Oleh Cardiyan HIS
Arogansi Huh Jung Moo kena batunya dihadapan Ronny Pattinasarany. Pemain terbaik turnamen Marah Halim Cup 1981 di Medan (Sumatra Utara) ini tak berkutik dan gagal mengulang sukses tim Korea Selatan yang menjuarai Marah Halim Cup karena kalah telak 0-3 dari Ronny Patti dkk di stadion Senayan, Jakarta. Sebuah “Pelajaran Sepakbola Indonesia” lagi yang berhasil dipetik hikmahnya oleh Negara lain yang kemudian jauh meninggalkan Indonesia sekarang ini.
Huh Jung Moo adalah pahlawan Korea Selatan. Pelatih tim nasional Korea Selatan ini telah membawa timnas Korea Selatan ke babak dua Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dengan status runner-up grup B, di bawah Argentina. Huh Jung Moo akan memutar lebih keras lagi otaknya karena hari Sabtu, 26 Juni 2010 jam 21.00 WIB ini, Korea Selatan akan berhadapan melawan tim kuat Amerika Latin yakni timnas Uruguay, yang berhasil menjuarai grup A secara meyakinkan.
Bagi Huh Jung Moo hal ini menjadi lebih bermakna, karena ini yang pertama bagi Korea Selatan lolos ke babak kedua di luar kandangnya dalam sejarah keikutsertaannya sebagai pelanggan wakil Asia ke Piala Dunia. Pencapaiannya sebagai asisten pelatih Guus Hiddink yang meloloskan Korea Selatan ke semifinal Piala Dunia 2002 sering “disinisi” karena berlangsung di kandangnya sendiri, Seoul.
Huh Jung Moo, termasuk salah seorang dari sedikit orang di dunia yang meraih sukses cemerlang sebagai mantan pemain tim nasional maupun sebagai pelatih tim nasional. Siapa sangka Huh Jung Moo adalah pemain yang pernah meraih sukses sebagai “The Most Valuable Player” pada turnamen bergengsi di Asia yang masuk dalam kalender FIFA, Marah Halim Cup, Medan, 1981. Timnas Korea Selatan berhasil menjuarai turnamen Marah Halim Cup setelah mengalahkan tim nasional Jepang 3-2 dan sekaligus menobatkan Huh Jung Moo sebagai pemain terbaik.
Pencapaian Huh Jung Moo ini mengalahkan seniornya, Cha Bum Keun. Cha adalahpemain tim nasional Korea Selatan pertama yang merumput di luar negeri yakni di Bundesliga Jerman Barat pada klub Bayer Leverkusen. Kehebatan Cha Bum Keun diturunkan kepada Cha Doori, anak kandungnya sendiri yang bermain sebagai bek kanan Korea Selatan di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan ini. Mengapa? Karena meskipun Cha Bum Keun terpilih sebagai pemain terbaik turnamen Marah Halim Cup 1975, tetapi ia gagal membawa tim nasional Korea Selatan juara; kalah 0-2 dari kesebelasan Australia. Nah, kemudian selepas turnamen Marah Halim Cup ini, Huh Jung Moo mengikuti jejak seniornya Cha Bum Keun yang sudah pensiun, dan diterima sebagai pemain pada klub yang sama, Bayer Leverkusen.
Sebagai tim yang menjuarai Marah Halim Cup, sebelum pulang ke negerinya tim nasional Korea Selatan ini diundang oleh PSSI untuk bertanding di stadion utama Senayan. PSSI secara resmi menunjuk klub juara Galatama Indonesia pertama 1979; Warna Agung, untuk mengusung nama baik Indonesia. Disinilah pertaruhan nama baik Huh Jung Moo ternoda. Ini gara-gara ulahnya sendiri yang terlalu arogan. Yang memandang sebelah mata kesebelasan Warna Agung juara kompetisi Galatama Indonesia ini meskipun di Korea Selatan sendiri K-League belum ada seperti sekarang ini.
Dan arogansi Huh Jung Moo kena batunya. Karena tim Korea Selatan ini menemui lawan yak tak bisa dibilang enteng. Huh Jung Moo yang bertindak sebagai kapten ternyata bermain sangat emosional. Sedikit saja ada pelanggaran terhadap pemain-pemain Korea Selatan, ia memprotes sangat keras kepada wasit. Malah dilakukan dengan sangat tidak sopan yakni sambil berkacak pinggang dan bahkan dengan sedikit meludah.
