Rabu, 06 April 2011
Kubur “Low Politic” Ecek-ecek PSSI, Kembalikan ke PSSI “High Politic”, “High Product”
Oleh Cardiyan HIS
Trio Nurdin Halid-Nirwan Bakrie-Nugraha Besoes habis sudah. Menurut FIFA, mereka telah kehilangan seluruh kredibilitasnya di Indonesia dan tidak berada pada posisi untuk bisa mengawal suatu proses yang dapat menyelesaikan krisis yang sedang terjadi. What next?
Sepakbola Indonesia memang paling hiruk pikuk di dunia. Ketika Piala Dunia berlangsung seolah Indonesia yang punya hajatan dan kesebelasan Indonesia bakal masuk final. Padahal kesebelasan PSSI Nurdin Halid sudah lama masuk kotak; menjadi juru kunci di penyisihan grup. Begitu pula hiruk pikuk organisasi PSSI di Senayan Jakarta bahkan mengalahkan induk organisasi FIFA sendiri yang tetap adem ayem di Zurich, Swiss. Ini tak lepas dari kontroversi rejim Nurdin Halid yang sangat minim prestasi tetapi memiliki “prestasi” luar biasa dalam mengelabui masyarakat sepakbola Indonesia. PSSI digiring-giring sekehendak udel Nurdin Halid; untuk melakukan “low politic” alias politik ecek-ecek demi kepentingan Partai Golkar maupun kepentingan pribadinya. Sementara stake holder sepakbola Indonesia diperlakukan oleh Nurdin Halid seperti kerbau dicokok hidungnya, dianggap orang bodoh semua.
Dan manakala FIFA telah menentukan keputusannya untuk menyetop rejim Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI, bagaimana selanjutnya PSSI? Apakah PSSI di masa depan akan menjadi organisasi nirlaba yang kredibel, karena PSSI dibesarkan oleh masyarakat pecinta sepakbola yang menginginkan Indonesia memiliki prestasi kelas dunia seperti jaman dahulu kala. Sehingga PSSI sekaligus sebagai alat perjuangan “high politic” untuk membuat rakyat Indonesia memiliki kebanggaan dan harga diri tinggi di jajaran bangsa-bangsa di dunia karena memiliki kesebelasan nasional yang berprestasi tinggi di level Asia bahkan dunia. Ataukah PSSI hanya akan dijadikan alat perjuangan “low politic” alias politik ecek-ecek para pejabat atau politisi untuk meraih kekuasaan dan kemudian melanggengkan kekuasaannya sementara prestasi sepakbolanya sendiri jeblog, masuk kelas paria bahkan di kawasan Asean?
Sepakbola Indonesia memang tak bisa dilepaskan dari masalah politik. Sejarah sepakbola Indonesia hampir identik dengan sejarah perjalanan Bangsa Indonesia . PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia ) yang didirikan oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo di Solo pada 19 April 1930 bercita-cita agar PSSI ini menjadi alat perjuangan Bangsa Indonesia, sebagai upaya politik untuk menentang penjajah Belanda. Kalau mau menganalisis lebih mendalam saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, memang sangat terlihat jelas bahwa PSSI lahir dibidani oleh muatan politis; baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung.
Maka pada pasca kemerdekaan, sepakbola dijadikan alat perjuangan pembentukan karakter bangsa ( National Character Building ). Dan hal ini sangat sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Presiden RI pertama ini meminta sahabatnya di KTT Non Blok, Presiden Yugoslavia , Broz Tito untuk mengirim ke Indonesia salah seorang pelatih sepakbola terbaik di Eropa yakni Tony Pogacknik.
Pelatih Tony Pogacknik sangat menyelami keunggulan dan kelemahan pemain Indonesia. Tony Pogacknik memang sangat jeli. Ia menemukan kehebatan para pemain Indonesia ada pada kemampuan sprint pendek, sehingga dia mengembangkannya sebagai sebuah taktik penyerangan merayap, dengan umpan-umpan tik-tak cepat sejak dari belakang mendekati kotak penalti lawan. Maka menghadapi pemain-pemain Eropa bertubuh tinggi besar pun bukan menjadi halangan bagi para pemain Indonesia , karena bisa bermain tik-tak untuk menerobos benteng pertahanan lawan. Sebagai orang Eropa, Tony sudah sangat hapal tentunya kelemahan para pemain belakang yang berfisik tinggi besar ada pada kekakuan tubuh, tak lentur dalam membalikkan badan manakala penyerang lawan berhasil menembus tembok pemain belakang. Nah sebaliknya para pemain belakang Indonesia memiliki kemampuan fisik yang lentur, sehingga mereka akan mudah membalikkan badan untuk mengejar pemain depan lawan yang mencoba lolos.
