Barcelona dan Teori Dialektika Hegel
Oleh Cardiyan HIS
Tidak ada yang tidak berubah di Dunia ini. Dan cara berubahnya pun sedemikian rupa. Bahwa dalam setiap timbul suatu pengertian (thesa), selalu akan menimbulkan satu atau beberapa antithesa, yang berlawanan, atau tidak serupa dari pengertian semula. Memang antithesa tersebut tidak usah bertolak belakang penuh dengan thesa semula, tapi minimum ia tidak serupa.
Thesa dan antithesa ini akan bersama-sama menimbulkan suatu pengertian yang lebih tinggi tingkatnya. Yakni pada fase ketiga yang terletak dalam suatu tingkat pengertian yang lebih tinggi dari bidang perdebatan antara thesa dan antithesa; yang biasanya disebut synthesa. Pengertian synthesa yang akhir ini pun di dalam proses perubahan berikutnya, akan menimbulkan hal-hal atau pengertian-pengertian yang berlawanan atau tidak serupa, sebagai koreksi berikut. Mengapa? Karena sudah mendapat masukan Umpan Balik (feedback), yang akan merangsang dan mengarahkan proses perubahan yang merupakan permulaan dan proses Dialektika berikutnya.
Itulah jalan pikiran “Teori Dialektika” Wilhelm Friedrich HEGEL (1770-1831), yang diyakininya bahwa fenomena dialektika adalah prinsip semua pergerakan; semua proses kehidupan dan semua aktivitas dalam kenyataan hidup sehari-hari. Cara berpikir dialektis ini adalah suatu metoda berpikir yang sering juga disebut sebagai bentuk mula atau intinya metoda berpikir ilmiah. Jan Romein, seorang ahli sejarah Belanda menerangkan yang terkait erat dengan fenomena Dialektika Hegel ini “....... bahwa suatu posisi terdepan, pada suatu waktu tertentu dan dalam kondisi yang tertentu pula, akan justru menghambat dan akan berubah menjadi keterbelakangan”. Atau dengan kata lain; yang di depan melambat dan yang di belakang mempercepat.
Dalam kaitan dengan dunia olahraga khususnya sepakbola, Teori Dialektika Hegel ini secara sederhana sangat mudah dipahami. Segera sebuah tim sekelas Barcelona yang belakangan berulang kali menjuarai La Liga Spanyol dan “Copa del Rey” kemudian dituntaskan dengan menjuarai liga “Champions” musim 2005-2006 (sebelumnya di musim 1991-1992 pada era pelatih Johan Cruyff), 2008-2009 dan 2010-2011; banyak klub maupun para pemain sepakbola di dunia akan berusaha meniru atau mempelajari keunggulan teknik Barcelona dalam memainkan tiki-taka; possesion football; bagaimana melakukan kontrol permainan sehingga membuka banyak peluang mencetak gol; bagaimana mencetak goal dari rancangan adanya peluang yang berasal dari tendangan bebas dan tendangan sudut; bagaimana mengeksekusi finishing touch secara mematikan; dan strategi-strategi bertanding lainnya. Sementara sang juara sendiri , Barcelona, dengan pelatih Guardiola, susah untuk meningkatkan kualitas permainannya, karena mereka merasa tidak ada lagi lawan yang lebih pandai yang dapat dipelajari, setidaknya sebagai bahan evaluasi.
Demikian juga dengan keadaan mental bertanding Barcelona, agak terhambat karena posisi juaranya (something to lose) jika dibandingkan dengan mental klub pesaing di belakangnya, yang ingin merebut kejuaraan (nothing to lose). Maka manakala Barcelona selalu memenangi bahkan dengan skor telak dalam duel klasik melawan Real Madrid di stadion Santiago Bernabeu, Madrid; mental Barcelona telah berubah yang cenderung arogan atau setidaknya mudah berpuas diri. Dan hukuman buat Barcelona pun tinggal menunggu waktu dan sangatlah kejam. “The Special One” Jose Mourinho, pelatih Real Madrid yang selalu berpikir keras dan cerdas, misalnya, agaknya sudah memegang semua kunci kelemahan Barcelona. Bertindak sebagai tuan rumah di laga yang semestinya bisa mempertipis jarak di klasemen La Liga Spanyol 2011-2012 menjadi tinggal satu poin saja dengan Real Madrid, Barcelona malah dipermalukan Real Madrid dengan skor 1-2.