Maka pertandingan menjadi benar-benar milik Indonesia. Ronny Patti sebagai libero terbaik Indonesia memimpin orchestra sepakbola Indonesia dengan indahnya. Di bawah mistar kiper Endang Tirtana tampil sangat prima dan berhasil melakukan beberapa kali safety gemilang. Warta Kusumah, stopper, yang dikader Ronny Patti sebagai cikal bakal penerusnya, bersama seniornya bek kanan Simson Rumahpasal dan bek kiri Marcelly Tambayong, sangat taktis dalam merebut bola dan kemudian mengalirkannya ke barisan gelandang. Ada Budi Riva disini, seorang gelandang genius menurut penilaian pelatih tim nasional Indonesia ke Piala Kaisar Jepang 1977 dan juga pelatih Persija Jakarta; Marek Janota. Di barisan gelandang Budi Riva bahu membahu dengan Gusnul Yakin dan gelandang muda cemerlang Rully Nere plus gelandang sayap gantung; Robby Binur. Seperti mutiara-mutiara hitam asal Persipura, Robby Binur ini sangat luar biasa dalam melakukan dribble bola melewati satu-dua pemain lawan. Sedangkan duo penyerang Warna Agung adalah sang senior striker Risdianto yang sangat tajam menjadi semakin tajam lagi dengan kehadiran yunior striker asal Persipura pula; Stevanus Sirey.
Stevanus Sirey inilah yang memporak-porandakan barisan belakang lawan karena kecepatan sprint pendeknya dalam menembus tembok Korea Selatan. Ini tak bisa dilepaskan atas kejelian Risdianto dalam mengelabui bek Korea Selatan untuk melakukan tik-tak dengan Sirey. Dua gol yang dicetak Sirey berasal dari pola serangan seperti itu, karena pelatih Drg. Endang Witarsa sudah sangat hapal tipikal Korea Selatan. Endang Witarsa memang menjadi pelatih timnas Indonesia sejak jaman melatih Soetjipto Soentoro dkk dalam menggunduli Korea Selatan dan Jepang di turnamen-turnamen bergengsi di Asia seperti Merdeka Games, Kuala Lumpur (Malaysia); King’s Cup, Bangkok (Thailand); Aga Khan Gold Cup, Dhaka (Pakistan Timur ketika itu); Piala Sukan (Singapura). Kelemahan para pemain belakang Korea Selatan yang tinggi besar adalah kekakuan dalam membalikkan badan. Dan bermain tik-tak cepat adalah keunggulan para pemain Indonesia seperti Risdianto dan Sirey yang dimanfaatkan betul kemampuan keduanya oleh pelatih Endang Witarsa, untuk menjebol tembok Korea Selatan.
Namun Indonesia tak hanya bermain tik-tak di kotak penalti lawan. Satu gol yang mengukuhkan kemenangan Indonesia 3-0 atas Korea Selatan disarangkan begitu cantik dan telak. Bermula dari serangan melalui sayap gantung Robby Binur begitu cantiknya. Setelah melewati dua pemain Korea Selatan, Robby memberikan umpan tarik sangat cantik ke Risdianto. Si “Gayeng” (julukan khas untuk Risdianto) ini tak menendang ke gawang Korea Selatan tetapi meloloskan di sela kedua kakinya. Karena Risdianto melihat Stevanus Sirey coming from behind lebih pas untuk mengeksekusinya sebagai gol. Gol luar biasa, bersarang begitu telak di gawang Korea Selatan; Stevanus Sirey membuat hattrick!!!
Dan Huh Jung Moo sebagai kapten Korea Selatan semakin frustasi memimpin rekan-rekannya. Puncaknya adalah ketika seorang pemain belakang Korea Selatan melakukan pelanggaran di kotak penalti dan wasit memberikan hadiah penalti untuk Indonesia. Huh Jung Moo protes sangat keras sambil meludah dan wasit mengganjar kartu kuning untuknya.