Sedangkan fisik dan kebugaran para pemain Indonesia tempo dulu juga terbilang bagus, karena pada jamannya mereka memakan dan meminum makanan tradisional kampung yang bebas dari polutan, tidak merokok dan jelas tidak pernah makanan junk food seperti pemain sepakbola Indonesia jaman sekarang. Sedangkan dari aspek mentalitas, para pemain Indonesia memiliki daya juang sangat tinggi, yang tidak mudah menyerah, yang perjuangan di lapangan hijau merupakan perwujudan dalam membela kehormatan Bangsa Indonesia seperti halnya perjuangan para pahlawan di medan pertempuran melawan musuh.
Tony Pogacknik berhasil membawa Indonesia sebagai tim elite di Asia kalau tak boleh disebut sebagai yang terbaik di Asia . Setidaknya terbukti dengan lolosnya kesebelasan Indonesia ke Olimpiade Melbourne, Australia, pada tahun 1956, bahkan mencapai babak perempat final sebelum dihentikan oleh kesebelasan Uni Soviet melalui pertandingan yang sangat dramatis. Uni Soviet sendiri akhirnya yang tampil sebagai juara dan mengantungi medali emas sepakbola Olimpiade Melbourne setelah di final mengalahkan Yugoslavia 1-0. Bagaimana kesebelasan Indonesia menjadi representasi atas daya juang bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang gagah berani, bukan bangsa yang lembek yang mudah ditaklukkan, dapat digambarkan sebagai berikut: “If there was an Olympic Medal awarded for courage, tenacity and refusal to admit inferiority, the INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic Park. They confounded experts, amazed the spectators and worried the Russian team a scoreless draw, even after extra time had been ordered. It was the most fantastic soccer match I have ever seen”.(Bill Fleming, senior soccer writer at the Argus newspaper, Australia, 30 November 1956).
Kesebelasan Indonesia tempo dulu memang memainkan “high politic” yang menghasilkan “high product”. Menutup periode 1950an Indonesia memenangi medali perunggu Asian Games 1958, di Tokyo, Jepang. Kemudian pada Asian Games 1962 di Jakarta, kesebelasan Indonesia memperoleh medali perak. Indonesia juga menjuarai berbagai turnamen internasional bergengsi seperti Merdeka Games (Malaysia), King’s Cup (Thailand), Queen’s Cup (Thailand), Agha Khan Gold Cup (Pakistan), President Cup (Korea Selatan), Pesta Sukan (Singapura) dan Jakarta Anniversary Cup (Indonesia) pada era 1960-an sampai 1970-an. Sementara untuk level kesebelasan yunior, Indonesia juga merajai kejuaraan resmi Asia.
Pencapaian prestasi sepakbola Indonesia jaman dulu adalah karena perpaduan antara kemampuan manajemen PSSI dalam mengelola kompetisi Perserikatan, -----yang meskipun bukan kompetisi professional yang memang baru ada di kawasan Eropa ketika itu----- tetapi kompetisi Perserikatan berlangsung relatif teratur dan bermutu, sehingga menghasilkan tim nasional yang berkualitas di level Asia. Hal ini didukung dengan suasana kondusif yang diciptakan oleh pihak Pemerintah yang memang menjadikan sepakbola sebagai alat perjuangan membangun karakter bangsa.
Pemain-pemain Berkarakter Kuat
Pembangunan karakter bangsa yang menjadi komitmen Presiden RI Bung Karno semakin menampakkan hasilnya. Masih dengan pelatih Tony Pogacknik, Indonesia semakin merajalela di peta sepakbola Asia . Tony Pogacknik bukan saja mampu meramu kesebelasan Indonesia menjadi kesebelasan yang kuat. Tony juga mampu mengembangkan para pemain Indonesia menjadi pemain yang memiliki karakter kuat seperti pada diri Aang Witarsa (Persib), Fatah Hidayat (Persib), Soetjipto Soentoro (Persija), Anwar Ujang (PSMS), Iswadi Idris (Persija), Djunaedi Abdillah (Persebaya), Ronny Patti (PSM) yang berturut-turut kesemuanya adalah para kapten tim nasional Indonesia yang sangat berwibawa.