Kelemahan Barcelona terutama terletak pada pengorganisasian lini pertahanan termasuk kelemahan penjaga gawang Victor Valdes dalam menghadapi bola-bola crossing sayap lawan; yang belum mampu meraih pencapaian penjaga gawang legendaris Barcelona, Andoni Zulbizarreta. Menghadapi lawan sekelas Chelsea yang bermain negative football dan mengandalkan serangan balik cepat; Barcelona menemukan detik naasnya. Perangkap offside yang sering diterapkan oleh Barcelona, sering berakibat fatal karena keasyikan menyerang termasuk oleh kedua back sayapnya yang memang tipikal menyerang sehingga sering terlambat kembali ke belakang. Karena tipikal kedua bek sayapnya yakni Daniel Alves di kanan dan Eric Abidal di kiri (atau secara bergantian diperankan oleh Maxwell atau Adriano tetapi sering masih labil), maka Abidal terpaksa bertransformasi menjadi bek tengah bersama Charles Puyol dan Gerrard Pique. Begitu pula Zavier Mascherano yang gelandang bertahan multi fungsi sewaktu-waktu ditarik menjadi bek tengah.
Barcelona semestinya mengevaluasi total sejak kekalahan memalukan di kandang sendiri dari Real Madrid. Mereka semestinya melupakan segera peluang di La Liga yang sudah menjadi milik Real Madrid. Mental bertanding Barcelona tak bisa pulih malah sangat menurun tajam, apalagi untuk dapat menutupnya dalam persiapan menghadapi pertandingan home melawan Chelsea di liga Champions. Chelsea yang menjadi “underdog” di pertandingan away tak memiliki beban mental sama sekali. Chelsea dengan modal keunggulan 1-0 di kandang, bermain lepas menghadapi sang juara bertahan Barcelona. Maka hanya dengan menahan Barcelona 2-2, Chelsea yang sangat diremehkan akhirnya menang agregat 3-2 dan melaju ke final melawan Bayern Muenchen, yang di pertandingan lain memenangi adu penalti melawan Real Madrid. Mental bertanding Chelsea yang sedang bagus-bagusnya bahkan akhirnya memenangi liga Champions dengan memenangi adu penalti lawan Bayern Muenchen di kandang Bayern Muenchen. Itulah buah penantian panjang sebuah investasi dan sebuah cita-cita Roman Abramovic sejak tahun 2003, yang pertama kali menghasilkan juara liga Primer Inggris pada 2005 dan kemudian piala Liga Champions 2012.
Barcelona oh Barcelona. Mudah-mudahan Teori Dialektika Hegel menjadi masukan yang sangat berharga bagi Barcelona untuk mengevaluasi diri menghadapi kompetisi ke depan dan bangkit dari kekalahan! Regenerasi adalah salah satu jawaban pasti kalau mau mengubah keadaan. Regenerasi Barcelona yang berasal dari akademi Barcelona, sangat terlambat terutama untuk pemain belakang yang hanya menghasilkan Andre Pontas pada tahun 2009 dengan prestasi biasa-biasa saja. Regenerasi lainnya di tahun yang sama untuk posisi gelandang menghasilkan Thiago Alcantara; sebelumnya pada tahun 2008 adalah Pedro Rodriguez dan Sergio Busquets. Dan regenerasi paling anyar ada pada diri penyerang Christian Tello dan Isaac Cuenca. Barcelona hendaknya juga jangan lengah menjaga pemain binaan di akademi Barcelona, seperti kasus Cesc Fabregas yang dicomot Arsenal dan Gerrard Tique oleh Manchester United.