Ronny Patti mengambil tendangan penalti. Penonton di Senayan bersorak gembira dan berharap Indonesia mencukur Korea Selatan dengan 4-0. Maklum kemenangan terakhir Indonesia atas Korea Selatan terjadi pada tahun 1972 ketika Iswadi Idris dkk mengalahkan timnas Korea Selatan 4-2 di final turnamen Jakarta Anniversary Cup. Ronny Patti dengan tenang dan percaya diri ancang-ancang untuk menendang. Dan ternyata …….. Ronny Patti dengan sengaja melakukan tendangan jauh melebar ke samping kanan!
Rupanya Ronny Patti tak ingin Korea Selatan, juara Marah Halim Cup 1981 dipermalukan demikian dalam. Ronny masih punya cara menundukkan arogansi Huh Jung Moo, dengan cara Ronny Patti sendiri yakni bermain elegan dan sportif. Ronny Patti pemain paling cerdas yang pernah dimiliki oleh Indonesia versi kapten timnas Soetjipto Soentoro telah memberikan “pelajaran sepakbola Indonesia” kepada Huh Jung Moo. Ronny Patti telah meninggalkan kita selamanya yang bersama senior-seniornya almarhum Soetjipto Soentoro, Iswadi Idris dkk telah berhasil menempatkan Indonesia secara terhormat di Peta Sepakbola Asia, meskipun mereka tak berhasil meloloskan Indonesia ke Piala Dunia karena jatah Asia di jamannya hanya 1 (satu) Negara saja. Sementara Huh Jung Moo yang merasakan “Pelajaran Sepakbola Indonesia” telah menikmati ajang Piala Dunia dua kali sebagai pemain nasional maupun kemudian sebagai asisten pelatih kepala Guus Hiddink dan sekarang sebagai pelatih kepala tim nasional Korea Selatan ke Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Semoga kiprah Huh Jung Moo berlanjut dengan meloloskan Korea Selatan ke tahap lebih terhormat lagi, mewakili kehormatan benua Asia bersama timnas Jepang.
Jumat, 25 Juni 2010
Kamis, 24 Juni 2010
Indonesia Hancurkan Jepang 4-0
Oleh Cardiyan HIS
Kesebelasan nasional Jepang sejak awal memang diniatkan untuk belajar kepada Indonesia sebagai “Brazil Asia”. Dan Ronny Patti dengan telak memberikan pelajaran kepada Jepang; bagaimana cara bermain bola yang baik.
Sejarah itu penting untuk menginspirasi. Termasuk sejarah kejayaan kesebelasan Indonesia atas Jepang. Sayang Indonesia tidak berhasil memanfaatkan sejarah kejayaan sepakbola Indonesia masa lalu kepada kemajuan sepakbola di masa sekarang. Malah Jepang yang berhasil memanfaatkan “pelajaran sepakbola Indonesia” sampai kepada level dunia dengan menjadi pelanggan Piala Dunia bersama Korea Selatan. Dan terakhir bahkan lolos ke babak kedua dengan menghancurkan juara Eropa 1992, Denmark, dengan skor telak 3-1.
Indonesia selalu diundang sebagai satu-satunya tim Asia selain Jepang sebagai tuan rumah “Piala Kirin” atau Piala Kaisar bersama klub yang mewakili satu benua Eropa dan satu Amerika (Amerika Latin). Meskipun tak pernah menjuarai Piala Kaisar, Indonesia tetap menjadi prioritas tujuan uji coba timnas Jepang. Jepang pun belajar kepada kompetisi sepakbola Galatama Indonesia (dimulai tahun 1979 di era Ketua Umum PSSI, Ali Sadikin) ketika mempersiapkan J-League yang diluncurkan lebih belakangan yakni pada tahun 1992.
Inilah yang terjadi dengan timnas Jepang yang dipersiapkan untuk olimpiade ini melakukan ujicoba pertama ke Indonesia tahun 1981. Tim nasional Indonesia dikapteni Ronny Patti bersama rekan pemain senior seperti Risdianto (striker), Simson Rumahpasal (belakang kanan) membimbing pemain-pemain muda penuh bakat seperti Purwono (kiper), Warta Kusumah, Nasir Salasa, Didik Dharmadi, Berti Tutuarima (belakang), Herry Kiswanto, Rully Nere, Budi Johanis, Metu Duaramuri (gelandang), Hadi Ismanto (striker). Intinya pemain inti timnas Indonesia berada pada poros Ronny Patti-Herry Kiswanto-Risdianto.