Dengan kualitas timnas Indonesia yang cemerlang, maka berdatanganlah ke Jakarta kesebelasan-kesebelasan kelas dunia seperti Dynamo Kiev dengan kapten penjaga gawang legendaris Lev Yashin dan Dynamo Tiblisi (Uni Soviet), Csepel (Hongaria), Hajduk Split dan Red Star Belgrade (Yugoslavia), Spartac (Cekoslowakia), Santos, Cruzeiro, Corinthians dan Flamengo (Brazil), Independentie (Argentina). Sebaliknya, negara-negara kuat sepakbola di Eropa seperti timnas-timnas Belanda, Yugoslavia, Cekoslowakia, Bulgaria, Hongaria dan klub juara Bundesliga Jerman Barat Werder Bremen, dengan senang hati menerima timnas Indonesia yang melakukan “Tour Eropa” pada awal tahun 1965.
Dari beberapa pertandingan “Tour Eropa”, pertandingan paling dahsyat adalah ketika timnas Indonesia melawan Werder Bremen . Indonesia memang kalah 5-6, dua di antara enam gol Werder Bremen diperoleh melalui tendangan penalti. Tetapi pelatih Werder Bremen , Herr Brocker memiliki kesan sangat mendalam terhadap timnas Indonesia . Ia sangat kagum dan heran apa yang ditunjukkan kesebelasan Indonesia yang dianggapnya sudah memiliki tingkat permainan kelas dunia. Juga mereka melihat “handicap” yang ada soal tinggi dan lebih ringkihnya badan pemain-pemain Indonesia, ternyata dapat dikompensasikan dengan “gorengan bola” (dribble) yang sangat lincah dan operan tik-tak cepat yang sangat teliti terutama pada diri Soetjipto Soentoro dan Max Timisela.
Pelatih Brocker selanjutnya memuji pemain-pemain Indonesia yang dari segi teknis “perfect”, sangat pandai menguasai bola dan gesit. Selama main dalam kompetisi “seizum” 1965, Werder Bremen tak pernah kebobolan gol sebanyak lima . Padahal dalam melawan Indonesia , pelatih Brocker telah mengajukan pasangan yang terkuat, banyak di antaranya adalah pemain-pemain tim nasional Jerman Barat. Oleh karena itu, Brocker memuji sistem permainan Indonesia yang sering memberikan “long passing” dari sayap ke sayap yang lain. Menurut pelatih Werder ini pertandingan berlangsung dengan mutu tinggi, berjalan cepat dan sama sekali tidak menjemukan. Semua gol yang dicetak, baik oleh Werder Bremen maupun timnas Indonesia adalah “gol-gol ideal” yang tidak dapat dilihat setiap hari. Wasit Herr Redelfs yang juga diwawancarai para wartawan mengatakan, bahwa pertandingan telah berlangsung dengan fair. Ia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan kesebelasan terkuat di Asia . “Saya yakin setiap klub sepakbola Jerman Barat akan bersedia menerima pemain-pemain seperti Soetjipto Soentoro dan Max Timisela, yang sangat berkualitas”. Kedua pemain Indonesia ini memang paling banyak mendapat tepuk tangan riuh setiap kali ia “menggoreng bola” dan “menipu” dua atau bahkan tiga pemain belakang Werder Bremen yang tinggi besar itu. Beberapa pemain belakang Werder Bremen bahkan saling meneriaki ke sesama temannya “Pele”, “Pele”, “Pele” yang dimaksudkannya mengingatkan temannya agar menjaga ekstra keras Soetjipto Soentoro, yang mencetak tiga gol dalam pertandingan tersebut.
Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma ( Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan yang sekarang menjadi pelanggan Piala Dunia, ketika itu biasa dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia . Taiwan bahkan pernah dihancurkan oleh Soetjipto Soentoro dkk dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1968. Jangan ceritera soal Thailand , Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia . Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka memang belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah kekayaan minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an). Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau AFC (Asian Football Confederation) yang berkantor di Kuala Lumpur nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri (gelandang elegan), Anwar Ujang (stopper paling sulit dilewati lawan) dan Yudo Hadiyanto (penjaga gawang “paling kebal” di Asia versi koran “Utusan Malaysia” dan “Bangkok Post”) pun sebenarnya mau ditarik juga untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.
