Oleh Cardiyan HIS
Ikatan Alumni ITB adalah paguyuban yang lebih memerlukan para alumni yang menjadi pengurusnya bekerja tanpa pamrih, tanpa niat ngiler sana-sini. Impian ke depan Ketua Umum IA ITB datang dari kalangan muda yang independen (wirausaha sejati) yang dipilih dengan mekanisme perpaduan pemilihan langsung agar bersilaturahmi sesama alumni dan voting melalui dunia maya agar menjangkau alumni ITB sedunia.
Pemilihan Ketua Umum Ikatan Alumni ITB memang paling heboh di Indonesia bahkan di dunia. Pemungutan suaranya yang dipusatkan di Kampus ITB, telah menyiksa para pengguna jalan di Bandung karena kendaraan mewah para alumni ITB tumpah blek menyerbu Bandung. Hotel-hotel sudah fully booked beberapa hari menjelang acara karena dipesan habis oleh masing-masing “Tim Sukses” para kandidat. Tak mengherankan alumni UGM, UI dan Unpad yang alumninya jauh lebih banyak dari alumni ITB pun sering berdecak kagum bahkan mereka beranggapan alumni ITB sangat kompak. Alumni ITB kompak? Ah tunggu dulu, itu soal lain lagi. Kadangkala saya jadi ingin ketawa sendiri.
Dan ternyata soal kehebohan IA ITB memang “numero uno”, nomor satu. Coba pasca Ketua Umum IA ITB terpilih pun masih menyimpan kehebohan. Karena Ketua Umum IA ITB terpilih SUM (S. Widayatin) yang mengumpul suara 38,93%, diatas H. Dardak (26,16%), Amir Sambodo (22,69%), Nining I. Soesilo (6,18%) dan Dasep A. (6,03%) ternyata belum mampu menyusun kabinetnya karena dia harus segera terbang ke Brasil urusan dinas. Maklumlah dia masih terbilang orang makan gaji, masih punya bos besar, meski pun jabatannya keren Deputi Menteri di sebuah kementrian sangat sexy; Kementrian BUMN. SUM hanya berhasil menetapkan Betti Alisjahbana sebagai calon Sekretaris Jenderal. Dan ini yang meninggalkan kehebohan khususnya bagi yang berkepentingan berebut untuk masuk gerbong kabinet SUM. Karena para “vested interest” menganggap Betti tak berkeringat kok diangkat jadi Sekjen. Belum tuduhan Betti “neolib”. Betti hasil “intervensi” Hatta Rajasa. Tak mengherankan SUM terpaksa membentuk Tim 9 tanpa Betti di dalamnya, yang ditengarai untuk meredam gejolak di kalangan “Tim Sukses”-nya.
Jangan Pilih “Tim Sukses”
Ketika menjelang H-7, setelah dengar pendapat dengan para alumni muda ITB di kawasan Bakrie Club, Kuningan, Jakarta, saya mengingatkan Laksamana Sukardi (Menteri BUMN ketika itu) kalau terpilih kelak sebagai Ketua Umum IA ITB untuk tidak mengangkat anggota “Tim Sukses” dalam kepengurusannya. Karena sebagian besar anggota “Tim Sukses” seringkali punya motif “minta balas budi”. Saya ingatkan Laksamana Sukardi agar mengaca kepada pengalaman Cacuk Sudariyanto, seorang alumnus ITB yang hebat karena jagoan manajemen yang penuh terobosan. Namun sebagai Ketua Umum IA ITB ternyata Cacuk tersandera dengan “harus balas budi” kepada mayoritas “Tim Sukses”-nya, tetapi sepanjang kepengurusannya gagal total menjalankan program yang sebelumnya sukses terutama yang telah diperankan oleh kepengurusan Sanyoto Sastrowardoyo.
Laksamana Sukardi pun akhirnya bernasib sama dengan pendahulunya, hanya sebagian kecil programnya jalan. Laksamana tebar pesona dengan mengangkat banyak teman dari “Tim Sukses” menjadi pejabat di berbagai perusahaan BUMN. Bahkan sobat saya yang mantan menteri dan petinggi kampus ITB menyebut banyak janji Laksamana Sukardi untuk almamater ITB sendiri tak terbukti satu pun. Sobat saya ketika sesama menjadi Senator Mahasiswa ITB perioda 1977-1978, Hatta Rajasa, yang kemudian terpilih juga menjadi Ketua Umum IA ITB, saya kritik habis ketika nyaris “100 Hari Pertama” kepengurusannya dia belum juga berbuat apa-apa terhadap alumni ITB.
