakin sepakbola Indonesia hanya bisa maju menuju ke level dunia bila sepakbola dikembangkan berbasis kompetisi profesional. Tak akan terdengar lagi mantan pemain nasional Indonesia menjadi pengangguran karena kompetisi akan memberikan hajat hidup bukan hanya kepada para pemain, pelatih dan wasit tetapi lebih banyak lagi orang terlibat di dalamnya karena kompetisi sepakbola adalah suatu industri besar.

Klub sepakbola pun didirikan oleh para pengusaha gila bola seperti Benny Mulyono, pengusaha cat bermerek “Warna Agung” dengan membuat klub berwarna Warna Agung pula; pengusaha Ciputra memprofesionalkan klub Jayakarta yang semula anggota Persija; Sjarnubi Said memprofesionalkan klub yang sebelumnya disponsori Pertamina, Indonesia Muda; TD Pardede meneruskan klub profesional pertama di Indonesia yang dirintisnya, Pardedetex di Medan; Probosutedjo membentuk klub Mercu Buana FC, Medan yang diambil dari nama grup perusahaannya; Sigit Haryoyudanto mendirikan klub Arseto di Solo; seorang pengusaha Surabaya pemilik dunia entertainment mendirikan klub Niac Mitra; pengusaha mantan Pangdam Cendrawasih dan Gubernur Irian Barat, Acub Zainal membentuk Arema di Malang; pengusaha koran Cahaya Kita membentuk klub Cahaya Kita di Jakarta; perusahaan perkebunan di Lampung mendirikan klub Yanita Utama dsb.

Kompetisi profesional Galatama adalah kompetisi sepakbola kedua di Asia setelah Hong Kong, memiliki daya tarik tersendiri bagi pemain asing sekelas Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) yang memperkuat Niac Mitra, Surabaya dan Jairo Matos (Brazil) yang memperkuat Pardedetex, Medan. Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Klub Warna Agung yang dikapteni Ronny Pattinasarani menjadi klub pertama yang menjuarai Galatama musim pertama. Tak mengherankan, jauh sebelum didirikan J-League pada tahun 1992, tim persiapan kompetisi liga sepakbola Jepang pun belajar dari Galatama Indonesia. Begitu pula tim nasional Jepang selalu mengadakan sasaran uji coba ke Indonesia, yang di mata mereka sudah lebih maju kualitas tim sepakbolanya.

Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola mulai dari judi buntut, toto resmi SDSB Departemen Sosial RI dan tentunya judi liar beromzet miliaran rupiah menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia. Konon mafia judi sepakbola ini berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama pun hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung yang sedang berjaya dengan pemain-pemain top seperti Ajat Sudrajat, Robby Darwis, Yusuf Bachtiar, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Wawan Karnawan, Kosasih dkk sering menghancurkan tim-tim Galatama dengan skor telak.

Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena organisasi sepakbola Jepang memiliki pengorganisasian yang bagus; manajemen kompetisi yang terjadwal dengan baik yang ujungnya mengacu kepada kompetisi tingkat klub Asia dan dunia dan tentunya persiapan tim nasional di kompetisi resmi FIFA; dunia industri sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga para pemain dan pelatih kelas dunia mau berkarier di sini; para suporter mereka sudah sangat dewasa dan sportif, tidak bertindak anarkis dan rasis. Pokoknya semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi yang berlevel tinggi. Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Timnas Jepang sekarang sudah sangat jauh melebihi timnas Indonesia. Kemenangan terakhir timnas Indonesia atas Jepang adalah pada tahun 1981 ketika dalam ujicoba di stadion Senayan, Jakarta, tim Olimpiade Jepang kalah 0-4 dari timnas Indonesia yang dikapteni Ronny Pattinasarani. Setelah itu sampai sekarang Indonesia tak pernah menang lagi kalau lawan kesebelasan nasional Jepang. Bahkan melawan anak bawang Laos pun, di SEA Games 2009 lalu timnas Indonesia kalah 0-2, sekaligus menjadi juru kunci grup. Banyak pemain Indonesia yang kalah sebelum bertanding kalau mendengar nama-nama pemain timnas Jepang seperti Hasebe, Endo, Honda, Nakamura, Nakazawa, Tulio, Matsui dkk. Jepang jadi pelanggan tiket wakil Asia bersama Korea Selatan dari tiga tiket wakil Asia ke Piala Dunia, sedangkan timnas Indonesia menjadi pecundang paling awal; masuk kotak.