Berbasis Kompetisi Profesional
Dengan tradisi kuat memenangi berbagai turnamen di Asia dan dengan memiliki pemain berbakat luar biasa banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka Ali Sadikin ingin menguatkan pilar-pilar itu ke dalam sebuah kompetisi yang profesional yang disebut kompetisi Liga Sepakbola Utama atau yang lebih dikenal sebagai Galatama pada tahun 1979. Nama Galatama dengan demikian membedakan dengan kompetisi amatir yang berbasis nama kota atau yang lebih dikenal sebagai Perserikatan. Ali Sadikin yakin sepakbola Indonesia hanya bisa maju menuju ke level dunia bila sepakbola dikembangkan berbasis kompetisi profesional. Tak akan terdengar lagi mantan pemain nasional Indonesia menjadi pengangguran karena kompetisi akan memberikan hajat hidup bukan hanya kepada para pemain, pelatih dan wasit tetapi lebih banyak lagi orang terlibat di dalamnya karena kompetisi sepakbola adalah suatu industri besar.
Klub sepakbola pun didirikan oleh para pengusaha gila bola seperti Benny Mulyono, pengusaha cat bermerek “Warna Agung” dengan membuat klub berwarna Warna Agung pula; pengusaha Ciputra memprofesionalkan klub Jayakarta yang semula anggota Persija; Sjarnubi Said memprofesionalkan klub yang sebelumnya disponsori Pertamina, Indonesia Muda; TD Pardede meneruskan klub profesional pertama di Indonesia yang dirintisnya, Pardedetex di Medan; Probosutedjo membentuk klub Mercu Buana FC, Medan yang diambil dari nama grup perusahaannya; Sigit Haryoyudanto mendirikan klub Arseto di Solo; seorang pengusaha Surabaya pemilik dunia entertainment mendirikan klub Niac Mitra; pengusaha mantan Pangdam Cendrawasih dan Gubernur Irian Barat, Acub Zainal membentuk Arema di Malang; pengusaha koran Cahaya Kita membentuk klub Cahaya Kita di Jakarta; perusahaan perkebunan di Lampung mendirikan klub Yanita Utama dsb.
Kompetisi profesional Galatama adalah kompetisi sepakbola kedua di Asia setelah Hong Kong, memiliki daya tarik tersendiri bagi pemain asing sekelas Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) yang memperkuat Niac Mitra, Surabaya dan Jairo Matos ( Brazil ) yang memperkuat Pardedetex, Medan . Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Klub Warna Agung yang dikapteni Ronny Pattinasarani menjadi klub pertama yang menjuarai Galatama musim pertama. Tak mengherankan, jauh sebelum didirikan J-League pada tahun 1992, tim persiapan kompetisi liga sepakbola Jepang pun belajar dari Galatama Indonesia . Begitu pula tim nasional Jepang selalu mengadakan sasaran uji coba ke Indonesia , yang di mata mereka sudah lebih maju kualitas tim sepakbolanya.
Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola mulai dari judi buntut, toto resmi SDSB Departemen Sosial RI dan tentunya judi liar beromzet miliaran rupiah menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia . Konon mafia judi sepakbola ini berporos Semarang -Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama pun hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung yang sedang berjaya dengan pemain-pemain top seperti Ajat Sudrajat, Robby Darwis, Yusuf Bachtiar, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Wawan Karnawan, Kosasih dkk sering menghancurkan tim-tim Galatama dengan skor telak.
Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena organisasi sepakbola Jepang memiliki pengorganisasian yang bagus; manajemen kompetisi yang terjadwal dengan baik yang ujungnya mengacu kepada kompetisi tingkat klub Asia dan dunia dan tentunya persiapan tim nasional di kompetisi resmi FIFA; dunia industri sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga para pemain dan pelatih kelas dunia mau berkarier di sini; para suporter mereka sudah sangat dewasa dan sportif, tidak bertindak anarkis dan rasis. Pokoknya semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi yang berlevel tinggi. Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Timnas Jepang sekarang sudah sangat jauh melebihi timnas Indonesia .
Kemenangan terakhir timnas Indonesia atas Jepang adalah pada tahun 1981 ketika dalam ujicoba di stadion Senayan, Jakarta, tim Olimpiade Jepang kalah 0-4 dari timnas Indonesia yang dikapteni Ronny Pattinasarani. Setelah itu sampai sekarang Indonesia tak pernah menang lagi kalau lawan kesebelasan nasional Jepang. Bahkan melawan anak bawang Laos pun, di SEA Games 2009 lalu timnas Indonesia kalah 0-2, sekaligus menjadi juru kunci grup. Banyak pemain Indonesia yang kalah sebelum bertanding kalau mendengar nama-nama pemain timnas Jepang seperti Hasebe, Endo, Honda, Nakamura, Nakazawa, Tulio, Matsui dkk. Jepang jadi pelanggan tiket wakil Asia bersama Korea Selatan dari tiga tiket wakil Asia ke Piala Dunia, sedangkan timnas Indonesia menjadi pecundang paling awal; masuk kotak.