Menjadi Ketua Umum IA ITB dianggap banyak alumni ITB dan non-alumni ITB sebagai jabatan prestisius. Sanyoto Sastrowardoyo, Giri Suseno dan Cacuk Sudariyanto adalah Ketua Umum IA-ITB sebelum menjadi Menteri Kabinet di rejim Suharto, BJ Habibie dan Gus Dur. Tentu saja Laksamana Sukardi dan Hatta Rajasa menjadi kekecualian karena sudah menjadi Menteri ketika terpilih sebagai Ketua Umum IA ITB, namun tak dapat dipungkiri mereka berdua sangat bangga menjadi Ketua Umum IA ITB. Entah apa alasannya; padahal IA ITB hanyalah sebuah paguyuban seperti halnya paguyuban lawak “Srimulat” dulu atau sekarang paguyuban lawak “Opera van Java” si Sule.
Sebagai alumnus ITB “senior” (maklum masuk ITB 1973) yang tak akan pernah bosan menulis untuk kemajuan civitas academica ITB, saya hanya ingin mengingatkan Ketua Umum IA ITB S. Widayatin agar “tidak tertipu” dalam memilih anggota kabinetnya. Pilihlah alumni ITB yang mau bekerja keras tanpa dibayar (kecuali para staf dan karyawan Eksekutif IA ITB), mau bekerja tanpa pamrih hanya untuk kemajuan IA ITB; mau bekerja tanpa niat ngiler sana-sini cari proyek BUMN (apalagi Anda bos di Kementrian BUMN). Konsekuensinya Anda harus berani untuk tidak memilih anggota “Tim Sukses” Anda yang motifnya tidak tulus. Jangan terjebak jargon “yang berkeringat” dan “tak berkeringat”. Yang benar adalah siapa yang mau bekerja tulus untuk Ikatan Alumni ITB. Sebagai mantan aktifis kampus, saya percaya Anda sudah pinter “membaui” siapa-siapa saja alumni ITB yang “emas dan loyang”.
Untuk program ke depan saya ingin mengingatkan agar aspirasi banyak alumni ITB yang sudah menyebar ke berbagai belahan dunia dapat terakomodasikan, maka dalam mekanisme pemilihan Ketua Umum IA ITB ke depan harus dipikirkan adanya perubahan dalam AD/ART. Perpaduan antara pemungutan suara langsung di kampus ITB dan cabang-cabang IA ITB di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar negeri (karena ini akan sangat baik untuk silaturahmi sesama alumni ITB); tetapi juga melalui pemungutan suara melalui dunia maya agar suara yang diberikan kepada calon Ketua Umum ITB akan menjangkau alumni ITB di berbagai belahan dunia. Sehingga jumlahnya akan jauh melebihi jumlah sekarang ini bahkan bisa mendekati jumlah alumni ITB yang masih hidup dari jumlah alumni seluruhnya sejak ITB (TH Bandung) tahun 1920 yang telah mencapai 70.000an. Selebihnya program Anda yang digadang-gadang selama kampanye pemilihan, harus konsekuen dan konsisten dijalankan.
Impian saya ke depan, Ketua Umum IA ITB adalah datang dari kalangan wirausaha muda sejati (genuine entrepreneur). Kemarin sudah ada Dasep A, pemenang BJ Habibie Award sebagai seorang wirausaha sejati yang sukses, yang independen, yang sudah berani maju ke depan. Namun karena Dasep tak mampu menggalang para alumni ITB yang banyak terpusat di lingkungan pemerintah (Kementrian-kementrian terutama Kementrian BUMN), maka nasibnya menjadi “juru kunci” saja. Inilah sebenarnya dimensi kekeringan atau kemunduran alumni ITB yang tetap tak mandiri dalam memilih Ketua Umum IA ITB. Mitos Ketua Umum IA ITB “harus” dari kalangan pejabat tinggi pemerintah tetap tak tergoyahkan. Dan ini dimanfaatkan betul oleh “Tim Sukses” di lapangan dalam “menggiring” para alumni ITB yang pegawai negeri di berbagai Kementrian RI dan alumni ITB yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang bosnya menjadi “kroni” pejabat tinggi pemerintah.
Selamat bekerja dengan tulus Pengurus IA ITB yang baru!!!
www.cardiyanhis.blogspot.com
Http://id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6
Sabtu, 24 Desember 2011
Langganan:
Postingan (Atom)