Super Big Business

Kompetisi sepakbola Indonesia sih namanya paling keren yakni ISL alias Indonesia Super League. Nama internasional tetapi mutu lokal. Manajemen sangat buruk pada PSSI, menjadi biang keladi kegagalan timnas Indonesia bangkit dari keterpurukan yang demikian panjang. Bertahun-tahun dalam dua periode kepengurusannya, Nurdin Halid lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dari pada mengurus manajemen organisasi PSSI.
Dia lebih banyak menggalang kekuatan para pendukungnya agar tak diadakan Kongres Luar Biasa PSSI yang bisa membawa kepada pemakzulan dirinya dan dipecat FIFA. Padahal potensi penonton sepakbola Indonesia adalah sangat luar biasa, terbanyak di Asia setelah Cina. Stadion Jalak Harupat Bandung sudah biasa disesaki 50.000 penonton kalau Persib main. Begitu pula stadion di Gajayana dan atau stadion Kanjuruhan di Malang kalau Arema Malang main akan disesaki 40.000 penonton. Dan kalau saja pertandingan Persija lawan Persib dibolehkan dilangsungkan di stadion Senayan seperti pertandingan kandang Persija vs Persib pada ISL musim lalu, maka 90.000 penonton pendukung Persija (karena bobotoh Persib dilarang nonton untuk menghindari bentrok antar penonton) pasti akan menonton “super big match” ini.

Jadwal kompetisi amburadul. Padahal pengurus PSSI melalui liga ISL telah menggembar-gemborkan; “hanya gempa bumi dan tsunami yang akan bisa mengubah jadwal kompetisi”. Akibatnya kondisi fisik dan mental pemain menjadi hancur sehingga rawan cedera dan mudah keluar emosi. Akibatnya mudah menyulut terjadinya tawuran sesama pemain bahkan pemain memukul wasit. Ini juga antara lain karena integritas wasit pun belum bisa dipercaya. Komplit sudah bila ditambah penonton mengamuk dan membakar dan merusak apa saja yang ada di depan mata, di stadion bahkan sampai ke luar stadion.

Kemudian konsep dibolehkannya 5 pemain asing main dalam satu pertandingan ISL, telah mengawali penghambatan potensi maju pemain lokal. Karena terlalu sering duduk di bangku cadangan, para pemain lokal bahkan yang sudah berstatus pemain nasional sekalipun menjadi tidak berkembang kemampuannya. Yang rugi ujung-ujungnya tim nasional juga. Ditambah jadwal kompetisi molor berakibat setiap persiapan pelatnas timnas selalu terkendala. Kalau tidak lengkap semua pemain terkumpul; kendala yang lain adalah kondisi fisik dan mental pemain sudah kelelahan dan jenuh karena jadwal kompetisi yang amburadul tadi. Tak mengherankan bila hal ini sudah menjadi kebiasaan ketika kompetisi berakhir, pemain-pemain tidak siap mengikuti kompetisi level Asia. Juara kompetisi Indonesia sudah langganan menjadi bulan-bulanan gol lawan yang telah memiliki kompetisi teratur untuk persiapan ke Liga Champions Asia. Jatah 2 tim Indonesia ke Liga Champions Asia menjadi berkurang tinggal 1 saja. Dan bila tak ada kesungguhan untuk memperbaiki manajemen kompetisi ISL, jangan-jangan jatah Indonesia untuk Champions Asia pun tak ada lagi.