Super Big Business
Kompetisi sepakbola Indonesia sih namanya paling keren yakni ISL alias Indonesia Super League. Nama internasional tetapi mutu lokal. Manajemen sangat buruk pada PSSI, menjadi biang keladi kegagalan timnas Indonesia bangkit dari keterpurukan yang demikian panjang. Bertahun-tahun dalam dua periode kepengurusannya, Nurdin Halid lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dari pada mengurus manajemen organisasi PSSI.
Dia lebih banyak menggalang kekuatan para pendukungnya agar tak diadakan Kongres Luar Biasa PSSI yang bisa membawa kepada pemakzulan dirinya dan dipecat FIFA. Padahal potensi penonton sepakbola Indonesia adalah sangat luar biasa, terbanyak di Asia setelah Cina. Stadion Jalak Harupat Bandung sudah biasa disesaki 50.000 penonton kalau Persib main. Begitu pula stadion di Gajayana dan atau stadion Kanjuruhan di Malang kalau Arema Malang main akan disesaki 40.000 penonton. Dan kalau saja pertandingan Persija lawan Persib dibolehkan dilangsungkan di stadion Senayan seperti pertandingan kandang Persija vs Persib pada ISL musim lalu, maka 90.000 penonton pendukung Persija (karena bobotoh Persib dilarang nonton untuk menghindari bentrok antar penonton) pasti akan menonton “super big match” ini.
Jadwal kompetisi amburadul. Padahal pengurus PSSI melalui liga ISL telah menggembar-gemborkan; “hanya gempa bumi dan tsunami yang akan bisa mengubah jadwal kompetisi”. Akibatnya kondisi fisik dan mental pemain menjadi hancur sehingga rawan cedera dan mudah keluar emosi. Akibatnya mudah menyulut terjadinya tawuran sesama pemain bahkan pemain memukul wasit. Ini juga antara lain karena integritas wasit pun belum bisa dipercaya. Komplit sudah bila ditambah penonton mengamuk dan membakar dan merusak apa saja yang ada di depan mata, di stadion bahkan sampai ke luar stadion.
Kemudian konsep dibolehkannya 5 pemain asing main dalam satu pertandingan ISL, telah mengawali penghambatan potensi maju pemain lokal. Karena terlalu sering duduk di bangku cadangan, para pemain lokal bahkan yang sudah berstatus pemain nasional sekalipun menjadi tidak berkembang kemampuannya. Yang rugi ujung-ujungnya tim nasional juga. Ditambah jadwal kompetisi molor berakibat setiap persiapan pelatnas timnas selalu terkendala. Kalau tidak lengkap semua pemain terkumpul; kendala yang lain adalah kondisi fisik dan mental pemain sudah kelelahan dan jenuh karena jadwal kompetisi yang amburadul tadi. Tak mengherankan bila hal ini sudah menjadi kebiasaan ketika kompetisi berakhir, pemain-pemain tidak siap mengikuti kompetisi level Asia . Juara kompetisi Indonesia sudah langganan menjadi bulan-bulanan gol lawan yang telah memiliki kompetisi teratur untuk persiapan ke Liga Champions Asia. Jatah 2 tim Indonesia ke Liga Champions Asia menjadi berkurang tinggal 1 saja. Dan bila tak ada kesungguhan untuk memperbaiki manajemen kompetisi ISL, jangan-jangan jatah Indonesia untuk Champions Asia pun tak ada lagi.
Karena jadwal kompetisi yang amduradul ini pula. Maka belanja klub lebih hancur-hancuran lagi. Karena dengan mengembangnya waktu, maka belanja menjadi tambah tidak terkendali. Padahal sebagian besar klub hanya mengandalkan biaya APBD. Kalau rata-rata setiap klub dari 18 klub ISL yang ada membelanjakan masing-masing Rp 15 miliar per musim kompetisi saja. Maka ada sedikitnya perputaran uang Rp. 270 miliar. Padahal klub besar seperti Persija Jakarta yang masih mengandalkan sepenuhnya dana APBD lebih dari Rp. 30 miliar. Tetapi hasilnya? Persija tetap gagal menjuarai ISL.