Memiliki wing back keren pada diri Simson Rumahpasal (di kanan) dan Didik Dharmadi (di kiri), serangan Indonesia berlangsung sangat indahnya. Dribble maut keduanya kerap mengundang decak kagum karena melewati beberapa pemain belakang Jepang dan mengiris sampai ke garis gawang mereka. Maka umpan tarik Simson maupun Didik diselesaikan dengan indah pula oleh Risdianto dan Hadi Ismanto. Sementara pasca serangan gagal timnas Jepang diselesaikan dengan cerdas dan cepat oleh Ronny Patti mengumpan ke Herry Kiswanto (gelandang bertahan) dan meneruskannya kepada Rully Nere atau Metu Duaramuri atau juga Budi Johanis untuk main tik-tak yang menawan dengan Risdianto/Hadi Ismanto di kotak penalti Jepang.
Ronny Patti yang “ditemukan” oleh Wiel Coerver sebagai “libero baru Indonesia” bagai seorang dirigen sebuah orchestra indah sepakbola Indonesia. Dan ini bisa dimainkannya dengan sempurna karena Ronny memiliki visi permainan yang hebat, sangat cerdas dalam merancang settpiece bola mati bagi Indonesia, pandai mengantisipasi umpan terobosan lawan, pengumpan dengan akurasi di atas 90% meskipun tanpa melihat rekannya berada jauh di depan. Ronny beruntung didukung pula oleh pemain-pemain bertalenta luar biasa. Simson dan Didik memiliki kemampuan dribble yang luar biasa cepat tetapi bola tetap lengket melewati satu-dua bahkan tiga pemain Jepang. Warta dan Nasir Salasa memiliki kemampuan bertahan dan merebut bola sangat baik. Gelandang Indonesia pada diri Herry Kiswanto, Budi Johanis, Mettu Duaramuri dan Rully Nere ibarat kuartet gelandang timnas Perancis era Michael Platini-Jean Tigana-Alain Giresse-Luiz Fernandez, yang menjuarai Piala Eropa pada tahun 1984. Rully Nere bahkan dijuluki “Jean Tigana Asia”. Bagaimana Rully dapat merebut bola dengan tackling sangat bersih dari belakang berkat bimbingan pelatih Wiel Coerver. Mettu adalah “Mutiara Hitam” Persipura yang kalau berada di kompetisi Eropa adalah persis pemain timnas Perancis dan klub Juventus, Lilian Thuram. “Si Akang” Herry Kiswanto, pemain asal Persib Bandung ini adalah seorang breaker pasca Nobon yang berkelas Asia bahkan Eropa seperti diakui Wiel Coerver atau sedikitlah di bawah Gatusso dari AC Milan. Dan Risdianto adalah pemain Indonesia pertama yang dipuji habis oleh Pele(klub Santos) sebagai striker terbaik di Asia. Risdianto membuat hattrick ketika Indonesia kalah 3-5 lawan klub Santos. Pele kemudian ketemu lagi Risdianto ketika klub terakhirnya Cosmos, New York melawan timnas Indonesia di Senayan.
Dengan komposisi pemain seperti itu, Jepang kalah telak 0-4 dari timnas Indonesia. Ada settpiece sangat indah dari satu gol Indonesia ini. Ronny mengatur Risdianto agar berdiri pada pagar pemain-pemain Jepang dan menyuruh Hadi Ismanto, pemain dengan kecepatan lari 10,5 detik/100 meter di pinggir kanan pagar pemain Jepang. Ronny dengan hebat mencungkil bola melewati pagar pemain Jepang dan Hadi Ismanto berlari sangat cepat lolos dari perangkap offside untuk berhadapan langsung dengan kiper Jepang, Taguchi. Itulah kemenangan terakhir yang diraih Indonesia atas Jepang.
“Pelajaran Sepakbola Indonesia” benar-benar sangat dimanfaatkan Jepang. Keunggulan pemain Indonesia dalam sprint pendek dipelajari oleh mereka. Kelenturan tubuh dalam membalikkan badan pada para pemain belakang Indonesia dipelajari secara ilmiah. Karakter permainan Indonesia yang lebih mirip atau lebih condong ke Brazil -----dan arena itu Indonesia dijuluki oleh President FIFA, Sepp Blatter sebagai “Brazil Asia”----- benar-benar dipraktekkan Jepang dengan mengundang para pemain Brazil dan pelatih Brazil ke J-League pada tahun 1992. Sebelum itu pada tahun 1989, pemain Indonesia Ricky Jacob diundang untuk bermain di klub Matshushita Electric, Japan.