Karena jadwal kompetisi yang amduradul ini pula. Maka belanja klub lebih hancur-hancuran lagi. Karena dengan mengembangnya waktu, maka belanja menjadi tambah tidak terkendali. Padahal sebagian besar klub hanya mengandalkan biaya APBD. Kalau rata-rata setiap klub dari 18 klub ISL yang ada membelanjakan masing-masing Rp 15 miliar per musim kompetisi saja. Maka ada sedikitnya perputaran uang Rp. 270 miliar. Padahal klub besar seperti Persib Bandung melalui PT. Persib Bandung Bermartabat telah disuntik dana oleh konsorsium para pengusaha Indonesia lebih dari Rp. 30 miliar pada musim kompetisi 2009-2010 ybl. Persija Jakarta yang masih mengandalkan sepenuhny dana APBD bahkan lebih besar lagi yakni Rp. 42 miliar. Tetapi hasilnya? Persib hanya urutan ke empat dan Persija lebih tragis lagi yakni hanya urutan ke lima.

Perputaran uang di sepakbola Indonesia ini akan semakin menggila bila pihak Kementrian Dalam Negeri RI tidak segera menyetop penggunaan dana APBD untuk kepentingan klub sepakbola peserta ISL dan Divisi Utama dan Divisi Dua PSSI. Penggunaan dana APBD itu jelas telah melanggar aturan hibah, yang tak boleh terus-terusan, dari tahun ke tahun diberikan kepada klub sepakbola. Kalangan anti korupsi menengarai dana tersebut hanya menjadi amunisi para Bupati incumbent dalam mempertahankan kekuasaan dengan aktif menjadi pengurus klub sepakbola. Sepakbola hanya dijadikan “Public Relations” mereka.

Hanya Persib Bandung dan Arema Malang yang sudah menjadi klub profesional, yang sama sekali tidak dibiayai lagi oleh dana APBD. Malah sekarang PSSI semakin mundur agar Pemerintah Pusat melegalisasi dana APBN dengan dalih untuk pembinaan sepakbola nasional. Tahun 2010 ini PSSI berharap dana Rp. 30 miliar bisa dicairkan dari dana APBN. Ini belum ditambah dana yang diserap oleh PSSI dari pabrik rokok Djarum sponsor utama ISL yakni sedikitnya Rp. 50 miliar. Ditambah lagi sumbangan tetap FIFA untuk PSSI sebesar US$ 1 juta/tahun. Belum ditambah lagi penjualan hak siar televisi ke Anteve untuk 150 siaran langsung dan tunda liga ISL sebesar Rp. 30 miliar yang sekaligus dibayar di muka. Plus dana denda pemain dan panitia setempat yang melakukan pelanggaran pada pertandingan. Plus hasil jualan iklan outdoor di sekitar stadion Senayan dan stadion-stadion di seluruh Indonesia yang tak ketahuan berapa jumlahnya. Plus transfer fee yang diperoleh dari jual beli pemain terutama pemain asing. Plus hasil penjualan tiket kepada penonton. Plus perolehan bila ada pertandingan internasional resmi agenda FIFA maupun bukan resmi. Plus donasi pribadi-pribadi gila bola yang juga gelap gulita berapa jumlahnya. Plus bila belanja pada kompetisi Divisi Utama PSSI, Divisi Satu PSSI dan Divisi Dua PSSI ditambahkan ke dalam perputaran uang disini. Plus dan plus bila kejuaraan yang berbeda yakni Piala Indonesia yang diikuti oleh klub ISL dan Divisi Utama juga turut dijumlahkan dalam perputaran uang ini. Maka perputaran uang sepakbola Indonesia bisa melampaui angka Rp. 1 triliun !!!

Karena sepakbola Indonesia adalah sudah merupakan persoalan manajemen. Maka untuk memecahkannya pun adalah melalui pendekatan manajemen. Nah para ahli manajemen tinggal melihat dan mengelolanya dari hal-hal yang tangible dan intangible pada peta profil sepakbola Indonesia ini. Terutama faktor Nurdin Halid.


Kepustakaan:

Cardiyan HIS, PSSI Tempo Doeloe Hebring, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS, Si Gareng Menggoreng Bola: Sebuah Biografi Soetjipto Soentoro, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, Intinya Pemain Inti untuk PSSI: Sebuah Biografi Ajat Sudrajat dan Ricky Jacobi, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Conny Semiawan et al., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Mengengah, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1984.

www.cardiyanhis.blogspot.com