Perputaran uang di sepakbola Indonesia ini akan semakin menggila bila pihak Kementrian Dalam Negeri RI tidak segera menyetop penggunaan dana APBD untuk kepentingan klub sepakbola peserta ISL dan Divisi Utama dan Divisi Dua PSSI pada 2012. Penggunaan dana APBD itu jelas telah melanggar aturan hibah, yang tak boleh terus-terusan, dari tahun ke tahun diberikan kepada klub sepakbola. Kalangan anti korupsi menengarai dana tersebut hanya menjadi amunisi para Bupati incumbent untuk melakukan “low politic” ecek-ecek dalam mempertahankan kekuasaan dengan aktif menjadi pengurus klub sepakbola. Sepakbola hanya dijadikan “Public Relations” mereka.
Hanya Persib Bandung dan Arema Malang yang sudah menjadi klub profesional, yang sama sekali tidak dibiayai lagi oleh dana APBD. Pemerintah harus segera menyetop aliran dana untuk PSSI dan mengalihkannya untuk membangun infrastruktur sepakbola di daerah-daerah dan pembinaan kompetisi usia dini. Keuangan PSSI dikontrol habis, karena selama kepengurusan Nurdin Halid dana yang diserap oleh PSSI luar biasa banyak tanpa diimbangi transparansi pengelolaan keuangannya. Dari pabrik rokok Djarum sponsor utama ISL saja sedikitnya Rp. 50 miliar. Ditambah lagi sumbangan tetap FIFA untuk PSSI sebesar US$ 1 juta/tahun yang konon tak berbekas bagi pembinaan kompetisi usia dini dan pembangunan infrastruktur. Belum ditambah lagi penjualan hak siar televisi ke Anteve untuk 150 siaran langsung dan tunda liga ISL sebesar Rp. 30 miliar yang sekaligus dibayar di muka. Plus dana denda pemain dan panitia setempat yang melakukan pelanggaran pada pertandingan. Plus hasil jualan iklan outdoor di sekitar stadion Senayan dan stadion-stadion di seluruh Indonesia yang tak ketahuan berapa jumlahnya. Plus transfer fee yang diperoleh dari jual beli pemain terutama pemain asing. Plus hasil penjualan tiket kepada penonton. Plus perolehan bila ada pertandingan internasional resmi agenda FIFA maupun bukan resmi. Plus donasi pribadi-pribadi gila bola yang juga gelap gulita berapa jumlahnya. Plus bila belanja pada kompetisi Divisi Utama PSSI, Divisi Satu PSSI dan Divisi Dua PSSI ditambahkan ke dalam perputaran uang disini. Plus dan plus bila kejuaraan yang berbeda yakni Piala Indonesia yang diikuti oleh klub ISL dan Divisi Utama juga turut dijumlahkan dalam perputaran uang ini. Maka perputaran uang sepakbola Indonesia bisa melampaui angka Rp. 1 triliun !!!
Karena sepakbola Indonesia adalah sudah merupakan persoalan manajemen. Maka untuk memecahkannya pun adalah melalui pendekatan manajemen. Nah para ahli manajemen tinggal melihat dan mengelolanya dari hal-hal yang tangible dan intangible pada peta profil sepakbola Indonesia ini. Jangan sampai terulang kembali manajemen sepakbola Indonesia adalah mismanajemen.
www.cardiyanhis.blogspot
Http://id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6
KEPUSTAKAAN:
Cardiyan HIS, PSSI Tempo Doeloe Hebring, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta , 1988.
Cardiyan HIS, Si Gareng Menggoreng Bola: Sebuah Biografi Soetjipto Soentoro, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta , 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, Intinya Pemain Inti untuk PSSI: Sebuah Biografi Ajat Sudrajat dan Ricky Jacobi, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta , 1988.
Conny Semiawan et al., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Mengengah, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1984.
Sabtu, 02 April 2011
Berjuang Menjadi Seorang “Billionaire” Tidaklah dalam Satu Hari
I wanna be a billionaire so fricking bad
Buy all of the things I never had
Uh, I wanna be on the cover of Forbes magazine
Smiling next to Oprah and the Queen
Oleh Cardiyan HIS
“I wanna be a billionaire so fricking bad”, intro lagu yang sungguh enak didengar. Setiap kali saya menilpun HP salah seorang Project Manager perusahaan saya, lantunan lagu yang dibawakan penyanyi Bruno Mars inilah yang menjadi nada tunggu yang menyegarkan telinga. Kedatangan Bruno Mars ke Jakarta dalam waktu dekat ini (dan konon tiketnya sudah ludes habis diborong ribuan calon penonton), semoga akan menginspirasi para anak muda yang bermimpi menjadi “a Billionaire in US Dollar” di kemudian hari.