Jepang berhasil mengelola kompetisi dengan baik karena para stake holder bekerja secara professional; kemajuan dunia industrinya sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga baik pelatih maupun pemain berkelas dunia mau merintis karier disini; pengurus “PSSI Jepang” bekerja total untuk kemajuan organisasi dan bukan bekerja untuk mencari keuntungan di organisasi; para “bobotoh” pun sangat sportif, tidak berperilaku anarkis dan tak terus menuntut klub harus terus-terusan menang berbeda dengan para bobotoh di Indonesia. Tak heran, bila timnas Jepang performanya sangat kece; jauh dengan timnas PSSI yang dipimpin dua periode kepengurusn Nurdin Halid ini terus-terusan prestasinya memble.
Kesebelasan nasional Jepang sejak awal memang diniatkan untuk belajar kepada Indonesia sebagai “Brazil Asia”. Dan Ronny Patti dengan telak memberikan pelajaran kepada Jepang; bagaimana cara bermain bola yang baik.
Sejarah itu penting untuk menginspirasi. Termasuk sejarah kejayaan kesebelasan Indonesia atas Jepang. Sayang Indonesia tidak berhasil memanfaatkan sejarah kejayaan sepakbola Indonesia masa lalu kepada kemajuan sepakbola di masa sekarang. Malah Jepang yang berhasil memanfaatkan “pelajaran sepakbola Indonesia” sampai kepada level dunia dengan menjadi pelanggan Piala Dunia bersama Korea Selatan. Dan terakhir bahkan lolos ke babak kedua dengan menghancurkan juara Eropa 1992, Denmark, dengan skor telak 3-1.
Indonesia selalu diundang sebagai satu-satunya tim Asia selain Jepang sebagai tuan rumah “Piala Kirin” atau Piala Kaisar bersama klub yang mewakili satu benua Eropa dan satu Amerika (Amerika Latin). Meskipun tak pernah menjuarai Piala Kaisar, Indonesia tetap menjadi prioritas tujuan uji coba timnas Jepang. Jepang pun belajar kepada kompetisi sepakbola Galatama Indonesia (dimulai tahun 1979 di era Ketua Umum PSSI, Ali Sadikin) ketika mempersiapkan J-League yang diluncurkan lebih belakangan yakni pada tahun 1992.
Inilah yang terjadi dengan timnas Jepang yang dipersiapkan untuk olimpiade ini melakukan ujicoba pertama ke Indonesia tahun 1981. Tim nasional Indonesia dikapteni Ronny Patti bersama rekan pemain senior seperti Risdianto (striker), Simson Rumahpasal (belakang kanan) membimbing pemain-pemain muda penuh bakat seperti Purwono (kiper), Warta Kusumah, Nasir Salasa, Didik Dharmadi, Berti Tutuarima (belakang), Herry Kiswanto, Rully Nere, Budi Johanis, Metu Duaramuri (gelandang), Hadi Ismanto (striker). Intinya pemain inti timnas Indonesia berada pada poros Ronny Patti-Herry Kiswanto-Risdianto.
Memiliki wing back keren pada diri Simson Rumahpasal (di kanan) dan Didik Dharmadi (di kiri), serangan Indonesia berlangsung sangat indahnya. Dribble maut keduanya kerap mengundang decak kagum karena melewati beberapa pemain belakang Jepang dan mengiris sampai ke garis gawang mereka. Maka umpan tarik Simson maupun Didik diselesaikan dengan indah pula oleh Risdianto dan Hadi Ismanto. Sementara pasca serangan gagal timnas Jepang diselesaikan dengan cerdas dan cepat oleh Ronny Patti mengumpan ke Herry Kiswanto (gelandang bertahan) dan meneruskannya kepada Rully Nere atau Metu Duaramuri atau juga Budi Johanis untuk main tik-tak yang menawan dengan Risdianto/Hadi Ismanto di kotak penalti Jepang.