Malinda Dee adalah “the New Indonesian Real Billionaire”, setidaknya sampai sebelum tanggal 23 Maret 2011 manakala sebuah tim dari Bareskrim Mabes Polri mencokoknya di sebuah apartemen super mewah di kawasan sentral bisnis Jakarta Selatan. Tetapi karena Dee membangun “imperium” bisnisnya tidak secara alamiah, tidak melalui perjuangan panjang dan cara memperolehnya dengan menilep dana sedikitnya 400 nasabah Citibank, Dee akhirnya tersandung. Dee lupa sebuah adagium bahwa “membangun Roma, ibukota negeri Italia penghasil Ferrari Scuderia B 5 DEE itu, tidaklah mungkin dalam satu hari !!!”
Kasus Dee dan sebelumnya seorang akuntan muda Gayus Tambunan, sebenarnya menjadi pembelajaraan yang sangat berharga bahwa menjadi “a Billionaire” itu sah-sah saja. Bahkan menjadi seorang Billionaire itu sangat dianjurkan kalau cara memperolehnya dilakukan dengan cara-cara bermartabat. Dalam berbagai agama pun menjadi kaya itu sangat dianjurkan karena orang kaya sangat berbeda dengan orang miskin yang hanya mampu berdoa saja. Seorang pengusaha kaya yang memperoleh hartanya dengan cara-cara yang bermartabat bisa berbuat banyak bagi banyak orang. Paling tidak, seorang pengusaha kaya dapat memberikan lapangan kerja yang luas bagi banyak orang, yang karena seseorang itu bekerja maka ia akan memiliki harga diri dan membuat keluarganya bisa memenuhi minimal kehidupan, menyekolahkan anak, menikmati hiburan, mampu berobat di kala sakit dan sedikitnya tabungan masa depan. Bayangkan kalau seorang pengusaha kaya itu memiliki karyawan 100.000 orang lebih berapa juta orang yang memperoleh manfaat dari seorang pengusaha kaya yang hartanya dijalankan pada bidang usahanya secara bermartabat.
Tak mengherankan manakala di Indonesia ada trend kencang “Benci deh sama pejabat yang menjadi kaya karena korupsi”, maka sekarang trend anak muda secara paralel memiliki mimpi “Bangga deh menjadi pengusaha kaya melalui bisnis yang bermartabat”. Sebagai generasi baru di era Reformasi dan era Teknologi Tinggi, anak muda sekarang merupakan “generasi yang sulit diatur”. Sulit diatur itu bisa saja terjadi, karena para orangtua memang memberi segala kemudahan sehingga mereka bisa saja menjadi anak manja, anak yang kurang diberi tantangan. Tetapi kita ambil saja yang segi positifnya saja dan tak usah banyak-banyak dari segi populasi anak muda. Maka generasi muda yang mau hidup mandiri; yang mau hidup merdeka; akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya jiwa entrepreneurship. Bila trend ini terus berkembang di kalangan anak muda akan sangat menarik untuk dikembangkan sebagai basis “Bagaimana Membangun Bangsa Indonesia Mandiri Berbasis Kewirausahaan?”.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara historis terlahir dari berbagai daerah, secara mayoritas memang kurang memiliki basis sebagai bangsa entrepreneur. Kekuasaan raja-raja atau sultan-sultan di berbagai daerah lebih dominan dari pada “kekuasaan” atau pengaruh para entrepreneur. Kultur bagi tumbuh suburnya entrepreneurship menjadi sangat terkendala karena budaya upeti kepada raja. Dan ini berlangsung ratusan tahun lamanya. Bahkan manakala 66 tahun setelah Indonesia merdeka sekarang ini, kultur ini tak mengalami perubahan yang berarti. Para penguasa tetap dominan berkuasa sekaligus menjadi kaya karena mereka membina pengusaha-pengusaha kroninya yang ujungnya memberi upeti. Sementara “genuine entrepreneur” yang tetap setia kepada filosofi harus kaya dengan cara-cara bermartabat yang jumlahnya sangat terbatas di tengah belantara “pengusaha preman”, harus berakrobat terus menerus agar tetap mampu survive dan entah kapan meraih level sedikitnya sebagai “a Billionaire in Indonesian Rupiah” kalau belum mampu meraih “a Billionaire in US Dollar”.
Kita masih ingat bagaimana seorang Lakshmi Narayan Mittal (juga dikenal dengan Lakshmi Niwas Mittal; lahir 15 Juni 1950; umur 61 tahun) karena kecewa berat dengan birokrasi yang sulit dalam membangun usahanya di India, ia tiba di Indonesia pada tahun 1976 dan mendirikan perusahaan baja bernama PT. Ispat Indo di Waru, Jawa Timur. Ia kemudian menjadi sukses dengan membeli pabrik-pabrik baja yang merugi dan mengubahnya menjadi pabrik-pabrik baja yang berhasil. Sekarang Mittal “tukang tancap gas” didampingi anak lelakinya ahli analisis keuangan lulusan Stanford University yang menjadi “tukang tekan rem” adalah seorang “a Billionaire in USD” asal India yang tinggal di rumah termahal di kawasan Kensington Mansion, London, senilai US$128 juta. Dia adalah pemilik dari Mittal Steel Company NV, yang merupakan produsen baja terbesar di dunia. Pada 2011 ini majalah Forbes menobatkannya sebagai orang terkaya kelima di dunia dengan kekayaan USD 28,7 Billlion.
Ceritera sukses Mittal yang bermula dari kebencian terhadap birokrasi jelek di pemerintahan India dan kemudian memulai bisnisnya dari pabrik baja di Indonesia. Dan juga ceritera sukses Bill Gates dan Steve Jobs yang sengaja memilih “mendroup-outkan diri” dari Harvard University agar bisa lebih cepat mewujudkan ide invensinya di bidang Teknologi Informasi akan selalu menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda yang mau bermimpi menjadi entrepreneur kelas dunia yang bermartabat. Dari Indonesia sendiri ada sosok Aburizal Bakrie (alumnus Teknik Elektro ITB), lepas dari berbagai kontroversi tentang Aburizal Bakrie, tetapi harus diakui ia berhasil memikul tanggungjawab estafet imperium ayahnya Achmad Bakrie. Namun berbeda dengan ayahnya Achmad Bakrie yang tak mau berkroni dengan Soeharto ketika mengembangkan bisnisnya, Aburizal Bakrie “sengaja” mendekatkan diri dengan penguasa dimulai sejak Menmuda UP3DN, Ginandjar Kartasasmita membina para pengusaha muda Indonesia termasuk pengusaha Arifin Panigoro (alumnus Teknik Elektro ITB) yang akhirnya lolos menjadi “a Billionaire” dengan membangun imperium Medco Group.
Masalahnya sekarang; bagaimana kita berharap kepada Pemerintah Indonesia, apakah mau mengubah dirinya untuk menjadi pembuat regulasi yang memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh suburnya entrepreneurship? Tidak mungkinlah entrepreneur Indonesia berkelas dunia lahir dari Indonesia bila pilar lainnya yakni Pendidikan dan Hukum yang Tegak dan Adil tidak bersamaan diberikan perhatian yang sungguh-sungguh oleh Pemerintah. Pendidikan yang baik akan memberikan dasar-dasar ilmu, pendidikan yang berkarakter dan sentuhan etika untuk menjadi bekal bagi generasi muda berjuang menjadi “World Class Genuine Entrepreneur” di kemudian hari. Hukum yang Tegak dan Adil akan memberikan kepastian hukum bagi siapa saja untuk menjalankan bisnis secara legal, jujur dan bermartabat. Tidak akan ada lagi, pembiaran kasus korupsi yang melukai rasa keadilan masyarakat. Tidak akan ada lagi, tempat bagi para preman kerah putih untuk menjadi kaya di Indonesia manakala Pemerintah Indonesia secara sungguh-sungguh membangun tiga pilar Entrepreneur Bermartabat, Pendidikan yang Berkarakter dan Hukum yang Tegak dan Adil.
Oh oooh oh oooh for when I’m a Billionaire
-------------------------------------------------------
I ’ll be playing basketball with the President
Dunking on his delegates
Then I ‘ll compliment him on his political etiquette
--------------------------------------------------------
(Travis “Travie” McCoy)
http://www.metrolyrics.com/billionaire-lyrics-bruno-mars.html
www.cardiyanhis.blogspot.com
http://id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6
Label:
Billionaire,
Cardiyan HIS,
Pengusaha Bermartabat
Langganan:
Postingan (Atom)