Ronny Patti yang “ditemukan” oleh Wiel Coerver sebagai “libero baru Indonesia” bagai seorang dirigen sebuah orchestra indah sepakbola Indonesia. Dan ini bisa dimainkannya dengan sempurna karena Ronny memiliki visi permainan yang hebat, sangat cerdas dalam merancang settpiece bola mati bagi Indonesia, pandai mengantisipasi umpan terobosan lawan, pengumpan dengan akurasi di atas 90% meskipun tanpa melihat rekannya berada jauh di depan. Ronny beruntung didukung pula oleh pemain-pemain bertalenta luar biasa. Simson dan Didik memiliki kemampuan dribble yang luar biasa cepat tetapi bola tetap lengket melewati satu-dua bahkan tiga pemain Jepang. Warta dan Nasir Salasa memiliki kemampuan bertahan dan merebut bola sangat baik. Gelandang Indonesia pada diri Herry Kiswanto, Budi Johanis, Mettu Duaramuri dan Rully Nere ibarat kuartet gelandang timnas Perancis era Michael Platini-Jean Tigana-Alain Giresse-Luiz Fernandez, yang menjuarai Piala Eropa pada tahun 1984. Rully Nere bahkan dijuluki “Jean Tigana Asia”. Bagaimana Rully dapat merebut bola dengan tackling sangat bersih dari belakang berkat bimbingan pelatih Wiel Coerver. Mettu adalah “Mutiara Hitam” Persipura yang kalau berada di kompetisi Eropa adalah persis pemain timnas Perancis dan klub Juventus, Lilian Thuram. “Si Akang” Herry Kiswanto, pemain asal Persib Bandung ini adalah seorang breaker pasca Nobon yang berkelas Asia bahkan Eropa seperti diakui Wiel Coerver atau sedikitlah di bawah Gatusso dari AC Milan. Dan Risdianto adalah pemain Indonesia pertama yang dipuji habis oleh Pele(klub Santos) sebagai striker terbaik di Asia. Risdianto membuat hattrick ketika Indonesia kalah 3-5 lawan klub Santos. Pele kemudian ketemu lagi Risdianto ketika klub terakhirnya Cosmos, New York melawan timnas Indonesia di Senayan.
Dengan komposisi pemain seperti itu, Jepang kalah telak 0-4 dari timnas Indonesia. Ada settpiece sangat indah dari satu gol Indonesia ini. Ronny mengatur Risdianto agar berdiri pada pagar pemain-pemain Jepang dan menyuruh Hadi Ismanto, pemain dengan kecepatan lari 10,5 detik/100 meter di pinggir kanan pagar pemain Jepang. Ronny dengan hebat mencungkil bola melewati pagar pemain Jepang dan Hadi Ismanto berlari sangat cepat lolos dari perangkap offside untuk berhadapan langsung dengan kiper Jepang, Taguchi. Itulah kemenangan terakhir yang diraih Indonesia atas Jepang.
“Pelajaran Sepakbola Indonesia” benar-benar sangat dimanfaatkan Jepang. Keunggulan pemain Indonesia dalam sprint pendek dipelajari oleh mereka. Kelenturan tubuh dalam membalikkan badan pada para pemain belakang Indonesia dipelajari secara ilmiah. Karakter permainan Indonesia yang lebih mirip atau lebih condong ke Brazil -----dan arena itu Indonesia dijuluki oleh President FIFA, Sepp Blatter sebagai “Brazil Asia”----- benar-benar dipraktekkan Jepang dengan mengundang para pemain Brazil dan pelatih Brazil ke J-League pada tahun 1992. Sebelum itu pada tahun 1989, pemain Indonesia Ricky Jacob diundang untuk bermain di klub Matshushita Electric, Japan.
Jepang berhasil mengelola kompetisi dengan baik karena para stake holder bekerja secara professional; kemajuan dunia industrinya sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga baik pelatih maupun pemain berkelas dunia mau merintis karier disini; pengurus “PSSI Jepang” bekerja total untuk kemajuan organisasi dan bukan bekerja untuk mencari keuntungan di organisasi; para “bobotoh” pun sangat sportif, tidak berperilaku anarkis dan tak terus menuntut klub harus terus-terusan menang berbeda dengan para bobotoh di Indonesia. Tak heran, bila timnas Jepang performanya sangat kece; jauh dengan timnas PSSI yang dipimpin dua periode kepengurusn Nurdin Halid ini terus-terusan prestasinya memble.
Label:
Cardiyan HIS,
Jepang,
Timnas Sepakbola Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)